Friday, April 25, 2014

#210 - (Jangan Hanya) Sibuk Dan Ramai Bicara Seputar Kejahatan Seksual

Aku menulis,

Apa Menurutmu?

Perkosaan adalah suatu paksaan; hubungan seks (baca: aktivitas-aktivitas seksual) yang tidak diinginkan. Perkosaan juga disebut kekerasan seksual, bahkan kejahatan, yang dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan berbagai usia, dari anak-anak hingga orang dewasa/orang yang sudah tua.
Sesungguhnya, perkosaan merupakan bentuk kekuasaan, bukan seksual semata.

Pelaku memanfaatkan kekuatan atau kekerasaan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu, untuk mengendalikan hidup orang lain. Bahkan sebagian pelaku menyalah-gunakan obat-obatan dengan tujuan melemahkan korban agar tidak dapat melawannya. Pelaku perkosaan pada anak-anak memiliki peluang yang besar dalam menguasai korbannya, karena anak-anak tak dapat/ belum mampu melawannya.

Perkosaan adalah TINDAK KRIMINAL, baik itu dilakukan oleh orang asing, pasangan/pacar/kekasih, maupun anggota keluarga sendiri.
Tidak peduli bagaimana hal itu terjadi, perkosaan adalah peristiwa yang menakutkan dan sangat traumatik bagi korban(korban)nya.
Korban perkosaan membutuhkan perhatian, perasaan nyaman dan jalan keluar bagi penyembuhan dan pemulihan (psikis)nya. Bahkan berlalunya waktu yang panjang dengan penanganan intensif sekalipun bukan jaminan trauma perkosaan dapat terpulihkan tanpa sisa.

Apa Menurutmu?

Jika kamu tidak pernah mengalami kekerasan dalam bentuk yang paling ringan, apakah kamu mampu berempati pada perasaan korban?
Mungkin saja bisa, jika kamu membiarkan perasaanmu mengalami resonansi kesakitan dan kepedihan mendalam dari luka-luka mental korban.
Dengan demikian, kamu tidak akan berbicara sembarangan, tidak adu mulut seenaknya, tidak diskusi adu teori, tidak memposting kata-kata yang tampaknya indah dan seolah-olah sangat spiritual/agamis kendati di dalam hati kamu tengah bersyukur teramat sangat karena peristiwa itu bukan menimpamu dan keluargamu.
Hal teramat baik yang bisa kamu lakukan adalah mendengarkan dan mengamati dengan seksama terlebih dahulu.

Jika kamu tidak mampu berempati dengan baik, percayalah, kata-katamu hanya menambah kesakitan dan menggoreskan trauma demi trauma baru, pada korban dan penyintas-penyintas. Karena kamu tidak pernah tahu, meski korban yang kebetulan sedang diberitakan tidak mendengarkan langsung celotehan-celotehanmu, tapi ada penyintas-penyintas di sekelilingmu yang sedang ikut mendengarkan berbagai opini. Penyintas-penyintas yang seperti tengah diputarkan ulang rekaman penggalan kisah hidupnya yang sudah di-peti-es-kan.
Mereka diam? Sebagian besar lebih banyak diam (dalam geram).

Apa Menurutmu?

Perasaan korban adalah marah, takut, sedih, jijik, dan rasa bersalah.
Mungkin katamu, bentuk-bentuk perasaan itu bukankah hal yang biasa dalam dinamika kehidupan manusia pada umumnya?
Benar! Orang memang biasa merasakan amarah, sedih, takut, jijik dan rasa bersalah.
Seperti halnya biasa saja ketika kita memecahkan satu gelas beling yang relatif murah.
Tapi bagaimana jika yang pecah itu jambangan terbuat dari kristal yang sangat mahal? Masihkah dianggap biasa saja?
Marah itu adalah kemarahan. Sedih itu adalah kepedihan. Takut itu adalah ketakutan. Jijik itu adalah rasa muak. Rasa-rasa itu berlangsung dalam waktu yang tak singkat. Perasaan-perasaan yang sangat kuat itu dapat semakin kuat dan berputar-putar menjadi dendam, tidak percaya diri, tidak percaya orang lain, sulit beradaptasi, dan sebagainya, bahkan dapat menjadi gangguan-gangguan.

