Thursday, April 30, 2009

Perempuan Berbisik 34: Women's Personality (Part#2)


Bagian pertama dari posting ini (bagian kedua mengalami sedikit perubahan subyek, dari tunggal menjadi jamak dan dengan tambahan makna 'dimiliki oleh') saya akhiri dengan perempuan yang berjuang di dunia laki-laki. Saya harap kata-kata tersebut tidak disalah-artikan sebagai sinisma terhadap laki-laki, atau pernyataan ketidak-sukaan. Keliru jika demikian. Karena saya tetap suka laki-laki, apalagi jika sudah 'ditiup melalui telinga' (beh beh beh... jangan tanya maknanya, karena saya pasti sulit menjawab. Klik! Telepon diletakkan.)

Mula-mula saya ingin membuka referensi kitab (yang dianggap) suci, yakni alkitab pegangan saya (di dalamnya ada perjanjian lama dan perjanjian baru/injil). Tapi sebelumnya mohon maaf, saya tidak (mau) menganggap alkitab itu suci, sebab itu semata-mata hanya kitab, namun isinya, naaahhh isinya saya yakini sebagai penuntun kebenaran cinta dan firman Allah, yang telah teruji di dalam ruang dan waktu, dan akan terus teruji hingga akhir zaman.

Dalam kitab Kejadian, dikisahkan Allah menciptakan manusia dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup kepadanya. Manusia itu adalah Adam (laki-laki), manusia pertama penghuni bumi dan penguasa seluruh isinya. Setelah melihat bahwa tidak baik manusia itu sendiri saja, barulah kemudian diciptakanNYA manusia kedua, Hawa (perempuan), sebagai penolong bagi manusia pertama yang telah lebih dahulu memberi warna bagi kehidupan di dunia. Apakah sejak awal dunia telah lebih dahulu diwarnai oleh laki-laki sebagaimana Adam adalah penghuni pertamanya?

Kisah selanjutnya pun Hawa adalah satu-satunya perempuan dalam keluarga itu setelah kedua anak mereka yang terlahir lebih kemudian adalah juga laki-laki. Daripada mempertanyakan penciptaanNYA yang lainnya, lebih baik saya fokuskan saja, bahwa Hawa sebagai perempuan di antara tiga laki-laki dalam keluarganya, tentu berjuang 'sendirian' bersama berkembangnya kepribadian khas miliknya. Sebagai perempuan, ia dikatakan sebagai ibu semua yang hidup. Jelas, peran ibu tentunya melekat pada perempuan dan memiliki tugas-tugas rumah tangga yang luar biasa beragam.

Atas dosa-dosa manusia di Firdaus (Eden), kepada Hawa (represantasi perempuan, masih dalam alkitab) difirmankanNYA, "Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi ('horny' tentu maksudnya) kepada suamimu dan ia (sang suami, laki-laki) akan berkuasa atasmu." Bukti, betapa laki-laki telah dimeteraikan menguasai perempuan. Hal ini juga mengandung makna bahwa perempuan, selain hidup dalam dunia laki-laki, juga dikuasai oleh laki-laki.

Kadang-kadang saya mempertanyakan, jika sejak mula-mula manusia perempuan sudah ditakdirkan berada dalam 'kekuasaan' manusia laki-laki, masihkah bermakna perjuangan perempuan untuk mendapatkan kesetaraan yang sesungguhnya? Ataukah makna kesetaraan sendiri dalam setiap perjuangan kaum perempuan pada dasarnya tidak sama? Tergantung -dan kembali- pada kepentingan golongan kecil yang diusungnya? Daripada mempertanyakan hal itu, sekarang lebih baik saya menyelami pembentukan kepribadian perempuan akibat sejarah penciptaan dan pada gilirannya juga perkembangan perempuan dalam dunia laki-laki ini.

Bukan menyerah (give up), hal ini lebih pada berserah (surrender), menerima dengan ikhlas segala sesuatu yang telah terjadi dan dijadikan. Artinya, perempuan memang berkembang dan berjuang, sekaligus bertugas sebagai penolong bagi laki-laki di dalam dunia laki-laki. Kata-kata kunci yang dapat saya 'tag' pada bagian posting ini adalah: laki-laki menguasai perempuan (artinya dunia dikuasai laki-laki), banyak kesusahan dialami perempuan (artinya perempuan harus berjuang selama hidupnya, dan hal ini membentuk ciri kepribadian khas pada perempuan yang membuatnya KUAT), perempuan memiliki berahi (nafsu seksual) terhadap laki-laki.

Perempuan-perempuan yang terus berjuang, nyatanya tetap kembali kepada ikhwal kodratinya. Berwarna dan mewarnai dunia. Apa jadinya dunia tanpa perempuan dengan kepribadiannya yang kuat? (to be continued)...

RS @ own blog http://perempuan-bernama-rinny.blogspot.com/
__________________________________________________________

Monday, April 27, 2009

Perempuan Berbisik 33: Woman Personality (Part#1)


"Kamu seorang feminist?"
Akhirnya seseorang menanyakan hal itu pada saya. Alih-alih menjawab, saya malah bertanya balik,
"Kenapa memangnya?"
Tentu saja sambil mengumpulkan ingatan-ingatan, mencoba pahami perspektif penanya, memformulasikan kalimat untuk jawaban-jawaban antisipatif sekiranya muncul pertanyaan-pertanyaan berikut. Kemudian saya putuskan kembali saja pada titik nol, yakni saya dan adanya saya.

Sebagaimana yang telah saya prediksikan, pertanyaan berikutnya mengalir dengan membawa tiga tanda tanya (???) lebih besar (mengingatkan pada simbol logo 'Pasukan Mau Tahu'nya Enid Mary Blyton, novel detektif remaja, bacaan saya di masa remaja duluuuu).
"Kenapa kamu sering sekali bicara soal perempuan, kamu juga (tampaknya) mengagumi perempuan, bahkan (tampaknya lagi) memuja perempuan?"

Well. Sebenarnya saya sendiri tidak paham benar soal istilah atau kelompok atau komunitas atau kaum yang disebut 'feminist'. Saya perlu belajar lagi lebih spesifik mengenai hal itu. Tadinya belum terpikir, namun karena pertanyaan memuat istilah itu sudah memasuki ruang kesadaran saya, maka kini saya rasa perlu mempelajarinya, nanti dan segera.

Kembali pada keputusan saya tadi, berdiri di koordinat 0;0, maka saya jelaskan sederhana di sini (tentu tidak sama persis dengan obrolan model verbal-lisan), saya ini perempuan, sejak lahir hingga saat ini. Itulah satu-satunya alasan saya sering berbicara tentang perempuan, artinya saya berbicara tentang diri saya sendiri. Pendapat subyektif saya soal perempuan: KUAT.

