Tuesday, August 25, 2009

Perempuan Berbisik 46: SIAPA [YANG] MALING

SIAPA MALING

Siapa yang maling, malingnya siapa, maling apa, mana malingnya, apa itu maling?
"Jangan pura-pura, deh, kamu maling, maling-sial!"

Gue inget nih ye, waktu itu gue masih kecil, kali SD gitu, kelas 1 deh, kecil bener kan? Masih tahun sembilan-belasan dan tujuh-puluh lebih dikit gitu deh...
Di kota kecil, kabupaten gitu, di Sulawesi Tengah deh...

Waktu itu, di tempat itu, kali jauh bener dari ibukota ya, jadi baru masuk tuh barang lucu buat anak sekolahan. Barangnya tuh "setip" alias karet penghapus, yang warnanya dominan putih, tapi di atasnya ada setrip hijo (hijau), yang kalo dipake nyetip tuh yang hijo bisa lebih bersihin bekas warna pinsil di kertas, daripada yang putih. Padahal yang putihnya besaaaaarrr, yang hijo cuma keciiiilll banget. Tapi, yang putih punya kelebihan dan bikin kita nih, yang punya setip merasa banggaaaa banget deh. Karena di atas satu permukaan bagian putih itu ada inisial nama kita. Misalnya punya gue waktu itu ada huruf "R" besar warna merah dan ada bunga kecil di tengah-tengah lobangnya si-R itu.

Singkat ceritanya nih, setip baru itu gue bawa dong ke sekolah, dimasukin kotak pinsil yang ada magnetnya buat nutup. Waktu bel masuk berbunyi, gue dan temen-2 sekelas udah pada duduk di bangku masing-2 yang berdua-berdua gitu duduknya, kan bangknya gandeng dengan mejanya dan untuk berdua memang. Mejanya miring dari depan menurun ke arah kita. Trusss di bagian depan meja ada bidang yang rata dan ada lubang buat naruh pinsil atau botol tinta gitu kali deh. Nah... gue langsung dong ngeluarin kotak pinsil plastik yang ada magnetnya itu, gue keluarin dari sana deh "setip" baru gue, lalu ditaruh di bidang rata meja.

Pancingan gue kena! Teman sebangku gue (duh namanya ngga bakal inget deh biar kata udah memeras bawah sadar sampai pingsan, udah deh...) langsung bereaksi.
"Ah... setip baru ya? Beli dimana? Bagus, ada R nya ya..."
Mata dia dan mata gue tentu aja dong sama-sama berbinar; yang satu bangga dan pamer abis, yang satunya mupeng alias muka kepengin banget punya setip kayak gitu.
Hati gue jatuh kesian deh sama temen sebangku gue itu. Jadi waktu dia minjem setip baru gue, langsung gue kasih dengan sukacita tanpa mikir macem-2.

Baru gue nyadar sesampenya gue di rumah, ternyata setip baru gue ngga ada di kotak pinsil plastik bermagnet. Aduuuuuhhhh maaaaaakkkk... Gue langsung lemes deh. Waktu adik gue sedang menggambar dan memakai setip dia yang ada huruf "D" namanya, gue iri dan gemes, karena ngga bisa ngeluarin punya gue sendiri. Ah, paling-2 ketinggalan di meja kelas, besok pasti udah ada lagi, gitu cara gue menghibur diri.

Berhari-hari setip gue hilang, akhirnya gue ngga mikirin lagi. Sampai suatu hari, teman sebangku gue ngeluarin setip dari kotak pinsilnya, setip berinisial "R". Wwwaaaaa.... hati gue menjerit, tapi gue ngga berani nanya dia. Jelas banget setip itu bukan setip baru, udah dipake, udah banyak wilayah-wilayah yang gundul gitu.
Eeeehhh malah temen gue itu yang pamer,"eh setip gue baru ni... mau pinjam? boleh kok,"
Duuuuhhhh panas dingin hati gue. Tiba-tiba gue malah nanya,"baru ya? beli dimana? kok udah dipake sih?"
Dengan ringannya dia menjawab,"iya, ini punya gue, beli di toko tomini dong, kan lagi musim setip kayak gini, tapi emang belinya sih udah kayak gini,"