Rasa bersalah dalam diri korban tak cukup hanya dengan rayuan agar ia menghilangkan rasa itu sebab kesalahan ada pada pelaku.
Kamu pikir korban dan penyintas tidak pernah berpikir: "Ah, andai saja waktu itu aku tidak pergi ke sana..!"
Atau, "Coba waktu itu aku memakai celana panjang dan bukan rok seperti itu..!"
Lalu sekonyong-konyong kamu dengan lantang mengatakan bahwa perempuan (manusia) harusnya mengenakan pakaian yang begini dan begitu, bukan seperti yang dikenakan korban dan teman-temannya.
Bahkan dengan bangga kamu menyitir ayat-ayat kitab suci dan kata-kata berhawa religi yang terdengar menghibur, lalu menghimbau. Padahal kata-kata itu justru mendiskreditkan korban (yang berpotensi menjadi pelaku jika tidak mendapatkan penanganan tepat, atau mengalami ulang hal-hal yang pernah dialaminya).
Untuk apa kamu mengatakan itu semua?

Apa menurutmu?

Tingkatkan kepekaan, kepedulian dan empati. Jika belum dapat memberikan bantuan secara langsung, tidak apa-apa. Tapi setidaknya berempatilah. Jaga bicara kita.
(Jangan hanya) sibuk dan ramai bicara!

Bagaimana menurutmu?

Salam,

#RinnySoegiyoharto

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Wednesday, April 23, 2014

#209 - Senja Datang Lebih Cepat

Selasa, 22 April 2014.
Ditulis tanpa konsep.
Penulisnya masih sama seperti yang lalu lalu: aku.

Hari ini hari Bumi,
Kemarin hari Kartini,
Kemarinnya lagi hari raya Paskah,
Dua hari sebelumnya hari Jumat Agung,

Catatan catatanku kini lebih banyak kumuat di media sosial. Tidak ada alasan khusus, aku hanya merasa jadi terdakwa yang didakwa oleh sang kala. Kewalahan menangani 25 satuan waktu yang ada untuk merambah akun akun maya dan akun akun nyata. Sementara 25 satuan waktu yang lain telah diberangus perjalanan berlingkar lingkar dan ingar bingar rasa yang tak jarang tampak bertele tele penuh tedeng aling aling.

Ada masa ketika aku berlangganan jarum jarum ramping dan jemari shinse perempuan keturunan Tiong Hoa. Jarum jarum yang merasuki kulit daging urat.
Juga masa ketika sungut sungut pekerja madu terlepas di dalam dagingku. Pekerja pekerja itu mati setelah menyengatku. Entahlah, apakah aku harus berduka atau bersuka.
Berlanjut masa tangan tangan perempuan Sunda berkostum kodratnya namun mengaku androgini kelaki lakian, yang memelintir sekujur urat urat arisan di bawah lapisan kulit dagingku.

Dalam ruang dan waktu, lorong lorong berkoloni. Bagi ruang dan waktuku selalu ada sembari, senyampang, seiring, sekonyong konyong ini itu berkelindan. Dan seterusnya.
Pembuluh pembuluh bergiliran menampakkan diri ke permukaan. Mereka merambah semua bilik, bahkan sebagian tak mau turun lagi dari peraduannya. Ketegangan menyergap di singgasana singgasana mereka.

Bagaikan hidangan soto yang hanya menyisakan ampas kulit limau, botol kecap kosong, cawan sambal hanya berteman biji biji cabai, mangkuk berlemak, serta kulit ayam berbulu (yang terakhir ini tak pernah masuk ke mulutku hampir sepanjang usiaku semenjak aku paham tentang makna makan dan makanan).

Pagi berlalu siang menjelang. Senja tak berdaya menahan diri. Ia datang lebih cepat. Secepat pagi dan siang meninggalkan ruangan.
Aku suka jingga, berpadu dengan hijau dan biru, berhias gradasi semua warna yang terlihat dari dan di bumi.
Tapi tak cocok jingga berpagut dengan senja yang datang lebih cepat.

Pejalan kaki pejalan kaki menepi satu satu, menaiki undakan rumah nyaman masing-masing. Mereka pergi semakin jauh, bahkan remah remah roti di perjalanan tiada bersisa.

Senja datang lebih cepat.
Bahkan lebih cepat dari menguapnya jingga.

/MKJ-22-04-14/

#RinnySoegiyoharto

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Posts Archive


PEREMPUAN = SRIKANDI ?

Kenapa PEREMPUAN PEJUANG sering disebut SRIKANDI.
APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?
Kutelusuri WIKIPEDIA, kutemukan entri SRIKANDI ini

Srikandi (Sanskerta: Śikhaṇḍī) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata vrsi India.
Arti nama
Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".
Srikandi dalam Mahabharata
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Perang di Kurukshetra
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Srikandi dalam Pewayangan Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

JADI, APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?

