by Rinny Soegiyoharto @RinnyLaPrincesa
Saat ini kutipan "segala sesuatu indah pada waktunya" menjadi marak dan dipakai umum. Mewujud sebagai suatu frasa motivasi bagi banyak orang, sebab ada janji dan harapan dalam kalimat tersebut, yang (setidaknya) memberikan makna sabar, menerima, ikhlas, damai dan sukacita.
Sejak perjalanan panjang katekisasi selama dua tahun (1985-1987), hingga peneguhan sidi pada 1987, kutipan dari Pengkhotbah 3:11 tersebut saya golongkan sebagai favorit. Bahkan kemudian saya kutip sebagai motto di karya tugas akhir Psikologi saya, digandengkan dengan ayat pertamanya.
Selengkapnya saya kutip ulang sebagai berikut:
"1) Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.
11) IA membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir."
(Pengkhotbah 3 : 1, 11)
Dalam Alkitab, ayat-ayat tersebut terangkum pada perikop yang oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) diberi judul: Untuk segala sesuatu ada waktunya (Pengkhotbah 3:1-15).
Saya suka kutipan tersebut dengan beberapa alasan subjektif. Dapat saya ungkapkan di sini,
Pertama,
Tentu saja mengantarkan "rasa tenteram", bahwa kesulitan tak 'kan selamanya bertahan dalam hidup, sebab kesenangan dan kemudahan akan menggantikannya. Bahwa akan ada pelangi sehabis hujan; ada sukacita menggantikan dukacita; ada bahagia setelah masa kemuraman.
Kedua,
Saya sebagai manusia tidak bertanggung jawab sendirian terhadap segala hal yang terjadi dalam kehidupan saya. Karena ada janji yang disampaikan mengenai "segala sesuatu ada waktunya". Berarti sudah ada Yang Mengatur, & itu bukan saya. Jadi karena saya hanya manusia, tidak mungkin saya yang mengatur waktu-waktu untuk segala sesuatu, maka tanggung jawab itu dipikul oleh Yang Mengatur.
Ketiga,
Bahkan lebih ditegaskan lagi, "manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir", yang berarti saya sebagai manusia punya tempat untuk menyandarkan diri (alih-alih berharap & bisa menyalahkan pihak lain). Sebab sebagai hanya manusia, saya tidak punya pengertian yang tinggi untuk memahami proses rencana Allah, bahkan dari awal sampai akhir.
Keempat,
Ketika saya mendekati momen yang memberikan rasa senang, rasa puas, bahagia, lega, sukacita, itu semua merupakan bagian dari rencana Allah. Sudah hak saya untuk menerima dan mengalaminya, juga hak saya untuk menanti-nanti masa itu sebagaimana telah dijanjikan.
Masih ada beberapa alasan lain yang bunyinya mirip-mirip dengan keempat hal tersebut.
Lihat! Saya (tidak menyebut Anda, silakan direnungkan sendiri) sebagai manusia ternyata diliputi ide-ide pementingan diri, bukan?
Dalam psikologi, gejala tersebut dibahaskan manusia sangat cenderung mendekati, mencari, berjuang, menggapai, meraih, bahkan merebut, apa yang disebut "pleasure".
Manusia suka pada hal-hal yang berasosiasi dengan kesenangan, perasaan-perasaan 'enak', situasi-situasi menguntungkan bagi dirinya. Itu pula sebabnya 'berpikir positif' sebagai jembatan meraih berbagai kesenangan hidup menjadi favorit semua orang, meskipun kebanyakan sebatas jargon, kata motivasi belaka.
Lalu saya tanya pada diri saya, apakah pada saat saya sedang merasa gembira (dalam ukuran duniawi) pernahkah saya ingin kondisi itu berubah? Mana ada orang yang mau? Padahal kalau merujuk pada janji dalam kutipan tersebut di awal tulisan ini, "indah pada waktunya" itu tidak menjabarkan atau tidak mengejawantahkan atau tidak diasosiasikan dengan kondisi nyaman, bahagia, senang, dan sebagainya.
Indah, itu kata yang baik, yang berkonotasi positif, yang seakan-akan selalu memuat kisah menyenangkan dari suatu situasi.
Coba sekarang saya mau berpikir yang agak 'nyeleneh' dari pemahaman arus utama mengenai 'indah'. Misalnya, 'indah' saya ganti dengan kata 'sesuai'. Jadi kalimat pendek kutipan tersebut menjadi: "segala sesuatu sesuai pada waktunya".
Hhhhmmmm... Kutipan tersebut berubah makna. Rasanya penekanan pada janji & harapan jadi agak berkurang. Mungkin malah tidak menarik lagi untuk sering dikutip.
Padahal tidak! Sesungguhnya kalau kita...eh saya mau memahami secara mendalam seluruh isi perikop tempat kutipan itu dicuplik, memang tidak ada janji-janji surga tentang rasa senang, bahagia, untung, menang, apalagi eforia. Jelas yang dikatakan bahwa segala sesuatu sudah diatur seturut dengan waktu dan masanya. Tidak lebih dan tidak kurang! Segala sesuatu ada waktunya, ada masanya, ada musimnya.
Apapun situasi dan kondisinya, segala sesuatu sudah pada masa yang sesuai, yang tepat, yang tidak salah.
Faktor-faktor apa saja yang kita masing-masing hadapi dalam suatu waktu, suatu masa, suatu musim, itu semua sudah pas.
Bahkan ketika kita harus berjuang keras untuk memperoleh situasi damai, aman, tenteram, sejahtera, itu juga pas.
Dan semua itu pun pasti berlalu! Karena segala sesuatu indah (tepat) pada waktunya.
Masa ketika saya berada dalam musim-musim diskusi yang merangsang 'analytical thinking' saya dahulu, mungkin masih bisa bermusim lagi, ketika faktor-faktor yang membangunnya tersedia, sesuai, tepat, dan ada. Meski saya inginkan hal itu ada saat ini, tapi yang tepat dan pas untuk terjadi sekarang pasti tak 'kan persis seperti dahulu.
Yang dahulu sudah berlalu, yang sekarang sedang berlangsung, yang akan datang belum terbayang.
Demikianlah. "Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya." Dan ini pun akan berlalu. And this too will pass.
Apakah yang tidak akan berlalu? Kasih yang 'agape'! Jika aku dan kau memiliki serta memeliharanya di dalam kehidupan kita.
Dunia ini akan lenyap, namun KASIH tinggal tetap. Tuhan memberkati.
Rinny Soegiyoharto
19 September 2012
*aku menulis maka aku ada*
•••
®egards,
Rinny Soegiyoharto
«
«