Hhhaaaahhhhh???? Gue harus bilang apa? Jelas banget nama dia tuh bukan "R", nama dia "G" (sebut aja gitu ya, karena gue lupa, tapi yang pasti bukan R). Untuk ini dia punya alasan lho, katanya,"ini gue beli yang R karena mama gue kan namanya R,"
Mallliiiiiinnnngggg.... (ini cuma teriakan dalam hati lho...). Gue yakin banget setip itu punya gue yang hilang beberapa minggu lalu, yakiiiiinnn banget. Gue masih inget ada bunga di tengah lubang R yang gue iseng kasih daun kecil pake spidol hijo bokap gue di rumah sebelum gue bawa ke sekolah tuh setip.

Maling! Kamu maling deh... Tapi gimana gue bisa ambil lagi ya? Apa gue ambil aja diem-2 di kotak pinsil dia? Aaaahhh jadinya entar gue yang dituduh maling... Uuuuhhh. Atau, gue bilang aja sama dia bahwa setip gue hilang, dan setip dia kan "R" maka lebih baik dikasih gue aja biar cocok sama orangnya. Tapi aaaahhhh masa gue ngemis gitu sih??? Pussssiiinnng deh gue...

Suatu hari nyokap beliin lagi setip yang sama buat gue, dengan huruf "R" juga, tanpa bertanya-tanya nasib setip lama gue yang tiba-2 udah ngga keliatan lagi itu. Trus nyokap gue bilang,"kasih nama setipnya, sekarang banyak yang sama..."
Hehehehe... bijak ya nyokap gue. Maka dengan segala daya imajinasi dan kreativitas gue waktu itu, gue ukir seluruh sisi setip yang berjumlah 6 itu dengan nama gue, pake tinta warna-warni, padahal luas permukaannya ngga sama kan, jadi ukirannya pun beda-2, hehehe... Biarin deh. Malah perasaan gue tambah cakep tuh setip.

Di Sekolah, temen gue keliatan ngiri, hahahaha... Trus dia bilang,"bagus ya, ada nama kamu, jelas banget, banyak lagi..."
Dengan senyum-2 gue bilang,"daripada nanti ilang trus kamu ngakuin punya kamu kan gue bisa sakit ati teruzzzz..."

Tapi... ASLI! Gue masih kesaaalll banget sama maling itu. Udah maling, ngga ngaku, malah ngarang cerita lagi kalo huruf "R" nama mamanya... Huuuhhh! MALING DASAR MALING!!!
Tapi... thanks deh ya maling, gara-2 kamu maka gue jadi lebih ati-2 jagain barang gue niii... hehehehe....

salam [RS - di sini ingin ucap - *hai maling, harap hati-2, budaya kami jauh lebih cerdas dari anda!*]

Saturday, August 15, 2009

Perempuan Berbisik 45: CEDAW - Hapus Diskriminasi Terhadap Perempuan

CEDAW
Keberagaman yang Ingin Diseragamkan

KOMPAS Jumat, 14 Agustus 2009 | 05:29 WIB

Tiga penari jaipong yang masih berusia muda bergerak mengikuti irama musik di Gedung IASTH Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, awal Agustus. Seusai tarian dibawakan dalam memperingati 25 tahun pelaksanaan CEDAW oleh jaringan lembaga perempuan nonpemerintah, pendamping tari dari Bogor itu menjelaskan beberapa gerak tari yang berubah.

Bukan hanya gerak yang berubah, kostum tari pun tampak berbeda: kebaya lengan panjang, meskipun bahan sifon poliester untuk kebaya itu transparan.

Perubahan itu mengingatkan pada kontroversi Februari lalu seputar imbauan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Meski mengatakan tidak melarang jaipong, Heryawan dalam pertemuan dengan seniman tari Jawa Barat mengakui sebelumnya pernah mengatakan pentingnya keseimbangan moralitas dan nilai masyarakat dalam tampilan seni di Jabar, seperti lebih baik menggunakan baju lengan panjang ketika menari (Kompas, 10/2).