Kuat beroposisi dengan lemah, menurut saya. Akan tetapi keduanya bukan dikotomi, menurut saya lagi. Antara kuat dan lemah terdapat gradasi yang padat, namun tidak ada nuansa tengah, tidak ada setengah kuat setengah lemah. Seumpama pemaksaan Meyrs-Briggs (semoga ejaannya benar) dalam menentukan I atau E, misalnya, ambillah nilai yang terbesar andai persentasenya pun 51:49, maka itulah model kepribadianmu. Demikian yang saya maksud, meski seseorang 'hanya' kuat 51%, maka ia bolehlah tergolong kuat.

Sesuatu yang KUAT pada perempuan itu adalah kepribadiannya (personality), yang mengandung unsur-unsur karakter, sifat, sikap, intensi, perilaku. Golongan unsur-unsur itu hanya saya jemput-acak saja, mengingat telah begitu banyak daftar traits yang berkembang hingga saat ini, mulai dari kembangan Personality Plus, hingga kuis-kuis kepribadian dan deskripsi sifat yang banjir dan makin banjir. Artinya, maju betul ilmu tentang manusia ini, banyak betul orang berminat menjadi psikolog atau melakukan praktik-praktik psikologi, maka banjir juga fakultas Psikologi dimana-mana.

Jadi, apakah pada dasarnya kepribadian perempuan atau bukan perempuan, sama saja? Apakah kepribadian itu faktor bawaan (biological forces) atau karena belajar, pengalaman hidup dan pengaruh lingkungan? Jawabannya, kedua-duanya. Dan karena dari sononya telah terbedakan perempuan dan laki-laki, tentu saja faktor bawaan ini berpengaruh besar pada berkembangnya kepribadian perempuan.

Entah kenapa dunia berkembang sebagai dunia laki-laki. Saya cari-cari, bahkan tak ada rasanya seorang nabi perempuan. Ketika seorang perempuan menikah dengan laki-laki, maka ia (harus) 'mengikuti' suaminya. Beberapa di dalam diriya tertanggalkan, bahkan juga namanya yang dibawa sejak lahir (Nama belakang saya adalah nama ayah saya, laki-laki, supaya tidak berganti-ganti saja ;-)). Kendati semua manusia keluar dari rahim seorang perempuan (saya belum bisa percaya metode cloning bisa menggantikannya).

Demikianlah, sejak awal perempuan berjuang di dunia laki-laki, menurut saya... (to be continued)

RS for own blog, http://perempuan-bernama-rinny.blogspot.com/
_____________________________________________________________

Friday, April 24, 2009

Perempuan Berbisik 32: Telanjang (Naked)



Pada suatu hari, seorang perempuan yang tatapannya lebih sering menembus ke ruangan tak berhingga daripada 'berada' di sini dan kini, memutuskan untuk bicara.

"Saya tidak tahan terhadap godaan ini. Saya ingin telanjang," bisiknya lirih.
"Telanjang?" tanya saya, "telanjang seperti apa?"

Mula-mula ia tampak kebingungan memilih kata untuk menjelaskan maknanya. Sekelompok kata-kata bantuan pada akhirnya dapat mengaktifkan kalimat demi kalimat yang mengalir kemudian. Kata-kata bantuan itu hanyalah "lepaskan seluruh pakaian" tanpa awalan (me-, di-, ter-) pada kata kerjanya. Ini berarti, saya tidak mengarahkan pada sosok pelaku.

Perempuan ini adalah pelakunya. Ia ingin menelanjangi dirinya, melepaskan sendiri seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya, hingga tak tertinggal jenis tekstil apapun di sana. Benar-benar telanjang, 'naked' bahasa Jawanya. Saya tidak bertanya sebabnya, juga tidak menilai apapun terhadap tindakan khayalan itu. Saya bertanya sambil lalu saja (seolah-olah), "apa yang terjadi kemudian?"

Dalam keadaan telanjang ia ingin berdiri di depan cermin besar yang dapat memantulkan seluruh bayangan tubuhnya.
"Adakah cermin itu? Dimana?" tanya saya. Ia menggeleng. (Oooohhh, beli dong, canda saya dalam hati saja).
Dengan menatap tubuh sendiri dari pantulan cermin, ia merasakan gairah yang luar biasa, tanpa menyentuh segala sesuatunya. Gairah tersebut (sayang sekali) tidak berkaitan dengan hasrat seksual dan pernik-perniknya. Ia merasa seolah-olah berubah seperti orok dengan kelopak mata yang belum bisa terkuak.

***maaf, terpaksa disensor, cukup sampai di sini saja***

Apa pikir anda, tentang seseorang yang ingin telanjang? Apa perasaan anda membayangkan cerita tentang telanjang?

Suatu waktu saya pernah mendengarkan percakapan tentang seseorang yang risau pada mimpinya semalam. Dalam mimpi itu ia tampil telanjang di depan banyak orang, yang dikenalnya dan tidak dikenal. Lalu seseorang yang lain menjelaskan antusias, mimpi telanjang artinya: anda akan mengalami suatu peristiwa yang sangat memalukan. Bisa jadi dalam peristiwa itu anda dicemooh, atau pendapat anda diejek dan diserang oleh berbagai pihak, atau salah satu keluarga terdekat yang anda cintai melakukan perbuatan tercela yang sangat mempermalukan keluarga.

Tafsir mimpi itu masih terus berlanjut. Bahkan ada juga pendapat mengatakan bahwa mimpi telanjang bermakna positif, artinya anda akan memulai hidup baru yang lebih baik dan bermasa depan cerah. Telanjang berarti kembali kepada ihwal kodrati kelahiran manusia, keluar dari rahim ibu tanpa membawa kebendaan, bahkan suci dari dosa. Jika anda bermimpi telanjang, anda akan menjadi manusia baru yang terlepas dari kesulitan hidup masa sebelumnya.

Meski lingkup olahan Psikologi telah mengalami perkembangan yang pesat, ditandai berjamurnya ilmu-ilmu terapan, terapi-terapi modern, sempalan-sempalan pada setiap ranah atau konsentrasi studi (Psikologi Perkembangan, Klinis, Pendidikan, Industri, Sosial, dsb), praktik-praktik yang dilakukan oleh pelaku berlatar-belakang disiplin ilmu lain yang kian dahsyat membanjir, bahkan lahirnya mahzab baru. Akan tetapi saya masih menjunjung hormat kepada sang Tuan Psikoanalisa mula-mula, Sigmund Freud.

Bapak satu itu, pada masanya dahulu juga melakukan analisis mimpi klien/pasiennya. Mimpi membawa isi pikiran bawah sadar seseorang yang dapat dianalisis untuk memahami apa yang menjadi akar masalah kehidupan sehingga ia menjadi pasien. Demikian kira-kira singkat maknawinya. Jika ingin tahu lebih banyak lagi kita bisa membedah literatur Psikoanalisa tradisional, baik dari Freud sendiri, Jung dan yang lainnya.

