Tuesday, February 4, 2014

#208 - Soe Tjen Marching: Chopin & Pemberontakannya.

**Konsisten dengan gaya penulisannya yang asertif, informatif dan tentunya inspiratif. Tidak semata-mata kolom feature. Saya menggemari tulisan-tulisan Soe Tjen Marching, sejak pertama kali saya temukan di kolom opini Harian Kompas bertahun-tahun lampau; terlepas dari setuju atau tidak setuju pada persepsi olahan kognitifnya.
Tulisan yang ini saya rekatkan di blog, sekelebatan menatap pemberontakan Chopin dan George di muka cermin. Sekaligus ungkapan salam dan kagum kepada sang penulis, Soe Tjen Marching. ~ RinnySoegiyoharto**
_________________________________
Soe Tjen Marching:
Chopin & Pemberontakannya.
(Versi yang lebih singkat dimuat
di Koran Tempo, 3 Febuari 2014)
_________________________________
 
Chopin, yang kelahirannya diperingati dengan gegap gempita setiap bulan Febuari, bukanlah komponis yang suka sorak sorai publik. Lahir di Polandia lalu pindah ke Paris, ia lebih memilih memberi konser di rumah pribadi beberapa teman, atau gedung-gedung kecil yang terkesan lebih intim daripada di sebuah hall yang megah dan besar.  Lalu, mendapat uang untuk kehidupannya dari mengajar. 

Memang, komponis Romantisme ditandai dengan memberontaknya mereka menjadi "peliharaan" para bangsawan.  Beethoven yang dianggap  sebagai komponis yang mengawali Romantisme, tidak lagi tergantung kepada sedekah para bangsawan atau raja-raja.  Dia mencari nafkah dengan mengajar dan mengadakan konser.   

Keberanian akan perbedaan dan keunikan, telah membuat para komponis ini menciptakan karya-karya yang mengagumkan.  Bunyi memang sesuatu yang abstrak, namun tak pernah terpisahkan dari ide (dan seringkali, kenekatan atau kegilaan) sang seniman.  Pemberontakan Beethoven tercermin dalam musiknya yang sering digambarkan dengan kata "emosional, personal dan menggebu-gebu".

Tidak semua perbedaan dan keunikan bisa diterima begitu saja.  Frederic Chopin yang dipuja hampir seantero jagad saat ini, sempat menghadapi terpaan kritik yang mengecam permainannya "terlalu lemah" dan kurang gairah.  Karena beberapa dari para kritik ini masih terpaku pada standard musik Beethoven yang seperti badai, mereka sempat memandang negatif Chopin.  Namun Franz Liszt, seorang komponis andal yang kemudian menjadi sahabat (sekaligus saingan) Chopin, menulis di majalah Gazette Musicale yang diterbitkan padatanggal 2 Mei 1841: "Chopin tidak memainkan concerto, sonata atau fantasy; melainkan prelude, nocturne dan mazurka. Ia menyajikan musiknya seperti seorang pujangga dan pemimpi kepada orang di sekelilingnya, bukan kepada publik. . .   Ia menawarkan simpati yang lembut, bukan antusiasme yang ribut. . .  Dari denting pertama, telah hadir komunikasi yang intim antara dia dan pendengarnya."      

Di tangan Chopin, yang lebih banyak mengarang untuk piano daripada instrumen lainnya, alat ini menjadi seolah bernyanyi. Berbeda dengan mereka yang memperlakukan piano sebagai alat yang dipukul(terkadang mirip perkusi). Chopin juga gemar mencantumkan tempo Rubato (arti literalnya, tempo yang dicuri) yang memberi kebebasan bagi pemain untukmenentukan kecepatan dan juga artikulasi nada-nada yang tertulis.  Dan ini juga sempat mengejutkan beberapa musisi yang biasa dengan tempo yang serba tepat.  Kebebasan seperti Rubato ini bisa diartikan sebagai seenaknya sendiri oleh beberapa orang. Namun, bagi pianis yang andal, justru kebebasan adalah tanggung jawab untuk memilih, dan ini bisa menjadi beban yang cukup besar. Karena tanggung jawab seperti ini membutuhkan ketepatan dan kepekaan yang luar biasa.

Reputasi Chopin sebagai pianis dan komponis semakin menanjak di Perancis, namun kesehatannya juga bertambah turun.  Saat itu, ia bertemu dengan penulis George Sand (seorang perempuan yang dilahirkan dengan nama Armandine Aurore Dupin).  George gemar memakai baju lelaki dan menghisap pipa tembakau – kebiasaan yang dianggap tidak lazim bagi perempuan dan seringkali dicela oleh masyarakat waktu itu. Ketika bertemu Chopin, ia telah bercerai dengan dua anak dari perkawinan sebelumnya. 

Berbeda dengan Chopin yang lembut dan sempat digambarkan sebagai pria yang bertangan lentik dan gemulai, George adalah perempuan yang maskulin. Baik disadari maupun tidak, hubungan mereka adalah bentuk pemberontakan terhadap dualisme gender.  Lelaki tidak harus selalu maskulin dan perempuan feminin.  Sebaliknya, Chopin terkadang bisa dianggap lebih feminin daripada George Sand yang kemudian juga menopangnya secara finansial saat kesehatan Chopin bertambah buruk.
George dan Chopin tidak pernah menikah (sekali lagi, bentuk pemberontakan mereka terhadap tuntutan standard).  Dan karena hubungan ini pula, keduanya sempat diasingkan ketika tinggal di Majorca – Spanyol. 

