Tuesday, January 27, 2009

Friday, January 23, 2009

Perempuan Bicara 10: A Boy's Imagination & Travian Fever

IMAJINASI SEORANG ANAK KECIL

Beberapa tahun lalu, saya berhadapan dengan seorang anak laki-laki berumur 7 (tujuh) tahun. Namanya sudah tak mampu saya ingat lagi, namun profile-nya melekat kuat di sel-sel kelabu otak saya. Tentu saja ketika itu ia (anak laki-laki yang ganteng itu) tidak datang sendiri pada saya, hati seorang ibu yang khawatir dan sangat mencintainya lah yang mengantarnya ke hadapan saya.

Tidak ada yang salah pada dirinya, bahkan interpretasi dan analisis saya membawa kesimpulan betapa kuat imajinasi dan peran belahan otak kanannya. Ia mampu berpikir dan bercerita layaknya orang dewasa, kecerdasan (intelektual) nya di atas rata-rata anak seusianya, sudah pasti. Pilihan-pilihan kata (diksi) saat mengantar cerita dan memberikan penjelasan begitu hebat, beberapa istilah yang tak umum dipergunakan anak-anak seusianya terlontar dalam tuturan yang rapih dan sistematis. Ia mengaktifkan Raticular Activating System (RAS) hingga bekerja cukup baik. Dalam hal ini dapat saya katakan, out-put imajinasi yang tertuang dalam coretan-coretan gambar (hasil olahan belah kanan otak), disampaikan secara sistematis dalam tutur verbal yang membuat orang lain mampu memahami isi pikirannya (aktivasi belahan kiri otak).

Hanya dalam beberapa menit saja ia telah menghasilkan lebih dari 2 (dua) gambar hasil coretan tangannya. Gambar-gambar itu sepintas mirip satu sama lain, akan tetapi apabila dicermati tidak ada yang sama persis. Ia telah menghasilkan beberapa peta negara yang semua diberi nama, lengkap dengan batas-batas wilayah, bentuk pemerintahan, jenis tanaman yang dominan tumbuh subur pada daerah tertentu, jenis-jenis makhluk hidup, bahkan nama-nama pejabat pemerintahnya. Ia juga mengarsir wilayah-wilayah rawan yang mengundang nafsu eksplorasi negara lain di sekitarnya. Luar biasa, bukan?

Belum berhenti sampai di situ. Ketika saya memintanya untuk menceritakan lebih banyak lagi tentang gambar-gambar itu, dengan antusias ia memberikan penjelasan panjang-lebar-tinggi. Sangat lengkap, sebagai pendengarnya saya bahkan dapat mengikuti arus emosi yang tengah berlangsung, bukan hanya dari anak kecil ganteng ini, tetapi juga jiwa dan emosi negara yang “dibangunnya” tersebut. Sebagai contoh, dituturkan bahwa salah satu negara tersebut perlu memperluas wilayahnya, karena dalam waktu beberapa tahun ke depan akan ada banyak sekali anak-anak kecil di sana. Orang dewasa di negara itu memiliki keinginan yang sama, yakni mempersiapkan generasi muda yang hebat. Oleh sebab itu banyak perempuan melahirkan anak. Selanjutnya menurut dia, anak-anak perlu tempat bermain, tempat sekolah dan tempat berlatih, agar menjadi anak-anak yang hebat.

Saat saya bertanya, sekolah seperti apa yang dibutuhkan oleh anak-anak itu nanti? Ia menjawab dengan yakin dan penuh harap: sekolah yang tidak seperti sekolah. Lalu dijelaskannya bahwa sekolah itu harus punya banyak tempat latihan, misalnya latihan naik sepeda, latihan computer, latihan memotong-motong wortel, latihan menyeberang jalan, latihan berlari, latihan berenang, latihan membuat robot, latihan menerbangkan layang-layang… dan masih banyak latihan lain, yang… khas keinginan anak-anak. Mimpi dan imajinasi bebas seorang anak kecil. Saya tersenyum.

Demam Travian

Akhir-akhir ini, Travian justru melanda orang dewasa. Mengingatkan saya pada imajinasi anak kecil yang saya jumpai bertahun-tahun lalu. Saya belum pernah bermain Travian, namun dari berbagai sumber informasi saya dapatkan bahwa Travian mirip dengan imajinasi tokoh kecil yang saya ceritakan di atas. Travian telah melanda banyak peminat dan pemain diindikasikan oleh dibukanya server-server baru Travian yang segera diserbu puluhan ribu pemain. Sebagian besar pemainnya adalah orang dewasa. Fenomena apa ya?

