Apa Menurutmu?
Perkosaan adalah suatu paksaan; hubungan seks (baca: aktivitas-aktivitas seksual) yang tidak diinginkan. Perkosaan juga disebut kekerasan seksual, bahkan kejahatan, yang dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan berbagai usia, dari anak-anak hingga orang dewasa/orang yang sudah tua.
Sesungguhnya, perkosaan merupakan bentuk kekuasaan, bukan seksual semata.
Pelaku memanfaatkan kekuatan atau kekerasaan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu, untuk mengendalikan hidup orang lain. Bahkan sebagian pelaku menyalah-gunakan obat-obatan dengan tujuan melemahkan korban agar tidak dapat melawannya. Pelaku perkosaan pada anak-anak memiliki peluang yang besar dalam menguasai korbannya, karena anak-anak tak dapat/ belum mampu melawannya.
Perkosaan adalah TINDAK KRIMINAL, baik itu dilakukan oleh orang asing, pasangan/pacar/kekasih, maupun anggota keluarga sendiri.
Tidak peduli bagaimana hal itu terjadi, perkosaan adalah peristiwa yang menakutkan dan sangat traumatik bagi korban(korban)nya.
Korban perkosaan membutuhkan perhatian, perasaan nyaman dan jalan keluar bagi penyembuhan dan pemulihan (psikis)nya. Bahkan berlalunya waktu yang panjang dengan penanganan intensif sekalipun bukan jaminan trauma perkosaan dapat terpulihkan tanpa sisa.
Apa Menurutmu?
Jika kamu tidak pernah mengalami kekerasan dalam bentuk yang paling ringan, apakah kamu mampu berempati pada perasaan korban?
Mungkin saja bisa, jika kamu membiarkan perasaanmu mengalami resonansi kesakitan dan kepedihan mendalam dari luka-luka mental korban.
Dengan demikian, kamu tidak akan berbicara sembarangan, tidak adu mulut seenaknya, tidak diskusi adu teori, tidak memposting kata-kata yang tampaknya indah dan seolah-olah sangat spiritual/agamis kendati di dalam hati kamu tengah bersyukur teramat sangat karena peristiwa itu bukan menimpamu dan keluargamu.
Hal teramat baik yang bisa kamu lakukan adalah mendengarkan dan mengamati dengan seksama terlebih dahulu.
Jika kamu tidak mampu berempati dengan baik, percayalah, kata-katamu hanya menambah kesakitan dan menggoreskan trauma demi trauma baru, pada korban dan penyintas-penyintas. Karena kamu tidak pernah tahu, meski korban yang kebetulan sedang diberitakan tidak mendengarkan langsung celotehan-celotehanmu, tapi ada penyintas-penyintas di sekelilingmu yang sedang ikut mendengarkan berbagai opini. Penyintas-penyintas yang seperti tengah diputarkan ulang rekaman penggalan kisah hidupnya yang sudah di-peti-es-kan.
Mereka diam? Sebagian besar lebih banyak diam (dalam geram).
Apa Menurutmu?
Perasaan korban adalah marah, takut, sedih, jijik, dan rasa bersalah.
Mungkin katamu, bentuk-bentuk perasaan itu bukankah hal yang biasa dalam dinamika kehidupan manusia pada umumnya?
Benar! Orang memang biasa merasakan amarah, sedih, takut, jijik dan rasa bersalah.
Seperti halnya biasa saja ketika kita memecahkan satu gelas beling yang relatif murah.
Tapi bagaimana jika yang pecah itu jambangan terbuat dari kristal yang sangat mahal? Masihkah dianggap biasa saja?
Marah itu adalah kemarahan. Sedih itu adalah kepedihan. Takut itu adalah ketakutan. Jijik itu adalah rasa muak. Rasa-rasa itu berlangsung dalam waktu yang tak singkat. Perasaan-perasaan yang sangat kuat itu dapat semakin kuat dan berputar-putar menjadi dendam, tidak percaya diri, tidak percaya orang lain, sulit beradaptasi, dan sebagainya, bahkan dapat menjadi gangguan-gangguan.
Rasa bersalah dalam diri korban tak cukup hanya dengan rayuan agar ia menghilangkan rasa itu sebab kesalahan ada pada pelaku.
Kamu pikir korban dan penyintas tidak pernah berpikir: "Ah, andai saja waktu itu aku tidak pergi ke sana..!"
Atau, "Coba waktu itu aku memakai celana panjang dan bukan rok seperti itu..!"
Lalu sekonyong-konyong kamu dengan lantang mengatakan bahwa perempuan (manusia) harusnya mengenakan pakaian yang begini dan begitu, bukan seperti yang dikenakan korban dan teman-temannya.
Bahkan dengan bangga kamu menyitir ayat-ayat kitab suci dan kata-kata berhawa religi yang terdengar menghibur, lalu menghimbau. Padahal kata-kata itu justru mendiskreditkan korban (yang berpotensi menjadi pelaku jika tidak mendapatkan penanganan tepat, atau mengalami ulang hal-hal yang pernah dialaminya).
Untuk apa kamu mengatakan itu semua?
Apa menurutmu?
Tingkatkan kepekaan, kepedulian dan empati. Jika belum dapat memberikan bantuan secara langsung, tidak apa-apa. Tapi setidaknya berempatilah. Jaga bicara kita.
(Jangan hanya) sibuk dan ramai bicara!
Bagaimana menurutmu?
Salam,
#RinnySoegiyoharto
Powered by Telkomsel BlackBerry®