Friday, September 28, 2012

#156 - The Ladies Team From Indonesia & Timor Leste :-)

by Rinny Soegiyoharto @RinnyLaPrincesa

We took this picture before the next session of presentation of Human Rights Protection in Indonesia by Dr Dinna Wisnu, relating to the issues which has been taking as main title of the conference.
In that annual conference, while each partner's upcoming program have been going to deliver, and been discussed as well, we also very glad as a big family reunion. The moment served us more than only actively involved in the conference, but were taking for granted as chance of laugh, share, take photos, and so on.
KAS's Partner Conference which held in Singhasari Resort, Batu, Malang, East Java, on September 24-27, 2012, attended by more than 30 participants from 14 partners in Indonesia & Timor Leste. Loved the moment as we can talked each other, learned, and discussed everything.
More than that, when met Paula & Julieta from Women Caucus Timor Leste (refer to the photo), Prof Johana & me (KAS's Women Team) very happy knew that 4 (four) of participant on the workshop which we did in Timor Leste on last April, have been elected in parliament. Wow!

And now proudly introduce the Ladies Team from Indonesia & Timor Leste in the photo (from left to right): Rinny Soegiyoharto (Indonesia), Paula Corte (Timor Leste), Prof Johana E Prawitasari (Indonesia), Julieta da Silva (Timor Leste).

"Obrigada" anyway :-)
See you on the next programme ;-)
•••
®egards,
Rinny Soegiyoharto
«
«

Sunday, September 23, 2012

#155 - The Anthology of Quotes (part-1)

I like quotes, and I've been writing quotes as well. Herewith some quotes copied & pasted by me coming from several sources that I loved. Enjoy it. Hope it useful for our life. I love yoU. (Introduction by @RinnyLaPrincesa)

@GODs_Graces: For the wages of sin is death, but the gift of God is eternal life in Christ Jesus our Lord. -Rom 6:23

@Women_Of_Christ: Do everything in love. -1 Corinthians 16:14

@LovLikeJesus: God requires us to love people even when we don't like them. -Joyce Meyer

@WomansWisdom: Life is a game, play it.-Mother Teresa

@Women_Of_Christ: Do everything in love. -1 Corinthians 16:14

@disneywords: Believe in the future. The world is getting better. There still is plenty of opportunity. –Walt Disney

@Fit_Motivator: There are many things that are essential to arriving at true peace of mind, & one of the most important is faith. -John Wooden

@Inspire_Us: You never achieve success unless you like what you are doing. -Dale Carnegie

@disneywords: A little "It's ok to make a small mistake". It isn't much, but it means a lot. –Belle (Belle's Magical World)

@Women_Sports: Don't be afraid your life will end; be afraid that it will never begin. -Grace Hansen

@disneywords: Things never happen the same way twice, dear one. –Aslan (The Chronicles of Narnia)

@Inspire_Us: A life is not important except in the impact it has on other lives. -Jackie Robinson

@disneywords: You'll never stop the raining by sitting and complaining. It all comes down to you. –Cinderella II

@TheGodLight: If you always look to another to resolve your problems, you will never learn, life is teaching you, if you would listen!

@PrayInFaith: The things we think about, focus on, and surround ourselves with will shape who we become.

@Zen_Moments: You must not lose faith in humanity. Humanity is an ocean; if a few drops are dirty the ocean does not become dirty. ~ Gandhi

•••
®egards,
Rinny Soegiyoharto
«
«

Saturday, September 22, 2012

#154 - Suara Hati vs Suara Nafsu

by Rinny Soegiyoharto @RinnyLaPrincesa

"Maybe it's time to stop someone else's orders and start following your heart" (DisneyWords)

Ketika menggodog program televisi sebagai salah satu aktivitas unggulan organisasi kami, proses pematangan konsep Disney yang melahirkan begitu banyak inspirasi & model bagi penghuni dunia, menjadi satu referensi yang digemari.
Sepenggal kalimat yang saya kutip di atas, misalnya, tidak serta merta lahir tanpa latar belakang pemikiran & pengelolaan kualitas rasa yang tinggi. Ia lahir dalam dialog-dialog, ataupun monolog, namun saat dikutip sepenggal ia bisa berdiri sendiri membawa inspirasi, & bahkan spirit. Luar biasa!