Travian adalah permainan komputer on-line dimana pemainnya membangun ”negara”, mulai dari mempersiapkan infrastruktur, sumber daya manusia, sistem pertahanan, sampai pada strategi eksplorasi ke ”negara” lain yang dikuasai oleh pemain lain. Mohon maaf tidak banyak yang dapat saya ceritakan soal Travian (permainan dunia maya) yang sudah menjadi demam yang melanda ratusan ribu bahkan jutaan orang dewasa di dunia. Tentu saja karena saya belum pernah terlibat langsung dalam permainan itu. Namun konon para pemain Travian sampai enggan melakukan aktivitas lain demi mempertahankan ”negara” yang dibangunnya.

Singkat cerita, saya berpikir secara sederhana. Tampaknya kebutuhan berkuasa (need of power) manusia begitu kuat, dan Travian dapat mengakomodasi kebutuhan itu di dunia maya. Kebutuhan untuk berkuasa memang merangsang kemampuan berpikir manusia. Misalnya, ketika merancang angkatan bersenjata yang kuat pada negaranya, seorang pemain perlu mengerahkan kekuatan strategic thinking-nya. Tetapi juga, merangsang energi negatif untuk menjatuhkan lawan (pemain lain dengan ”negara”nya) saat melakukan penyerangan-penyerangan terhadap lawan. Kebutuhan berkuasa (dalam hal ini) membuat orang tidak lagi mementingkan sisi kemanusiaan, baginya yang penting menang dan ia makin berkuasa.

Hingga saat ini saya masih berpikir, mencoba menganalisis lebih dalam. Tampaknya saya membutuhkan referensi ilmiah yang relevan menginterpretasikan mengapa manusia gemar mengedepankan kebutuhan berkuasanya atas manusia lain, hingga Travian menjadi suatu pilihan yang menyenangkan. Tidak ada yang salah dengan Travian, juga pada peminat dan pemainnya. Hanya saja sebagai penghuni bumi yang merindukan kedamaian dan perdamaian bersemi indah di atas bumi karya Illahi ini, saya merasa butuh berpikir mengenai berbagai fenomena manusia dari apa saja yang teramati.

Sayang sekali saya belum punya banyak kesempatan untuk mencari referensi. Adakah yang bersedia melakukannya? Terimakasih.

Damai di bumi...

Rinny Soegiyoharto

Saturday, January 17, 2009

Perempuan Bicara 9: Cerita Dari Sebuah Salon

CERITA DARI SEBUAH SALON

Sudah lebih dari 6 bulan saya tidak datang ke tempat itu. Sebelumnya saya pasti akan mampir minimal sebulan satu kali. Apalagi kah yang dilakukan perempuan saat mengunjungi salon kecantikan (rambut) jika bukan mencoba usaha pengawetan? Hehehe... merawat sesuatu di tubuh adalah bagian dari proses pengawetan, bukan? Creambath, salah satu usaha mengawetkan rambut agar dapat bertahan dari akibat-akibat alami kerusakan (polusi udara terpaksa menjadi bagian alami, meski tingkat polusi yang makin tinggi, kerusakan alam dan efek perubahan iklim adalah notabene disebabkan ulah manusia yang tak memelihara alam. Ah... sakit hati berbicara masalah ini ya...).
Well, sebab-musabab saya tidak mampir-mampir setengah tahun lebih ke tempat itu, bukan karena usaha pengawetan saya berhenti, namun saya menghindari tempat itu, saya mencari tempat lain yang menjauhkan ingatan-ingatan kenangan yang masih sulit bagi saya untuk coping.

Salon itu, selain tempat untuk melakukan usaha pengawetan, tempat memanjakan diri sejenak, tempat untuk tidur dalam sentuhan capster, lebih dari itu semua, salon tersebut adalah tempat saya menghabiskan waktu dengan ibu saya. Sebulan sekali saya mengantarkan ibu saya ke tempat itu. Ia (ibu saya) yang pada masa-masa masih sehat dan kuat beraktivitas secara mandiri, rutin melakukan perawatan rambut dan kulitnya, baik oleh diri sendiri (inilah yang paling sering dilakukannya), maupun meminta bantuan pusat perawatan seperti salon. Ibu saya lah yang mengajarkan saya bagaimana "menjadi perempuan", tidak hanya "perempuan di luar" dengan usaha pengawetan non-alami, namun juga "perempuan di dalam" yang harus terus selalu menjaga kebersihan hati dan kejernihan pikiran.