Imbauan tersebut sebelumnya menuai protes dari Komunitas Peduli Jaipongan Jawa Barat. Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jabar Herdiawan mengatakan, Gubernur hanya mengimbau para penari mengenakan pakaian lebih tertutup. Dikhawatirkan, bila disajikan dengan pakaian terlalu terbuka akan menimbulkan polemik tentang pornografi di kalangan masyarakat (Kompas, 6/2).

Imbauan tersebut menambah kontroversi seputar Undang-Undang Pornografi. Mengaitkan busana dan nilai moral dengan pornografi adalah salah satu kekhawatiran sebagian masyarakat tentang pelaksanaan undang-undang itu.

Kekhawatiran tersebut juga tecermin dalam diskusi di Universitas Indonesia awal Agustus lalu. Prof Soetandyo Wignyosubroto MPA mengingatkan, kebudayaan majemuk adalah hal tak terhindarkan di Indonesia dan nilai moral atau norma sosial dalam faktanya amat berbeda-beda dalam keragaman cukup besar.

Karena alasan keberagaman yang besar di daerah-daerah Indonesia, Prof Soetandyo mengingatkan, memaksakan keseragaman, nilai, norma, atau konsep berdasarkan kekuatan undang-undang dengan mekanisme yang sentral hanya akan melahirkan kontroversi. Penyeragaman tentang kenyataan budaya yang sebetulnya relatif, antara lain konsep pornografi, adalah tindakan yang terkesan otokratik dan sentralistik serta tidak menghormati hak budaya masyarakat.

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi menyebut pornografi sebagai gambar, sketsa, ilustrasi, foto, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Busana dan masyarakat

Diskusi membahas khusus tentang busana. Kepantasan berpakaian adalah konsensus masyarakat dan merupakan hak kebebasan individu yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945. Adalah kenyataan cara berpakaian dan apa yang disebut pantas memiliki perbedaan besar dari daerah ke daerah di Indonesia.

Prof Benny H Hoed dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI menyebutkan, fungsi sosial budaya ditentukan masyarakat dan kebudayaan. Secara umum alat genital tidak dapat diperlihatkan di depan umum meski untuk bagian tubuh lain berbeda antara satu kebudayaan dan kebudayaan lain.

Fungsi sosial busana dari sisi kepantasan, demikian Hoed, lebih banyak dikenakan pada perempuan dan lebih banyak ditinjau dari sudut pandang laki-laki. Perempuan diatur cara berpakaiannya karena sering kali dikaitkan dengan penimbulan birahi pada laki-laki. ”Mitos yang muncul dalam sejarah manusia ini juga tampak dalam Undang-Undang Pornografi,” papar Hoed.

Saat ini, tambah Hoed, UU Pornografi tidak lagi dilihat sebagai teks, tetapi sebagai artefak budaya atau tanda yang diberi makna. Makna yang berkembang bagi yang mendukung UU ini adalah melindungi masyarakat dari kerusakan moral, melindungi perempuan dan anak. Adapun yang menentang melihat UU ini menjadikan perempuan sebagai obyek utama sehingga menjadi korban undang-undang. UU Pornografi sebagai patron yang ditaruh pada aras negara memiliki kekuatan sangat besar dan menimbulkan sanksi pidana. Di sini terjadi pertarungan kekuasaan karena yang berkuasa yang menentukan makna.

Seno Gumira Ajidarma, wartawan, berpendapat, kebudayaan adalah situs perjuangan ideologis tempat kelompok terbawah di masyarakat melawan beban makna dari kelompok dominan dan kelompok dominan harus terus-menerus menegosiasi wacana kelompok bawah.

Dalam hubungannya dengan media, Seno meyakini meskipun media mencoba menggiring penonton (audience), penonton adalah sosok yang berpikir, mengolah informasi yang mereka terima berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang mereka miliki. Karena itu, penonton akan melakukan perlawanan. ”Saya tidak khawatir karena masyarakat tidak boleh dan akan terus melawan hegemoni beban makna kelompok dominan,” kata Seno.