Saya lanjutkan, introduksi di atas agak lepas dari apa yang ingin saya tuangkan berikut ini. Meskipun kutipan tersebut adalah salah satu sumber inspirasinya.
Dalam interaksi kita dengan orang-orang di sekeliling kita, utamanya yang memiliki ikatan emosional tertentu (saudara, pasangan hidup, kekasih, mantan, sahabat, dsb), komunikasi yang terjalin mungkin lebih dekat & lebih terbuka.
Akan tetapi yang seringkali terjadi tanpa disadari, justru komunikasi tersebut menjadi bias (menyimpang) dari isi hati kita sendiri. Mempercayai orang terdekat, lalu menuntutnya berkata jujur, adalah salah satu hambatan yang menciptakan gap (baca: kekurang-terus-terangan).

Setiap kita mempunyai suara hati (inner voice). Sayangnya suara hati itu jarang didengarkan. Orang lebih suka menuntut pengakuan orang lain (orang dekatnya) ketimbang mendengarkan bisikan kalbunya sendiri. Hingga alih-alih mendengarkan kejernihan suara hati sendiri, orang cenderung mempercayai ketidak-terus-terangan yang didengarnya. Ia lebih suka mendengarkan yang ingin ia dengar daripada menajamkan hati pada suaranya sendiri. Ini yang saya sebut 'suara nafsu'.
Ia marah & menolak suara hatinya, ia lebih suka memaksakan pengakuan yang terpaksa diberikan orang secara tidak benar karena terdesak oleh paksaan-paksaan yang memojokkan, menakutkan. Padahal tindakan memaksa itu sesungguhnya sudah tergolong tindak kekerasan.

Kecenderungan itu menjadikan ketidak-bahagiaan makin tajam. "Faking behavior" yang ditampilkan makin kuat. Akhirnya somatisasi menjadi habit/kebiasaan, demi mendapatkan perhatian khusus & belas kasihan. Perilaku seperti ini mempengaruhi lingkungan, terutama orang-orang terdekat. Menjadi virus yang menjangkiti banyak orang tanpa mereka sadari. Indikatornya, toleransi makin kuat dari pihak-pihak yang tidak mengerti, yang melihatnya seolah-olah benar adanya. Benar-benar tidak sadar. Mungkin jika diingatkan pun cenderung akan berlaku sama: marah, menolak, menyerang. Perilaku yang muncul akhirnya cenderung seragam. Lingkungan tersebut menjadi kian eksklusif, bisa dalam volumenya yang tetap, namun bisa juga berkembang mempengaruhi lingkaran di lapis keduanya, yang tanpa sadar masuk ke dalam situasi.

Inilah yang kemudian perlu diatasi dengan intervensi psikososial, terlebih apabila berpotensi merusak tatanan sosial dalam suatu lingkungan. Layanan publik merupakan salah satu lingkungan sosial yang tidak boleh dijangkiti pengrusakan tatanan psikososial semacam itu. Kredibilitasnya pasti menurun.

Semua ini artinya, kerusakan tatanan sosial masyarakat dimulai dari individu-individu yang ada di dalamnya. Lingkaran pengaruh antar individu, & individu dengan organisasi, faktor penting & krusial untuk terus dimonitor. Akibat 'suara hati' dipermainkan oleh 'suara nafsu' yang semua ada di dalam dirinya sendiri, individu menjadi anti-sosial (egosentris).

Demikian. Begitu saja dulu coretan akhir pekan saya. Sembari menyelesaikan pembangunan monumen, saya intermezzo dengan mencoret-coret di rumah saya sendiri. Silakan menikmati apa adanya. Semoga bermanfaat. *wink*
•••
®egards,
Rinny Soegiyoharto
«
«

Wednesday, September 19, 2012

#153 - Ada Masa Ada Musim

by Rinny Soegiyoharto @RinnyLaPrincesa

Saat ini kutipan "segala sesuatu indah pada waktunya" menjadi marak dan dipakai umum. Mewujud sebagai suatu frasa motivasi bagi banyak orang, sebab ada janji dan harapan dalam kalimat tersebut, yang (setidaknya) memberikan makna sabar, menerima, ikhlas, damai dan sukacita.
Sejak perjalanan panjang katekisasi selama dua tahun (1985-1987), hingga peneguhan sidi pada 1987, kutipan dari Pengkhotbah 3:11 tersebut saya golongkan sebagai favorit. Bahkan kemudian saya kutip sebagai motto di karya tugas akhir Psikologi saya, digandengkan dengan ayat pertamanya.

