Friday, November 25, 2011

#140 - Getting Old

by Rinny Soegiyoharto

~ menjadi tua itu pasti! menjadi dewasa itu pilihan! ~
Salah satu kalimat manis yang tak mudah hilang dari memori saya. Maaf jika saya lupa pada nama sosok berpengaruh yang mencetuskannya mula-mula. Kalimat tersebut saya dengar pertama kali dan sempat mendiskusikannya di dalam kelompok, pada saat saya tergabung dalam tim pionir pembangunan karakter, bertahun-tahun lampau.

Saya rasa itu kalimat yang pas. Tidak lebih, tidak kurang.
Saat ini saya merasa mulai menua secara fisik. Indikator yang saya rujuk antara lain, tulang-tulang yang mulai 'berderak' saat tubuh digerakkan. Juga penglihatan dan stamina yang jauh menurun. Presbyopi di atas plus 2 untuk membantu melihat deretan huruf-huruf, saya rasa bukti otentik yang tak bisa dimanipulasi, tentu selain dengan lensa kacamata. Tak ketinggalan, 'dia' yang rajin mendatangiku setahun terakhir ini, yang mengajariku bertahan dan makin bersyukur.

Banyak pelajaran 'menua' dan 'tua' yang kuserap dari sekitarku. Ada begitu banyak orang yang matang dan dewasa, selain usia yang bertambah dan menjadi tua secara alami. Tapi juga sangat banyak yang tidak yakin memilih menjadi dewasa. Bahkan perilaku serta ucapan-ucapan lisan dan tulisan yang sungguh mencerminkan kesenjangan signifikan dengan tua alamiah pada usia tubuhnya.

Saya berusaha belajar dari mereka yang merenta bersahaja dalam kerendahan hati, tulus, membangun generasi. Mereka yang tidak lagi mengukur sukses melalui hidupnya, melainkan sukses orang lain dalam ukiran tangannya. Mereka yang tak penting diri sendiri, yang tak hirau salah dan khilaf orang lain. Tentu saja mereka juga yang maju bagi orang lain, bukannya maju dari orang lain.
Mereka ini tidak sama. Ada yang benar-benar tua dalam usia dan matang sebagai pribadi. Ada pula yang memiliki pribadi matang dan konsisten, walaupun usianya relatif belum renta.

Betapa penting dan berharganya mereka. Kehidupan yang bergulir dalam penyerahan total tanpa diwarnai ambisi tahta, keserakahan harta dan kenikmatan buta. Dalam doa-doaku yang selalu berani, kuminta Gusti menuntunku menjadi dewasa seperti mereka. Proses yang berayun-ayun, indah dan luar biasa. Saya tahu, arahku benar, dikala segala sesuatu dalam tataran cosmic makro Maha Dahsyat. Sungguh-sungguh itu yang kumaksud, tak ingin hanya menjual namaNYA demi kepentingan rentannya manusia.

Dalam seluruh wawancara pemetaan dan pengembangan yang kulalui, sangat jarang menemukan sosok pemimpin yang dewasa mengembangkan orang lain. Ada banyak pemimpin dan calon pemimpin yang lebih suka berbicara 'aku' daripada 'timku'. Hingga keunggulan dan kebaikan orang lain menjadi ancaman. Hingga sangat sulit mengembangkan orang lain sesuai potensinya, tanpa batasan-batasan rasa takut terlampaui.

Ada banyak pemimpin (dalam hal ini pemimpin adalah profil yang 'dituakan') yang tak menyadari kesukaannya memamerkan diri pribadi untuk mengunggulkan citra kapasitasnya. Lupa mereka pada dukungan dan kepatuhan pengikut. Bahkan menentang pemimpin di atasnya dan tak menaruh respek. Bagaimanakah seorang pemimpin berempati pada pengikut/bawahan apabila ia sendiri tak mampu menjadi pengikut yang dewasa?

Ada juga banyak yang tak memilih dewasa, menghambat perkembangan yunior-yunior yang bersemangat mematangkan diri dalam proses belajar. Bukannya membimbing, menegur dengan kasih, mengajak bicara dalam suasana nyaman, malah menyerang tanpa ampun, demi menunjukkan kekuasaan yang seolah-olah tak pernah kikis.

Menjadi dewasa itu pilihan, tak kan mungkin dewasa jika tak pernah engkau memilihnya.

Mari menjadi tua dalam kematangan, kebijakan, kepasrahan, kerendahan-hati, penuh kasih-sayang dan sukacita tulus.

I wanna grow old with you, Sayang.
Let's grow together, to be old, and to be mature, indeed.
Be blessed.

Tuesday, November 22, 2011

#139 - Garuda Muda Terbanglah Makin Dewasa Dengan Kemudaanmu. GM Hebat!

by Rinny Soegiyoharto

Duapuluh satu November dua ribu sebelas,
Sekitar pukul enambelas lebih beberapa belas menit, saya melintas di dalam jalan (yang harusnya) bebas hambatan, di sekitar Senayan. Pamer; PAdat MERayap. Di ruas arteri bahkan jauh lebih pamer.
Gelora Bung Karno Senayan sungguh bergelora.

Dalam kurun pukul sembilan belas lewat beberapa belas, hingga duapuluh dua lewat beberapa belas bahkan puluh, tiupan angin nasionalisme mewarnai suasana negeriku Indonesia. Rasanya sebagian besar layar kaca di penjuru-penjuru negeri tak bergerak dari channel stasiun televisi yang menyiar langsung pertandingan FINAL SEPAKBOLA SEAGAMES dari Gelora Bung Karno.
Timnas Ind(ONE)sia GARUDA MUDA U-23 vs timnas M(ALAY)sia.

Uuuuufffhhh!!!
Tegang bos! Pemirsa mendadak jadi komentator. Jejaring sosial, grup-grup blackberry, dsb, jadi wadah ampuh katarsis pemirsa. Seru, bangga, tegang, kecewa, antusias, penuh harap, menghibur diri, tumpah ruah ah ah ah.

Pertandingan yang alot. Upaya-upaya yang giat luar biasa, bahkan pun 'diving' yang cantik hingga buruk.
{45 menit (kali) 2} (plus) 3 menit (plus) {15 menit (kali) 2} (plus) tendangan pinalti 5 (bagi) 5.
Luar biasa keras, bukan?
Pada menit-menit pertama, tim Garuda Muda mencetak gol pertama (dan satu-satunya dalam seluruh pertandingan 123 menit yang menegangkan), melalui oper-operan cakep di lini penyerang dan gelandang. Saya tidak menyebutkan nama-nama di sini, karena mereka adalah TIM.
Pada akhirnya dapat diimbangi dengan satu gol pihak tim negara (yang katanya tetangga, katanya serumpun, tapi... Huuuh!).

Anak-anak muda penuh daya juang, semangat dan kebanggaan merah-putih dan garuda dan bhinneka tunggal ika, menunjukkan hebatnya mereka.
Bukti kehebatan adalah nyata melalui 123 menit yang sangat melelahkan. Menguras energi fisik dan energi mental. Untung saja mereka tak mendengarkan komentar-komentar agak tak sedap yang menguar di berbagai sudut. Tidak ada yang salah dari komentar-komentar itu, karena sesungguhnya keluar dari perasaan bangga dan penuh harap pada anak-anak muda berseragam merah-putih yang tengah berlaga bagi bangsa-negara.

Pada akhirnya, tim GARUDA MUDA nan hebat, harus berserah pada hasil adu pinalti 5 dan 5. Bagian ini 'hanya' penentu. Menurut saya bukan lagi pertandingan. Karena faktor 'keberuntungan' dominan di sini.
Jika saya boleh berdoa tadi, bukan berarti doa saya dan jutaan pemirsa, penonton, masyarakat, tidak dikabulkan Yang Maha Kuasa.
Suara Tuhan berbisik: "Doa kalian ditunda pengabulannya. Ada yang lebih penting dari sekadar medali emas". Ơ̴̴̴̴̴̴͡ .̮ Ơ̴̴͡.

Ya. Kalau dipikir-pikir, usaha yang luar biasa, tekad dan daya juang hingga menit-menit terakhir, bisa disaksikan. Hebat betul.
Akan tetapi dalam proses itu, tetap ada pelajaran-pelajaran penting.
Pertandingan tetaplah pertandingan. Ada yang menang dan ada yang kalah. (Tapi ngga rela ya kalau si tetangga yang itu yang menang (⌣́_⌣̀)).

Tim GARUDA MUDA sudah hebat. Tapi mereka masih harus berupaya lebih hebat lagi. Sudah kompak dan bisa kerjasama satu sama lain. Tapi mereka masih harus mempertahankan kerjasama yang stabil. Kerjasama yang tidak digoyahkan oleh kepentingan pribadi untuk mencetak nama diri.
Mereka perlu merapatkan hati lebih lagi, agar bulu-bulu sayap Garuda makin rapat dan kuat, untuk terbang tanpa terjatuh parah. Terbang tinggi tanpa lupa pada sarang.
Perlu menguatkan sintalitas (kepribadian kelompok/tim) hingga tak berongga untuk dibobol lawan.

Kamu hebat, GARUDA MUDA. Lebih hebatlah lagi, dan makin kuat untuk mengarungi angkasa dengan rendah hati, bergandengan, dan tetap berserah pada Kekuatan Utama Yang Mengendalikan bahkan sendi terkecil dari kehidupan kita semua.
Aku bangga padamu!

Terbanglah Makin Dewasa Dengan Kemudaanmu. GARUDA MUDA Hebat!
TUHAN memberkati!

(Akhirnya nulis topik ini juga, he he he...)

@RinnyLaPrincesa
http://suara-hati-rinny.blogspot.com/

Sunday, November 20, 2011

#138 - Tadi Malam

by Rinny Soegiyoharto

Tadi malam ibuku tampak sangat cantik. Sehat dan kuat, tidak menyanggah tongkat kaki empat sebagaimana terakhir aku melihatnya, tiga setengah tahun lampau.
Ekspresinya anggun dan bagaikan seorang ratu, tetapi dingin menatapku.

"Ayo, kita berangkat sebentar lagi. Jangan sampai ketinggalan pesawat." ujarnya datar. Tanpa senyum.
"Sudah beli tiket, Mam? Naik apa?" Tanyaku.
"Ada tiga tiket, kita berangkat bertiga. Pesawat apa saja tidak akan pernah mau menunggu," kata ibuku, masih tanpa senyum. Namun wajahnya cerah, anggun, berwibawa, bercahaya, tegas, juga lembut.

Aku harus melangkah dulu. Ada lorong-lorong yang belum kumasuki, aku harus ke sana.
Pada sebuah ujung lorong, kulihat kekasihku. Ia tidak melihat aku, karena ada seseorang bersamanya. Seseorang yang kukenal.

Berpacu dengan waktu dan hari yang hampir gelap, bergegas aku ke pelataran, tempat ibuku menunggu.
"Pesawatnya sudah datang?" Tanyaku tersengal-sengal.
Tiada jawaban. Hanya tatapan haru dan iba, penuh kasih-sayang, penerimaan dan penyertaan, tanpa menyentuhku.
Perasaanku dipenuhi kehangatan, kemudian dialiri rasa dingin yang membekukan seluruh tulang hingga kaku. Aku hanya menatap ke ruangan tak berhingga.

Aku terjaga. Mimpiku tadi malam terekam di sini.

Thank you, Lord.

#137 - Khawatir

by Rinny Soegiyoharto

Kadangkala aku khawatir, ketika dia datang, lagi, masih sanggupkah aku menghadapinya?
Membayangkan segala sakit, lemas dan lemah yang dibawanya, aku berdebar-debar dalam keringat dan rasa panas. Seolah-olah melihat tiang gantungan dari kejauhan, yang makin lama makin jelas.