Hubungannya dengan telanjang? Ingin telanjang, mimpi telanjang, atau telanjang beneran, tentu saja berbeda-beda substansinya. Panjang kali lebar kali tinggi untuk dibahas satu per satu. Bukankah lebih enak jika kita sadari saja, selama masih berwujud manusia, tak kan lepas raga dan jiwa ini menghadapi berbagai kemungkinan koslet pada lapisan tertentu. Daripada menyesali pergumulan, masalah, keruwetan, bahkan kejanggalan yang kita rasakan, lebih baik diterima saja dengan ikhlas dan berserah. Minta tolong pada orang lain sebagai hakikat manusia adalah makhluk sosial. Peace... Telanjang boleh banget kok... tapi.... ;-)

RS @ own Blog
______________

Tuesday, April 21, 2009

Perempuan Berbisik 31: Tolong... Ada Yang Tahu???

Terkait hari lahir Kartini, mengingatkan rasa penasaran saya yang hingga kini belum terjawab.
Sekitar 1973-1975, berkisar tahun-tahun itu pada musim Kartini-an di bulan April (entah yang mana dari kisaran tahun-tahun tersebut). Waktu itu saya masih sangat kecil, saya tinggal di kabupaten Poso Sulawesi Tengah, dan pada masa-masa tersebut saya kerap mengikuti lomba deklamasi ataupun pembacaan puisi.

Ada sebuah puisi yang hingga saat ini masih saya hafal, kendati puluhan tahun lewat sudah. Puisi yang dideklamasikan anak 5 atau 6 tahunan ini (waktu itu), yang dihayati mendalam hingga dapat membayangkan sosok Kartini sang tokoh sentral di puisi tersebut.

Masalah utamanya, saya sama sekali tidak ingat penulis ataupun pengarang puisi sederhana nan sarat makna itu.
Adakah yang tahu dan dapat membantu saya?
Ini dia penggalan syair BUNDA...

Liku-liku jalan joang,
penuh onak duri...
Bunda saingi sayang,
Gelap pekat cuaca,
Bunda terangi cita...

Rantai usang adat ketat,
Bunda urai, hikmat,
walau makan enerji,
tanggung jawab tersendiri...
Payah menyelubung hasrat,
niat kukuh menyengat,
'narik wanita dari lumpur,
buta ilmu,
ditindas takabur...

Kini...
Luas jalan terang...
bebas terbentang...
'tuk wanita segala lapisan,
'ngejar kemajuan.

Salam kasih, hormat dan takzim kepada Sang Pengarang yang belum juga kuketahui...
RS @ RS own blog "Whisper of Woman"
___________________________________

Monday, April 13, 2009

Perempuan Berbisik 30: Ide, Rapat, Eksekusi

Kepala gue mau meledak rasanya, bukan karena masalah-masalah yang emang dan pasti setiap hari ada aja, namanya juga orang hidup, di dunia fana lagi 'kan, ya ngga. Penuhnya otak gue tuh gara-gara ide, datang aja gitu, ngga dicari-cari. Kalau mau yang enak aja, bisa sih sebenernya. Mikirin aja tuh ide-ide, sebanyak-banyaknya, bayangin aja seolah-olah udah terjadi, selesai. Mimpi tinggal mimpi deh. Meski cara itu ngga salah juga merujuk teori transpersonal yang gue tau dikit-dikit. Bahwa imajinasi yang nyata diikuti teknik visualisasi terhadap hasil akhir dari suatu proses, lalu lupakan sudah, tinggal tunggu apa yang akan terjadi. Fine. Tapi gue belum merasa selesai untuk ide-ide yang banjir ini. Jadi cara itu belum sepenuhnya kena untuk saat ini. Fine juga lah.

Masalahnya sekarang, gue ngga bisa berhenti di wilayah ide yang berputar-putar ini aja. Apa mau dikata, gue maksa bikin rapat dengan kolega-kolega. Ngga perlu ngumpul, ngalor-ngidul, lagian kolega-kolega yang gue libatin dalam ide-ide ini saling ngga nyambung, hanya gue yang bisa menjahitnya jadi nyambung, karena ide-ide ini kan banjirnya di otak gue. Meski begitu, gue ngga sayang buat ngebagi-bagiin ide gue ke kolega-kolega, tentu yang gue pilih dari daftar terdekat, biar lebih gampang aja transferin ide-ide itu.

Berjalan deh rapat-rapat gue. Semua yang ada dalam daftar langsung gue undang ke rapat, meski masih banyak juga sih yang ingin gue masukin ke daftar anggota rapat, tapi entar aja, dipending buat tahap berikut. Rapat pertama, mulus. Kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Mulus. Ide gue udah terbagi-bagi ke semua, dan bisa dipahami. Gue dapat banyak masukan yang berarti dan berharga tentu dong. Jangan salah, rapat-rapat gue ngga mesti ngumpul kok, boros ongkos transport, kudapan, belum lagi musti dandan sebelum berangkat. Jadi cukup via media elektronik, wesewesewes... Praktis, ekonomis, banyak hasil. Terimakasih lho, Tuhan, karena dalam semuanya itu kan gue pasti ngundang Elu, ya kan God? Siiipp, jawaban Tuhan ramah banget... (meski ngga ramah pun ngga papa, karena Dia kan Tuhan Yang Maha Tahu yang paling baik, dan gue semata-mata berserah penuh pada kehendakNYA ajeee).

Akhirnya... the very important thing... eksekusinya dong. Ide banyak, rapat udah, kalo ngga dijalanin gimana bisa tuntas. Teori-teori action plan banyak banget boookk, mikirin teori malah bisa bikin teori baru pula nanti, jadi jalan pintasnya tailor made aja deh. Besok mulai dibedah, satu per satu, waktu tinggal diatur; gue mengikuti waktu dan waktu mengikuti gue, win-win kan. Target? Hhhmmm ide-ide gue yang sudah terbagi-bagi, sudah dirapatin, sudah dapat masukan untuk pengembangan, sudah ini, sudah itu pula, itulah target. Dan teori visualisasi boleh berlangsung deh sekarang, sambil membedah dan berjalan di rel yang tepat. Optimalisasi kekuatan pikiran, plus action yang selaras, tunggu dan lihat... apa yang terjadi?

RS__curhat di blog sendiri__
_______________________________

Sunday, April 12, 2009

Perempuan Berbisik 29: Geludug

Bahasa Indonesianya 'guruh', kan? Makanya ada kata bentukan 'gemuruh' dari kata dasar 'guruh' tadi itu, yang mendapat sisipan '-em'. Arti sederhananya, banyak guruh, sehingga terdengar mengg(-el)egar, bahkan mencekam apabila bunyi guruh yang riuh itu tidak jua berhenti. Kini disertai hujan, setelah tadi guruh bersahut-sahutan dari kejauhan, lalu makin mendekat.

Pada dasarnya saya tidak takut pada suara guruh atau 'geludug'. Sejak masih anak-anak pun saya tidak pernah punya pengalaman menangis, atau ketakutan lalu mencari perlindungan, juga tidak pernah bersembunyi di balik bantal dan selimut. Setiap kali mendengar bunyi guruh, saya akan menunggu. Itu selalu, terjadi sejak saya mengenal kata guruh, guntur, geludug, geledeg, petir, kilat, mungkin baru 3 tahun umur saya (hampir 40 tahun yang lalu).