Selengkapnya saya kutip ulang sebagai berikut:
"1) Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.
11) IA membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir."
(Pengkhotbah 3 : 1, 11)
Dalam Alkitab, ayat-ayat tersebut terangkum pada perikop yang oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) diberi judul: Untuk segala sesuatu ada waktunya (Pengkhotbah 3:1-15).

Saya suka kutipan tersebut dengan beberapa alasan subjektif. Dapat saya ungkapkan di sini,
Pertama,
Tentu saja mengantarkan "rasa tenteram", bahwa kesulitan tak 'kan selamanya bertahan dalam hidup, sebab kesenangan dan kemudahan akan menggantikannya. Bahwa akan ada pelangi sehabis hujan; ada sukacita menggantikan dukacita; ada bahagia setelah masa kemuraman.

Kedua,
Saya sebagai manusia tidak bertanggung jawab sendirian terhadap segala hal yang terjadi dalam kehidupan saya. Karena ada janji yang disampaikan mengenai "segala sesuatu ada waktunya". Berarti sudah ada Yang Mengatur, & itu bukan saya. Jadi karena saya hanya manusia, tidak mungkin saya yang mengatur waktu-waktu untuk segala sesuatu, maka tanggung jawab itu dipikul oleh Yang Mengatur.

Ketiga,
Bahkan lebih ditegaskan lagi, "manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir", yang berarti saya sebagai manusia punya tempat untuk menyandarkan diri (alih-alih berharap & bisa menyalahkan pihak lain). Sebab sebagai hanya manusia, saya tidak punya pengertian yang tinggi untuk memahami proses rencana Allah, bahkan dari awal sampai akhir.

Keempat,
Ketika saya mendekati momen yang memberikan rasa senang, rasa puas, bahagia, lega, sukacita, itu semua merupakan bagian dari rencana Allah. Sudah hak saya untuk menerima dan mengalaminya, juga hak saya untuk menanti-nanti masa itu sebagaimana telah dijanjikan.

Masih ada beberapa alasan lain yang bunyinya mirip-mirip dengan keempat hal tersebut.
Lihat! Saya (tidak menyebut Anda, silakan direnungkan sendiri) sebagai manusia ternyata diliputi ide-ide pementingan diri, bukan?
Dalam psikologi, gejala tersebut dibahaskan manusia sangat cenderung mendekati, mencari, berjuang, menggapai, meraih, bahkan merebut, apa yang disebut "pleasure".
Manusia suka pada hal-hal yang berasosiasi dengan kesenangan, perasaan-perasaan 'enak', situasi-situasi menguntungkan bagi dirinya. Itu pula sebabnya 'berpikir positif' sebagai jembatan meraih berbagai kesenangan hidup menjadi favorit semua orang, meskipun kebanyakan sebatas jargon, kata motivasi belaka.

Lalu saya tanya pada diri saya, apakah pada saat saya sedang merasa gembira (dalam ukuran duniawi) pernahkah saya ingin kondisi itu berubah? Mana ada orang yang mau? Padahal kalau merujuk pada janji dalam kutipan tersebut di awal tulisan ini, "indah pada waktunya" itu tidak menjabarkan atau tidak mengejawantahkan atau tidak diasosiasikan dengan kondisi nyaman, bahagia, senang, dan sebagainya.

Indah, itu kata yang baik, yang berkonotasi positif, yang seakan-akan selalu memuat kisah menyenangkan dari suatu situasi.
Coba sekarang saya mau berpikir yang agak 'nyeleneh' dari pemahaman arus utama mengenai 'indah'. Misalnya, 'indah' saya ganti dengan kata 'sesuai'. Jadi kalimat pendek kutipan tersebut menjadi: "segala sesuatu sesuai pada waktunya".
Hhhhmmmm... Kutipan tersebut berubah makna. Rasanya penekanan pada janji & harapan jadi agak berkurang. Mungkin malah tidak menarik lagi untuk sering dikutip.