Lalu khawatirku berlangsung surut, saat kutelusuri waktu demi waktu yang sudah kulewati. Semua baik, indah, semua ada dalam radius pengawasanNYA, dalam genggaman kasihNYA. Senantiasa. Dulu, sekarang dan selama-lamanya.

Thank you, Lord. I surrender all...
Terimalah doaku bagi seluruh keluarga, kekasih, sahabat, kerabat, semua mereka...

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

Saturday, November 19, 2011

#136 - Ketika Aku Hijau

by Rinny Soegiyoharto

Warna, seringkali diasosiasikan dengan berbagai makna. Baik yang merepresentasikan kesan, suasana hati, emosi, karakter, ruang, waktu, maupun kecenderungan bahkan masalah-masalah.
Membahas kluster-kluster makna tersebut tentunya akan menyita banyak kata-kata dan menguras pikiran.
Lebih enak jika aku bicara bebas saja di ruang ini. Malam minggu, sambil memandangi layar kaca, tanding Indonesia vs Vietnam di SEAGames cabang sepakbola. Ada banyak warna di layar kaca itu; bola kuning, putih-hijau uniform timnas, merah bara di sisi lawan, hijau bonteng-bonteng lapangannya, he he he...

Dulu, orangtuaku sempat mengidentikkan aku dengan merah, adik perempuanku dengan biru.
Tapi waktu berlalu, warna-warna itu tidak menetap. Alasan-alasannya pun melemah.
Seiring berkembangnya dekorasi kamar tidurku dengan dominasi HIJAU!
Karpet, gordijn, bed-cover, alas meja, tutup kaca, pernak-pernik, dan kura-kura (satu-satunya boneka yang aku punya).

Namun, rasanya aneh betul jika diriku harus mengenakan 'hijau' di tubuh ini, tentu kecuali 'green-army look' yaaa. Macho kesannya warna hijau tentara dibawa-bawa oleh tubuh.
Waktu itu, hijau merepresentasikan gradasi duplikasi aku dengan ibuku, yang menganggap hijau adalah cinta dan kesuburan; ketenangan dan kesabaran; sukacita dan kelembutan; alam dan Tuhan.

Ketika aku hijau, aku merasa mirip dengan ibuku, memahami perasaannya, memulas dunia sekitar dengan makna-makna itu.
Tetapi, ternyata bukan duplikasi semata yang hadir dalam duniaku. Tadinya kupikir sekadar 'meniru', atau 'ikut-ikutan'. Keliru! Warna itu memang pilihanku.
Ketika aku hijau, aku benar-benar hijau. Makna naïve dalam pikiran-pikiranku begitu kuat. Aku tidak mengenal area abu-abu! Yang kutahu, itu hitam dan ini putih.
Lalu, ketika perasaanku kurang sejahtera, naïveku menyelamatkanku. Mungkin itu suara Illahi, atau bisikan semesta yang begitu alami, suci dan murni.

Demikianlah.
Ketika aku hijau... Waktu itu...
Apakah aku sekarang?

Tuesday, November 15, 2011

#135 - Deeper In Love (with YOU)

LEBIH DALAM LAGI (DEEPER IN LOVE)
Robert & Lea Sutanto
Do=G

     G                        Bm                  Am
SATU HAL YANG KURINDUKAN YA TUHAN
ONE THINGS HAVE I DESIRED IN MY LIFE LORD
     D                D7                 G
SELALU BERADA DI DEKAT-MU
TO THIRST AND HUNGER AFTER YOU ALONE
        C                        D         Bm                    Em
DENGAN SEG'NAP HATI, DENGAN SEG'NAP JIWA
WITH ALL MY HEART AND SOUL WITH ALL MY STRENGTH AND LOVE
     Am               A            D    D7
KUMENANTI DI HADIRAT-MU
TO WORSHIP AS YOUR GLORY FILL THIS PLACE

     REFF
                     G        D                  Bm        C
     LEBIH DALAM LAGI KURINDU KAU TUHAN
     DEEPER IN LOVE WITH YOU DEEPER IN LOVE WITH YOU
          G                 A                   D    D7
     LEBIH DARI SEGALA YANG ADA
     I LOVE YOU MORE THAN ANYTHING IN LIFE
                      G       D                 Bm         C
     LEBIH DALAM LAGI KUCINTA KAU YESUS
     DEEPER IN LOVE WITH YOU DEEPER IN LOVE WITH YOU
           G         D     G
     KUMENGASIHI-MU
     OH HOW I LOVE YOU LORD


Rinny Soegiyoharto
@RinnyLaPrincesa said, "I Love You, Lord Jesus,"

#134 - How Great Thou Art

Lyrics:
Alan Jackson
How Great Thou Art

Oh Lord my God
When I in awesome wonder
Consider all the works
Thy hands have made
I see the stars
I hear the rolling thunder
Thy power throughout
The universe displayed

Then sings my soul
My Saviour, God, to Thee
How great thou art
How great thou art
Then sings my soul
My Saviour, God, to Thee
How great Thou art
How great Thou art

When Christ shall come
With shouts of adulation
And take me home
What joy shall fill my heart
Then I shall bow
In humble adoration
And there proclaim My God
How great Thou art

Then sings my soul
My Saviour, God, to Thee
How great Thou art
How great Thou art
Then sings my soul
My Saviour, God, to Thee
How great Thou art
How great Thou art

How great Thou art
How great Thou art...

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

TUHAN,

Hal yang paling kuinginkan saat ini,
Hanyalah bersamaMU selalu,

Perkara yang paling tidak kuinginkan saat ini,
Adalah mendukakanMU karena khilaf dan naïveku,

Jika layak diriku 'tuk lakukan senantiasa,
Hendak 'ku menyanyi dan memuji ENGKAU selagi 'ku ada,

Hingga ENGKAU datang kedua kalinya kelak,
Ini jiwa dan hidupku,
Bersimpuh dalam ketak-berdayaanku,
Jika bukan karena ENGKAU,
Apalah aku di ketandusan fana yang membakar jiwaku,

KAU angkat aku karena CINTA-MU,
Bukan karena layakku,
Tiada jua hebat dan kuatku,
Aku lemah, Ya ABBA, Ya Rabbi, Ya Bapa,
Ya Yesus Kekasihku, Roh Kudus Penuntun jiwaku...

Ampuni aku.
Amanlah aku bersamaMU.
Terimakasih Allah Bapa, Anak, Roh-Kudus.

Amin.

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

by Rinny Soegiyoharto
@RinnyLaPrincesa

Saturday, November 12, 2011

#133 - The Outsider(s)

by Rinny Soegiyoharto
@RinnyLaPrincesa

Greasers dan Socs, dua kelompok 'gang' remaja yang saling berlawanan. Greasers dianggap 'the outsiders' atau orang luar, orang buangan, bagi kelompok Socs.
Sejak dahulu, pada berbagai masa, selalu ada kelompok 'elite' yang menafikan orang-orang di luar kelompoknya, bahkan menindasnya. Sampai sekarang.

Seolah-olah hanya kelompok 'elite' ini saja yang memiliki hidup, dunia, fasilitas, dan akses sumber informasi. Segala hal yang dinikmati oleh kelompok tersebut, bukan hak 'orang luar'.
"Hey, kami tertutup terhadap kamu! Jangan coba-coba masuk, atau mau di-jump?! Kamu bukan siapa-siapa!"
[Mungkin] ekstrimnya kira-kira demikian yang dijargonkan kelompok itu.

Tapi 'the outsider(s)' adalah manusia dan memiliki hak-hak yang sama dengan siapapun, tak terkecuali dengan kelompok 'elite' itu. The outsider(s) juga punya kelompok, setia dan saling melindungi. Terbangun rasa cinta dan kasih sayang yang kuat di atas nilai-nilai keJUJURan dan keTULUSan.
Itu versi saya, saat ini (sedang...). Flashback sejenak yuk...

Sekitar awal 1980-an, poster para pemeran "The Outsiders", lengkap dengan atribut perannya, gaya dan karakter masing-masing, menghiasi dinding ruang tidur sang remaja puteri, yang berbagi dengan adik perempuannya. Poster film garapan Francis Ford Coppola pada medio 1983, juga menghiasi ruang tidur-ruang tidur banyak anak remaja di masa itu.
Memang 'ngetop' deh...

Adalah Susan Eloise Hinton, penulis novel berjudul sama, "The Outsiders", yang melahirkan kisah berlatar-belakang dinamika pergaulan gang anak remaja (anak muda) Amerika tahun 60-an, yang kemudian diangkat ke layar lebar oleh FF Coppola. Gadis itu baru 14 tahun ketika mulai menulis novel laris itu. Hebat!

Berikut tentang sang PEREMPUAN penulis itu, yang saya kutip dari WIKIPEDIA.

Susan Eloise Hinton (born July 22, 1950) is an American author best known for her young adult novel The Outsiders.

While still in her teens, Hinton became a household name as the author of The Outsiders, her first and most popular novel, set in Oklahoma in the 1960s. She began writing it in 1965. The book was inspired by two rival gangs at her school, Will Rogers High School, the Greasers and the Socs, and her desire to show sympathy toward the Greasers by writing from their point of view. It was published by Viking Press in 1967, during her freshman year at the University of Tulsa; the book has sold more than 14 million copies in print and still sells more than 500,000 a year.

Hebat!

Thursday, November 10, 2011

#132 - Bercermin

Mengamati fotoku itu. Berusaha memotret saat bercermin, sambil melirik. Bahkan bercermin pun tetap ada upaya memanis-maniskan penampakan. Ha ha ha ha ha... Dasar menungso...!

Hari ini, setelah sekian kali dia datang, aku memutuskan untuk menulis di sini. Jika keputusanku ini keliru, setidaknya aku punya kesempatan belajar. Andai pun benar, aku tetap punya kesempatan belajar untuk meningkatkannya, serta lebih melihat lagi jauh ke dalam.

Dia datang lagi, untuk ke sekian kali, yang membuatku hafal dengan gejala dan rasa yang harus kuhadapi.
Sepanjang tahun ini, bahkan sejak dia mulai hadir akhir tahun lalu, aku berusaha menahan, tentu menolak juga. Menafikan, dengan upaya menghibur diri, bahwa dia hanya mampir satu kali saja.
Tapi ternyata dia rajin. Aku dilatih menerima semua rasa dan pergolakan. Juga distimulasi hingga akhirnya aku pun rajin mencari berbagai sumber informasi tentangnya.

Bagaimanapun, segala upayaku tak kan mampu memprediksi. Toh, setiap dia datang, aku harus pasrah pada tubuhku. Merebah dan menahan rasa, sampai-sampai aku tidak bisa menilainya sakit atau tidak, enak atau tidak.
Hal yang kucatat, dia membawa serta kepenatan yang luar biasa, kraam, kaku, pegal, kebas, mual, pening, eneg, dan.....darah.

Terhuyung-huyung tiap kali merah segar itu membanjir bagaikan kraan kamar mandi. Seluruh perlengkapan harus segera dibersihkan, supaya aku tak terus mual dan terhuyung.
Seringnya dia datang, mengajariku coping dengannya. Merebah dan pasrah pada matras tidurku, sambil menulis di jejaring sosial, menulis di kotak-kotak blackberry, atau memejamkan mata dan tersenyum.

Terimakasih Oom Gusti. Aku masih mampu menahannya, pasti karena kekuatan dariMU. Aku sungguh bersyukur, karena ada hidup yang begitu berharga, bahkan banyak kehidupan yang bisa kupelajari. Hingga 'ku dipenuhi warna indah pelangi, anugerah kasih setiaMU.

Keputusanku menulis di sini, semata-mata karena aku suka menulis perasaanku yang lebay tak tertahan.
He he he he he....

by Rinny Soegiyoharto @RinnyLaPrincesa

#131 - GREAT IS THY FAITHFULNESS

"Great Is Thy Faithfulness"
Music by William Marion Runyan
Lyrics by Thomas Obediah Chisholm

Great is Thy faithfulness, O God my Father;
There is no shadow of turning with Thee;
Thou changest not, Thy compassions, they fail not;
As Thou hast been, Thou forever will be.