Saya menunggu bunyi guruh berikutnya. Saya menghitung bunyi itu (yang kemudian saya bandingkan dengan jumlah hitungan sebelumnya, padahal bisa saja saya sudah lupa berapa bunyi guruh yang terhitung waktu itu). Tak lama hujan akan turun, apabila bunyi guruh sudah lebih dari 7 kali (demikian kesimpulan saya ketika masih anak-anak dulu). Saya senang jika guruh berbunyi, tandanya petir tidak akan datang. Jika petir menyambar sebelum guruh berbunyi, maka saya serta-merta membunyikan suara dengan mulut dan bibir saya. Caranya, mulut dimonyongkan, lalu menyedot (menghisap dengan mulut terkatup dan monyong) dengan kuat, maka akan terdengar bunyi seperti mengecup yang panjang. Ini resep dari para leluhur saya, diturunkan kepada ibu saya, tak disadarinya saya pelajari dari mengamati. Dulu alm Oma saya bilang, bunyi mulut kita itu bisa didengar oleh guntur (guruh). Dengan bergemanya suara guruh, maka petir akan berhenti menyambar. Sekarang saya senyum-senyum mengingat cerita ini. Anehnya, saya masih mempraktikkan teknik mulut monyong menyedot mengecup itu. He he he...

Saat ini saya sedang menunggu sampai waktu untuk mandi dan bersiap-siap tiba. Saya ingin berjaga-jaga saja sekarang, karena sebentar lagi saat matahari masih bersembunyi, belum cukup tua untuk mengintip di ufuk, saya harus sudah berkumpul. Saya deg-degan. Bukan karena hendak menyanyi dengan not-not yang tinggi. Saya bergetar, karena saya merasa seolah-olah masuk ke dalam putaran waktu, kembali ke abad pertama. Ketika batu itu terguling, kubur itu kosong.

Saat ini, guruh terhitung lebih dari 10 kali. Air hujan mengikuti jejak guruh, membasahi ranting-ranting dan dedaunan, rumput, atap, halaman, jalan, menyapu debu yang tadi begitu hebat mengepul dari berbagai sumbernya. Air hujan ini terasa sangat sejuk, namun saya tetap deg-degan, hati saya bergetar, tubuh saya gemetar. Guruh yang bergemuruh beberapa waktu berselang, membayangi sebuah citra, menghadirkan suasana saat gelap menyelimuti bumi, tabir Bait Allah terbelah dua. Guruh itu adalah suaraNYA, hati saya bergetar hebat mendengar suara itu, sekaligus tenteram.

Apalah saya tanpa kematian dan kebangkitanMU?
Saya tidak memuja agamaku, sama sekali tidak. Saya hanya memuja ENGKAU, ya Allah, ya Anak, ya Rohul Kudus.

Thursday, April 9, 2009

Perempuan Berbisik 28: Lembut Dan Tegas

Posting kali ini tidak ada hubungannya lagi dengan pemilu. Tadi pagi sudah mencontreng, sehari sebelumnya berjuang di kelurahan dan KPPS, siang hingga sore ini sesekali melirik quick count di tilipisi. Tinggallah optimis saja menyongsong hari esok, serta perlu koreksi dan evaluasi terhadap kerja KPU, termasuk UU-nya. Ya ampun, masih bahas ini-ini juga. Sudah ah!

Judul 'lembut-tegas' yang saya angkat sesungguhnya berkisah seputar perilaku anak-anak zaman sekarang. Bukan anak muda, yang remaja dan dewasa awal saja, namun terlebih juga anak-anak dalam kluster usia anak-anak beneran, mulai batita hingga akhir masa anak, sekitar 11-12 tahun begitu. Kenapa?

Saya cukup sering bertemu teman-teman yang dilakukan dengan sengaja karena janjian. Atau bertemu tanpa sengaja dengan teman, kenalan, kerabat, di suatu tempat kegiatan bersama, tempat ibadah, tempat berbelanja, atau tempat-tempat tertentu, bahkan termasuk juga bertemu klien di ruang praktik. Mereka dengan anak-anak atau anaknya. Poinnya adalah, perilaku anak-anak dari teman-teman, kerabat, kenalan, klien tersebut, sungguh rupa-rupa warnanya. Indah.

Unik dan spesialnya setiap anak pasti membawa kebahagiaan tersendiri pada para orangtua, di samping bawaan yang kurang menyenangkan karena ulah anak juga. Kekhususan anak-anak dalam masa perkembangannya tak kurang mendatangkan suasana berbeda dengan keceriaan mereka yang khas. Oleh sebab itu saat mengamati perilaku anak-anak di dalam kelompoknya, dapat membuat orang dewasa terpingkal-pingkal karena lucunya mereka. Kepolosan dan keinginannya mencoba berbagai peran orang dewasa merupakan salah satu pemandangan yang segar. Tentu saja sedikit berbeda untuk kelompok anak-anak berkebutuhan khusus. Topiknya harus khusus juga, bukan sekarang.

Soalan untuk topik kali ini, yakni perilaku anak-anak yang di luar batas, alias kurang tepat di dalam suatu situasi. Ada anak-anak yang disebut 'manis' oleh sebagian orang dewasa, karena dapat berlaku sopan dan santun (sesuai norma-norma orang dewasa). Ada pula yang disebut 'tidak manis' karena melakukan berbagai hal yang mengganggu aktivitas orangtua, atau 'melawan' dengan kasar pada orang-orang dewasa di sekitarnya, tanpa takut.

Sebagian anak-anak tipe kedua tersebut tanpa sadar 'terlabel' di dalam hati orang dewasa yang menyaksikannya, sebagai 'anak yang menjengkelkan'. Meski tetap ada orang-orang dewasa dan orangtua lain selain orangtua si anak tentunya, yang dapat 'menerima' perilaku tersebut (sungguh-sungguh menerima, atau pura-pura menerima dengan rasa kesal di hati) dengan alasan: "tidak masalah, masih anak-anak, memang demikian."

Dewasa ini banyak ilmu dan anjuran dalam 'parenting and nursering advice' kepada orangtua agar sungguh-sungguh memahami anak-anak mereka secara unik dan special. Memberikan rasa aman, nyaman, kasih sayang, kelemah-lembutan, dan seterusnya, agar anak-anak merasa dicintai. Berikan pelukan, ciuman, tatapan kasih dan pengertian, agar dengan cinta yang diterimanya saat usia dini dapat tertanam dan kemudian terbawa di dalam kepribadiannya kelak.

Saya sepakat. Namun pertanyaannya, bagaimana dengan penanaman nilai-nilai? Peraturan, disiplin, sopan-santun, dan sebagainya? Jika seorang anak yang melakukan tingkah laku yang kurang baik, katakanlah mengganggu anak lain dengan merebut mainan yang dibawa, apakah orangtua harus juga mengambil anaknya ke dalam pelukan, membelainya, menciumnya, dan mengatakan "Ilove you"? Atau membiarkan saja tingkah anak tersebut tanpa melakukan apa-apa? Saya menuliskan ini karena saya melihat hal itu terjadi.
Mohon maaf, dalam hal ini saya tidak setuju.