Padahal tidak! Sesungguhnya kalau kita...eh saya mau memahami secara mendalam seluruh isi perikop tempat kutipan itu dicuplik, memang tidak ada janji-janji surga tentang rasa senang, bahagia, untung, menang, apalagi eforia. Jelas yang dikatakan bahwa segala sesuatu sudah diatur seturut dengan waktu dan masanya. Tidak lebih dan tidak kurang! Segala sesuatu ada waktunya, ada masanya, ada musimnya.
Apapun situasi dan kondisinya, segala sesuatu sudah pada masa yang sesuai, yang tepat, yang tidak salah.
Faktor-faktor apa saja yang kita masing-masing hadapi dalam suatu waktu, suatu masa, suatu musim, itu semua sudah pas.
Bahkan ketika kita harus berjuang keras untuk memperoleh situasi damai, aman, tenteram, sejahtera, itu juga pas.

Dan semua itu pun pasti berlalu! Karena segala sesuatu indah (tepat) pada waktunya.
Masa ketika saya berada dalam musim-musim diskusi yang merangsang 'analytical thinking' saya dahulu, mungkin masih bisa bermusim lagi, ketika faktor-faktor yang membangunnya tersedia, sesuai, tepat, dan ada. Meski saya inginkan hal itu ada saat ini, tapi yang tepat dan pas untuk terjadi sekarang pasti tak 'kan persis seperti dahulu.
Yang dahulu sudah berlalu, yang sekarang sedang berlangsung, yang akan datang belum terbayang.

Demikianlah. "Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya." Dan ini pun akan berlalu. And this too will pass.

Apakah yang tidak akan berlalu? Kasih yang 'agape'! Jika aku dan kau memiliki serta memeliharanya di dalam kehidupan kita.
Dunia ini akan lenyap, namun KASIH tinggal tetap. Tuhan memberkati.

Rinny Soegiyoharto
19 September 2012
*aku menulis maka aku ada*
•••
®egards,
Rinny Soegiyoharto
«
«

Tuesday, September 18, 2012

#152 - Sepucuk Dalam Secarik

Sayang,
Kau pasti tau, betapa aku
seringkali ingin menulis
untukmu
meski hanya sepenggal ucap
dan
selarik kata-kata dalam
secarik layar berkedip yang
dulu mendebarkan jantungku
seperti hendak
mendapat intan yang
kini
masih mendebarkan jantungku
dengan getaran cemas dan
takut...ah berubah
memang, namun masih
bergetar
ada rindu yang mengalun
lirih
membisikkan nada-nada
yang kita makin sulit ujarkan
satu sama lain

Sayang,
Kau pasti tau, betapa aku
mendesahkan rasa lewat
doa-doa bersambung
yang tiada henti di
waktu-waktu kita
dan senantiasa telinga
hatiku menangkap
melodi cinta pada
getar suaramu pun
pada cemasmu yang kuat
wajahmu airmatamu mohonmu
agar pisah itu menjauh sejauhnya

Sayang,
Sepucuk ini adalah irama kita
dalam secarik layar berkedip
terpelihara dekati sekian warsa
bergetarkah ia?

Sayang,

puisinya Rinny Soegiyoharto @RinnyLaPrincesa
September 2012
•••
®egards,
Rinny Soegiyoharto
«
«

#151 - Isi-nya Tentang 'Curhat-ku

by Rinny Soegiyoharto @RinnyLaPrincesa

Kali ini aku benar-benar 'curhat'. Selain menegaskan bahwa aku (masih) hidup, menulis juga adalah 'alat terapi' untukku. Ketika tekanan-tekanan hidup mendera, setidaknya dengan menulis aku dapat menuangkan sebagian yang terasa menyesakkan. Sejak dulu aku katarsis melalui kata-kata tertulis. Meskipun (seringkali) implisit.
Benar, aku psikolog, yang kerap terasa berat bagiku menyandangnya. Bukan hanya citra yang melekat sebagai beban profesi, tetapi juga harapan-harapan yang diletakkan pada penyandangnya.

Menulis seperti kali ini bukan juga hal ringan, karena aku harus mempersiapkan mental menerima pertanyaan-pertanyaan, komentar, cibiran, keraguan, dan sebagainya. Baik yang diungkapkan langsung maupun yang hanya tertangkap melalui ekspresi, emoticon, 'nggremengan', cemo'ohan di belakang, bahkan (boleh jadi) juga fitnah.
Tapi aku sudah siap. Apapun persepsi dan tudingan terhadapku, aku terima dengan berbagai rasa, sembari terus berlatih makin meluaskan hati.