::Refrain
Great is Thy faithfulness!
Great is Thy faithfulness!
Morning by morning new mercies I see.
All I have needed Thy hand hath provided;
Great is Thy faithfulness, Lord, unto me!::

Summer and winter and springtime and harvest,
Sun, moon and stars in their courses above
Join with all nature in manifold witness
To Thy great faithfulness, mercy and love.

::Refrain::

Pardon for sin and a peace that endureth
Thine own dear presence to cheer and to guide;
Strength for today and bright hope for tomorrow,
Blessings all mine, with ten thousand beside!

::Refrain::

©1923. Ren. 1951 Hope Publishing Co., Carol Stream, IL 60188

Tuesday, November 8, 2011

#130 - Konsisten (Jilid 3)

Ada banyak orang yang bermain cantik dengan topeng-topengnya. Peran protagonis di atas pentas kehidupan mewarnai hari-harinya.
Betapa anggun tak bercacat, bagaikan malaikat berkilau dalam terpaan terang dengan filter cahaya yang rapat.
Seolah-olah selalu benar tak pernah keliru tak pernah salah.

Konsisten memilih topeng, mengenakannya, dan bermain. Konsisten di pentas sosial, termasuk meniscaya peran lain yang tak se-protagonis dirinya.
Eeeehhh... Maaf, bisa saja itu juga saya.

Sampai kapan kita bisa konsisten dengan topeng-topeng itu?
Saat remang dan gelap merambat turun, seperti apa wajah kita tanpa topeng?
Jangan-jangan seprei, bantal dan guling kita pun muak melihat raut asli tanpa topeng. Raut bengis antagonis yang tak sama sekali mewakili seluruh topeng hipokrisi itu?

Sampai kapan mampu konsisten melapisi yang tidak konsisten?

by Rinny Soegiyoharto @RinnyLaPrincesa
http://suara-hati-rinny.blogspot.com/

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

Monday, November 7, 2011

#129 - Konsisten (Jilid 2)

Tahukah kamu, kenapa aku tetap bersamamu hingga saat ini?
Karena kamu konsisten mencintaiku.

Wajahnya masam, muram, geram, sendu, terpekur - menimbang-nimbang untuk berubah.
Lebih baik aku tidak konsisten, pikirnya. Konsisten yang menyebabkan dia masih memilih bersamaku.
Jika aku tidak konsisten?
Aku lebih suka mencintai dan dicintai, daripada bertahan karena konsisten, pikirnya lagi.
Maka ia pun pamit untuk tidak konsisten::Bye bye love :p

Ħǻ •̃͡-̮•̃͡Ħǻ •̃͡-̮•̃͡Ħǻ •̃͡-̮•̃͡Ħa
ĜũßяªªªªªªЬяк

by Rinny Soegiyoharto @RinnyLaPrincesa

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

#128 - Konsisten (Jilid 1)

Bagaimana kamu tahu bahwa orang tersebut jujur, dapat dipercaya, punya integritas baik?
Kamu baru satu setengah jam berjumpa dengannya.

Aku telah mewawancarainya cukup mendalam. Dengan berbagai pertanyaan menggali dan pertanyaan proyektif.
Orang itu konsisten memberi jawab dan konsisten menjelaskan detail jawabannya, hingga akhir pertemuan tadi.

Jadi, karena konsisten selama pertemuan tadi ya?

Ya.

Mungkinkah ia juga konsisten menjawab dan menjelaskan hal-hal yang tidak konsisten terjadi?

#*?!!!*##@@?!*!!

:-)))))

by Rinny Soegiyoharto @RinnyLaPrincesa

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

Sunday, November 6, 2011

#127 - Perempuan Sebagai Ibu, Haruskah Selalu?

by Rinny Soegiyoharto
@RinnyLaPrincesa

Peran Ibu adalah istimewa. Predikat Ibu relatif tetap. Fungsi dan tanggung jawab Ibu selalu dinantikan. Kedekatan emosi Ibu dan anak (anak-anak) tidak dapat ditampik. Kerinduan anak (anak-anak) pada Ibu senantiasa membuncah, bahkan hingga anak sudah jadi orangtua (dan menjadi Ibu juga).

Pertanyaannya:
Apakah Ibu yang aktif harus selalu dekat dan lekat dengan anak-anaknya setiap saat?
Apakah Ibu harus selalu menggandeng dan menggendong anak-anaknya setiap kali ia pergi? Setiap kali ia menghadiri pertemuan?
Bagaimana tanggung jawab Ibu dalam peran sosialnya, terutama yang memiliki tanggung jawab kepemimpinan, apabila anak (anak-anak) terus dan harus "menempel" secara fisik dengannya?
Efektifkah keputusan yang dibuat seorang Ibu bagi organisasi dan kepentingan banyak orang, pada saat yang sama ia harus menggendong dan menyeboki anaknya?

Persoalan perempuan?
Bukan! Menurut saya ini adalah persoalan perempuan dan laki-laki. Persoalan rumah tangga dan pembagian peran, tugas dan tanggung jawab.
Karena anak (anak-anak) ada karena ibu dan ayahnya. Bukan ibu saja. Bukan ayah saja.
Apalagi kata Kahlil Gibran:
Anakmu bukanlah anakmu... (Apa ya kelanjutannya? :-))

Ada pendapat atau komentar?

Monday, October 31, 2011

#126 - Zigma's Neighbor

by @RinnyLaPrincesa

Lambda bukan sahabat Zigma, meski bertetangga.
Bokap dan Nyokapnya sangat sibuk; urusan kerja, bisnis, sosialita, friends gathering, dan rupa-rupa yang lain. Tiada waktu sedikit pun berbincang dan memeluk Lambda yang hadir atas perkawinan mereka.
Tapi sempat berpesan selalu:
"Nak, kami sayang padamu. Semua uang yang kami cari adalah buat kamu. Jadilah anak hebat!"

Sembilan tahun usianya ketika Lambda jatuh cinta pada guru IPS, sebab di dalam kelas ia seolah-olah murid emas yang sangat diperhatikan sang guru.
Coretan pertama kata-kata cinta di buku cetak IPS Lambda:
"Aku suka guruku ini, karena dia pasti cinta padaku. Dia sangat perhatian padaku".

Saat guru IPS membagi hasil ulangan, ponten Zigma unggul darinya. Lambda berang.
Coretan kata-kata kecewa di halaman akhir buku IPS Lambda:
"Aku benci guruku ini. Sangat menyakitkan! Ternyata dia tidak perhatian padaku! Putus!"

Lambda yang baru tujuhbelas tahun, telah tujuh kali memutuskan hubungan cintanya.
Alasan klise: pacarku kurang perhatian, hatiku tidak nyaman.
Lalu ia memuaskan diri dengan barang-barang branded, nongkrong di resto kelas atas, ataupun modifikasi mobil dengan berbagai aksesori tak penting.

Hidup Lambda penuh gejolak hubungan asmara yang bahkan ia sendiri pun tidak memahami makna 'cinta' sesungguhnya.
Ia tidak pernah merasakan cinta dalam bentuk perhatian, pelukan, belaian lembut, kata-kata penyejuk, menerima, memaafkan, memberi pujian, dan sebagainya.
Lambda hanya tahu, cinta adalah materi yang tidak bisa bernafas, tidak punya perasaan, tidak punya keinginan, tidak ada nilainya jika sudah lewat masa eforia. Hingga kapan saja boleh dilepaskan, dibuang, disia-siakan, jika tidak lagi membuatnya puas.

Bokap dan nyokap masih super sibuk. Mereka pikir, 'toh Lambda sudah dewasa sekarang. Terserah dia saja.
Okeee deeehhh...

#125 - Zigma

by @RinnyLaPrincesa

Empat tahun usia Zigma ketika mama melihatnya jatuh terantuk mainan lego yang bertebaran. Zigma menangis kencang.
Mama: oh sayang, cup cup cup... Legonya nakal ya... *memukul sebuah lego yang tergumpal tak beraturan.*
Tangis Zigma reda.

Zigma sudah delapanbelas tahun. Mengomel berang pada mama.
Zigma: sudah kubilang, Ma! Laptopku tidak boleh dipindahkan, tapi Mama biarkan pembantu memindahkan.
Mama: kenapa kamu selalu menyalahkan Mama dan orang lain? Tidak menjaga barang-barangmu sesuai keinginanmu, nak?

Zigma tigapuluh dua tahun, dalam rapat evaluasi program tahunan di kantor.
Zigma: kegagalan penyerapan dana program ini karena Anda kurang 'fight' melobi rekanan kita! *menuding salah satu anggota tim*

Dalam kamar yang temaram, Mama bergumam pada diri sendiri:
Zigma selalu menyalahkan orang lain atas berbagai masalah dan ketidak-nyamanan perasaannya. Apakah tindakanku melindunginya dengan memukul lego dan barang-barang lain pada saat ia menangis, adalah penyebabnya?

Komen: sayang sekali, tampaknya benar yang Mama pikirkan. Hati-hati ya, Ma, barang-barang itu tidak salah. Tapi ruang bawah sadar Zigma telanjur diisi dengan pemahaman bahwa semua kesalahan terjadi karena pihak lain. Dirinya selalu benar, harus dan untuk selalu nyaman.

Friday, October 28, 2011

#124 - Boneka & Aku (Mungkin Juga Kamu atau Anakmu :-))

by @RinnyLaPrincesa

Waktu aku masih kecil, aku hanya punya satu boneka, satu-satunya. Itu pun kumiliki lamaaaa setelah hampir semua teman-temanku punya berlusin koleksi boneka.
Waktu itu ibuku bilang:
"Untuk apa boneka? Bermain boneka, apalagi punya banyak boneka, tidak akan membuatmu pintar."

Tapi aku tahu, ibuku mengamati seluruh gerak-gerikku, termasuk ketika aku bermain dengan "boneka-bonekaku" sebelum ibu membelikannya untukku dan adikku.

Ibuku berlangganan majalah wanita, yang ada sisipan rubrik untuk anak-anak. Sekitar sepuluh lembar rubrik anak-anak itu adalah jatahku. Aku boleh melepaskan rubrik di tengah-tengah itu dari induk majalahnya, kapan saja aku mau. Ibuku tidak pernah melarang. Apalagi ibu tahu aku sudah bisa melahap isinya atas inisiatifku sendiri belajar mengenal dan merangkai huruf saat usiaku belum empat tahun. Bagi ibu dan ayahku, tindakanku itu adalah karunia Tuhan. Akulah satu-satunya anak berusia 4 tahun yang sudah mampu membaca dan memahami makna tulisan, di seantero kota kecil tempat kami tinggal.

Kedua orangtuaku tidak pernah dengan sengaja mengarahkan aku untuk belajar membaca. Apalagi di usia yang sangat dini. Mereka memberi contoh dengan bacaan masing-masing di tangan mereka, setiap pagi. Dan aku, tidak senang pada keasyikan mereka itu *manyun*. Maka diam-diam aku mencari cara agar aku bisa asyik seperti mereka, bisa memahami tulisan-tulisan di surat kabar, majalah, buku-buku, bahkan partitur nyanyian.

Dalam waktu singkat aku sudah memiliki keasyikan itu. Ayah dan ibuku memilah bagian-bagian tertentu yang tidak boleh aku baca. Tapi aku, ssssssttttt...aku mengambilnya ketika mereka tidak melihatku. Lalu... Braaakk!!! Malas ah! Aku tidak paham isinya. Jadi waktu itu aku pikir, mereka memang tidak mau aku terlalu lelah membaca hal-hal yang belum mampu kucerna.