Orangtua yang bersikap lembut terhadap anak, itu baik, dianjurkan. Akan tetapi, orangtua wajib juga menanamkan nilai-nilai dan norma yang benar sedari anak masih kecil, yakni saat usianya sudah cukup tepat untuk memahami. Kewajiban ini tentunya dilaksanakan dengan tetap lemah-lembut, tapi TEGAS.
Kapan ditanamkan nilai-nilai, norma dan peraturan umum tersebut? Menurut saya saat anak sudah mampu menangkap perkataan verbal orangtua yang disertai pemahaman terhadap gesture atau ekspresi orangtuanya. Ketika anak sudah mengerti jika ditunjukkan suatu mainan berikut cara mengoperasikannya, artinya dia sudah paham penjelasan verbal yang disertai CONTOH.

Ada anak yang sudah mampu memahami isi pembicaraan saat ia berusia 3 tahun, bahkan kurang. Namun anak-anak tertentu baru bisa memahami saat berusia 4-5 tahun. That's ok. Tapi tugas orangtua lah yang mula-mula memberitahukan kepadanya, termasuk memberikan contoh-contoh konkret dalam pelaksanaannya, alias teladan. Misalnya, orangtua perlu memberitahukan (menurut saya lho) bahwa pada saat antar orangtua sedang berbicara, atau bahkan hal itu terjadi di tengah-tengah acara orangtua, maka anak harus menuruti peraturan. Sebaiknya justru anak-anak tidak berada di tengah-tengah acara yang diperuntukkan bagi orangtua. Apabila ia diperkenankan berada di sana, maka perlu ada rules yang disepakati bersama.

Sepasang bapak dan ibu menerapkan suatu teknik yang cukup berjalan dengan baik dalam menanamkan nilai, norma, aturan dan disiplin pada anak. Tentunya dengan prinsip LEMBUT dan TEGAS itu tadi. Anak-anak sudah dibekali sejak dari rumah, sejak mereka mulai paham kata-kata orangtua. Tentunya tidak semua hal bisa berjalan mulus, namun pasti sebagian besar bisa terlaksana. Lalu, pada saat anak-anak dan orangtua berada di luar area kekuasaan mereka, yakni di luar rumah, bapak atau ibu akan berbicara dengan anak-anak yang turut serta bersama mereka.

Contohnya begini,
"Nak, sebentar lagi ibu akan berkumpul dengan teman-teman ibu di meja nomor 5, kamu duduk bersama adik di meja nomor 7 ya, atau ingin bermain di kamar bola?"
Ketika anak menentukan pilihannya, maka orangtua membuat kontrak berikutnya:
"Ibu berkumpul dengan teman-teman ibu yang semuanya orangtua itu tidak lama, hanya satu jam saja. Tapi mungkin bisa lebih panjang setengah jam lagi, jadi kamu harus menunggu satu setengah jam, ya,"
Jika anak menawar, ingatkan bahwa dari rumah tadi mereka sudah ada kontrak anak akan tunduk pada peraturan orangtua saat berada di tempat ini. Selanjutnya, jika anak sudah ingin gabung padahal waktu kontraknya belum selesai, maka orantua perlu tegas mengatakan: "tidak".

Bagaimana jika anak-anak membuat keributan di tengah acara orangtua? Haruskah dimarahi? Tentu bukan dimarahi, tapi ditarik dengan tegas, diingatkan, bahkan kalau perlu dibawa ke tempat yang agak jauh untuk berbicara, memperbarui kontrak. Jika anak menagis menggerung-gerung, bagaimana? Jika sudah ada penanaman nilai-nilai sejak awal, jika sudah ada saling pengertian, terlebih ada kontrak-kontrak yang dibuat dengan lembut dan tegas, tak kan terjadi pergulatan itu.

Akhirnya, tingkah laku anak mencerminkan pola asuh orangtua terhadap anak, utamanya dalam hal penanaman nilai-nilai, norma, disiplin, sopan-santun dan sebagainya. BTW, ada orangtua yang saking khawatirnya, meski sudah membuat kontrak dengan anak untuk beberapa waktu anak bermain di tempat lain yang masih dapat dijangkau pandangan orangtua, namun ketika anak terjatuh sedikit saja, orangtua sudah berlari-lari menolongnya. Wah, kapan ia bisa mengatasi masalahnya? Semua hal diambil alih oleh orangtuanya.

Maaf... lebih baik saya tuliskan daripada saya simpan saja, bukan?
peace.....
______________RS for her own blog______________

Monday, April 6, 2009

Perempuan Berbisik 27: Tanggung Jawab Menyongsong PEMILU

"saya mempersembahkan dengan damai penuh, apa yang menjadi milik negeriku, apapun yg terjadi & seperti apapun situasi di negeriku, saya bertumbuh di sini, saya mencintai Indonesia-ku, dan saya sadar, meski amat sangat kecil, saya adalah bagian dari proses demokrasi ini, saya pasti nyontreng tgl 9/4 berdasarkan suara hati..."

Kalimat di atas telah saya tulis pada "kolom status" halaman facebook saya. Setelah melalui berbagai pemikiran, tukar pikiran dan perasaan dengan cukup banyak rekan, perbincangan dan celotehan ringan di dalam lingkaran handai-taulan, saya yakin kalimat itulah yang ingin saya ucapkan dan telah saya ucapkan, bahkan tuliskan di suatu halaman publik yang dapat saya jangkau (baca: facebook saya).

Sebagai warga negara Indonesia, negeri yang sungguh-sungguh saya cintai ini, apakah yang dapat saya persembahkan selain melaksanakan amanat perjalanan masa depan negeri ini? Saya mengagumi dan sangat menghargai aktor-aktor sejarah bangsa ini, para pejuang dan pendahulu, saya menghormati semua presiden dan pejabat negara, terlepas dari kekurangan-kekurangan yang dimiliki. Saya mengagumi pelaku demonstran, para mahasiswa, serta orang-orang muda yang berani berkonfrontasi, menyuarakan harapan dan cita-cita, berjuang di era pasca kemerdekaan, menggulirkan konsep reformasi, dan pada sebagian yang tetap setia mengupayakan reformasi itu.

Saya bangga pada para perempuan, kaum saya, yang terus bertambah-tambah dalam hal intelektual, keberanian menyerukan kesetaraan, berkiprah dalam berbagai bidang, di pemerintahan dan non-pemerintah. Tak kalah penting pada musim PEMILU, meraih suara dalam upaya memenuhi quota 30% di parlemen. Saya berharap dan berdoa, calon-calon legislatif perempuan tetap anggun di panggung politik, meski adu strategi begitu keras dan adakalanya meleset dari rel regulasi. Perempuan hendaknya tetap tunduk pada regulasi dan rambu-rambu strategi.

