Wednesday, September 19, 2012

#153 - Ada Masa Ada Musim

by Rinny Soegiyoharto @RinnyLaPrincesa

Saat ini kutipan "segala sesuatu indah pada waktunya" menjadi marak dan dipakai umum. Mewujud sebagai suatu frasa motivasi bagi banyak orang, sebab ada janji dan harapan dalam kalimat tersebut, yang (setidaknya) memberikan makna sabar, menerima, ikhlas, damai dan sukacita.
Sejak perjalanan panjang katekisasi selama dua tahun (1985-1987), hingga peneguhan sidi pada 1987, kutipan dari Pengkhotbah 3:11 tersebut saya golongkan sebagai favorit. Bahkan kemudian saya kutip sebagai motto di karya tugas akhir Psikologi saya, digandengkan dengan ayat pertamanya.

Selengkapnya saya kutip ulang sebagai berikut:
"1) Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.
11) IA membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir."
(Pengkhotbah 3 : 1, 11)
Dalam Alkitab, ayat-ayat tersebut terangkum pada perikop yang oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) diberi judul: Untuk segala sesuatu ada waktunya (Pengkhotbah 3:1-15).

Saya suka kutipan tersebut dengan beberapa alasan subjektif. Dapat saya ungkapkan di sini,
Pertama,
Tentu saja mengantarkan "rasa tenteram", bahwa kesulitan tak 'kan selamanya bertahan dalam hidup, sebab kesenangan dan kemudahan akan menggantikannya. Bahwa akan ada pelangi sehabis hujan; ada sukacita menggantikan dukacita; ada bahagia setelah masa kemuraman.

Kedua,
Saya sebagai manusia tidak bertanggung jawab sendirian terhadap segala hal yang terjadi dalam kehidupan saya. Karena ada janji yang disampaikan mengenai "segala sesuatu ada waktunya". Berarti sudah ada Yang Mengatur, & itu bukan saya. Jadi karena saya hanya manusia, tidak mungkin saya yang mengatur waktu-waktu untuk segala sesuatu, maka tanggung jawab itu dipikul oleh Yang Mengatur.

Ketiga,
Bahkan lebih ditegaskan lagi, "manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir", yang berarti saya sebagai manusia punya tempat untuk menyandarkan diri (alih-alih berharap & bisa menyalahkan pihak lain). Sebab sebagai hanya manusia, saya tidak punya pengertian yang tinggi untuk memahami proses rencana Allah, bahkan dari awal sampai akhir.

Keempat,
Ketika saya mendekati momen yang memberikan rasa senang, rasa puas, bahagia, lega, sukacita, itu semua merupakan bagian dari rencana Allah. Sudah hak saya untuk menerima dan mengalaminya, juga hak saya untuk menanti-nanti masa itu sebagaimana telah dijanjikan.

Masih ada beberapa alasan lain yang bunyinya mirip-mirip dengan keempat hal tersebut.
Lihat! Saya (tidak menyebut Anda, silakan direnungkan sendiri) sebagai manusia ternyata diliputi ide-ide pementingan diri, bukan?
Dalam psikologi, gejala tersebut dibahaskan manusia sangat cenderung mendekati, mencari, berjuang, menggapai, meraih, bahkan merebut, apa yang disebut "pleasure".
Manusia suka pada hal-hal yang berasosiasi dengan kesenangan, perasaan-perasaan 'enak', situasi-situasi menguntungkan bagi dirinya. Itu pula sebabnya 'berpikir positif' sebagai jembatan meraih berbagai kesenangan hidup menjadi favorit semua orang, meskipun kebanyakan sebatas jargon, kata motivasi belaka.

Lalu saya tanya pada diri saya, apakah pada saat saya sedang merasa gembira (dalam ukuran duniawi) pernahkah saya ingin kondisi itu berubah? Mana ada orang yang mau? Padahal kalau merujuk pada janji dalam kutipan tersebut di awal tulisan ini, "indah pada waktunya" itu tidak menjabarkan atau tidak mengejawantahkan atau tidak diasosiasikan dengan kondisi nyaman, bahagia, senang, dan sebagainya.

Indah, itu kata yang baik, yang berkonotasi positif, yang seakan-akan selalu memuat kisah menyenangkan dari suatu situasi.
Coba sekarang saya mau berpikir yang agak 'nyeleneh' dari pemahaman arus utama mengenai 'indah'. Misalnya, 'indah' saya ganti dengan kata 'sesuai'. Jadi kalimat pendek kutipan tersebut menjadi: "segala sesuatu sesuai pada waktunya".
Hhhhmmmm... Kutipan tersebut berubah makna. Rasanya penekanan pada janji & harapan jadi agak berkurang. Mungkin malah tidak menarik lagi untuk sering dikutip.

Padahal tidak! Sesungguhnya kalau kita...eh saya mau memahami secara mendalam seluruh isi perikop tempat kutipan itu dicuplik, memang tidak ada janji-janji surga tentang rasa senang, bahagia, untung, menang, apalagi eforia. Jelas yang dikatakan bahwa segala sesuatu sudah diatur seturut dengan waktu dan masanya. Tidak lebih dan tidak kurang! Segala sesuatu ada waktunya, ada masanya, ada musimnya.
Apapun situasi dan kondisinya, segala sesuatu sudah pada masa yang sesuai, yang tepat, yang tidak salah.
Faktor-faktor apa saja yang kita masing-masing hadapi dalam suatu waktu, suatu masa, suatu musim, itu semua sudah pas.
Bahkan ketika kita harus berjuang keras untuk memperoleh situasi damai, aman, tenteram, sejahtera, itu juga pas.