Kembali ke persoalan boneka. Pada suatu waktu, rubrik anak-anak di majalah wanita ibuku, menyisipkan bonus pola 'orang-orangan' yang dilengkapi pola beberapa model pakaian. Secara bersambung dalam beberapa edisi, rubrik anak-anak menyisipkan pola-pola tambahan berbagai jenis pakaian. Tapi pola 'orang-orangan' hanya disediakan satu saja.

Aku menggunting pola 'orang-orangan', kutempelkan di selembar kertas tebal, lalu kugunting lagi mengikuti polanya. Jadilah aku memiliki 'boneka' perempuan telanjang, dua dimensi. Pada setiap terbitan, aku sangat menantikan edisi-edisi majalah itu, karena pola pakaian-pakaian untuk 'boneka'ku selalu menakjubkan. Tubuhku bergetar menantikan setiap pola baru. Pola-pola itu kugunting, dan dengan mudah disampirkan ke tubuh 'boneka'ku dengan melipat keliman di bahu dan beberapa tempat lain sesuai model pakaiannya.

Aku paling senang pada model pakaian ala cowboy. Hem kotak-kotak dan celana panjang. Bonekaku tampak gagah betul saat dipakaikan model baju itu. Aku memodifikasi sedikit mode rambutnya, kugambari dengan pinsil warna, he he he... Pita rambut yang disediakan, tidak pernah kutempel di kepala bonekaku.

Memiliki boneka hasil rakitan sendiri itu membuatku asyik dengan kisah-kisah di kepalaku. Sebut saja namanya Poppy.
Jika hari ini si poppy jadi guru, aku 'memainkan' dia sebagai guru yang 'funky', yang selalu mengajak murid-murid ke luar kelas, jalan-jalan di sekeliling sekolah, di kebun jeruk dan melompati pagar sekolah ke toko roti, ha ha ha...
Besoknya poppy jadi kakak (aku tidak punya kakak, tampaknya aku rindu memiliki kakak, waktu itu), ia adalah kakak yang sangat mencintai adiknya. Membantu adiknya bikin layang-layang, menerbangkannya, menggunting bayang-bayang (wayang kertas untuk diadu), sampai membuatkan roti mentega dan kopi susu (sejak kecil aku suka sekali minum kopi, sampai sekarang :-)).

Kali lain poppy jadi jagoan. Berantem dengan anak laki-laki tengik yang suka mengganggu anak-anak perempuan setiap kali lewat di ujung jalan dekat rumah anak laki-laki itu. Belakangan aku bisa berdamai dan malah jadi teman main buat anak laki-laki pengacau itu yang ternyata memang tidak punya teman.

Ibuku selalu mengamati tingkahlakuku dari kejauhan. Aku tidak mengizinkan ibuku dekat-dekat denganku saat aku bermain dengan poppy. Tapi karena aku bercerita komat-kamit sesuai skenario untuk poppy yang ada di kepalaku, tentu saja ibuku bisa mendengarkannya. Meski ibuku pura-pura tidak melihat. Jadi ibuku tahu apa yang terjadi padaku. Ibu tentu tidak melihat poppy sebagai boneka mainan semata, ia pasti mencatat proses demi proses mulai poppy terwujud, hingga cerita-cerita yang kumainkan.

Pada saat aku benar-benar memiliki boneka plastik cukup besar, tangan dan kakinya bisa digerak-gerakkan karena ada persendian. Juga berambut yang bisa disisir, punya baju-baju dari kain yang bisa dipakaikan, justru aku kebingungan memainkannya. Ha ha ha hah! Diapakan sih boneka ini? Digendong-gendong saja? Ah! Manja betul! Rambut disisir? Huh! Aku saja bisa menyisir rambutku sendiri yang panjang terurai. Meski malas kulakukan, sampai sekarang. Ha ha ha hah.

Itulah kisah aku dan boneka pada rentang masa 1973-1978.

Memiliki boneka-boneka yang banyaaaakkk hanya untuk koleksi, memang tidak membuat anak pandai. Alih-alih malah konsumtif. Jika anak bisa memainkannya dengan berbagai skenario sosial dan berisi nilai-nilai hubungan antar manusia yang membangun pribadinya, itu baru lebih baik.
Daripada banyak boneka, mending punya banyak buku yang dibaca. Betul, tidak?

"Salam Semangat Soempah Pemoeda!"
*ngga ada hubungannya ya? He he he... Ada dong, semangat membara!*

::Semangat cinta untuk *hai MLKPT* ;-)

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

Wednesday, October 19, 2011

#123 - Mimpi Di Garis Waktu

by @RinnyLaPrincesa

Aku telah berlari menyusuri lorong-lorong
Kubawa tubuh telanjangku di sepanjang lintasan
Menggapai dan melambai pada setiap sesuatu
Memejamkan mata dengan linangan airmata

Aku telah berlari menyusuri garis waktu
Ketelanjanganku tak menemukan penutup
Tiada jua sesiapa menjulurkan sehelai selendang
Tiada jua sesiapa peduli pada airmata ternista

Mata terpejam mencari peraduan agar lelap
Mengembara sepanjang lintasan garis waktu
Kutemukan mimpi yang tak lagi terpotong
Hingga airmata terseka dalam senyuman
Hingga keindahan mimpi tak berakhir boleh hadir

Mimpi tentang masa-masa
Mimpi tentang kata-kata
Mimpi tentang sapa-sapa
Mimpi tentang ruang-ruang
Mimpi tentang kisah-kisah
Mimpi tentang desah-desah
Mimpi tentang resah-resah
Mimpi tentang bisik-bisik
Mimpi tentang buku-buku
Mimpi tentang tanah-tanah
Mimpi tentang rumah-rumah
Mimpi tentang rasa-rasa
Mimpi tentang suka-suka
Mimpi tentang duka-duka
Mimpi tentang janji-janji
Mimpi tentang tari-tari
Mimpi tentang poci-poci
Mimpi tentang kasih-kasih
Mimpi tentang ...
Segala sesuatu yang berulang

Di garis waktu
Mimpiku tak kan dapat kau usik
Di garis waktu
Mimpiku tak kan dapat kau ganti
Di garis waktu
Mimpiku tak kan dapat kau ralat
Di garis waktu
Mimpiku tak kan dapat kau bongkar
Di garis waktu
Mimpiku tak kan dapat kau teror

Di garis waktu
Mimpiku adalah milikku
Kau, Dia, Mereka, Kalian,
Di mimpiku... Dimanakah
Kau, Dia, Mereka, Kalian,
Tak satu pun hirau
Semua menonton
Pura-pura empati
Membungkus hujat
Yang tak pernah berhenti
Menelanjangiku

Di garis waktu
Mimpiku adalah milikku

Di garis waktu
Mimpiku juga berkisah tentang
Penganan putih
Tumpukan kata
Gagasan-gagasan
Selalu hidup dalam
Percayaku pada
Keindahan mimpi

*terus menyusuri garis waktu*

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

Sunday, October 16, 2011

#122 - Nanti-Mimpi-Doa :: Rindu-Harapan-Sujud

by @RinnyLaPrincesa

Nanti,
Lilin-lilin ini hanya 'kan bersinar di dasar hati,
Meski redup dan tanpa hiasan.

Mimpi,
Telah porak-poranda menjelang fajar,
Mengikis harapan syahdunya doa dan cinta.

Mimpi,
Telah melumer dari bukit menuruni lembah,
Sebelum satu batang pun sempat disulut.

Nanti,
Lilin-lilin ini 'kan tetap dibakar satu-satu,
Biar pun angin danau menggoyahnya.

Doa,
Senantiasa tak 'kan lepas dari bibir-bibir,
Dari hati demi hati yang sedia mengirimkan.

Doa,
Adalah kepasrahan dan penyerahan diri,
Menyongsong ujung waktu saat lilin-lilin meredup.

*rindu pada harapan yang telah telanjur mengapung*

*tunduk sujud pada kaki Sang Khalik yang tak pernah beranjak*

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

#121 - Kasihan kau, nak

by @RinnyLaPrincesa

Kasihan kau, nak
Segarnya pancuran
Wanginya buih sampo
Hangatnya berkas surya
Renyahnya biskuit sepiring
Dan mimpimu pada tongkat tulang
yang sebentar lagi akan kau kejar
lalu kau tangkap
lalu kau hantarkan kembali
dan seterusnya hingga energimu habis
hingga makan malam lezatmu ludes
hingga potongan favoritmu kau benam di tempat rahasiamu
tinggal mimpi penghias tidurmu

Semoga kau tak rindu terlalu lama pada sahabatmu
yang membuatmu ceria dengan salakan dan lompatan
yang kau beri porsi makan malammu untuknya
semoga kau tak rindu terlalu lama

Sayang sekali,
cinta kami padamu yang telanjur paham
pada karakter unikmu
yang selalu ringan kau mengerti
sampai-sampai kau longokkan selalu seluruh tubuhmu
saat kupulang dari penatku juga yang lain
Sayang sekali,
cinta kami padamu tak mudah dipahami,
bahkan dianggap keliru dan tak cinta
Sayang sekali

Tapi kuyakin kau sangat paham,
karena karakter unikmu tak kan mudah dipahami
catatan kami terlalu lengkap tentangmu
hingga kau mudah mengikuti seluruh kelas belajarmu
Memahamimu adalah bagian dari cinta kami
yang tulus dan ikhlas merawatmu dengan keunikanmu
Dan kau pun mencintai kami dengan caramu dan kegilaanmu
Will miss you

Maafkan melepaskanmu dan tak ingin lagi mengalami
reaksi-reaksi berlebihan yang makin memperlihatkan
tak pahamnya mereka padamu
juga pada cinta yang kita bangun dalam unikmu

Berbahagialah
Kau tetap di hati

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

#120 - Sensitif

by @RinnyLaPrincesa

Mengapa kau harus berpura-pura tak paham?
Jika nyatanya memang kelam untuk sisiku?
Mengapa kau pikir aku tak paham
pada segala yang bisa kulihat, kutanya, kuraba, kurasa?
Meski tak berjawab yang kau kirimkan...

Mengapa kau pikir hanya dirimu paling perlu?
Hingga perluku tak kau hirau, hingga sesakku hiasan belaka.
Apakah bagimu aku tak punya hati?
Apakah bagimu aku sekadar malam cair?
Apakah bagimu aku tak lebih berharga dari sepotong bangket?

Kau tak nilai makna ujarku, dalam lisan dan huruf,
Tapi tutur lisanku, diksi tulisanku, adalah jiwa yang sama.
Kau boleh bunuh semuanya, tapi tidak olah-pikirku.
Kau boleh ambrukkan struktur mentalku, tapi tidak struktur logikku.

Mari sudahi pertandingan ini, karena aku sendirian.
Bukannya kutakut pada bala pasukanmu,
Tapi cukup satu, cukup kau saja,
Aku telanjur mengenal pola yang kalian bangun.
Cukup.

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

Saturday, October 15, 2011

#119 - Nirwana Pada Tumpukan Goresan

@RinnyLaPrincesa

Mula-mula aku mencoba hayati makna dan rasanya, hingga ke penjuru jiwa yang paling jauh. Lalu kumulai merasa nyaman dengan nama itu. Seperti ketika lafalmu yang asing namun intim meyakinkanku seribu persen. Meski telah kupakai nama lain, dan yang lainnya lagi, nama ini memberiku kenyamanan berhiaskan bangga dan hormat (tentu kepadamu).

Ceriteramu tentang berbagai kisah yang belum pernah kudengar, mengaduk-aduk kerinduan dan kehausanku. Tak terganggu kita saat akhir waktu tiba, dan kita tetap tepekur pada kisah masing-masing. Kau dengan kesukaanmu dan bahasamu, aku dengan kuriusitasku, hausku, sukaku dan rasaku. Bahasaku tidak begitu penting, karena dengan rasa aku mengisap kisahmu pada bahasamu.

