¤¤¤ ¤¤¤ ¤¤¤ ¤¤¤ ¤¤¤
Beberapa waktu lalu, ketel air kami (ceret untuk menjerang air yang berpeluit dan bertiup nyaring saat air mendidih), habis masa pakainya. Ada lubang kecil di pantat ketel, tentu saja bocor dan air merembes keluar dari situ.
Ternyata tidak mudah mencari ketel besar (menampung sekitar 4-5 liter) sebagai penggantinya. Ketel lama yang bocor itu sudah cukup tua, entah berapa tahun umurnya. Tapi kualitasnya bagus, bahan logam yang tebal, aluminium dan bentuknya agak modern. Dan yang pasti berukuran besar, bisa menjerang air yang banyak. Karena kami butuh banyak air panas mendidih setiap pagi.
Setelah berhari-hari 'hunting', mata saya pun tertumbuk pada ketel besar ini. Bahan logamnya tebal, ada peluit dan gagang yang kuat berlapis bahan tahan panas. Tapi yang paling menarik adalah bentuknya yang kuno, seperti ketel milik oma-oma dan simbah-simbah di kampung zaman dulu. Bedanya, yang dulu terbuat dari besi atau logam kuningan. Selebihnya ya persis banget, tutupnya lepasan (bisa di lepas terpisah), bentuknya bulat nyempluk (gendut).
Pikiran saya langsung liar melompat ke masa lalu. Bukan hanya ketel besar dan air mendidihnya saja tentu. Justru peristiwa-peristiwa nostalgia yang terhubung dengan ketel, menjadi permainan imajinasi memori yang mengasyikkan. Ahay!
Hidup kita memang hari ini, bukan kemarin, belum juga esok. Tapi memori masa lalu tetaplah suatu rangkaian kisah yang juga berkontribusi membentuk hidup kita yang sekarang.
Salah satu kisah bertempat kejadian di sebuah kota kecil di Sulawesi Tengah. Namanya Ampana, kota kewedanaan di wilayah kabupaten Poso. Kota yang indah di sepanjang pantai laut Poso, dengan dermaga kecil di salah satu tepi pantainya. Dermaga yang bisa dilabuhi rapat oleh kapal-kapal penumpang kecil dan kapal-kapal pengangkut. Saya sering bermain-main di dermaga itu. Tentu saja saya masih kecil, hingga dermaga terasa besar dan luas.
Dermaga atau pelabuhan Ampana (seingat saya) waktu itu terletak di ujung deretan pertokoan, pasar dan rumah penduduk. Untuk mencapai dermaga tersebut, saya yang masih kecil (usia sekitar 7-8 tahun) hanya berjalan kaki dari rumah, belum sampai capek sudah tiba di situ. Betapa dekat jaraknya, bukan?
Pada suatu hari, setelah bosan menonton anak-anak yang berenang di laut dengan melompat dari atas dermaga yang terbuat dari papan-papan dan kayu-kayu besar, saya berjalan menyusuri pantai.
Tujuan saya saat itu adalah pulang. Sambil sedikit was-was, kalau-kalau Ibu saya (sekarang sudah Almarhum. Waduh! Besok tepat 3 tahun Ibu saya dipanggil Yang Maha Kuasa. Miss you, Mom...) sudah menanti dengan omelan dan kemarahan. Maklum deh, untuk ukuran anak kecil, saya cukup bandel bermain-main sendirian begitu jauh dari rumah, dengan mengabaikan jam tidur siang yang sudah jadi peraturan orangtua ketika itu. Tetapi di wilayah kota kecil pada kurun 70-an, saya bukan satu-satunya anak kecil yang melakukan hal ini. Buktinya, saya ketemu banyak teman di dermaga, di jalan, di pantai, di kebun singkong, dan di mana-mana. He he he he... (pembelaan diri yang bisa diterima, ok?).
Saya melepaskan sandal lili (sandal plastik bersol karet yang 'ngetrend dipakai anak-anak pada masa itu), lalu membenamkan kaki saya ke dalam pasir pantai yang masih hangat. Matahari belum hilang, bahkan sunset masih sekitar 2 jam lagi. Ada perahu kecil bercadik tak jauh dari tempat saya berdiri, serta deretan pohon mangga hutan sekitar 20 meter ke arah jalan. Daerah ini terkenal ditumbuhi banyak jenis mangga hutan yang sangat sering berbuah. Entah sekarang, apakah masih seperti yang ada dalam memori saya.