Setelah terguncang stroke pertama kali sekitar 12 tahun yang lalu, ibu saya banyak kehilangan fungsi anggota tubuhnya, termasuk kehilangan kemandirian untuk melakukan berbagai hal yang digemarinya. Episode ke salon bersama-sama kemudian menjadi acara rutin kami setiap bulan. Setelah menuntunnya ke tempat dimana ia bisa mendapatkan perawatan ataupun treatment yang diinginkannya, tentu saja saya juga mengambil kesempatan yang sama. Hampir semua capster di salon itu sudah mengenal ibu saya yang selalu datang dengan tongkat, dituntun anak perempuannya.

Selang 2 minggu saja sejak usaha pengawetan terakhir yang dilakukan terhadap ibu (di salon itu tentu saja, dan berdua dengan saya), ia (ibu) pergi menghadap Sang Khalik, Sang Empunya Hidup Yang Juga Maha Memiliki apapun di jagad raya ini. Penyebab medis adalah serangan stroke kedua kali, namun selebihnya adalah mutlak Rahasia Illahi. Meski demikian, ternyata saya tetap memerlukan cukup banyak waktu untuk berani dan siap kembali datang ke salon tersebut (tanpa ibu dalam tuntunan tangan saya).

Kemarin, akhirnya saya datang lagi ke salon itu. Seperti biasa meminta perawatan standar saja, lalu mencoba menikmati dalam pejaman mata. Saya dapat menikmatinya, selama 2 jam kepala saya di-unyel-unyel, digodog dengan steamer... hehehe mau-maunya ya direbus begitu. Tapi enak kok.
Selesailah seluruh proses, lalu saya menghampiri meja kasir, pemilik salon (kami sudah saling kenal) ada di sana. Ia menyapa saya dengan ramah dan senyum pedagang (maaf, sekadar untuk pembeda saja dengan ekspresinya setelah ini),

"Halo Mbak, sudah lama sekali tidak ke sini..."
"Iya ya," jawab saya.
"Saya tadi tanya sama anak-anak (para capsternya), mereka bilang mbak sendirian saja. Bagaimana kabar ibu?"
"Iya, saya sendiri saja. Ibu saya sudah meninggal dunia," suara saya sih normal-normal saja rasanya.

Namun pemilik salon yang ramah itu telah berubah ekspresi. Tak berapa lama ia meneteskan airmata (sudah pasti ini bukan airmata pedagang, saya berani jamin itu). Tanpa perlu saya ceritakan secara detail di sini, pemilik salon tersebut mulai bercerita tentang beberapa kenangan silam, tentu saja terkait ibu saya, saya dan penilaian dia soal hubungan kami yang dipujanya. Ia terlihat sedih, terlihat merasa ikut kehilangan. Mau tak mau saya turut juga membayangkan kenangan-kenangan itu. Cukup lama ia berbagi rasa. Dan seperti biasa, terjadi pembicaraan di dalam pikiran saya. Pembicaraan antar berbagai pikiran saya yang terjadi di otak saya dan hanya diketahui saya sendiri (Wah, ribet memang kalau apa-apa dipikirin ya...).

Sepulang dari salon itu, saya lega, akhirnya saya sudah bisa datang ke sana lagi. Setidaknya usaha pengawetan sudah dapat berjalan normal. Akan tetapi, lebih dari itu, pelajaran berharga yang saya dapatkan adalah bahwa senyuman dan tangisan pedagang yang ini, bukan semata-mata bernilai jual-beli. Saat manusia memberi hati dan hidupnya terhadap pekerjaan yang dicintainya dan usaha yang digelutinya, ia juga menciptakan suatu tali silaturahmi yang bermakna sangat dalam bagi kehidupan manusia. Tali ini tidak hanya tersimpul erat dalam hubungan antar pribadi, namun juga sekaligus mengikat rapih hubungan jual-beli antara penjual dan pelanggan. Dalam hal ini saya yakin, letak trik marketing ampuh ada di sini (maaf kalau saya keliru, ya Pak Hermawan).

Semoga bermanfaat untuk seluruh pedagang yang membaca. BTW... sssttttt... jangan dikira saya bukan pedagang... hehehehe...

Friday, January 16, 2009

Perempuan Bicara 8: WARNA 2009

Jika perusahaan kosmetik yang menyoal topik warna, maka rasanya tak kan jauh-jauh dari tren warna bedak, perona mata, perona pipi, pelentik bulu mata, dan riasan lainnya yang masih identik juga dengan perempuan.

Desainer mungkin akan bicara soal warna-warna busana yang mendominasi tren tahun ini, atau kecenderungan serat cita (baca: kain/bahan pakaian), hingga tren aksesori pelengkap busana, termasuk alas kaki. Sebagian masih identik dengan perempuan.