Kini aku semakin gila. Saat rindu tak terobati akibat dunia jauh lebih berkuasa, kucuri sisa-sisa dan celah-celah. Ah! Tepatnya, kukreasi dengan sengaja, kuletakkan dunia sejenak di samping mesin berlayar yang kedipannya seringkali berhasil membuatku muntah.
Hhhoooeeekkkhhh!!!

Semakin gila, setiap kali kubenamkan jiwa pada tumpukan goresan ide dan budaya. Kutemukan nirwana penuh madu dan anggur nikmat. Yang hausku tak kan pernah terpuaskan.
Biarkan mereka bilang aku gila, karena memilih surga yang tidak sama dengan surga mereka. Terperangah mereka sejadi-jadinya, karena kesunyian dalam tumpukan goresan ide adalah nirwanaku, daripada yang mereka sebut ibadah agung dan surga dunia.

Nirwanaku... Kehadirannya bisa kuundang sewaktu-waktu. Mesin pencari ciptaan dewa dunia pun sangat dipercayai, lalu kenapa energi maha tinggi melebihi segala dewa malah diabaikan?

Biarlah yang bertelinga mendengar, yang memiliki mata melihat, yang memiliki hati merasa, yang memiliki jiwa melawat. Energi itu sekarang ada, sudah pernah ada, akan selalu ada.

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

Friday, October 14, 2011

#118 - The Lord's Prayer

Matthew 6:

9 Our Father which art in heaven, Hallowed be thy name.
10 Thy kingdom come, Thy will be done in earth, as it is in heaven.
11 Give us this day our daily bread.
12 And forgive us our debts, as we forgive our debtors.
13 And lead us not into temptation, but deliver us from evil: For thine is the kingdom, and the power, and the glory, for ever.
Amen.

(King James Version - 1611)

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

#117 - Berpeluh Dengan Rasa, Senantiasa Sediakala

by @RinnyLaPrincesa

Peluhku menggumpal di setiap lipatan, mengiringi aneka rasa di sudut-sudut sukma. Meski peluh itu tetap asin, seperti yang kerap kau laporkan. Aku tak suka mencicipinya sendiri, kecuali milikmu.

Kau tahu? Aku berpeluh dingin bukan karena penat ataupun sakit. Saat usapan-usapan menyeka lembut, dinginnya menyublim. Lihat parasku, adakah penat atau letih? Pasti kau harus menggeleng.

Peluhku kali ini, bercampur racun-racun yang telanjur berizin menari dalam kalbuku. Terlambat aku membatalkan izin itu, sebab aku sangat perempuan (bah! Aku tak suka frase itu). Pengkarakteran yang tidak sensitif, membunuh kesadaran gender sebelum terbangun.

Mereka suka bermain-main dengan ide yang salah tempat. Mereka pikir itu sudah paling benar. Padahal mereka juga sama berpeluh, hanya saja yang dihasilkan dari perasan-perasan sisa.
Kasihan sungguh!
Sampai kapanpun mereka tak kan sadar, jika indera rasa tak diizinkan mewujud dalam laku. Sayang sungguh!
Malang sungguh!

Aku bangga pada peluh rasa yang kumiliki. Kau juga sama. Karena kita sama-sama mengizinkan rasa memilih peluh yang terbagikan di antara kita. Berpeluh kita sungguh. Berjerih dalam rasa dan menjaganya senantiasa sediakala. Walau adakalanya kita menyerah pada izin yang tak kita sadari. Tapi... Itulah rasa. Kita sepakat, bukan?

Peluhku bergumpal-gumpal dan tetap asin, senantiasa sediakala.

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

Wednesday, October 12, 2011

#116 - •˘Ħăª˚⌣˚Ħăª˚⌣˚Ħăª˘•

@RinnyLaPrincesa

Die: ngomong apaan sih lu?
Gw: yang manaaaa???

Die: entuuuuu... Kagak ngarti deh guuueeeehhh...
Gw: mikir dong aaahhh *pongah*

Die: udeeehhh...
Gw: truuusss???

Die: teteeepp gak ngerti... Belit-belit amat sih elu ngomongnya, lidah gueh sampe bebelitan nih bacanye...
Gw: ngerasainnya jangan pake lidah dong. Coba pake alat rasa lu yang lain. Cobain duluuu, jangan komplen!

*beberapa jam kemudian*

Die: merindiiiinnggg... *bergidig*
Gw: kenapeh?

Die: mimpi gueh, mpok... Kata-kata lu semueh kayak pilem di mimpi gueh... *pucat*
Gw: bawah sadar elu udah aktif. Slamet yeeehhh...

*ketawa bareng*

​​╋╋ム╋╋ム╋╋ム╋╋ム

•˘Ħăª˚⌣˚Ħăª˚⌣˚Ħăª˘•

Ơ̴̴̴̴̴̴͡.̮Ơ̴̴͡

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

#115 - Sembilanbelas Dunia

by @RinnyLaPrincesa

Belum jauh langkahnya ringan berayun, membayangkan telaga rindang yang menyimpan belahan pinangnya. Harapan angan dan impian yang bisa dipanggil, memekarkan kuncup hati, dan berdenyut-denyut.
Tapi bola panas itu menyikut keras. Ia terhuyung, berpegangan ranting pinus patah, tak ada guna. Tubuhnya berputar-putar melebihi gasing pesohor, terantuk batu, dahan patah, puing kakus tua, rongsokan pedati. Terpental berkali-kali sebelum akhirnya tumbang dalam lobang jamban yang sudah lama kering. Tapi tetap menguarkan bau busuk.

Ia tak dapat meratap dengan mulut nganga, sebab rasa busuk sisa jamban sontak menyerbu celah-celah bibir. Teriak pun hanya menyumbat kerongkongan yang kian perih. Sisa-sisa air tegukan terakhir mengering bersama sang bola panas yang masih saja menghantam-hantam. Sedangkan lobang jamban kering sudah terlalu panas dan bau. Hanya telaga itu satu-satunya harapan, yang samar-samar menyampaikan bau lumut segar dan cairan tubuh hangat. Bayangan itu sejenak melegakan. Sejenak.

Dalam pejam, ia mulai menghitung dunia pada bola panas. Bola dunia warna-warni dengan tarikan mulut, ekspresi mata dan lekukan hidung dalam hologram emoticon. Tidak ada yang sama. Tapi semua menampilkan geligi pada sela-sela dua garis bibir. Memuakkan.
Ia tetap bertahan menghitung. Satu, dua, tiga, ....
Sembilanbelas dunia mengitarinya. Mereka pecahan bola panas.

Dengan sisa-sisa energi ia coba kembali menghitung. Tetap sama, semua sembilanbelas. Ada sembilanbelas dunia mengacungkan lusinan bedil, golok, tombak, dan alat perkosa.
Selesai menghitung untuk terakhir kalinya, ia sadar, yang hilang cuma tiga, dan itu melebihi besarnya sembilanbelas dunia.
Tiga itu tidak hilang, hanya tertutup bayang-bayang sembilanbelas dunia yang penuh kekerasan, kemunafikan, hawa nafsu.
Dan tiga itu tetap terbesar, terkuat, terhangat. Tiga itu sangat lembut.

Ia terlelap damai berselimut hologram tiga kasih lembut di balik bayang-bayang sembilanbelas dunia.

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

#114 - Belahan Pinang

by @RinnyLaPrincesa

Saat bongkah mungil dalam genggamannya membuyarkan pantulan palma dan perdu di wajah bening telaga itu, ia mengerjap. Perasaannya yang bervibrasi panjang tak kuasa menahan jemari dan hasta melepaskan energinya.

Satu fase yang melekat di memorinya, ia perlu sedikit berpikir agar tak menghela udara banyak ke dalam toraks. Maka perlahan hembusan ringan namun panjang, mengalun bersenandung melewati rongga sempit antara toraks dan indera olfaktori. Bulu-bulu halus di seputar gua hidungnya terasa bergetar. Ia mampu merasakannya, makin kuat dan makin bermakna.

Tak percuma teknik pernafasan itu sempat ditekuninya beberapa sesi. Sangat menolong ketika tiada hati tersedia menyerap dalam rasa, tiada cara lain yang ampuh sekejab menyirnakan sesaknya.
Perempuan itu tersenyum bersamaan butir-butir bening mengalir menemui permukaan telaga. Ia bergeser lebih dekat, kendati bebatuan tak lagi tersedia untuk meletakkan pantatnya. Ia membungkuk di atas telaga, hingga butiran air matanya bergabung di dalamnya.

Bak Narcissus menatap pantulan wajah sendiri di muka bening telaga yang telah menelan butir-butir airmatanya. Tapi ia tak bertanya pada sang telaga. Bibirnya tetap komat-kamit mengucap mantera hapalan mati. Mantera yang tak pernah menyihir kinestetik benda-benda. Mantera yang mengulum doa pada Sang Rahman. Permohonannya selalu terkabul. Selalu sebagian. Dan itu menyayat perih hatinya.

Perempuan itu menatap belahan pinang di pantulan telaga yang mulai samar-samar. Sebab senja tidak jingga kali ini. Selaput kabut menuruni lembah lebih cepat, hingga tenggelamnya surya tak sempat memoles cakrawala dengan jingganya.
Lekas-lekas ia beranjak, mengibaskan ujung gaun dari lumut bebatuan, sebelum memeriksa celana dalamnya yang basah. Belahan pinangnya telah mengantar gairah tak tertahan. Menorehkan rindu makin memuncak.

Besok aku kemari lagi, ujarnya sendu.

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

Sunday, October 9, 2011

#113 - Senjang

by @RinnyLaPrincesa

Kemarin dan hari ini, perempuan itu tampak tegang. Gurat-gurat kewaspadaan kuat terukir di setiap sudut lekukan wajahnya. Tarikan nafas yang cepat, hembusan pendek yang keras, mempermainkan dadanya naik-turun. Ucapan-ucapan singkat tak tertata, dengan intonasi datar tinggi, mengejutkan telinga-telinga di sekelilingnya. Ia sadar, lalu memilih diam tanpa kata-kata, meski bibirnya komat-kamit.

Tak satu pun mempercayai cerita tak teratur yang sekuat daya disampaikannya. Ia yang biasa bertutur rapi, senantiasa menata diksi sistematik, tampaknya tak digubris sebagai petunjuk yang kuat. Perbedaan itu dipandang hanyalah bentuk revolusi negatif yang mengubahnya jadi makhluk aneh. Orang-orang mulai menganggapnya gila, bahkan orang-orang terdekatnya. Mata eksotik itu kering, tak ada setitik air pun menggenang di sana. Tak kan ada yang menduga tangisan teramat pilu dan spirit yang meradang sembab, telah menguasai seluruh jiwa perempuan itu.

Hujatan demi hujatan bagai badai katrina menghantam dinding-dinding di rongga otaknya. Setiap orang berlomba-lomba memamerkan keunggulan dan keberhasilan diri masing-masing. Menciptakan kondisi yang makin senjang, keterpurukan perempuan itu dirasainya sendiri.
Siapakah yang bisa merasakan gelombang-gelombang jiwa selain tubuh tempat jiwa itu berlabuh?

Apakah yang mengaku-ngaku dirinya ahli memetakan jiwa manusia dengan segudang ilmu, pengalaman dan proyek-proyek pengembangan, mampu mengulurkan empati sungguh-sungguh ternadapnya?
Bahkan golongan ini pun sibuk merambah tangga keilmuannya yang tinggi bercokol di wilayah ide. Tinggi sekali tangga-tangga itu sampai mereka tak bersedia turun kembali menemui realita, yang harusnya jadi tanggung jawab jubah-jubah hitam dengan topi-topi segi lima.