Karena itu, Soetandyo mengatakan, UU yang dibuat melalui konsensus akan memiliki efektivitas tinggi, sementara UU yang menimbulkan kontroversi akan menimbulkan pembangkangan sipil sehingga UU tidak efektif. Dan, kontroversi dalam pembentukan UU akan selalu terjadi ketika isinya menyangkut moral. (NMP/MH)

Perempuan Berbisik 44: Jaipong Tanpa 3G

Kontroversi
UU Pornografi...


KOMPAS - Jumat, 14 Agustus 2009 | 05:28 WIB

Kontroversi Seorang penari muda dari Sanggar Mayang Arum Bogor memeragakan tari jaipong tanpa ”3G” (goyang, gitek, geyol) di depan peserta diskusi publik tentang kepentingan krusial peninjauan ulang UU Pornografi di Kampus UI, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Hasilnya? ”Aneh,” bisik seorang peserta diskusi. Si penari memang masih bergoyang, tetapi kaku.

Dalam diskusi memperingati 25 tahun ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) itu, pendamping penari, Mang Gian, menegaskan, jaipong tanpa ”3G” kehilangan rohnya.

Sebelumnya, pernyataan Gubernur Jawa Barat ”agar gerakan jaipong dikurangi” menyasar inti kontroversi UU No 44/2008 yang disahkan pada 30 Oktober 2008. Meski hanya imbauan, pernyataan itu juga dikhawatirkan para seniman memasung kreativitas karena bisa diterjemahkan sebagai ”keharusan” oleh aparat di lapangan.

Dalam diskusi publik di UI sempat terjadi silang pendapat antara Netty Prasetijani, istri Gubernur Jawa Barat, dengan Agnes Dwi Rusdiati dari Masyarakat Jawa Barat Tolak UU Pornografi. Netty mengatakan, suaminya tidak pernah menyatakan melarang ”3G” dalam jaipong. Ia menyalahkan pers yang dianggap memelintir pernyataan itu.

Namun, menurut Agnes,, pihaknya berkali-kali, dengan surat resmi, mencoba menemui Netty untuk meminta konfirmasi tentang hal itu, tetapi selalu gagal. ”Sekalinya diterima, kami dihadang barikade polisi,” ujar Agnes. Polemik jaipong diselesaikan melalui pertemuan dengan seniman, budayawan, dan para sesepuh Jawa Barat di rumah seniman pencipta tari jaipong, Gugum Gumbira Tirasonjaya, pada 9 Februari 2009.

Gubernur memberikan klarifikasi dia tak pernah mengeluarkan pernyataan melarang ”3G” dalam jaipong, tetapi ia juga mengatakan, menjaga moral bangsa melalui cara berpakaian adalah komitmen. Ia juga menyatakan harus ada harmonisasi antara seni dan moralitas (Pikiran Rakyat, 10 Februari 2009).

”Morality cannot be legislated but behaviour can be regulated,” ujar ahli hukum JE Sahetapy, mengutip Martin Luther King, di depan Mahkamah Konstitusi (MK) ketika menjadi saksi pihak yang mengajukan judicial review terhadap UU itu. Dengan rumusan lain, ahli hukum Soetandyo Wignjosoebroto menegaskan hal senada.

Masalah moralitas yang menjadi subyek kontroversi dalam UU Pornografi ini tampaknya tidak dipertimbangkan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono, yang juga luput mengamati perbedaan antara ”melindungi” dan ”mengontrol”. Pasal 1 tentang Definisi Pornografi yang sumir dan multitafsir kental dengan nuansa kontrol.

Atas nama ”moralitas” masyarakat, UU itu luput melindungi perempuan dan anak dari kekerasan dan eksploitasi seksual yang jadi esensi pornografi, ujar guru besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum UI, Sulistyowati Irianto. UU itu juga mengkriminalisasi tubuh dan seksualitas perempuan melalui cara berpakaian dan gerakan.

UU itu adalah legislative misbaksel, kata Sahetapy, ”Karena tak didahului rancangan akademis yang obyektif berdasarkan penelitian yang memenuhi kaidah pengkajian secara filosofis, sosiologis, dan yuridis yang dapat dipertanggungjawabkan.”

