Masih ingatkah yang terjadi saat kita masih kanak-kanak hingga remaja?
Ketika bergaul dengan teman-teman di sekitar rumah, dengan teman-teman sekolah, bahkan dengan sahabat-sahabat pena karena media sosial pada saat itu mungkin belum lahir.
Pelajaran pertama untuk menjalin pertemanan di luar lingkungan keluarga datangnya dari mana?
Adakah yang dengan sengaja diajarkan oleh orangtua masing-masing?
Sebelum kita melangkahkan kaki untuk pertama kalinya keluar pintu rumah, apakah ada pelajaran-pelajaran khusus yang orangtua berikan?
Mungkin sebagian dari kita menjawab: YA, ada.
Dan sebagian yang lain menjawab: TIDAK ada.
Lalu sisanya menjawab: TIDAK TAHU, karena tidak jelas bentuknya.
Saya pikir, sebagian besar kita sebenarnya tidak secara langsung diberi pelajaran tentang "melangkah keluar rumah" oleh orangtua masing-masing.
Hal umum yang dilakukan adalah memberikan nasihat-nasihat berupa nilai-nilai penting yang perlu diingat saat kita berhubungan dengan orang lain. Misalkan pada sisi spiritual: jangan lupa berdoa; ingat selalu berbuat baik; bertemanlah dengan orang baik; jauhi pergaulan yang buruk; jangan dekat-dekat dengan anak nakal; dan seterusnya.
Biasanya bahkan cenderung hal-hal standar terkait etika pergaulan.
TETAPI tidak dilatih keterampilan khusus untuk menghadapi berbagai kemungkinan reaksi dan respons orang-orang yang bakalan kita jumpai di luar sana.
Juga tidak dipenuhi pengetahuan dan informasi yang mendukung, kecuali informasi yang sifatnya: Hitam-Putih, Baik-Buruk, Patuh-Nakal, dan sebagainya.
PADAHAL,
Bukankah hidup ini cenderung didominasi ABU-ABU dimana-mana? Ketidak-jelasan dan kejelasan yang tidak punya ukuran.
Kita belum tahu hal-hal itu pada langkah pertama keluar rumah.
NANTI, setelah kita menemui masalah atau kagok atau apapun peristiwa yang menyenangkan, menyakitkan, menghebohkan, meragukan, lalu kita terlihat sedikit berubah, sebagian orangtua mulai menyampaikan pengetahuan-pengetahuan sosial tambahan. Ada yang obyektif, tapi rasanya sebagian besar bersifat subyektif.
CONTOH, waktu kita sedih karena kehilangan setip (penghapus pinsil) di sekolah, lalu ternyata teman sebangku kita yang 'meminjamnya' untuk seterusnya. Apa yang terjadi pada reaksi orangtua? Mungkin ada yang berusaha memberi rasa tenang dengan membujuk dan membelikan yang baru. Tapi banyak juga yang kemudian melarang kita bergaul dengan teman itu. Itulah subyektivitas dalam pelajaran sikap dan perilaku.
Kita bingung?
Ya. Kita menghadapi konflik luar biasa. Tidak boleh berteman dengannya lalu dengan siapa? Kalau dia nanti berkumpul dengan teman-teman lain apakah aku tidak boleh ikut berkumpul dengan mereka?
Cerita sedikit di atas itu hanya contoh. Salah satu yang kecil sekali yang terjadi pada masa-masa kita belajar menjalin hubungan dengan orang lain di luar anggota keluarga.
TAPI, contoh kecil itu bermakna BESAR. Karena dari situlah kepribadian dan keterampilan sosial kita mulai dibentuk. Cara berpikir kita tentang orang lain, tentang situasi, tentang cara berhadapan, tentang coping (cara mengatasi rasa yang tidak nyaman), tentang kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain, dan banyak hal lagi terkait proses pembentukan diri kita sebagai pribadi yang kelak menjadi orang dewasa, dipengaruhinya.
Ya, dipengaruhi oleh hal-hal kecil yang terjadi dalam proses itu.
TRAUMA dalam kehidupan sosial, tidak saja yang berukuran besar dan kuat seperti pelecehan seksual dan kekerasan. Namun peristiwa-peristiwa yang menciptakan rasa nyaman / tidak nyaman yang merangsang kemampuan kita beradaptasi, juga bisa menjadi peristiwa TRAUMATIK.
Sampai di sini,
Sekarang mari kita masing-masing mengajak pikiran kita pada berbagai hal yang kita alami saat ini. Pada waktu kita sudah dewasa, memiliki beragam lingkungan: pekerjaan, pergaulan, komunitas, organisasi, dan lain-lain.
Lihat salah satu cara kita menghadapi konflik, misalnya dengan teman sekerja di tim (pekerjaan apa saja). Teman yang menurut kita sangat keras dan dominan. Apa yang kita lakukan?
Coba ingat-ingat, pernahkah di masa kanak-kanak dahulu, atau masa remaja (usia 11-19 tahun) kita pernah mengalami pengalaman yang mirip?
Tapi karena kita tidak tahu bagaimana harus menyikapinya, maka kita lalu "trial & error". Mencoba dengan cara sendiri yang menghasilkan sesuatu, entah itu baik atau buruk; menyenangkan atau menyakitkan; atau kita abaikan saja semua rasa yang ada.
Naaahhh... Apakah hal itu terjadi sekarang? Cara kita menghadapi situasi yang dulu itu juga cara yang sama yang kita pakai saat ini?
Itulah pengalaman sosial yang membentuk kepribadian kita dan menentukan perilaku yang kita pilih.
Apabila ternyata tidak sama, berarti kita keliru dalam memetakan pengalaman sekarang dengan pengalaman masa lalu.
Coba cari lagi.
Bagaimana selanjutnya?
Ada yang bisa dijelaskan dan ada yang tidak perlu dijelaskan.
Ada yang sifatnya sangat pribadi sehingga perlu penanganan secara pribadi juga, ada yang dapat didiskusikan di dalam kelompok.
Mari kita bicarakan hal ini melalui forum-forum.
Atau melalui KONSELING dan atau PELATIHAN.
Silakan.
Powered by Telkomsel BlackBerry®