Apa gunanya ilmu, popularitas, bahkan kekayaan materi dan pengalaman itu jika hanya bisa meleceh, menghina, mengubur jiwa-jiwa yang jauh?
Sayang sekali kata-kata indah tak menyentuh realita hidup yang sesungguhnya di depan mata. Sayang sekali.

Perempuan itu memejamkan matanya, tetapi bukan tidur. Ia mencoba sejenak membutakan penglihatan mata, meski hati dan jiwanya tak kan pernah terpejam sedetik pun.
Gemuruh yang terlalu dahsyat melemparkan kepingan-kepingan raganya dalam ruang bawah sadar.
Ambillah sekarang, sesudah itu lampu grafik dan bunyi datar segera memanjang bergema di ruang kosong tak berpenghuni.

*tulisan ini adalah renungan refleksi dan introspeksi, dalam bahasa hati*

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

Wednesday, August 17, 2011

#112 - Indonesia Pusaka :: Dirgahayu Negeriku

Puluhan tahun lamanya, saya mengenal lantunan berikut:

::Indonesia Pusaka::
Lirik Lagu Wajib Nasional
Musik Perjuangan/Patriotik Nasional
Republik Indonesia

Ciptaan: Ismail Marzuki

Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Tetap di puja-puja bangsa

Reff :
Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Tempat akhir menutup mata

Sungguh indah tanah air beta
Tiada bandingnya di dunia
Karya indah Tuhan Maha Kuasa
Bagi bangsa yang memujanya

Reff :
Indonesia ibu pertiwi
Kau kupuja kau kukasihi
Tenagaku bahkan pun jiwaku
Kepadamu rela kuberi
---

Saya tidak peduli apakah lagu perjuangan nasional ini paling sering dilantunkan pada masa orla, orba, reformasi, dan or or or lainnya.
Karena yang menggaris tebal memori tidak pada masanya, momen, ataupun faktor eksternal lainnya. Akan tetapi pada 'rasa' yang senantiasa menyelubungi serabut-serabut jiwa tatkala melantunkan irama dan syairnya.
Ismail Marzuki, sang maestro penggubah, bukan sekadar menulis dan menciptakannya semata. Saya yakin, lebih dari itu, ia menumpahkan panggilan hati dan kerinduan teramat dalam menyatukan berbagai masa dalam perjalanan republik ini. Saya pikir, juga bukan sekadar rasa bangga pada kelimpahan yang dimiliki negeri ini, saat lirik lagu itu tertuang dalam bait-baitnya.

Diksi 'pusaka' mengarahkan pada makna yang sangat dalam. Terlebih diangkat sebagai judul sebuah gubahan.

Menurut KBBI definisi 'pusaka':
1 harta benda peninggalan orang yg telah meninggal; warisan.
2 barang yg diturunkan dr nenek moyang:
keris pusaka;
pusaka gantung: harta pusaka yg tidak terang siapa yg berhak mewarisinya;
pusaka rendah: harta pusaka yg diterima dr perseorangan (spt kain, cincin);
pusaka tinggi: harta pusaka milik kaum (tanah, sawah, atau tanah adat).

Kita bisa lihat, judul lagu bukanlah pusaka Indonesia, melainkan 'Indonesia Pusaka', yang berarti Indonesia lah harta tersebut, warisan tak ternilai, yang bukan cuma pusaka tinggi, lebih dari itu.
BUKAN hanya dimiliki satu orang atau satu kelompok atau satu etnik atau satu suku atau satu agama atau satu ras atau satu golongan atau satu partai, dan lain-lain. Saya rasa, itu pesan utamanya. Negeri ini adalah pusaka kita. *terharu*
Banyak kelompok, banyak organisasi, banyak perkumpulan, bahkan nama pribadi, telah mengabadikan pusaka itu: Indonesia.

Merawat pusaka adalah amanah. Bukankah demikian?
Apakah pusaka ini tetap mau dirawat? Memoles yang berkarat agar bersinar lagi, mengasahnya agar tajam lagi. Bungkam saya jika terlalu cerewet, atau bahkan lebay.
Tapi saya tetap merinding pada pusaka ini.
Terlebih setiap kali mendengar nada-nada terlantun lewat lirik "Indonesia Pusaka".
Saya merinding, menitik airmata saya.

Hasil jelajah wiki-wiki, hanya menemukan yang berikut:
Indonesia Pusaka (English: Indonesia, the Heritage) is a patriotic song composed by Ismail Marzuki. It is normally played on Indonesian Independence Day celebration.

Hari ini, Indonesian Independence Day celebration.
Peringatan dan perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia ke 66.
Izinkan ucapan saya melantun:
Dirgahayu Negeriku.
Juga yang ini:
Indonesia pusaka abadi nan jaya.

*Telah diposting juga ke mailing list HIMPSI Jaya (Himpunan Psikologi Indonesia, Wilayah DKI Jakarta Raya), dan Psikologi Indonesia.*
•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

Friday, August 12, 2011

#111 - Dia, aku, kamu...kita

by RinnySoegiyoharto

Petang terasa dekat
Menjauh ketika pagi
Tegang meraba pekat
Menabuh cerita hati

Wajah itu mengikuti
Di depan di belakang
Di samping kiri kanan

Tiada bayang-bayang
Sebab ada terasa ada
Tak terlihat sungguh tidak
Tapi ada pasti ada

Gelantung lepas satu lepas
Dua lepas tiga lepas
Sampai seribu pun lepas
Bahkan sejuta bisa lepas

Tapi rasa tetap ada
Merasuk lembut halus
Berjumlah sama tak kurang

Melalui tiap pori
Melewati tiap lubang
Menyusuri jalan tiada balik

Boleh untukmu,
Memang untukmu,
Selalu untukmu,

Ambillah
Karena sudah kuberi
tak kuminta kau bayar
Ambillah
Cuma-cuma

Dia tidak minta kubayar
Di depan di belakang
Di samping kiri kanan

Segala arah ada
Penjuru angin tak cukup
Belum sempat diberi nama

Dia sudah lama berdiri
Lama sebelum kutahu
Lebih lama tanpa kutahu

Bersinar tak silaukan
Berkata lembut
Menatap damai
Mengecup dalam
Bukan gairah akar
Tidak seperti kita

Tapi karena kita, kita
Dia,
Dia
Kita, kita
Dan kita tak jadi
Dia,
Tak akan,

Dia jadikan kita
Karena kita, kita
Dia,
Dia
Cuma karena cinta
Dia cinta terlalu amat

Keriput bergaris-garis
Berkerut di sudut-sudut
Telah diciduk habis keluar
Hingga tak sanggup lagi

Terkuras
Semua sudah basah
Lalu kering lagi
Tak cukup tak pernah

Keperihanku karena kamu
Terlalu kecil,
Kecil sungguh kecil
Dia perih karena aku
Dia perih karena kamu

Perih karena kita, kita
Dia tak teriak seperti kita
Kita, kita
Dia,
Dia
Karena kita

Rasa kita ada
Mungkin kamu hilang
Aku tidak
Dia selalu, tak kurang
Bahkan tambah, dan makin

Sejadi-jadinya kumenangis
Sejauh-jauhnya jatuhku simpuh
Sebab tak tahan aku
Dia terlalu perih
Dan terlalu cinta

Dia, kamu, aku,
Kita, kita
Dia,
Dia

12-08-2011 :: 02:00am

»
best regards,
Rinny Soegiyoharto
«

Wednesday, August 3, 2011

VoaF#110 - Roses

Once on Sunday after worship, I went with my friend to her house. Which was in the front yard filled with diverse planted roses, though still dominated by red roses.
I was a little cute (Ơ̴̴̴̴̴̴͡.̮Ơ̴̴͡) girl then, lived with my family in a friendly small town. Every Sunday morning several children, including me, walked together to sunday school closed to the church.

Joyfully when we all still hold together, playing and singing until every child tired. Then each went home, bringing stories for parents and siblings. I was no exception.

Coming home from a friend's house in that day, I brought a rose for my mother. My friend's mother has allowed me to pluck a sprig before I go home.
How fragrant the rose, I inhaled along the way, until a few petals apart, and remains visible wilting. I would be so sad.
Is when we too adore something then it would quickly wither? Then we lose it?
That's just as innocent as question of a little girl, tens years ago.
»
best regards,
Rinny Soegiyoharto
«

VoaF#109 - Manusia Itu Istimewa

By Rinny Soegiyoharto

Memperhatikan dan mengamati hewan peliharaan beraktivitas, rasa kagum pada ke-sungguh-amat-baik-nya manusia, makin hebat.
Betapa tidak, saat seekor anjing susah-payah mendorong mulutnya, menggapai sepotong tulang diantara makanannya, tiada jemari yang dapat membantu. Kepalan kaki depan hanya dapat menggeser obyek itu beberapa senti agar tergerogoti sedikit-sedikit oleh geligi yang jarang.

Sungguh luar biasa istimewa manusia. Makhluk tertinggi yang sempurna dengan segala peralatan lengkapnya. Jemari yang dapat menulis (kemampuan dan keterampilan motorik halus yang hanya dimiliki manusia). Hingga otak dan susunan syarafnya, yang bermuatan energi listrik dan gelombang elektromagnetik unik tercanggih.

Lebih dari 6,5 (enam setengah) miliar makhluk istimewa mendiami dunia ini. Bahkan pada tanggal 19 Oktober 2012 pukul 03.36 WIB, jumlah penduduk dunia diperkirakan akan mencapai 7 (tujuh) miliar jiwa. Demografis mencatat dalam 12 (duabelas) tahun manusia di dunia bertambah satu miliar jumlahnya, setelah dikurangi angka mortalitas tentu saja (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Penduduk).

Apakah seluruh manusia yang ada itu istimewa?
Apakah semuanya memiliki hak dan kewajiban yang sama terhadap kelangsungan bumi dan segala isinya?
Apakah kelengkapan perangkat yang dimilikinya sebagai ciri kuat keistimewaannya tersebut sekadar peralatan belaka?

Adakalanya manusia lupa pada keistimewaan yang dipunyai. Akal-budi, aspek yang sejatinya adalah harta dan talenta berharga, seringkali tumpul, terkikis, bahkan lumpuh. Seolah-olah jemari yang lentur menarikan pinsil, hanya terkepal bagai kaki depan. Tak banyak membantu, malah merusak. Kantong sesak bersama buncitnya perut, hak dan kewajiban bertukar tempat, alam meranggas tergerogot keserakahan. Banyak lagi.

Selayaknya istimewa terberi itu disadari, diterima dan diperlakukan istimewa sesuai hakikat dan fitrahnya. Sinergi hampir tujuh miliar manusia memetakan dunia istimewa yang bergerak harmonis dalam konstelasinya.
Apakah sudah? Ataukah belum?
Tampaknya belum (⌣́_⌣̀).
Tapi optimisme pada setiap manusia pasti berpengharapan mewujudkannya menjadi 'sudah', setidaknya 'sedang'.
Semoga kalimat itu benar-benar optimis Ơ̴̴̴̴̴̴͡.̮Ơ̴̴͡.

»
best regards,
Rinny Soegiyoharto
«

Monday, August 1, 2011

VoaF#108 - Just Adopted

By Rinny Soegiyoharto


They've called him, Baron. He is so cute, mix breed puppy, has black and brown hair Ơ̴̴̴̴̴̴͡.̮Ơ̴̴͡, playfully, and adaptable.
Welcome to your new family, Baron. We all are considering to call you Bona, like our late dog (⌣́_⌣̀) .
Enjoy your daily doggy-class, as well. As we have 'Cesar Millan' Indonesian version here...
Anyone interest to join?
Ơ̴̴̴̴̴̴͡.̮Ơ̴̴͡ Ơ̴̴̴̴̴̴͡.̮Ơ̴̴͡ ​​​Ơ̴̴̴̴̴̴͡.̮Ơ̴̴͡◦°


»
best regards,
Rinny Soegiyoharto
«

Friday, July 22, 2011

VoaF#107 - 22 Juli 3 Tahun Lampau

By Rinny Soegiyoharto
¤¤¤ ¤¤¤ ¤¤¤ ¤¤¤ ¤¤¤

Hanya sedikit kata yang dapat kurangkai saat ini. Tiga tahun tanpamu...

