"Maybe it's time to stop someone else's orders and start following your heart" (DisneyWords)
Ketika menggodog program televisi sebagai salah satu aktivitas unggulan organisasi kami, proses pematangan konsep Disney yang melahirkan begitu banyak inspirasi & model bagi penghuni dunia, menjadi satu referensi yang digemari.
Sepenggal kalimat yang saya kutip di atas, misalnya, tidak serta merta lahir tanpa latar belakang pemikiran & pengelolaan kualitas rasa yang tinggi. Ia lahir dalam dialog-dialog, ataupun monolog, namun saat dikutip sepenggal ia bisa berdiri sendiri membawa inspirasi, & bahkan spirit. Luar biasa!
Saya lanjutkan, introduksi di atas agak lepas dari apa yang ingin saya tuangkan berikut ini. Meskipun kutipan tersebut adalah salah satu sumber inspirasinya.
Dalam interaksi kita dengan orang-orang di sekeliling kita, utamanya yang memiliki ikatan emosional tertentu (saudara, pasangan hidup, kekasih, mantan, sahabat, dsb), komunikasi yang terjalin mungkin lebih dekat & lebih terbuka.
Akan tetapi yang seringkali terjadi tanpa disadari, justru komunikasi tersebut menjadi bias (menyimpang) dari isi hati kita sendiri. Mempercayai orang terdekat, lalu menuntutnya berkata jujur, adalah salah satu hambatan yang menciptakan gap (baca: kekurang-terus-terangan).
Setiap kita mempunyai suara hati (inner voice). Sayangnya suara hati itu jarang didengarkan. Orang lebih suka menuntut pengakuan orang lain (orang dekatnya) ketimbang mendengarkan bisikan kalbunya sendiri. Hingga alih-alih mendengarkan kejernihan suara hati sendiri, orang cenderung mempercayai ketidak-terus-terangan yang didengarnya. Ia lebih suka mendengarkan yang ingin ia dengar daripada menajamkan hati pada suaranya sendiri. Ini yang saya sebut 'suara nafsu'.
Ia marah & menolak suara hatinya, ia lebih suka memaksakan pengakuan yang terpaksa diberikan orang secara tidak benar karena terdesak oleh paksaan-paksaan yang memojokkan, menakutkan. Padahal tindakan memaksa itu sesungguhnya sudah tergolong tindak kekerasan.
Kecenderungan itu menjadikan ketidak-bahagiaan makin tajam. "Faking behavior" yang ditampilkan makin kuat. Akhirnya somatisasi menjadi habit/kebiasaan, demi mendapatkan perhatian khusus & belas kasihan. Perilaku seperti ini mempengaruhi lingkungan, terutama orang-orang terdekat. Menjadi virus yang menjangkiti banyak orang tanpa mereka sadari. Indikatornya, toleransi makin kuat dari pihak-pihak yang tidak mengerti, yang melihatnya seolah-olah benar adanya. Benar-benar tidak sadar. Mungkin jika diingatkan pun cenderung akan berlaku sama: marah, menolak, menyerang. Perilaku yang muncul akhirnya cenderung seragam. Lingkungan tersebut menjadi kian eksklusif, bisa dalam volumenya yang tetap, namun bisa juga berkembang mempengaruhi lingkaran di lapis keduanya, yang tanpa sadar masuk ke dalam situasi.
Inilah yang kemudian perlu diatasi dengan intervensi psikososial, terlebih apabila berpotensi merusak tatanan sosial dalam suatu lingkungan. Layanan publik merupakan salah satu lingkungan sosial yang tidak boleh dijangkiti pengrusakan tatanan psikososial semacam itu. Kredibilitasnya pasti menurun.
Semua ini artinya, kerusakan tatanan sosial masyarakat dimulai dari individu-individu yang ada di dalamnya. Lingkaran pengaruh antar individu, & individu dengan organisasi, faktor penting & krusial untuk terus dimonitor. Akibat 'suara hati' dipermainkan oleh 'suara nafsu' yang semua ada di dalam dirinya sendiri, individu menjadi anti-sosial (egosentris).
Demikian. Begitu saja dulu coretan akhir pekan saya. Sembari menyelesaikan pembangunan monumen, saya intermezzo dengan mencoret-coret di rumah saya sendiri. Silakan menikmati apa adanya. Semoga bermanfaat. *wink*
•••
®egards,
Rinny Soegiyoharto
«
«
No comments:
Post a Comment