Namun, pemberontakan Chopin inilah yang ada di balik nada-nada yang sekarang dialunkan dan dikagumi berbagai pianis di Indonesia dan seluruh dunia; dan ironisnya menjadi konservatisme tersendiri bagi banyak pianis yang mengalunkannya di gedung-gedung megah. 

#RinnySoegiyoharto

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Posts Archive


PEREMPUAN = SRIKANDI ?

Kenapa PEREMPUAN PEJUANG sering disebut SRIKANDI.
APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?
Kutelusuri WIKIPEDIA, kutemukan entri SRIKANDI ini

Srikandi (Sanskerta: Śikhaṇḍī) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata vrsi India.
Arti nama
Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".
Srikandi dalam Mahabharata
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Perang di Kurukshetra
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Srikandi dalam Pewayangan Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

JADI, APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?

*********

PEREMPUAN DAN PENDIDIKAN
Rinny Soegiyoharto (catatan tak selesai pada april 2006)

Ragam aktivitas ke-Kartini-an sebagai simbol emansipasi kaum perempuan seperti sebuah rutinitas lebih bergaung pada bulan April mendekati hari keduapuluhsatu. Ditandai aneka lomba dan berbagai atribut keperempuanan yang adakalanya malah tampak sekadar wujud lahiriah dan kasat mata. Sebut saja lomba berkebaya, lomba masak, lomba pasang dasi, lomba merias wajah, dan sebagainya.

*** *** *** *** ***

-DRAFT--Wanita. Meski berpadan dengan perempuan, namun kata dasar “empu” pada perempuan terasa lebih nyaman dan membanggakan, oleh sebab itu saya suka menggunakan kata “perempuan”, termasuk dalam menamai blog saya.-
Perempuan, sadar soal pentingnya pendidikan terhadap anak-anak, karena di "dalam" perempuan terdapat beban psikologis memperjuangkan dirinya sendiri, terus-menerus. Utamanya dalam hal pendidikan (sudah diterobos Kartini). Guru TK-SD bahkan SMP kebanyakan perempuan. Bapak-bapak lebih banyak muncul dan berperan pada tingkat pendidikan lanjutan atas (SMA), dimana pendidikan dasar telah ditanamkan lebih dahulu oleh ibu-ibu guru. Mengapa? Sekali lagi karena perempuan secara lahiriah dan kodrati justru memikul tanggung jawab pendidikan itu sendiri yang dimulai pada dirinya sendiri. Maka, bapak-bapak guru lebih kepada transfer of knowledge, ketimbang hal-hal mendasar yang lebih berhubungan dengan pembangunan karakter, penanaman proses belajar dan pengertian-pengertian dasar untuk dan selama manusia menempuh proses pendidikan.- Pendidikan: mencakup attitude/sikap, yakni kognitif, afektif dan perilaku. Pengembangan kepribadian, pembiasaan good character, kesadaran dan tanggung jawab akan masa depan pribadi/diri sendiri yang mempengaruhi masa depan keluarga dan kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara, dll.- Bukan diskriminasi yang mengarah pada gerakan feminisme.- Perbedaan sesuatu yang dirayakan bersama sebagai unsur2 yg saling bersinergi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan bersama: orangtua, pendidik, bangsa dan negara.- Berkaitan erat dengan UU Anti-KDRT. Jika perempuan terus ditindas, bahkan di dalam rumah tangganya sendiri, bagaimana mungkin perempuan dapat bertugas/ berkiprah/ bertindak optimal untuk mendidik anak-anak, baik anak sendiri maupun anak-anak didik apabila ia seorang guru? Kendati lagi, waktu terus merambah, persaingan global semakin cepat dan menantang, anak tidak berhenti tumbuh dan berkembang, suatu waktu akan tiba ketika anak mulai lebih banyak mencurahkan porsi proses pendidikannya pada pemenuhan kognitif, belajar ilmu2 tinggi, yg bisa jadi sebagian besar diberikan oleh laki-laki, bapak2 yg menitikberatkan pada perkembangan kognitif.- Perempuan & laki2 lebih kepada pembagian peran, baik dalam pendidikan di dalam rumah tangga, maupun pendidikan secara luas, formal & informal. Karena baik dari segi struktur fisiologis dan psikologis serta kultural dan sejarah di dalam masyarakat kita, telah membentuk sebuah perbedaan laki2 dan perempuan, yang harus kita rayakan bersama-sama membentuk manusia-manusia berkualitas dlm diri anak2 kita sebagai proses pendidikan menuju masa depan cerah mengikuti kecerahan janji bangsa ini. Amin.-

Pendidikan dimulai dari rumah. Peran ibu sebagai objek kelekatan anak yang pertama terhadap proses pendidikan anak tentulah tidak kecil. Sebagai perempuan, tentunya ibu harus tidak hanya memberikan pelajaran, namun pendidikan kasih sayang, penanaman afeksi, unsur penting bagi rasa nyaman dan aman bagi anak, karena merasa dicintai. Bagaimana mungkin ibu dapat menanam benih cinta pada anak apabila dia sendiri mengalami kekerasan dalam rumah tangga.***