Perempuan mestinya memiliki hak-hak yang sama sebagai warga negara, namun perempuan Indonesia memperjuangkan hak-haknya, yang sebagian telah didengarkan dan coba dipenuhi, sebagian besar masih terus diperjuangkan. Ibu Kartini pasti tersenyum bahagia di "sana", gebrakannya tidak sia-sia. Saya rasa ia tidak terlalu mempedulikan perayaan ulangtahunnya pada setiap tanggal 21 bulan ke-empat, esensi nilai-nilai luhur dan konsep perjuangannya yang jauh lebih penting dan berharga. Ia sudah berbisik pada banyak perempuan, saya rasa, dan terus berbisik agar kaumnya terus unggul tanpa melupakan ikhwal kodrati perempuan sejati.

Kepedihan dan kesesakan pada proses penyelenggaraan negara yang sudah berlangsung, mungkin dirasakan sebagian besar warga negeri ini. Namun saya rasa kita juga perlu melihat secara "covered both side" (pinjam istilah insan pers), bahwa kita, aahhh... saya sajalah, tumbuh, kembang, belajar, makan, bahkan buang air, ya di negeri ini. Fasilitas negara yang dibangun dari upeti, uuupppsss... kewajiban pajak bagi rakyat, masih dapat saya nikmati, meski adakalanya jika sempat menghitung-hitung, belum seimbang dengan kewajiban yang sudah dilaksanakan rakyat. Saya anggap saja sebagai subsidi silang antar rakyat. Dalam hal ini, saya menerapkan azas, "Berikan pada Kaisar yang menjadi milik Kaisar (negara), berikan pada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan". Kalau sudah begini, saya sering terhenyak, karena pada dasarnya yang ada pada saya 100% adalah milik Tuhan. Perpuluhan, bahkan terlalu kecil dibanding 100% berkatNYA yang tiada berkesudahan.

Beberapa tahun lalu, saya pernah terlibat dalam suatu proyek penerbitan sebuah buku (terimakasih kepada Mas Wawan, Mas Aris, Mbak Mise, dan yang lainnya), yang mana saya berhadapan langsung dengan penulis, pelaku, dan melakukan riset kecil terkait thema utama yang diangkat dalam buku tersebut. Selain merangkai ulang kalimat-kalimat dan memeriksa diksi, ternyata saya juga perlu berperan secara quasi-partisipasi, terus-terang sangat mendebarkan. Pengalaman baru yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya dalam kehidupan saya yang nyaris mainstream sepanjang waktu. Dalam proses tersebut saya temukan, keikhlasan menerima berbagai kesakitan sebagai warga yang gerak-geriknya sangat terbatas, cukup ampuh untuk menjalani kehidupan dan tetap menyatakan kecintaan pada negeri.

Kebingungan sebagian warga negeri ini, utamanya saat membayangkan lembaran surat suara segede koran, belum lagi dengan 48 partai dan ratusan probabilitas nama caleg, mengguratkan rasa putus asa. Selama musim kampanye berbagai janji berkumandang, iklan-iklan di media (yang saya yakin hasil kerja kreatif insan advertising dan media) berjejalan silih berganti. Apa yang harus saya pilih? Haruskah saya memilih? Seberapa penting suara saya dalam penghintungan nanti? Dapatkah pemilih diyakinkan bahwa dalam penghitungan tidak akan ada kecurangan atau manipulasi surat suara?

Tidak ada yang pasti di dunia ini selama semua hal masih mungkin berubah, bahkan bermutasi. Bagaimana pilihan langkah kita menyikapi perubahan demi perubahan sepenuhnya bertumpu pada rasa tanggung jawab masing-masing pribadi. Demikian menurut saya. Penting tidaknya pendapat saya dalam hal ini tidak saya pusingkan. Saya hanya ingin menuliskan pemikiran dan perasaan saya saja. Karena waktu mencontreng tinggal menghitung hari, saya memiliki pilihan yang harus saya ambil dan bertanggungjawab penuh dalam damai terhadapnya. Kembali pada azas yang saya pegang, saya akan memberikan yang menjadi milik Kaisar (negara), yakni tanggung jawab saya sebagai warga negara yang meski sangat amat kecil, merupakan bagian dari proses bergulirnya demokrasi dan pembelajaran-pembelajaran penting di dalamnya.
Maka saya pasti mencontreng, berdasarkan suara hati dan doa, meski bukan yang terbaik atau yang akan jadi pemenang, semua harus tunduk pada Undang-undang penyelenggaraan negara yang bertujuan mulia ke masa depan. Masih ada langit di atas langit. Ada mata Tuhan yang mengawasi dari tempat luhurNYA.

Selamat mencontreng saudara-saudaraku, sebangsa-setanah-air.
RS for her own blog.
_____________________

Saturday, April 4, 2009

Perempuan Berbisik 26: A-L-A-S-A-N

Setiap tindakan, disadari atau tidak, pasti memiliki alasan. Betapapun itu hanyalah langkah kecil yang kita ambil, apalagi yang besar, disertai tanggung jawab yang besar pula, bahkan pertaruhan.

Terhampar beraneka pilihan dalam kehidupan kita. Senantiasa. Pilihan-pilihan itu seluruhnya menuntut kecerdasan kita untuk menentukan keputusan lalu bertanggungjawab terhadapnya. Pernahkah anda bingung memilih? Saya juga, bahkan sering. Beberapa jam yang lalu, misalnya, saya memiliki dua undangan, setidaknya saya anggap undangan agar alasan saya bertanggungjawab terhadap keduanya menjadi lebih ringan ketimbang saya menganggapnya kewajiban untuk menghadiri.

Setelah menimbang, saya memilih datang ke komunitas yang lebih saya kenali dan mengenal saya. Pilihan yang aman, alasannya pun memberikan rasa aman dan menjanjikan kenyamanan, saya tidak perlu menjadi orang asing di awal pertemuan. Saya cukup melambaikan tangan sesampai di tempat pertemuan, maka orang-orang yang sudah hadir akan menyambut saya dengan senyum dan memperlihatkan sikap penerimaan.

Dalam perjalanan menuju ke tempat itu, saya merenung. Betapa mudahnya saya menjatuhkan pilihan demi rasa aman dan nyaman. Bagaimanakah perasaan orang di tempat lain yang telah sungguh-sungguh mengundang saya? Apakah saya tidak terlihat egois (meski tak ada yang tahu alasan saya terhadap pilihan ini, kecuali Tuhan, yang ternyata justru makin membuat saya menggoreskan kemasygulan) dengan pilihan ini?
Terdorong perasaan malu dan gamang, saya mulai mencari-cari alasan yang dapat menenteramkan. Terjadi 'self talk' (seperti biasa) dalam pikiran saya. Tepatnya saya mulai menghibur diri.

