(catatan seorang anak bangsa, anggota masyarakat yang mencintai negerinya)
Saya memang bukan penduduk Ibukota negeri ini, dengan demikian saya tidak tergolong 'voter' pada PILKADA DKI Jakarta, 2012 silam.
Akan tetapi saya mendukung pencalonan seorang putera bangsa yang dengan berani dan yakin, datang melintasi provinsi untuk berlaga sebagai salah satu kandidat orang nomor 1 di Ibukota NKRI ini. Konsekuensinya, saya menaruh banyak harapan terhadap yang bersangkutan, pada mulanya.
Tentu saja saya memiliki alasan mengapa turut mendukung sang kandidat yang akhirnya memenangi pertarungan tersebut.
Antara lain, karena dua tahun sebelumnya saya pernah duduk manis dan berdecak mendengarkan paparan walikota Solo mengenai keberhasilannya menata daerahnya. Hingga ketertiban, kenyamanan dan keindahan kota terwujud cantik, tanpa menimbulkan gerakan-gerakan anarki kelompok masyarakat yang menolak.
Prestasi, menurut saya ketika itu. Dan ternyata memang hanya itu.
Sayang sekali, saya lupa sesuatu, bahwa sang putera bangsa masih memiliki tanggung jawab besar pada sisa masa jabatannya, yang ditinggalkan demi berlaga di Ibukota.
Kemudian saya berpikir, jangan hal itu mempengaruhi kepercayaan dan harapan saya terhadapnya.
Meski bukan penduduk DKI, namun aktivitas saya 90% berlangsung di Ibukota, hanya tempat tinggal saja di daerah perbatasan yang sudah masuk wilayah Jawa Barat. Saya rindu perjalanan beraktivitas yang lebih lancar tanpa terlalu banyak kemacetan. Lebih-lebih ketika musim banjir tiba dan sebagian wilayah Ibukota terendam air hingga tak dapat dilalui, bahkan banyak penduduk yang jadi korban.
Saya juga rindu penertiban dan peningkatan keamanan di Ibukota. Semrawutnya lalu-lintas, tingkat kejahatan yang tinggi, dan sebagainya, banyak disumbang oleh ketidak-teraturan, menurut saya. Maka prestasi sang putera bangsa tersebut di kotanya di Jawa Tengah saya harapkan dapat menjadi sebuah 'milestone' pengodean level kompetensi untuk menjadi dasar prediksi kinerjanya di Ibukota.
Diperkuat janji-janjinya untuk "membereskan" sebagian besar masalah Ibukota dengan segera.
Termasuk janjinya yang kerap disampaikan melalui berbagai media bahwa ia akan bertanggung jawab menyelesaikan masa jabatan 5 tahun dengan hasil yang baik dan menyejahterakan masyarakat.
Bagi saya, janji-janji itu hebat. Berani berkomitmen, tegas menyampaikan kepada masyarakat melalui corong media. Orang-orang tentu berharap, menyambut gembira, mendukung antusias, mencatat janji-janji itu, juga menilai.
Belum setengah tahun, saya sudah sering mengernyit. Mendorong saya berpikir menganalisis. Sampai-sampai benak saya penuh tanda tanya: apa sebenarnya yang dicari sang 'beliau' ini? Apa sebenarnya yang ingin diraihnya? Dengan siapakah ia bekerja? Apakah tindakan-tindakannya sungguh pelayanan?
Konsep saya, pemimpin adalah pelayan. Pemimpin itu melayani, bukan dilayani.
Maka saya tidak paham ketika di layar kaca, sang putera bangsa ini mulai terlihat 'show'. Ia mendatangi wilayah banjir, menumpang kereta yang didorong banyak orang, dilindungi dan dikawal, diliput seluruh media.
Ketika pewawancara menanyakan aksi-aksinya ke depan, ia berbicara manis, namun menyalahkan pihak lain, mendiskreditkan pendahulu-pendahulunya.