Sahetapy dan Soetandyo menyatakan, UU tentang Pornografi telah mengingkari landasan dan prinsip-prinsip yang disepakati ketika membentuk bangsa ini, yakni Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila. Pelanggaran itu tergambarkan antara lain lewat Pasal-pasal 1, 4, 5, 8, 20, dan 21.

Secara prosedural mekanisme pembuatannya menabrak UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta Tata Tertib DPR. ”Prosedur pembuatannya direkayasa secara politik, mudah menyulut dan menebar racun perpecahan yang menghancurkan negara ini,” ujar Sahetapy.

Sebagai catatan, hanya Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang sangat keras berjuang menolak RUU Pornografi.

UU itu juga mengingkari Konvensi CEDAW yang disahkan melalui UU No 7/1984, bahkan mengingkari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil, Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya, kata pakar hukum internasional Enny Suprapto.

Dalam tanggapannya, pihak DPR mengatakan, tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan UU Pornografi, kalau suatu karya kreatif (seni) hanya dipertunjukkan di kalangan masyarakat yang bisa menerima.

”Justru ini membatasi dan tidak menghargai kebinekaan kita,” sergah Sri Nurherwati dari LBH-APIK, seraya menjelaskan, persidangan di MK masih tertunda karena pilpres.

DPR juga menyatakan UU itu tidak diskriminatif karena tak membedakan masyarakat atas dasar apa pun. ”Justru itu menimbulkan diskriminasi karena memang harus ada perlakuan khusus pada kelompok masyarakat yang dianggap berbeda,” sambung Nurherwati.

(MARIA HARTININGSIH/NINUK M PAMBUDY)

Thursday, August 6, 2009

Perempuan Berbisik 43: Priyanka Chopra, Pendidikan Anak (Perempuan)



Priyanka Chopra,
Pendidikan Anak (PEREMPUAN)


Kamis, 6 Agustus 2009 | 03:33 WIB

Salah satu aktris papan atas India, Priyanka Chopra, ternyata punya keprihatinan mendalam soal pendidikan anak-anak perempuan. Dia mengampanyekan pentingnya orangtua memberikan perhatian kepada anak-anak perempuannya.

”Saya merasakan sakit hati ketika ada orangtua memberi tahu anak perempuannya bahwa dia tidak sama statusnya dengan laki-laki. Sampai sekarang masih ada pembunuhan janin perempuan karena hanya menginginkan anak laki-laki,” katanya.

Kebetulan, di Mumbai ada insiden pembuangan bayi perempuan dan diindikasikan terkait kecenderungan orangtua yang tak menginginkan anak perempuan. ”Itu insiden yang mengejutkan. Mereka membuang anak itu setelah lahir,” katanya.

Mantan Miss World ini menekankan pentingnya pendidikan untuk anak-anak perempuan. ”Tiap anak perempuan harus mendapatkan pendidikan yang baik agar bisa mandiri. Lama sekali orang-orang baru menyadari bahwa perempuan itu bisa sejajar dan bahkan lebih baik dibandingkan laki-laki,” kata bintang Drona (2008) ini.

”Pendidikan itu sangat penting. Dengan cara itu, dia akan dapat meraih keluarga yang lebih baik dan membentuk masyarakat yang lebih baik,” katanya. Priyanka sejak kecil juga sudah berusaha membantu anak-anak miskin agar bisa membaca dengan memberi mereka buku-buku bacaan. (WENN/AMR)

Posts Archive


PEREMPUAN = SRIKANDI ?

Kenapa PEREMPUAN PEJUANG sering disebut SRIKANDI.
APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?
Kutelusuri WIKIPEDIA, kutemukan entri SRIKANDI ini

Srikandi (Sanskerta: Śikhaṇḍī) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata vrsi India.
Arti nama
Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".
Srikandi dalam Mahabharata
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Perang di Kurukshetra
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Srikandi dalam Pewayangan Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

JADI, APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?