Suara #1:
"Hey, bukankah orang-orang di sini (komunitas yang akan saya datangi) sangat mengharapkanmu? Tentu kedatanganmu membuat mereka gembira, dengan demikian kamu tidak egois karena bisa menyenangkan hati mereka,"
Suara #2:
"Kamu hanya menginginkan perasaan senang bagi dirimu sendiri karena merasa dibutuhkan!"
Suara #3:
"Jika kamu tidak datang ke sini, mereka akan mencarimu, mereka akan menganggapmu tidak bertanggungjawab,"
Suara #4:
"Kamu harus datang ke sini, itu sudah benar, bukankah kamu sudah mengatakan akan datang?"
Suara #5:
"Lebih baik kamu tidak datang jika hatimu tak ingin,"
Suara #6:
"Ya, untuk apa kamu datang jika kamu gamang seperti ini?"
Suara #7:
"Ingat, kamu sudah membuat pilihan, lakukanlah dengan penuh tanggung jawab,"

Saya teringat pada sebuah buku yang tengah saya baca. Membaca buku juga merupakan pilihan yang penuh tantangan, karena betapa hausnya saya pada berbagai bacaan, hingga kadang-kadang mengorbankan tugas yang mestinya saya tangani lebih dulu. Namun selalu ada alasan, bukan? ;-)

Buku ini tipis, hanya membutuhkan sedikit waktu melahapnya, namun saya telah menginvestasikan lebih banyak waktu untuk menelaahnya. Isi dan pembelajarannya tidak dapat saya lewatkan hanya sepintas. JR Briggs, sang penulis tentu bukan bermaksud mengobrak-abrik pikiran saya dalam menguji berbagai alasan yang seringkali mendatangkan kebimbangan. Saya merenung lebih banyak, membayangkan diri saya berada di tempat para tokohnya, dan juga di tempat sang penulis.

Suara #utama:
"What are you going to do, 'When God says: Jump!'?"

Been written with love,
RS for her own blog.
---------------------

Thursday, April 2, 2009

Perempuan Berbisik 25: Kuingin "Hanya" Pelukan

Orangtua yang "mengenal" anaknya dengan baik segera terawas ketika sang anak berubah. Tentu saja anak bertambah tinggi, atau lebih gemuk, lebih langsing, lebih gondrong atau baru saja mengubah tatanan rambutnya, adalah perubahan yang cukup mudah terlihat segera. Tenggelam dalam berbagai kesibukan dan rutinitasnya, perubahan sifat, bahkan sikap dan perilaku anak adakalanya disadari justru saat orangtua menerima beberapa laporan dari pihak lain. Guru di sekolah anak, misalnya.

Pekerjaan dan kesibukan mengurus bayi, anggota baru dalam keluarga, membuat Ibu Yeyen (bukan nama sebenarnya) dan Bapak Gogon (juga bukan nama sebenarnya), terkejut menerima panggilan khusus via telefon dari Wali Kelas Sisi, anak perempuan pertama mereka yang duduk di kelas 3 SD.
Gurunya "menggugat" kedua orangtua Sisi ini pada kesempatan pertemuan pertama mereka. Wali kelas yang lemah lembut merasa kecewa atas diabaikannya 3 surat undangan atau panggilan orangtua yang telah dikirim sebelum ini. Bapak Gogon dan Ibu Yeyen tentu saja terkejut, mereka merasa selama ini tidak pernah menerima satu pun surat panggilan dari sekolah anaknya.
Terbukalah masalah yang sesungguhnya, ketiga surat tersebut telah dititipkan lewat Sisi selama tiga minggu berturut-turut. Merasa khawatir orangtua akan memarahi, bahkan menghukumnya apabila surat-surat tersebut sampai ke tangan mereka, Sisi menyembunyikan semua surat di bawah alas lemari pakaiannya yang ia tahu tak kan tersentuh siapapun dalam waktu lama.

Orangtua Sisi makin terkejut mengetahui telah lebih dari satu bulan Sisi lalai mengerjakan PR. Hasil ulangan harian selalu di bawah nilai 6 pada hampir semua mata pelajaran, kecuali Seni Tari yang memang sangat diminatinya. Ibu Yeyen merasa malu karena selama ini ia percaya saja pada pengakuan Sisi saat ditanya tentang sekolahnya ia selalu mengatakan tidak ada PR atau tidak ada ulangan. Bapak Gogon kecewa, merasa tertipu oleh anak sendiri. Lebih dari itu, sang Bapak tidak bisa terima jika nilai-nilai ulangan anaknya jelek, karena bukankah sang Bapak ketika sekolah dulu selalu juara kelas?

Upaya-upaya Bapak Gogon dan Ibu Yeyen untuk menggali masalah anaknya dan memotivasinya, tak membawa hasil. Bahkan belakangan Sisi mogok ke sekolah. Kemarahan kedua orangtuanya disikapi dengan berdiam diri. Sisi tidak mau bicara, tidak mau makan, bahkan pernah "melarikan diri" ke rumah teman baiknya.

Di hadapan saya, Ibu Yeyen menceritakan masalah tersebut dengan emosi tertahan. Ada rasa marah, kecewa, sedih, putus asa, di dalam suaranya saat menuturkan kejadian demi kejadian. Bapak Gogon menambahkan cerita sang istri dengan tak kalah kesal. Seolah-olah anak perempuan yang manis itu telah melakukan suatu kejahatan. Saya menanyakan beberapa hal untuk melengkapi data-data alloanamnesa saya. Setelah itu saya meminta kedua orangtua tersebut menunggu di luar ruangan sementara saya hanya berdua saja dengan Sisi.

Kami, Sisi dan saya mengobrol tentang topik-topik yang ringan. Saya memintanya menceritakan hobinya, musik kesukaan, obyek gambar yang paling sering dibuatnya, dan banyak hal-hal lain. Sambil meminta Sisi menggoreskan pinsil di atas kertas putih, saya mulai "menggalinya".
Sisi, pada awalnya sangat bahagia dan bangga atas kelahiran adik bayi. Ia memamerkan ke seluruh teman-temannya bahwa adiknya cantik dan lucu, ia juga senang sekali karena kini memiliki seorang adik perempuan yang dapat menjadi temannya di rumah. Sisi menyayangi sang adik, bahkan sangat menyayangi. Ia suka mencium pipi adik, bahkan mencoba menggendongnya, namun tidak diizinkan orangtua, khawatir ia akan menjatuhkannya.

Sisi mulai merasa terganggu. Mengapa semua orang boleh menyayangi adiknya, namun hak-haknya sebagai kaka dibatasi? Ia hanya ingin menggendongnya saja, ia yakin adik pasti tidak rewel jika digendongnya. Perhatian semua orang tertuju pada sang adik, termasuk dirinya juga, namun semua orang di dalam rumah seolah-olah tidak menghitung kehadirannya sebagai kakak yang juga ingin diberi hak menyayangi adik dengan caranya. Berkali-kali Sisi berlatih menggendong boneka besarnya di depan cermin, agar ia mampu menggendong adik dengan baik. Tak ada yang memperhatikan usahanya itu.