Saya perhatikan, ia sangat jarang memberikan jawaban langsung, lebih sering tertawa-tawa bahkan menyunggingkan senyuman yang terkesan 'meremehkan'. Ia menganggap semuanya mudah bagi dia dan dipersulit orang lain. Ia mengatakan yang dilakukannya adalah bentuk perhatian langsung kepada masyarakat, kenyataannya yang dituai adalah popularitas dari peran panggung yang membingungkan (menurut saya).
Saya bandingkan dengan sang wakil yang tanpa memberitakan diri, ia menangani masalah-masalah lapangan dan administrasi. Saya periksa beberapa media sosial, sang wakil justru lebih banyak menceritakan atasannya dan kondisi masyarakat. Sementara sang putera bangsa dari Jawa Tengah malah mendaftar hal-hal heroik diri sendiri.
Janggal.
Kebaikan dan prestasi seseorang dinilai oleh orang lain karena merasakan dampak dari kebaikan tersebut. Bukan oleh dirinya sendiri.
Hal yang paling mengejutkan adalah ketika ia mendeklarasikan diri bersedia menjadi calon presiden dari partainya. Seolah-olah ia tidak menginginkan, tapi atas desakan pimpinan dan jajaran pengurus.
Oh!
Saya tidak percaya.
Bukankah ia belum dua tahun bersumpah-jabatan sebagai kepala daerah, yang disesaki ribuan janji, juga komitmen menyelesaikan masa jabatan?
Saya tidak percaya.
Orang, apalagi pemimpin, apalagi berpendidikan tinggi, tidak mungkin membuat keputusan begitu saja tanpa dirinya sendiri memiliki ambisi pribadi.
Saya tidak percaya.
Ia tidak selugu itu. Ia tidak se 'ndeso' itu. Seorang yang lulus bangku sekolah tinggi, mampu mandiri, pengusaha yang meraup keuntungan dari usahanya, memiliki pengalaman berdagang, memiliki pengalaman memimpin daerah, tidak mungkin se'ndeso' itu.
Penampilan itu citra. Bertujuan menarik simpati dan dukungan dari rasa iba dan 'keluguan' rakyat. Dan citra 'ndeso' itu berhasil.
Ia bertahta di Ibukota karena citra itu. Lalu kemudian, dan akhirnya memenangkan partai pengusung pada pemilihan umum legislatif 2014.
Maafkan saya, Mas-mas-nya...
Saya yakin anda punya banyak kebaikan yang asli. Pakailah itu. Jangan berbalut rombengan tunawisma di luar jubah kekaisaran dan ambisi anda. Itu namanya 'ngenyek', menghina masyarakat.
Maafkan saya, Mas-mas-nya...
Menurut saya, anda justru kurang rendah hati menyikapi berbagai situasi. Turun ke jalan dan ke selokan, itu bisa dilakukan siapa saja. Itu bukan sikap rendah hati.
Jika anda mau mengakui kelebihan dan kemampuan orang lain, itu baru rendah hati. Dan banyak lagi.
Maafkan saya, Mas-mas-nya...
Saya sudah berhenti mendukung anda sejak bulan pertama anda menjadi kepala daerah Ibukota. Saya makin gelisah lagi ketika bertemu anda di suatu tempat penuh pengungsi, dan anda tak sedikit pun melakukan apa-apa. Bahkan permintaan tolong kami tak anda gubris.
Maafkan saya, Mas-mas-nya...
Kita memang satu almamater. Tapi saya tidak mendukung anda pada pemilihan presiden Indonesia 2014.
Saya memilih pilihan saya bukan karena saya tidak mau pilih anda. Tapi saya berpikir dengan logika dan intuisi, pilihan saya dapat diwakili oleh gambar yang saya lekatkan di tulisan ini.
Sekian.
#Catatan
Dari 1600-an teman FB saya, hanya satu atau dua saja yang mendiskreditkan anda, Mas-mas-nya, sebaliknya kampanye hitam menjelek-jelekan pilihan saya itu banyaaaaakkkk sekali. Bahkan saya sendiri ditegur beberapa sahabat karena memilih pilihan saya, bukan anda.
#RinnySoegiyoharto [NNC®]
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!