Definisi 'romantika' menurut situs ArtiKata.com yakni "liku-liku atau seluk-beluk yang mengandung sedih dan gembira: itulah -- hidup".
Kemungkinan besar situs ini mengutip makna ROMANTIKA yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi online, karena uraiannya sama persis, yakni:
"romantika/ro·man·ti·ka/ (a) liku-liku atau seluk-beluk yang mengandung sedih dan gembira: itulah -- hidup" (KBBI online).
"That's life" kata orang Amerika.
"C'est la vie" kata orang Prancis.
"Itulah hidup" yang senantiasa penuh liku-liku, yang tidak pernah lepas dari gelombang pasang dan surut.
"The only constant in life is change," kata salah satu sahabat saya di tim 'penguatan' kami, Roy Tindage. Dan saya setuju bahwa yang relatif tetap dalam kehidupan ini adalah perubahan.
Perubahan menyertai gelombang-gelombang kehidupan. Adakalanya kita siap menghadapi, namun tak jarang kita masih terperanjat ketika dihadang gelombang yang datang tiba-tiba.
Sebetulnya manusia cenderung menghindari terpaan gelombang yang menyakitkan. Itu salah satu sifat manusia yang lebih suka mendekati suasana menyenangkan bagi hatinya, dan menghindari risiko yang menyebabkan rasa tidak nyaman, tidak enak, tidak menyenangkan. (Approach & avoidance theory).
Sementara itu sifat egosentrisme manusia tanpa disadari menggiring intensinya kepada "yang penting diri sendiri senang, raup sebesar-besarnya keuntungan bagi diri dan kelompoknya, tak peduli orang lain untung atau rugi". Bahkan seloroh yang sebenarnya pengakuan tanpa sadar secara gamblang terang-terangan mengatakan "manusia itu senang lihat orang susah, susah lihat orang senang" (dulu pernah ada iklan menggunakan tagline ini). Padahal jika direnungkan dalam-dalam, kata-kata itu sungguh mengerikan.
Implikasinya terhadap kehidupan sosial masyarakat jadi seperti rimba tanpa sisi kemanusiaan. Setiap orang seolah-olah harus mempertahankan hidup tanpa perlu mempertimbangkan apakah usaha-usaha bertahan tersebut merugikan orang lain atau tidak.
Well, jadi ingin 'belajar ke dalam' (intrapersonal), misalnya mulai dari asal-usul dengan filosofi kehidupan yang dibawa turun-temurun. Wajiblah saya melestarikannya, terutama nilai-nilai luhur yang menyentuh sisi kemanusiaan dan peradaban.
Dalam setengah aliran darah saya, mengalir aroma suku Minahasa, yang secara demografi diam dan berkembang(-biak) di ujung utara pulau Sulawesi. Yakni dari subsuku Tonsea yang dititiskan oleh almarhumah ibu saya dan leluhur kami. Tidak banyak informasi yang saya miliki hingga saat ini. Sayangnya ketika ibu saya dulu menuturkan silsilah dan kebudayaan leluhur, saya belum sempat mencatatnya dengan baik. Sekadar saya ingat-ingat saja.
Salah satu situs yang dikelola Hardy Saerang, saya temukan bahwa:
Orang Minahasa merupakan percampuran dari bangsa Mongol, Spanyol, Portugis, dan Belanda yang diketahui keturunan Yahudi, namun lebih dipengaruhi oleh Kristen. Sebenarnya asli Suku Minahasa dari Mongol yang terkenal dengan kehebatan perang, dan Yahudi (dibawa Belanda) yang terkenal dengan kecerdasannya. Ketika itu Belanda sebagai Yahudi yang masuk ke Indonesia hanya mendirikan 1 tempat ibadah di Indonesia (Sinagog di Tondano).
Minahasa (secara umum Manado)dalam prosesnya sangat berbeda dengan ciri orang Indonesia pada umumnya.
Suku Minahasa terbagi atas sembilan subsuku:
Babontehu
Bantik
Pasan Ratahan (Tounpakewa)
Ponosakan
Tonsea
Tontemboan
Toulour
Tonsawang
Tombulu
Nama Minahasa mengandung suatu kesepakatan mulia dari para leluhur melalui musyarawarah dengan ikrar bahwa segenap tou (orang) Minahasa dan keturunannya akan selalu 'seia sekata' dalam semangat budaya 'mapalus' (gotong-royong) dengan pepatah "Sitou Timou Tumou Tou" (makna: pada hakikatnya manusia hidup adalah menghidupi sesama manusia lainnya). Dengan kata lain orang Minahasa akan tetap bersatu (maesa) dimanapun ia berada dengan dilandasi sifat 'maesa-esaan' (saling bersatu, seia sekata), 'maleo-leosan' (saling mengasihi dan menyayangi), 'magenang-genangan' (saling mengingat), 'malinga-lingaan' (saling mendengar), 'masawang-sawangan' (saling menolong) dan 'matombo-tomboloan' (saling menopang).
Inilah landasan satu kesatuan orang Minahasa yang kesemuanya bersumber dari nilai-nilai tradisi budaya asli Minahasa (Richard Leirissa, Manusia Minahasa, 1995).
Jadi walaupun orang Minahasa ada di mana saja pada akhirnya akan kembali dan bersatu, waktu itu akan terjadi pada akhir zaman, yang tidak seorangpun tahu kapan datangnya. Seperti Opo Karema (sosok Dewi yang telah menemani Lumimuut dan Toar -dipercaya sebagai asalnya leluhur orang Minahasa-)
Mengamanatkan: "Keturunan kalian akan hidup terpisah oleh gunung dan hutan rimba. Namun, akan tetap ada kemauan untuk bersatu dan berjaya."
Saya mencetak tebal filosofi kehidupan manusia dari leluhur ibu saya yang menitis di dalam darah saya, pada ungkapan-ungkapan di atas.
Saya ulangi lagi di bagian ini:
•'mapalus' (gotong-royong)
•pepatah "Sitou Timou Tumou Tou" (pada hakikatnya manusia hidup adalah menghidupi sesama manusia lainnya).
•'maesa-esaan' (saling bersatu, seia sekata),
•'maleo-leosan' (saling mengasihi dan menyayangi),
•'magenang-genangan' (saling mengingat),
•'malinga-lingaan' (saling mendengar),
•'masawang-sawangan' (saling menolong), dan
•'matombo-tomboloan' (saling menopang).
Ungkapan-ungkapan yang merindingkan jiwa, betapa setiap manusia itu sungguh berharga dan saling terhubung satu sama lain melalui interpersonal yang tinggi.
Maka romantika kehidupan ini semestinya dilalui dengan memancarkan dan melaksanakan nilai-nilai luhur tersebut.
Semoga saya tetap dikuatkan melestarikannya.
Tabea.
.
http://RinnySoegiyoharto.com/
.