*********

PEREMPUAN DAN PENDIDIKAN
Rinny Soegiyoharto (catatan tak selesai pada april 2006)

Ragam aktivitas ke-Kartini-an sebagai simbol emansipasi kaum perempuan seperti sebuah rutinitas lebih bergaung pada bulan April mendekati hari keduapuluhsatu. Ditandai aneka lomba dan berbagai atribut keperempuanan yang adakalanya malah tampak sekadar wujud lahiriah dan kasat mata. Sebut saja lomba berkebaya, lomba masak, lomba pasang dasi, lomba merias wajah, dan sebagainya.

*** *** *** *** ***

-DRAFT--Wanita. Meski berpadan dengan perempuan, namun kata dasar “empu” pada perempuan terasa lebih nyaman dan membanggakan, oleh sebab itu saya suka menggunakan kata “perempuan”, termasuk dalam menamai blog saya.-
Perempuan, sadar soal pentingnya pendidikan terhadap anak-anak, karena di "dalam" perempuan terdapat beban psikologis memperjuangkan dirinya sendiri, terus-menerus. Utamanya dalam hal pendidikan (sudah diterobos Kartini). Guru TK-SD bahkan SMP kebanyakan perempuan. Bapak-bapak lebih banyak muncul dan berperan pada tingkat pendidikan lanjutan atas (SMA), dimana pendidikan dasar telah ditanamkan lebih dahulu oleh ibu-ibu guru. Mengapa? Sekali lagi karena perempuan secara lahiriah dan kodrati justru memikul tanggung jawab pendidikan itu sendiri yang dimulai pada dirinya sendiri. Maka, bapak-bapak guru lebih kepada transfer of knowledge, ketimbang hal-hal mendasar yang lebih berhubungan dengan pembangunan karakter, penanaman proses belajar dan pengertian-pengertian dasar untuk dan selama manusia menempuh proses pendidikan.- Pendidikan: mencakup attitude/sikap, yakni kognitif, afektif dan perilaku. Pengembangan kepribadian, pembiasaan good character, kesadaran dan tanggung jawab akan masa depan pribadi/diri sendiri yang mempengaruhi masa depan keluarga dan kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara, dll.- Bukan diskriminasi yang mengarah pada gerakan feminisme.- Perbedaan sesuatu yang dirayakan bersama sebagai unsur2 yg saling bersinergi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan bersama: orangtua, pendidik, bangsa dan negara.- Berkaitan erat dengan UU Anti-KDRT. Jika perempuan terus ditindas, bahkan di dalam rumah tangganya sendiri, bagaimana mungkin perempuan dapat bertugas/ berkiprah/ bertindak optimal untuk mendidik anak-anak, baik anak sendiri maupun anak-anak didik apabila ia seorang guru? Kendati lagi, waktu terus merambah, persaingan global semakin cepat dan menantang, anak tidak berhenti tumbuh dan berkembang, suatu waktu akan tiba ketika anak mulai lebih banyak mencurahkan porsi proses pendidikannya pada pemenuhan kognitif, belajar ilmu2 tinggi, yg bisa jadi sebagian besar diberikan oleh laki-laki, bapak2 yg menitikberatkan pada perkembangan kognitif.- Perempuan & laki2 lebih kepada pembagian peran, baik dalam pendidikan di dalam rumah tangga, maupun pendidikan secara luas, formal & informal. Karena baik dari segi struktur fisiologis dan psikologis serta kultural dan sejarah di dalam masyarakat kita, telah membentuk sebuah perbedaan laki2 dan perempuan, yang harus kita rayakan bersama-sama membentuk manusia-manusia berkualitas dlm diri anak2 kita sebagai proses pendidikan menuju masa depan cerah mengikuti kecerahan janji bangsa ini. Amin.-

Pendidikan dimulai dari rumah. Peran ibu sebagai objek kelekatan anak yang pertama terhadap proses pendidikan anak tentulah tidak kecil. Sebagai perempuan, tentunya ibu harus tidak hanya memberikan pelajaran, namun pendidikan kasih sayang, penanaman afeksi, unsur penting bagi rasa nyaman dan aman bagi anak, karena merasa dicintai. Bagaimana mungkin ibu dapat menanam benih cinta pada anak apabila dia sendiri mengalami kekerasan dalam rumah tangga.***