Aura politik negeri ini terkait "the election", selain warna-warni parpol yang luar biasa ragamnya, juga tak kalah menarik warna suara perempuan yang mencuat di panggung politik. Tentu bukan hanya caleg perempuan yang tampaknya cukup (cukup saja, dibandingkan musim pemilu sebelumnya) meningkat dalam jumlah pada setiap parpol, tetapi juga pekampanye di panggung on air, layar kaca, media cetak, dan sebagainya, yang antara lain diperani artis-artis cantik.

Sebagai pengamat kehidupan, saya melihat warna 2009 dari sisi yang lain. Seperti biasa saya mengambil sample kecil sekali. Tentu saja tetap dengan subyek perempuan. Saat saya sedang di sebuah kota, di ujung timur Indonesia. Saya menangkap warna merah dengan berbagai gradasi atau nuansa, pada beberapa anggota tubuh perempuan di tempat itu. Sebenarnya kurang tepat jika saya katakan warna 2009, namun karena saya berbicara di tahun 2009 maka tidak salah juga menggunakan angka tahun, katakanlah sebagai kode.

Ada warna merah kejingga-jinggaan di rongga mulut beberapa perempuan yang saya tatap. Warna yang mencerahkan gigi, gusi, bibir, dan seputarnya, tercipta oleh pinang, sirih dan kapur yang dikunyah-kunyah. Memang cerah benar warnanya, maka saya coba ambil sumber pewarna tersebut, lalu dengan (harus) berani saya warnai mulut saya dengannya. Tetapi... aaahhh bukannya merah jingga yang saya dapatkan, malah keriput wajah dan sentakan getir yang menghentikan kegiatan saya itu, tak dapat saya lanjutkan lagi. Aktivitas itu saya hentikan sebelum memulai, alhasil saya tidak bisa memiliki warna mulut seperti perempuan-perempuan itu. Ternyata perlu keterampilan khusus, rasa kecanduan dan kebiasaan. Wah.

Nuansa merah lainnya, terdapat di atas panggangan. Beberapa perempuan membolak-balik ikan segar ekor kuning yang daging serta kulitnya berwarna merah kehitaman. Kalau merah yang ini, sungguh luar biasa, nikmaaaattt dan sedap, dicocol dengan sambal merah kecoklatan... tak terasa nasi 2 porsi terpaksa harus saya relakan masuk ke perut saya bersama si merah-hitam ikan ekor kuning panggang. Ikan segar yang hanya mati satu kali sebelum disantap. Tanta-tanta yang memanggangnya tertawa senang memperlihatkan kemerahan rongga mulutnya saat saya menyantap ikan laut nikmat tersebut.

Ada lagi merah yang lain, yakni merah muda, sangat muda yang kontras dengan warna di sebaliknya. Yakni pada telapak kaki seorang perempuan papua yang tengah berjalan dengan cepat sekali sambil bertelanjang kaki. Bukan merah mudanya telapak kaki yang menjadi fokus utama saya, namun warna-warna lain yang terkumpul pada perempuan itu. Warna pertama dan utama, adalah siratan kekuatan fisiknya, otot-otot tubuh yang tampak kencang, raut wajah yang tegas dengan tujuan yang hendak dicapainya. Di atas kepala berambut sangat ikal itu, ia menjunjung noken merah kecoklatan, sarat bermuatan beragam sayur. Tangannya yang kuat menjinjing sebuah buntalan di kirinya, dan.... sepasang sandal karet merah di kanannya... Lho? Tapi dia bertelanjang kaki lho, dia punya sandal karet lho, ck ck ck...

Perempuan itu tidak takut pada jalanan yang panas, kerikil yang menyentuh telapak merah mudanya. Juga tidak takut pada beban berat yang menggayuti kepalanya, tiada khawatir pada lalu-lalang kendaraan yang menyertainya... Ia hanya sedikit khawatir pada sandal karetnya yang merah dan dijinjing... khawatir apabila sandal itu terpasang di kaki-kaki kuat itu, maka ia akan tergelincir dan tak dapat berjalan secepat itu... Saya melambaikan tangan padanya, ia tersenyum lebar memamerkn deretan gigi putih kemerah-merahan. Senyum yang terlihat dan terasa sangat tulus, disertai doa yang tulus: Tuhan berkati...

Saya merenung. Betapa cantiknya warna merah dengan berbagai nuansa itu dalam senyuman tulus dan hati yang bersih. Betapa indahnya warna 2009 apabila semua orang berhati tulus sepeti itu... amin.

RS

Posts Archive


PEREMPUAN = SRIKANDI ?