Kami tetap sama,
kami di sini, di ruang ini.
Selalu merindukan dan mencintaimu,
yang sudah lebih dulu pindah ke ruang sebelah.

Perempuan terindah dan terbaik.

Terimakasih Tuhan, telah mengizinkan kami memilikinya...
Kini Mami lebih bahagia bersamaMU,
dan menjadi malaikat kami...

»
best regards,
Rinny Soegiyoharto
«

Thursday, July 21, 2011

VoaF#106 - Childhood Dreams - from @inner_space

Your childhood dreams come from the very core of you. Today take a little time to recall them. Are you living your childhood dream? If you're not & you want to, then work out how you will easily follow your dream. And if your childhood dream is of no importance to you anymore, then be happy with where you are right now.
Tweet from @inner_space

»
best regards,
Rinny Soegiyoharto
«

VoaF#105 - Ketel Baru

By Rinny Soegiyoharto
¤¤¤ ¤¤¤ ¤¤¤ ¤¤¤ ¤¤¤

Beberapa waktu lalu, ketel air kami (ceret untuk menjerang air yang berpeluit dan bertiup nyaring saat air mendidih), habis masa pakainya. Ada lubang kecil di pantat ketel, tentu saja bocor dan air merembes keluar dari situ.
Ternyata tidak mudah mencari ketel besar (menampung sekitar 4-5 liter) sebagai penggantinya. Ketel lama yang bocor itu sudah cukup tua, entah berapa tahun umurnya. Tapi kualitasnya bagus, bahan logam yang tebal, aluminium dan bentuknya agak modern. Dan yang pasti berukuran besar, bisa menjerang air yang banyak. Karena kami butuh banyak air panas mendidih setiap pagi.

Setelah berhari-hari 'hunting', mata saya pun tertumbuk pada ketel besar ini. Bahan logamnya tebal, ada peluit dan gagang yang kuat berlapis bahan tahan panas. Tapi yang paling menarik adalah bentuknya yang kuno, seperti ketel milik oma-oma dan simbah-simbah di kampung zaman dulu. Bedanya, yang dulu terbuat dari besi atau logam kuningan. Selebihnya ya persis banget, tutupnya lepasan (bisa di lepas terpisah), bentuknya bulat nyempluk (gendut).

Pikiran saya langsung liar melompat ke masa lalu. Bukan hanya ketel besar dan air mendidihnya saja tentu. Justru peristiwa-peristiwa nostalgia yang terhubung dengan ketel, menjadi permainan imajinasi memori yang mengasyikkan. Ahay!
Hidup kita memang hari ini, bukan kemarin, belum juga esok. Tapi memori masa lalu tetaplah suatu rangkaian kisah yang juga berkontribusi membentuk hidup kita yang sekarang.

Salah satu kisah bertempat kejadian di sebuah kota kecil di Sulawesi Tengah. Namanya Ampana, kota kewedanaan di wilayah kabupaten Poso. Kota yang indah di sepanjang pantai laut Poso, dengan dermaga kecil di salah satu tepi pantainya. Dermaga yang bisa dilabuhi rapat oleh kapal-kapal penumpang kecil dan kapal-kapal pengangkut. Saya sering bermain-main di dermaga itu. Tentu saja saya masih kecil, hingga dermaga terasa besar dan luas.

Dermaga atau pelabuhan Ampana (seingat saya) waktu itu terletak di ujung deretan pertokoan, pasar dan rumah penduduk. Untuk mencapai dermaga tersebut, saya yang masih kecil (usia sekitar 7-8 tahun) hanya berjalan kaki dari rumah, belum sampai capek sudah tiba di situ. Betapa dekat jaraknya, bukan?
Pada suatu hari, setelah bosan menonton anak-anak yang berenang di laut dengan melompat dari atas dermaga yang terbuat dari papan-papan dan kayu-kayu besar, saya berjalan menyusuri pantai.

Tujuan saya saat itu adalah pulang. Sambil sedikit was-was, kalau-kalau Ibu saya (sekarang sudah Almarhum. Waduh! Besok tepat 3 tahun Ibu saya dipanggil Yang Maha Kuasa. Miss you, Mom...) sudah menanti dengan omelan dan kemarahan. Maklum deh, untuk ukuran anak kecil, saya cukup bandel bermain-main sendirian begitu jauh dari rumah, dengan mengabaikan jam tidur siang yang sudah jadi peraturan orangtua ketika itu. Tetapi di wilayah kota kecil pada kurun 70-an, saya bukan satu-satunya anak kecil yang melakukan hal ini. Buktinya, saya ketemu banyak teman di dermaga, di jalan, di pantai, di kebun singkong, dan di mana-mana. He he he he... (pembelaan diri yang bisa diterima, ok?).

Saya melepaskan sandal lili (sandal plastik bersol karet yang 'ngetrend dipakai anak-anak pada masa itu), lalu membenamkan kaki saya ke dalam pasir pantai yang masih hangat. Matahari belum hilang, bahkan sunset masih sekitar 2 jam lagi. Ada perahu kecil bercadik tak jauh dari tempat saya berdiri, serta deretan pohon mangga hutan sekitar 20 meter ke arah jalan. Daerah ini terkenal ditumbuhi banyak jenis mangga hutan yang sangat sering berbuah. Entah sekarang, apakah masih seperti yang ada dalam memori saya.

Tiba-tiba saya merasakan suatu benda keras menimpa kepala saya. Selain benda itu keras dan cukup besar ukurannya, juga datang dan menimpa saya dengan kecepatan tinggi hingga tak pelak sempat saya hindari. Kepala saya tertimpa batu yang dilemparkan seorang anak laki-laki di jalan, sekitar 30-40 meter dari tempat saya. Saya lihat anak itu mengangkat tangannya. Tapi ekspresi wajahnya tidak tertangkap mata saya. Selain menahan sakit teramat sangat di puncak kepala, pandangan saya juga agak berkunang-kunang.

Saya menahan airmata yang rasanya heboh banget ingin berurai. Saya tidak mau menangis di tempat umum seperti itu. Dan saya sedang sendirian dengan gagahnya seolah-olah petualang yang tengah menakhlukkan gelombang pantai. Menangis akan merusak konsep kegagahan yang membuncah di perasaan.
Saya tengok anak laki-laki yang kurangajar itu. Wajahnya tetap belum terlihat jelas. Bisa jadi dia salah satu teman sekolah saya di SDN 1 Ampana. Rasa saya bilang, anak itu masih memandangi saya, tapi tidak berani mendekat. Dan rasa saya juga bilang, anak itu tadi sedang berusaha melempari buah-buah mangga hutan yang banyak bergelantungan di pohon. Memang sangat menggiurkan. Suatu saat saya juga pernah melakukannya. Ahay! Ha ha ha...

Lho!? Kok tidak ada cerita ketel, ya? He he he... Sebentar. Jadi, entah karena takut atau cuek, tak berapa lama anak laki-laki itu melompat ke dalam gerobak yang ditarik seekor kuda saat bendi itu melintas di dekatnya. Dia menghilang bersama bendi. Tinggallah saya seorang diri di tepi pantai, menahan sakit di kepala. Setelah kunang-kunang menjauh dari pandangan saya, perlahan-lahan saya kenakan sandal lili, lalu berjalan ke arah tujuan. Pulang.
Saya tidak lagi memegang kepala saya yang sakit. Masih terasa sakit, tapi saya biarkan.

Di tengah perjalanan, ide baru tiba-tiba muncul di benak saya. Daripada pulang lalu orangtua saya tahu apa yang terjadi, kepala saya pasti diperiksa, lalu ujung-ujungnya dibawa ke dokter. Satu hal yang paling saya benci di masa kecil adalah ke dokter, selain ke sekolah, he he he he...
Apakah ide itu? Apalagi kalau bukan mampir ke rumah teman.
Letak rumahnya di tepi jalan yang menuju arah rumah kami. Sebenarnya saya bisa masuk dari pintu depan rumah itu. Tapi tidak seru kalau ketemu orangtuanya, nanti banyak pertanyaan.

Saya tahu pada jam segitu teman saya ada di belakang, atau di dapur. Teman saya ini seorang anak perempuan yang patuh dan rajin. Beberapa kali dia main ke rumah saya sambil membawa adiknya yang harus dimomong karena orangtuanya bekerja. Jam segini dia biasanya di belakang memandikan adiknya. Jadi saya ambil jalan memutar lewat setapak di samping rumahnya sambil menunduk-nunduk, supaya kepala saya tidak tampak ketika melewati jendela.

Sesampai di belakang, sepi. Suara bayi juga tidak terdengar. Saya melongok ke dapur lewat jendela anyaman kawat. Tidak ada orang. Tapi, di atas tungku ada ketel hitam terjerang, yang terlihat mulai beruap. Saya tersenyum senang. Sebentar lagi peluit di tutup ketel itu pasti berbunyi nyaring. Kalau ketel berbunyi, pasti ada orang yang akan segera masuk ke dapur. Tentu saja saya berharap teman saya yang akan nongol.
Benar saja... Ttuuuuuuuuuuttttt... Bunyi panjang peluit ketel membawa langkah-langkah tergesa dari ruang dalam.

Glek!
Bukan teman saya, tapi.......... ibunya..........

*Kejadian selanjutnya: ha ha ha ha.... Saya dibuatin kopi susu oleh ibunya teman saya itu, lalu ia juga melumuri benjolan di puncak kepala saya dengan minyak kelapa yang sudah dicampur dengan lumatan daun jarak bergetah... Itu obat tradisional yang sangat ampuh. Ibu saya, oma saya, tante-tante saya, juga sering membuatnya dan menggunakan ramuan itu.*

Itulah cerita ketel. Kisah selanjutnya diduga-duga aja sendiri.... Ơ̴̴̴̴̴̴͡.̮Ơ̴̴͡


»
best regards,
Rinny Soegiyoharto
«

Monday, July 18, 2011

VoaF#104 - Sahabatku Mati

By Rinny Soegiyoharto
¤¤¤ ¤¤¤ ¤¤¤ ¤¤¤ ¤¤¤

Jum'at 15 Juli 2011.

19:00
Dia memanggil-manggilku. Saat kudekati, matanya bersinar cerah, wajahnya tersenyum lega. Ya ampuuuunnn, dia masih bergayut di tiang itu...dengan kalungnya yang gemerincing.
"Aku sudah lama di sini," seolah-olah dia membisikkan kata-kata itu. Sambil tetap menatapku dengan sinar matanya yang indah. Dia ganteng betul.

Saat gemerincing kalungnya berayun bebas, yakni ketika bandul di tiang kulepaskan, dia tertawa bahagia. Diciumnya kakiku dan merapatkan tubuhnya yang hangat di betisku. Betapa manja dia.
Aku tertawa. Ah! Kusangka dia akan ke 'toilet'nya di sudut taman. Ternyata dia hanya berlari-lari kecil mengelilingiku. Kibasan keemasan di ujung tubuhnya memberi isyarat bahwa dia sangat bahagia.
Aku meninggalkannya bermain sendiri. Ada yang harus kuselesaikan di ruanganku.

