Bekerja dari dini hari hingga lewat tengah malam, pernah menjadi keseharian saya. Lazimnya orang melakukan pekerjaan demi hasil berupa uang & materi, mungkin saja jadi salah satu dugaan orang-orang terhadap ritme hidup demikian.
Sebagiannya tidak saya pungkiri. Namun sebagian besarnya harus saya katakan: bukan itu.
Penghasilan berupa gaji tetap karena pekerjaan tetap sebagai pegawai, sesungguhnya cukup. Rumus ini bukan untuk saya saja, tapi baiknya kita semua bisa menata pemasukan dari hasil kerja agar cukup untuk kehidupan. Pasti cukup. Hanya pengelolaan & sedikit pengendalian diri, segalanya bisa diatur.
Satu keyakinan yang sangat tepat untuk mendasarinya yakni bahwa Sang Maha Kuasa pasti memelihara hidup ciptaanNYA dengan sangat baik. Kelimpahan sudah diberikan.
Jadi apa yang lain? Yang "bukan itu"?
Pukul 05:00 subuh saya sudah menyusuri perjalanan menuju tempat kerja waktu itu. Bukan Jakarta, bukan ibukota namanya, jika kita tidak bergegas sejak 3 jam sebelum waktu kerja dimulai. Jarak & kemacetan sudah biasa menjadi alasan, bukan?
Sepulang kerja, karena hari masih siang (pukul 16:00 tergolong masih siang), perjalanan menuju tempat mengajar yang terletak di provinsi tetangga, saya jalani.
Berbagi ilmu & keterampilan pada anak-anak muda di college, adalah aktivitas yang memuaskan mental. Memberikan yang belum diketahui, hingga akhirnya mereka menjadi terampil, tidak hanya dapat dihargai dengan uang atau bentuk materi apapun. Makna itu berharga dalam mengisi laci-laci kehidupan.
Hingga saat tiba kembali di rumah pukul 23:00, belum ada kantuk yang mampu mengajak tubuh beristirahat.
Maka malam pun menjadi sahabat yang setia dengan berbagai suasananya. Masih ada kendaraan lalu-lalang yang berderum di luar pagar hunian. Ada pula kodok-kodok, jangkrik, burung malam & suara sayup televisi yang sangat jarang kutonton.
Suasana malam tidak sesyahdu larik-larik puisi ataupun bahasa prosa dalam berbagai karya sastra. Namun ada misteri malam yang tak 'kan dapat digantikan oleh belahan hari lainnya. Sengatan bola api sangat berbeda dengan kehangatan lembut cahaya rembulan. Kadang ada bintang, kadang bulan hilang. Malam tetaplah malam.
Malam sahabat saya, atau saya sahabat malam. Tuts papan ketik komputer menjadi saksi persahabatan ini. Aliran kata-kata, rangkuman tulisan dalam judul & materi ajar, lahir dari persahabatan saya dengan malam. Beberapa (alih-alih sebagian besar) diantaranya sanggup diteruskan sampai ke meja editor suratkabar, ataupun tabloid. Sebagian lagi menanti cuap-cuap saya di dalam kelas. Sebagian yang lain cukup menjadi penghuni folder-folder bisu dalam 'my document'.
Hambatan-hambatan bermunculan. Misalnya, ketika sebuah novel dengan kerangka yang sudah terbangun, hanya bisa berbicara hingga introduksi. Ia tidak selesai, bahkan hingga kini tetap menghuni folder bisu yang mulai agak 'leled' dibuka. Saya tidak menganggapnya usang, sebab konsep itu terbangun dalam suasana malam sahabat saya menemani pikiran & perasaan saya. Saat ini hanya bermasalah pada 'kata sandi'. Sumpah, saya lupa kata sandi file-file itu. Omaigot!
Setidaknya, ada masa dimana malam telah memberikan inspirasi-inspirasi berharga bagi kehidupan saya. Tentang pikiran, ide-ide, nilai-nilai, perasaan, hubungan antar manusia. Tentang cinta, cemburu, rasa duka, rasa suka. Semua itu patut dikenang sebagai suatu proses pemaknaan hidup saya.
Itu tadi yang saya bilang bukan sekadar materi, sebab tak dapat dibandingkan dengan makna hidup yang memahat pengalaman-pengalaman insani; dalam hubungan dengan Pencipta (vertikal) & hubungan dengan sesama (horisontal).
Saya kini merindukan sahabat saya itu, sang malam. Tidak hanya teman insomnia karena terpaksa, tapi hubungan yang hangat & produktif. Kembali menjadi pena bagi buku kehidupan saya.
Selamat datang sahabat malam.
PondeBek - 5 Agustus 2012
•••
®egards,
Rinny Soegiyoharto
«
«