Tanpa bermaksud membela diri, namun analogi ini relevan kuajukan untuk melengkapi coretanku. Yakni, apakah dokter dan ahli medis tidak pernah sakit? Bukankah mereka juga manusia, hingga logis dan sangat wajar apabila mereka sakit serta butuh penyembuhan.
Ekual dan tidak berlebihan jika aku berkata, "psikolog juga manusia biasa, punya masalah psikologis, yang membutuhkan proses terapi bagi pemulihannya."

Aku tidak berharap banyak pada pemahaman orang lain terhadapku. Sebagaimana yang selama bertahun-tahun ini kuhadapi, setiap orang ingin ditolong, setiap orang merasa istimewa untuk dimengerti. Mungkin aku pun begitu, meski aku merepres segalanya demi proses pemulihan bagi diriku sendiri.
Aku sering menyesal ketika pengendalian diriku lepas pada saat-saat tertentu. Inilah yang menjadi salah satu sumber pencetus; aku terlalu keras pada diri sendiri untuk selalu bertahan dalam kondisi 'baik-baik saja', padahal tidak. Posisi seperti ini menjadi makin berat ketika penyesalan-penyesalan tersebut bertubi-tubi, sementara tekanan-tekanan juga tidak berhenti.

Lantas, apakah dengan munculnya 'insight' seperti itu maka aku segera melaksanakan tahap-tahap 'self-recovery'? No! Karena tidak mudah ketika aku harus melakukannya seorang diri. Dengan penuh kesadaran, permasalahan psikologis tidak muncul hanya oleh satu faktor tunggal. Demikian juga tidak muncul hanya dari diriku sendiri. Aku (dan kita semua) selalu berinteraksi dengan lingkungan, dengan orang-orang yang mengelilingi hidupku (kita).

Jarak antar orang dalam interaksi antarpribadi bukan hanya dibatasi ruang dan waktu. Artinya, kita tidak hanya memiliki ikatan emosional dengan orang-orang yang dapat kita jumpai secara fisik sesering mungkin. Kita juga berhubungan dengan orang-orang yang beratus-ratus bahkan ribuan kilometer jaraknya dari kita, bukan? Tetapi mereka memberikan pengaruh besar bagi fluktuasi emosi dan suasana batin kita. Bahkan kita juga tetap memiliki tali batin yang mempengaruhi emosi kita, dengan orang-orang yang sudah tiada.

Kembali lagi, tentang 'curhat'ku kali ini, ternyata masih saja lebih bersifat implisit daripada terbuka. Aku tentu tahu maknanya, yakni berkaitan dengan kepribadianku (bisa juga dimanfaatkan oleh kamu yang membutuhkan informasi ini). Kepribadian yang aku maksud yakni tipe tertutup (introver) yang terkamuflase oleh perilaku terbuka, diindikasikan dengan keramahan, mudah berkomunikasi, mudah berkenalan, dapat bergurau dan tertawa-tawa, bahkan dapat menyampaikan kata-kata yang 'agak keras' kepada orang lain. Sekali lagi itu kamuflase. Karena ketertutupan akan masalah-masalah yang sesungguhnya dirasakan hanya boleh diketahui persis oleh diri sendiri dan 'orang kepercayaan', jauh lebih dominan.

Jadi, betapa menulis sungguh-sungguh alat terapi bagiku (dan yang sepertiku). Meski ketertutupan pada akar masalah tetap lebih dominan, namun kata-kata yang mengalir dalam tulisan adalah katarsis yang mampu memulihkan.
Bagi yang sempat membaca dan punya waktu, silakan menganalisis isi 'curhat'an ini. Aku yakin jika kamu cermat dan sabar, kamu dapat mengenalku dengan sangat baik. Mungkin saja kamu dapat menjadi konselor pribadiku. *ngarep.deh* :-)

Demikianlah. Aku menulis maka aku ada. Sudah selesai sampai di sini dulu. Masih akan ada episode 'curhat' berikutnya. Semoga.

18 September 2012 ~ Happy Birthday to my beloved Papi. You are so great! Thank you for all, Great Man.
•••
®egards,
Rinny Soegiyoharto
«
«

Posts Archive


PEREMPUAN = SRIKANDI ?

Kenapa PEREMPUAN PEJUANG sering disebut SRIKANDI.
APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?
Kutelusuri WIKIPEDIA, kutemukan entri SRIKANDI ini

Srikandi (Sanskerta: Śikhaṇḍī) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata vrsi India.
Arti nama
Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".
Srikandi dalam Mahabharata
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Perang di Kurukshetra
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Srikandi dalam Pewayangan Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

JADI, APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?