23:30
Suaranya lirih. Aku menghampirinya, mengajaknya bicara.
"Ada apa, Bon? Kamu sudah selesai makan?"
Dia hanya menatapku tajam, sambil tetap tersenyum.
Kali ini dia tidak mendekatiku seperti biasa. Seolah-olah menjaga tetap berjarak satu meter antara dia dan aku. Dia duduk, tersenyum, terus menatapku. Penuh pengertian dan kasih sayang tersirat dalam tatapannya. Juga kesetiaan yang luar biasa. Kesetiaannya terbukti selama empat tahun ini. Menemani hari-hari kami, menjaga kami setiap waktu. Betapa aku menyayangimu, Bona.
Satu hal, dia tampak sehat dan bugar saat itu. Seperti biasanya. Hanya saja dia tidak merapat ke betis dan kakiku, hingga aku tidak merasakan kehangatan tubuhnya menempel padaku.

Sabtu, 16 Juli 2011.

07:20
Dia ada di tempatnya berjaga-jaga. Berbaring siaga di atas alas paving, menikmati berkas sinar matahari. Dia sangat menyukai bermandikan hangat mentari pagi sambil tetap berjaga-jaga di sisi gerbang. Adakalanya bermain-main dengan Caprut, kucing belang putih-hitam, sahabat karibnya di rumah ini.

Tapi.....
Ada yang berbeda pagi ini....
Dia tidak menyahut ketika namanya disapa. Dia diam saja dalam posisinya menjaga gerbang. Padahal dia sangat suka disapa. Ketika namanya disebut, kepalanya pasti terangkat, dan senyum gantengnya mengambang di wajahnya.
Banyak sekali kata yang dipahaminya dengan cerdas.
"Sini", "duduk", "naik", "lompat", "lari", "berdiri", "tangkap", "tunggu", "makan", "minum", "susu", "coklat", "roti", "caprut", "masuk", dan masih banyaaaaakkkk lagi....

Bonaaaaaa...
Ketika didekati, dia sudah kaku, meski tubuhnya masih hangat.
Bona mati!
Sahabatku mati!
Golden ganteng dan cerdas bernama Bona itu, mati!
Airmataku tak terbendung. Sahabatku sudah pergi. Saat ajal menjemputnya, lagi-lagi dia tetap setia menjaga kami. Bahkan di akhir hidupnya, kesetiaannya yang luar biasa tetap nyata diperlihatkan dengan kasih sayang terhadap kami.

Aku sangat kehilangan, aku menangisi kematiannya. Betapa singkat waktumu bersama kami, Bona.
Kau bukan sekadar hewan peliharaan, kau adalah anggota keluarga kami. Kita semua saling menyayangi. Sikap dan perilakumu yang baik juga dirasakan oleh tetangga dan setiap tamu yang datang ke sini.

Aku masih sedih.
Tapi dia memang harus pergi, daripada tersiksa dengan rasa yang tak mampu dia ungkapkan.
Penyebab kematian: serangan jantung.
Maafkan aku, Bona. Coklat memang tidak baik untuk jantungmu. Tapi karena kulihat kau sangat menyukainya, aku suka membagikan potongan-potongan coklatku buatmu.

Selamat jalan sahabat setia...

»
best regards,
Rinny Soegiyoharto
http://suara-hati-rinny.blogspot.com/
«

Sunday, July 17, 2011

VoaF#103 - The Rime of the Ancient Mariner by Samuel Taylor Coleridge (Part I)

The Rime of the Ancient Mariner by Samuel Taylor Coleridge

*by Rinny Soegiyoharto*
*** *** ***
Puisi ini luar biasa indah. Demikian menurut saya. Maka akan saya muat 'Part 1' di blog ini, yang tersentuh dan ingin membaca 6 part lainnya silakan 'klik' link di atas saja ya. Kuharap menularkan rasa...

The Rime of the Ancient Mariner

Samuel Taylor Coleridge

Part I

It is an ancient Mariner,
And he stoppeth one of three.
`By thy long grey beard and glittering eye,
Now wherefore stopp'st thou me?
The bridegroom's doors are opened wide,
And I am next of kin;
The guests are met, the feast is set:
Mayst hear the merry din.'
He holds him with his skinny hand,
"There was a ship," quoth he.
`Hold off! unhand me, grey-beard loon!'
Eftsoons his hand dropped he.
He holds him with his glittering eye -
The Wedding-Guest stood still,
And listens like a three years' child:
The Mariner hath his will.
The Wedding-Guest sat on a stone:
He cannot choose but hear;
And thus spake on that ancient man,
The bright-eyed Mariner.
"The ship was cheered, the harbour cleared,
Merrily did we drop
Below the kirk, below the hill,
Below the lighthouse top.
The sun came up upon the left,
Out of the sea came he!
And he shone bright, and on the right
Went down into the sea.
Higher and higher every day,
Till over the mast at noon -"
The Wedding-Guest here beat his breast,
For he heard the loud bassoon.
The bride hath paced into the hall,
Red as a rose is she;
Nodding their heads before her goes
The merry minstrelsy.
The Wedding-Guest he beat his breast,
Yet he cannot choose but hear;
And thus spake on that ancient man,
The bright-eyed Mariner.
"And now the storm-blast came, and he
Was tyrannous and strong:
He struck with his o'ertaking wings,
And chased us south along.
With sloping masts and dipping prow,
As who pursued with yell and blow
Still treads the shadow of his foe,
And foward bends his head,
The ship drove fast, loud roared the blast,
And southward aye we fled.
And now there came both mist and snow,
And it grew wondrous cold:
And ice, mast-high, came floating by,
As green as emerald.
And through the drifts the snowy clifts
Did send a dismal sheen:
Nor shapes of men nor beasts we ken -
The ice was all between.
The ice was here, the ice was there,
The ice was all around:
It cracked and growled, and roared and howled,
Like noises in a swound!
At length did cross an Albatross,
Thorough the fog it came;
As it had been a Christian soul,
We hailed it in God's name.
It ate the food it ne'er had eat,
And round and round it flew.
The ice did split with a thunder-fit;
The helmsman steered us through!
And a good south wind sprung up behind;
The Albatross did follow,
And every day, for food or play,
Came to the mariner's hollo!
In mist or cloud, on mast or shroud,
It perched for vespers nine;
Whiles all the night, through fog-smoke white,
Glimmered the white moonshine."
`God save thee, ancient Mariner,
From the fiends that plague thee thus! -
Why look'st thou so?' -"With my crossbow
I shot the Albatross."

___________
RS @ OwnBlog http://suara-hati-rinny.blogspot.com/

Thursday, June 23, 2011

VoaF#102 - Verses

*by Rinny Soegiyoharto*
*** *** ***

Unforgettable verses that used to be very often sent to me. Filled my days behind...

"I had many things to write to you, but I am unwilling to write to you with ink and pen;
but I hope to see you soon, and we will speak face to face.
Peace be to you."

Followed by the prayers that accompany whole full colour days in the unframed painting.

Those prayers will never be over, because souls are united according to HIS will.

I understand the meaning of a greatest love. Tears after the service was a total surrender in full obedience to HIM.

And when singing out of "How Great Is Our God", was really a full appreciation and love of almighty.

How could ignore the spiritual experience that is extraordinary?
People may not believe it. Even if you want to scoff on the pretext that the experience was not logical. But I experienced it directly, I am the witness. Was very feel it. That sink deep into the depths of my spirit.

Thank You, my LORD...
___________
RS @ OwnBlog http://suara-hati-rinny.blogspot.com/

Posts Archive


PEREMPUAN = SRIKANDI ?

Kenapa PEREMPUAN PEJUANG sering disebut SRIKANDI.
APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?
Kutelusuri WIKIPEDIA, kutemukan entri SRIKANDI ini

Srikandi (Sanskerta: Śikhaṇḍī) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata vrsi India.
Arti nama
Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".
Srikandi dalam Mahabharata
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Perang di Kurukshetra
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Srikandi dalam Pewayangan Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

JADI, APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?

*********

PEREMPUAN DAN PENDIDIKAN
Rinny Soegiyoharto (catatan tak selesai pada april 2006)

Ragam aktivitas ke-Kartini-an sebagai simbol emansipasi kaum perempuan seperti sebuah rutinitas lebih bergaung pada bulan April mendekati hari keduapuluhsatu. Ditandai aneka lomba dan berbagai atribut keperempuanan yang adakalanya malah tampak sekadar wujud lahiriah dan kasat mata. Sebut saja lomba berkebaya, lomba masak, lomba pasang dasi, lomba merias wajah, dan sebagainya.

*** *** *** *** ***

-DRAFT--Wanita. Meski berpadan dengan perempuan, namun kata dasar “empu” pada perempuan terasa lebih nyaman dan membanggakan, oleh sebab itu saya suka menggunakan kata “perempuan”, termasuk dalam menamai blog saya.-
Perempuan, sadar soal pentingnya pendidikan terhadap anak-anak, karena di "dalam" perempuan terdapat beban psikologis memperjuangkan dirinya sendiri, terus-menerus. Utamanya dalam hal pendidikan (sudah diterobos Kartini). Guru TK-SD bahkan SMP kebanyakan perempuan. Bapak-bapak lebih banyak muncul dan berperan pada tingkat pendidikan lanjutan atas (SMA), dimana pendidikan dasar telah ditanamkan lebih dahulu oleh ibu-ibu guru. Mengapa? Sekali lagi karena perempuan secara lahiriah dan kodrati justru memikul tanggung jawab pendidikan itu sendiri yang dimulai pada dirinya sendiri. Maka, bapak-bapak guru lebih kepada transfer of knowledge, ketimbang hal-hal mendasar yang lebih berhubungan dengan pembangunan karakter, penanaman proses belajar dan pengertian-pengertian dasar untuk dan selama manusia menempuh proses pendidikan.- Pendidikan: mencakup attitude/sikap, yakni kognitif, afektif dan perilaku. Pengembangan kepribadian, pembiasaan good character, kesadaran dan tanggung jawab akan masa depan pribadi/diri sendiri yang mempengaruhi masa depan keluarga dan kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara, dll.- Bukan diskriminasi yang mengarah pada gerakan feminisme.- Perbedaan sesuatu yang dirayakan bersama sebagai unsur2 yg saling bersinergi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan bersama: orangtua, pendidik, bangsa dan negara.- Berkaitan erat dengan UU Anti-KDRT. Jika perempuan terus ditindas, bahkan di dalam rumah tangganya sendiri, bagaimana mungkin perempuan dapat bertugas/ berkiprah/ bertindak optimal untuk mendidik anak-anak, baik anak sendiri maupun anak-anak didik apabila ia seorang guru? Kendati lagi, waktu terus merambah, persaingan global semakin cepat dan menantang, anak tidak berhenti tumbuh dan berkembang, suatu waktu akan tiba ketika anak mulai lebih banyak mencurahkan porsi proses pendidikannya pada pemenuhan kognitif, belajar ilmu2 tinggi, yg bisa jadi sebagian besar diberikan oleh laki-laki, bapak2 yg menitikberatkan pada perkembangan kognitif.- Perempuan & laki2 lebih kepada pembagian peran, baik dalam pendidikan di dalam rumah tangga, maupun pendidikan secara luas, formal & informal. Karena baik dari segi struktur fisiologis dan psikologis serta kultural dan sejarah di dalam masyarakat kita, telah membentuk sebuah perbedaan laki2 dan perempuan, yang harus kita rayakan bersama-sama membentuk manusia-manusia berkualitas dlm diri anak2 kita sebagai proses pendidikan menuju masa depan cerah mengikuti kecerahan janji bangsa ini. Amin.-

Pendidikan dimulai dari rumah. Peran ibu sebagai objek kelekatan anak yang pertama terhadap proses pendidikan anak tentulah tidak kecil. Sebagai perempuan, tentunya ibu harus tidak hanya memberikan pelajaran, namun pendidikan kasih sayang, penanaman afeksi, unsur penting bagi rasa nyaman dan aman bagi anak, karena merasa dicintai. Bagaimana mungkin ibu dapat menanam benih cinta pada anak apabila dia sendiri mengalami kekerasan dalam rumah tangga.***