Dan semua itu pun pasti berlalu! Karena segala sesuatu indah (tepat) pada waktunya.
Masa ketika saya berada dalam musim-musim diskusi yang merangsang 'analytical thinking' saya dahulu, mungkin masih bisa bermusim lagi, ketika faktor-faktor yang membangunnya tersedia, sesuai, tepat, dan ada. Meski saya inginkan hal itu ada saat ini, tapi yang tepat dan pas untuk terjadi sekarang pasti tak 'kan persis seperti dahulu.
Yang dahulu sudah berlalu, yang sekarang sedang berlangsung, yang akan datang belum terbayang.

Demikianlah. "Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya." Dan ini pun akan berlalu. And this too will pass.

Apakah yang tidak akan berlalu? Kasih yang 'agape'! Jika aku dan kau memiliki serta memeliharanya di dalam kehidupan kita.
Dunia ini akan lenyap, namun KASIH tinggal tetap. Tuhan memberkati.

Rinny Soegiyoharto
19 September 2012
*aku menulis maka aku ada*
•••
®egards,
Rinny Soegiyoharto
«
«

No comments:

Posts Archive


PEREMPUAN = SRIKANDI ?

Kenapa PEREMPUAN PEJUANG sering disebut SRIKANDI.
APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?
Kutelusuri WIKIPEDIA, kutemukan entri SRIKANDI ini

Srikandi (Sanskerta: Śikhaṇḍī) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata vrsi India.
Arti nama
Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".
Srikandi dalam Mahabharata
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Perang di Kurukshetra
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Srikandi dalam Pewayangan Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

JADI, APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?

*********

PEREMPUAN DAN PENDIDIKAN
Rinny Soegiyoharto (catatan tak selesai pada april 2006)

Ragam aktivitas ke-Kartini-an sebagai simbol emansipasi kaum perempuan seperti sebuah rutinitas lebih bergaung pada bulan April mendekati hari keduapuluhsatu. Ditandai aneka lomba dan berbagai atribut keperempuanan yang adakalanya malah tampak sekadar wujud lahiriah dan kasat mata. Sebut saja lomba berkebaya, lomba masak, lomba pasang dasi, lomba merias wajah, dan sebagainya.

*** *** *** *** ***

-DRAFT--Wanita. Meski berpadan dengan perempuan, namun kata dasar “empu” pada perempuan terasa lebih nyaman dan membanggakan, oleh sebab itu saya suka menggunakan kata “perempuan”, termasuk dalam menamai blog saya.-
Perempuan, sadar soal pentingnya pendidikan terhadap anak-anak, karena di "dalam" perempuan terdapat beban psikologis memperjuangkan dirinya sendiri, terus-menerus. Utamanya dalam hal pendidikan (sudah diterobos Kartini). Guru TK-SD bahkan SMP kebanyakan perempuan. Bapak-bapak lebih banyak muncul dan berperan pada tingkat pendidikan lanjutan atas (SMA), dimana pendidikan dasar telah ditanamkan lebih dahulu oleh ibu-ibu guru. Mengapa? Sekali lagi karena perempuan secara lahiriah dan kodrati justru memikul tanggung jawab pendidikan itu sendiri yang dimulai pada dirinya sendiri. Maka, bapak-bapak guru lebih kepada transfer of knowledge, ketimbang hal-hal mendasar yang lebih berhubungan dengan pembangunan karakter, penanaman proses belajar dan pengertian-pengertian dasar untuk dan selama manusia menempuh proses pendidikan.- Pendidikan: mencakup attitude/sikap, yakni kognitif, afektif dan perilaku. Pengembangan kepribadian, pembiasaan good character, kesadaran dan tanggung jawab akan masa depan pribadi/diri sendiri yang mempengaruhi masa depan keluarga dan kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara, dll.- Bukan diskriminasi yang mengarah pada gerakan feminisme.- Perbedaan sesuatu yang dirayakan bersama sebagai unsur2 yg saling bersinergi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan bersama: orangtua, pendidik, bangsa dan negara.- Berkaitan erat dengan UU Anti-KDRT. Jika perempuan terus ditindas, bahkan di dalam rumah tangganya sendiri, bagaimana mungkin perempuan dapat bertugas/ berkiprah/ bertindak optimal untuk mendidik anak-anak, baik anak sendiri maupun anak-anak didik apabila ia seorang guru? Kendati lagi, waktu terus merambah, persaingan global semakin cepat dan menantang, anak tidak berhenti tumbuh dan berkembang, suatu waktu akan tiba ketika anak mulai lebih banyak mencurahkan porsi proses pendidikannya pada pemenuhan kognitif, belajar ilmu2 tinggi, yg bisa jadi sebagian besar diberikan oleh laki-laki, bapak2 yg menitikberatkan pada perkembangan kognitif.- Perempuan & laki2 lebih kepada pembagian peran, baik dalam pendidikan di dalam rumah tangga, maupun pendidikan secara luas, formal & informal. Karena baik dari segi struktur fisiologis dan psikologis serta kultural dan sejarah di dalam masyarakat kita, telah membentuk sebuah perbedaan laki2 dan perempuan, yang harus kita rayakan bersama-sama membentuk manusia-manusia berkualitas dlm diri anak2 kita sebagai proses pendidikan menuju masa depan cerah mengikuti kecerahan janji bangsa ini. Amin.-

Pendidikan dimulai dari rumah. Peran ibu sebagai objek kelekatan anak yang pertama terhadap proses pendidikan anak tentulah tidak kecil. Sebagai perempuan, tentunya ibu harus tidak hanya memberikan pelajaran, namun pendidikan kasih sayang, penanaman afeksi, unsur penting bagi rasa nyaman dan aman bagi anak, karena merasa dicintai. Bagaimana mungkin ibu dapat menanam benih cinta pada anak apabila dia sendiri mengalami kekerasan dalam rumah tangga.***