Lebih dari itu, Sisi merasa dirinya "tidak terpakai" lagi di rumah. Ia "hanya" disuruh belajar dan belajar, sesuatu yang membosankan dan melelahkan. Seharian ia sudah belajar di sekolah, bahkan masih ada les-les pelajaran tambahan di sebuah pusat pembelajaran. Ia lelah terus-menerus belajar. Ia ingin diam di rumah, bermain dengan adiknya, bersama papa dan mamanya. Tapi dia merasa tidak diterima. Setiap adik baru saja dimandikan pada sore hari, ia tidak boleh turut membedaki tubuh mungil adik. Kenapa tidak boleh? Hanya membedaki apa susahnya?

Sisi merasa tertolak, ia sedih, namun ia tidak atau tepatnya belum memahami apa yang terjadi pada perasaannya. Itu sebabnya saat orang-orang dewasa menanyakan "apa masalahmu, nak?" ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia betul-betul belum paham cara menggambarkan perasaan dan pikiran-pikirannya. Saya tahu, untuk inilah orangtua Sisi datang pada saya. Saya juga tahu, perlu sedikit lebih berusaha dan lebih sabar dalam "menggeledah perasaan anak-anak". Selain itu diperlukan teknik yang tepat dan sesuai dengan karakter anak-anak, jika ingin memahami mereka.

Setelah sesi dengan Sisi berakhir, saya meminta kembali Bapak Gogon dan Ibu Yeyen masuk ke ruangan, dan membujuk Sisi menunggu di luar. Keduanya berkaca-kaca, Ibu Yeyen terisak. Sebelum pertemuan kami berakhir, saya mengundang Sisi bergabung. Dengan penuh cinta bercampur rasa bersalah sekaligus kelegaan, Ibu Yeyen meraih Sisi ke dalam pelukannya. Dibenamkannya kepala sang anak ke dadanya, ia mulai terisak lagi saat tangan-tangan mungil Sisi membalas pelukan hangat itu dengan erat.

Satu kerinduan terdalam Sisi yang dirasakannya hilang selama beberapa bulan ini, adalah pelukan hangat Mama dan Papanya. "Hanya" pelukan Mama dan Papa yang membuat Sisi tenteram dan merasa dimiliki.

Laporan setelah ini, Sisi rajin membuat PR, nilai-nilai pelajarannya meningkat, "hanya" karena pelukan. Ah, bukan "hanya", pelukan itu sangat bermakna. I love you, Mom, Sisi whispered. So did I. ;-)

Posts Archive


PEREMPUAN = SRIKANDI ?

Kenapa PEREMPUAN PEJUANG sering disebut SRIKANDI.
APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?
Kutelusuri WIKIPEDIA, kutemukan entri SRIKANDI ini

Srikandi (Sanskerta: Śikhaṇḍī) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata vrsi India.
Arti nama
Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".
Srikandi dalam Mahabharata
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Perang di Kurukshetra
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Srikandi dalam Pewayangan Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

JADI, APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?

*********

PEREMPUAN DAN PENDIDIKAN
Rinny Soegiyoharto (catatan tak selesai pada april 2006)

Ragam aktivitas ke-Kartini-an sebagai simbol emansipasi kaum perempuan seperti sebuah rutinitas lebih bergaung pada bulan April mendekati hari keduapuluhsatu. Ditandai aneka lomba dan berbagai atribut keperempuanan yang adakalanya malah tampak sekadar wujud lahiriah dan kasat mata. Sebut saja lomba berkebaya, lomba masak, lomba pasang dasi, lomba merias wajah, dan sebagainya.

*** *** *** *** ***

-DRAFT--Wanita. Meski berpadan dengan perempuan, namun kata dasar “empu” pada perempuan terasa lebih nyaman dan membanggakan, oleh sebab itu saya suka menggunakan kata “perempuan”, termasuk dalam menamai blog saya.-
Perempuan, sadar soal pentingnya pendidikan terhadap anak-anak, karena di "dalam" perempuan terdapat beban psikologis memperjuangkan dirinya sendiri, terus-menerus. Utamanya dalam hal pendidikan (sudah diterobos Kartini). Guru TK-SD bahkan SMP kebanyakan perempuan. Bapak-bapak lebih banyak muncul dan berperan pada tingkat pendidikan lanjutan atas (SMA), dimana pendidikan dasar telah ditanamkan lebih dahulu oleh ibu-ibu guru. Mengapa? Sekali lagi karena perempuan secara lahiriah dan kodrati justru memikul tanggung jawab pendidikan itu sendiri yang dimulai pada dirinya sendiri. Maka, bapak-bapak guru lebih kepada transfer of knowledge, ketimbang hal-hal mendasar yang lebih berhubungan dengan pembangunan karakter, penanaman proses belajar dan pengertian-pengertian dasar untuk dan selama manusia menempuh proses pendidikan.- Pendidikan: mencakup attitude/sikap, yakni kognitif, afektif dan perilaku. Pengembangan kepribadian, pembiasaan good character, kesadaran dan tanggung jawab akan masa depan pribadi/diri sendiri yang mempengaruhi masa depan keluarga dan kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara, dll.- Bukan diskriminasi yang mengarah pada gerakan feminisme.- Perbedaan sesuatu yang dirayakan bersama sebagai unsur2 yg saling bersinergi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan bersama: orangtua, pendidik, bangsa dan negara.- Berkaitan erat dengan UU Anti-KDRT. Jika perempuan terus ditindas, bahkan di dalam rumah tangganya sendiri, bagaimana mungkin perempuan dapat bertugas/ berkiprah/ bertindak optimal untuk mendidik anak-anak, baik anak sendiri maupun anak-anak didik apabila ia seorang guru? Kendati lagi, waktu terus merambah, persaingan global semakin cepat dan menantang, anak tidak berhenti tumbuh dan berkembang, suatu waktu akan tiba ketika anak mulai lebih banyak mencurahkan porsi proses pendidikannya pada pemenuhan kognitif, belajar ilmu2 tinggi, yg bisa jadi sebagian besar diberikan oleh laki-laki, bapak2 yg menitikberatkan pada perkembangan kognitif.- Perempuan & laki2 lebih kepada pembagian peran, baik dalam pendidikan di dalam rumah tangga, maupun pendidikan secara luas, formal & informal. Karena baik dari segi struktur fisiologis dan psikologis serta kultural dan sejarah di dalam masyarakat kita, telah membentuk sebuah perbedaan laki2 dan perempuan, yang harus kita rayakan bersama-sama membentuk manusia-manusia berkualitas dlm diri anak2 kita sebagai proses pendidikan menuju masa depan cerah mengikuti kecerahan janji bangsa ini. Amin.-

Pendidikan dimulai dari rumah. Peran ibu sebagai objek kelekatan anak yang pertama terhadap proses pendidikan anak tentulah tidak kecil. Sebagai perempuan, tentunya ibu harus tidak hanya memberikan pelajaran, namun pendidikan kasih sayang, penanaman afeksi, unsur penting bagi rasa nyaman dan aman bagi anak, karena merasa dicintai. Bagaimana mungkin ibu dapat menanam benih cinta pada anak apabila dia sendiri mengalami kekerasan dalam rumah tangga.***