*********

PEREMPUAN DAN PENDIDIKAN
Rinny Soegiyoharto (catatan tak selesai pada april 2006)

Ragam aktivitas ke-Kartini-an sebagai simbol emansipasi kaum perempuan seperti sebuah rutinitas lebih bergaung pada bulan April mendekati hari keduapuluhsatu. Ditandai aneka lomba dan berbagai atribut keperempuanan yang adakalanya malah tampak sekadar wujud lahiriah dan kasat mata. Sebut saja lomba berkebaya, lomba masak, lomba pasang dasi, lomba merias wajah, dan sebagainya.

*** *** *** *** ***

-DRAFT--Wanita. Meski berpadan dengan perempuan, namun kata dasar “empu” pada perempuan terasa lebih nyaman dan membanggakan, oleh sebab itu saya suka menggunakan kata “perempuan”, termasuk dalam menamai blog saya.-
Perempuan, sadar soal pentingnya pendidikan terhadap anak-anak, karena di "dalam" perempuan terdapat beban psikologis memperjuangkan dirinya sendiri, terus-menerus. Utamanya dalam hal pendidikan (sudah diterobos Kartini). Guru TK-SD bahkan SMP kebanyakan perempuan. Bapak-bapak lebih banyak muncul dan berperan pada tingkat pendidikan lanjutan atas (SMA), dimana pendidikan dasar telah ditanamkan lebih dahulu oleh ibu-ibu guru. Mengapa? Sekali lagi karena perempuan secara lahiriah dan kodrati justru memikul tanggung jawab pendidikan itu sendiri yang dimulai pada dirinya sendiri. Maka, bapak-bapak guru lebih kepada transfer of knowledge, ketimbang hal-hal mendasar yang lebih berhubungan dengan pembangunan karakter, penanaman proses belajar dan pengertian-pengertian dasar untuk dan selama manusia menempuh proses pendidikan.- Pendidikan: mencakup attitude/sikap, yakni kognitif, afektif dan perilaku. Pengembangan kepribadian, pembiasaan good character, kesadaran dan tanggung jawab akan masa depan pribadi/diri sendiri yang mempengaruhi masa depan keluarga dan kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara, dll.- Bukan diskriminasi yang mengarah pada gerakan feminisme.- Perbedaan sesuatu yang dirayakan bersama sebagai unsur2 yg saling bersinergi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan bersama: orangtua, pendidik, bangsa dan negara.- Berkaitan erat dengan UU Anti-KDRT. Jika perempuan terus ditindas, bahkan di dalam rumah tangganya sendiri, bagaimana mungkin perempuan dapat bertugas/ berkiprah/ bertindak optimal untuk mendidik anak-anak, baik anak sendiri maupun anak-anak didik apabila ia seorang guru? Kendati lagi, waktu terus merambah, persaingan global semakin cepat dan menantang, anak tidak berhenti tumbuh dan berkembang, suatu waktu akan tiba ketika anak mulai lebih banyak mencurahkan porsi proses pendidikannya pada pemenuhan kognitif, belajar ilmu2 tinggi, yg bisa jadi sebagian besar diberikan oleh laki-laki, bapak2 yg menitikberatkan pada perkembangan kognitif.- Perempuan & laki2 lebih kepada pembagian peran, baik dalam pendidikan di dalam rumah tangga, maupun pendidikan secara luas, formal & informal. Karena baik dari segi struktur fisiologis dan psikologis serta kultural dan sejarah di dalam masyarakat kita, telah membentuk sebuah perbedaan laki2 dan perempuan, yang harus kita rayakan bersama-sama membentuk manusia-manusia berkualitas dlm diri anak2 kita sebagai proses pendidikan menuju masa depan cerah mengikuti kecerahan janji bangsa ini. Amin.-

Pendidikan dimulai dari rumah. Peran ibu sebagai objek kelekatan anak yang pertama terhadap proses pendidikan anak tentulah tidak kecil. Sebagai perempuan, tentunya ibu harus tidak hanya memberikan pelajaran, namun pendidikan kasih sayang, penanaman afeksi, unsur penting bagi rasa nyaman dan aman bagi anak, karena merasa dicintai. Bagaimana mungkin ibu dapat menanam benih cinta pada anak apabila dia sendiri mengalami kekerasan dalam rumah tangga.***