*********

PEREMPUAN DAN PENDIDIKAN
Rinny Soegiyoharto (catatan tak selesai pada april 2006)

Ragam aktivitas ke-Kartini-an sebagai simbol emansipasi kaum perempuan seperti sebuah rutinitas lebih bergaung pada bulan April mendekati hari keduapuluhsatu. Ditandai aneka lomba dan berbagai atribut keperempuanan yang adakalanya malah tampak sekadar wujud lahiriah dan kasat mata. Sebut saja lomba berkebaya, lomba masak, lomba pasang dasi, lomba merias wajah, dan sebagainya.

*** *** *** *** ***

-DRAFT--Wanita. Meski berpadan dengan perempuan, namun kata dasar “empu” pada perempuan terasa lebih nyaman dan membanggakan, oleh sebab itu saya suka menggunakan kata “perempuan”, termasuk dalam menamai blog saya.-
Perempuan, sadar soal pentingnya pendidikan terhadap anak-anak, karena di "dalam" perempuan terdapat beban psikologis memperjuangkan dirinya sendiri, terus-menerus. Utamanya dalam hal pendidikan (sudah diterobos Kartini). Guru TK-SD bahkan SMP kebanyakan perempuan. Bapak-bapak lebih banyak muncul dan berperan pada tingkat pendidikan lanjutan atas (SMA), dimana pendidikan dasar telah ditanamkan lebih dahulu oleh ibu-ibu guru. Mengapa? Sekali lagi karena perempuan secara lahiriah dan kodrati justru memikul tanggung jawab pendidikan itu sendiri yang dimulai pada dirinya sendiri. Maka, bapak-bapak guru lebih kepada transfer of knowledge, ketimbang hal-hal mendasar yang lebih berhubungan dengan pembangunan karakter, penanaman proses belajar dan pengertian-pengertian dasar untuk dan selama manusia menempuh proses pendidikan.- Pendidikan: mencakup attitude/sikap, yakni kognitif, afektif dan perilaku. Pengembangan kepribadian, pembiasaan good character, kesadaran dan tanggung jawab akan masa depan pribadi/diri sendiri yang mempengaruhi masa depan keluarga dan kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara, dll.- Bukan diskriminasi yang mengarah pada gerakan feminisme.- Perbedaan sesuatu yang dirayakan bersama sebagai unsur2 yg saling bersinergi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan bersama: orangtua, pendidik, bangsa dan negara.- Berkaitan erat dengan UU Anti-KDRT. Jika perempuan terus ditindas, bahkan di dalam rumah tangganya sendiri, bagaimana mungkin perempuan dapat bertugas/ berkiprah/ bertindak optimal untuk mendidik anak-anak, baik anak sendiri maupun anak-anak didik apabila ia seorang guru? Kendati lagi, waktu terus merambah, persaingan global semakin cepat dan menantang, anak tidak berhenti tumbuh dan berkembang, suatu waktu akan tiba ketika anak mulai lebih banyak mencurahkan porsi proses pendidikannya pada pemenuhan kognitif, belajar ilmu2 tinggi, yg bisa jadi sebagian besar diberikan oleh laki-laki, bapak2 yg menitikberatkan pada perkembangan kognitif.- Perempuan & laki2 lebih kepada pembagian peran, baik dalam pendidikan di dalam rumah tangga, maupun pendidikan secara luas, formal & informal. Karena baik dari segi struktur fisiologis dan psikologis serta kultural dan sejarah di dalam masyarakat kita, telah membentuk sebuah perbedaan laki2 dan perempuan, yang harus kita rayakan bersama-sama membentuk manusia-manusia berkualitas dlm diri anak2 kita sebagai proses pendidikan menuju masa depan cerah mengikuti kecerahan janji bangsa ini. Amin.-

Pendidikan dimulai dari rumah. Peran ibu sebagai objek kelekatan anak yang pertama terhadap proses pendidikan anak tentulah tidak kecil. Sebagai perempuan, tentunya ibu harus tidak hanya memberikan pelajaran, namun pendidikan kasih sayang, penanaman afeksi, unsur penting bagi rasa nyaman dan aman bagi anak, karena merasa dicintai. Bagaimana mungkin ibu dapat menanam benih cinta pada anak apabila dia sendiri mengalami kekerasan dalam rumah tangga.***