Kenapa PEREMPUAN PEJUANG sering disebut SRIKANDI.
APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?
Kutelusuri WIKIPEDIA, kutemukan entri SRIKANDI ini

Srikandi (Sanskerta: Śikhaṇḍī) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata vrsi India.
Arti nama
Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".
Srikandi dalam Mahabharata
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Perang di Kurukshetra
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Srikandi dalam Pewayangan Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

JADI, APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?

*********

PEREMPUAN DAN PENDIDIKAN
Rinny Soegiyoharto (catatan tak selesai pada april 2006)

Ragam aktivitas ke-Kartini-an sebagai simbol emansipasi kaum perempuan seperti sebuah rutinitas lebih bergaung pada bulan April mendekati hari keduapuluhsatu. Ditandai aneka lomba dan berbagai atribut keperempuanan yang adakalanya malah tampak sekadar wujud lahiriah dan kasat mata. Sebut saja lomba berkebaya, lomba masak, lomba pasang dasi, lomba merias wajah, dan sebagainya.

*** *** *** *** ***

-DRAFT--Wanita. Meski berpadan dengan perempuan, namun kata dasar “empu” pada perempuan terasa lebih nyaman dan membanggakan, oleh sebab itu saya suka menggunakan kata “perempuan”, termasuk dalam menamai blog saya.-
Perempuan, sadar soal pentingnya pendidikan terhadap anak-anak, karena di "dalam" perempuan terdapat beban psikologis memperjuangkan dirinya sendiri, terus-menerus. Utamanya dalam hal pendidikan (sudah diterobos Kartini). Guru TK-SD bahkan SMP kebanyakan perempuan. Bapak-bapak lebih banyak muncul dan berperan pada tingkat pendidikan lanjutan atas (SMA), dimana pendidikan dasar telah ditanamkan lebih dahulu oleh ibu-ibu guru. Mengapa? Sekali lagi karena perempuan secara lahiriah dan kodrati justru memikul tanggung jawab pendidikan itu sendiri yang dimulai pada dirinya sendiri. Maka, bapak-bapak guru lebih kepada transfer of knowledge, ketimbang hal-hal mendasar yang lebih berhubungan dengan pembangunan karakter, penanaman proses belajar dan pengertian-pengertian dasar untuk dan selama manusia menempuh proses pendidikan.- Pendidikan: mencakup attitude/sikap, yakni kognitif, afektif dan perilaku. Pengembangan kepribadian, pembiasaan good character, kesadaran dan tanggung jawab akan masa depan pribadi/diri sendiri yang mempengaruhi masa depan keluarga dan kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara, dll.- Bukan diskriminasi yang mengarah pada gerakan feminisme.- Perbedaan sesuatu yang dirayakan bersama sebagai unsur2 yg saling bersinergi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan bersama: orangtua, pendidik, bangsa dan negara.- Berkaitan erat dengan UU Anti-KDRT. Jika perempuan terus ditindas, bahkan di dalam rumah tangganya sendiri, bagaimana mungkin perempuan dapat bertugas/ berkiprah/ bertindak optimal untuk mendidik anak-anak, baik anak sendiri maupun anak-anak didik apabila ia seorang guru? Kendati lagi, waktu terus merambah, persaingan global semakin cepat dan menantang, anak tidak berhenti tumbuh dan berkembang, suatu waktu akan tiba ketika anak mulai lebih banyak mencurahkan porsi proses pendidikannya pada pemenuhan kognitif, belajar ilmu2 tinggi, yg bisa jadi sebagian besar diberikan oleh laki-laki, bapak2 yg menitikberatkan pada perkembangan kognitif.- Perempuan & laki2 lebih kepada pembagian peran, baik dalam pendidikan di dalam rumah tangga, maupun pendidikan secara luas, formal & informal. Karena baik dari segi struktur fisiologis dan psikologis serta kultural dan sejarah di dalam masyarakat kita, telah membentuk sebuah perbedaan laki2 dan perempuan, yang harus kita rayakan bersama-sama membentuk manusia-manusia berkualitas dlm diri anak2 kita sebagai proses pendidikan menuju masa depan cerah mengikuti kecerahan janji bangsa ini. Amin.-

Pendidikan dimulai dari rumah. Peran ibu sebagai objek kelekatan anak yang pertama terhadap proses pendidikan anak tentulah tidak kecil. Sebagai perempuan, tentunya ibu harus tidak hanya memberikan pelajaran, namun pendidikan kasih sayang, penanaman afeksi, unsur penting bagi rasa nyaman dan aman bagi anak, karena merasa dicintai. Bagaimana mungkin ibu dapat menanam benih cinta pada anak apabila dia sendiri mengalami kekerasan dalam rumah tangga.***