Tiba-tiba saya merasakan suatu benda keras menimpa kepala saya. Selain benda itu keras dan cukup besar ukurannya, juga datang dan menimpa saya dengan kecepatan tinggi hingga tak pelak sempat saya hindari. Kepala saya tertimpa batu yang dilemparkan seorang anak laki-laki di jalan, sekitar 30-40 meter dari tempat saya. Saya lihat anak itu mengangkat tangannya. Tapi ekspresi wajahnya tidak tertangkap mata saya. Selain menahan sakit teramat sangat di puncak kepala, pandangan saya juga agak berkunang-kunang.
Saya menahan airmata yang rasanya heboh banget ingin berurai. Saya tidak mau menangis di tempat umum seperti itu. Dan saya sedang sendirian dengan gagahnya seolah-olah petualang yang tengah menakhlukkan gelombang pantai. Menangis akan merusak konsep kegagahan yang membuncah di perasaan.
Saya tengok anak laki-laki yang kurangajar itu. Wajahnya tetap belum terlihat jelas. Bisa jadi dia salah satu teman sekolah saya di SDN 1 Ampana. Rasa saya bilang, anak itu masih memandangi saya, tapi tidak berani mendekat. Dan rasa saya juga bilang, anak itu tadi sedang berusaha melempari buah-buah mangga hutan yang banyak bergelantungan di pohon. Memang sangat menggiurkan. Suatu saat saya juga pernah melakukannya. Ahay! Ha ha ha...
Lho!? Kok tidak ada cerita ketel, ya? He he he... Sebentar. Jadi, entah karena takut atau cuek, tak berapa lama anak laki-laki itu melompat ke dalam gerobak yang ditarik seekor kuda saat bendi itu melintas di dekatnya. Dia menghilang bersama bendi. Tinggallah saya seorang diri di tepi pantai, menahan sakit di kepala. Setelah kunang-kunang menjauh dari pandangan saya, perlahan-lahan saya kenakan sandal lili, lalu berjalan ke arah tujuan. Pulang.
Saya tidak lagi memegang kepala saya yang sakit. Masih terasa sakit, tapi saya biarkan.
Di tengah perjalanan, ide baru tiba-tiba muncul di benak saya. Daripada pulang lalu orangtua saya tahu apa yang terjadi, kepala saya pasti diperiksa, lalu ujung-ujungnya dibawa ke dokter. Satu hal yang paling saya benci di masa kecil adalah ke dokter, selain ke sekolah, he he he he...
Apakah ide itu? Apalagi kalau bukan mampir ke rumah teman.
Letak rumahnya di tepi jalan yang menuju arah rumah kami. Sebenarnya saya bisa masuk dari pintu depan rumah itu. Tapi tidak seru kalau ketemu orangtuanya, nanti banyak pertanyaan.
Saya tahu pada jam segitu teman saya ada di belakang, atau di dapur. Teman saya ini seorang anak perempuan yang patuh dan rajin. Beberapa kali dia main ke rumah saya sambil membawa adiknya yang harus dimomong karena orangtuanya bekerja. Jam segini dia biasanya di belakang memandikan adiknya. Jadi saya ambil jalan memutar lewat setapak di samping rumahnya sambil menunduk-nunduk, supaya kepala saya tidak tampak ketika melewati jendela.
Sesampai di belakang, sepi. Suara bayi juga tidak terdengar. Saya melongok ke dapur lewat jendela anyaman kawat. Tidak ada orang. Tapi, di atas tungku ada ketel hitam terjerang, yang terlihat mulai beruap. Saya tersenyum senang. Sebentar lagi peluit di tutup ketel itu pasti berbunyi nyaring. Kalau ketel berbunyi, pasti ada orang yang akan segera masuk ke dapur. Tentu saja saya berharap teman saya yang akan nongol.
Benar saja... Ttuuuuuuuuuuttttt... Bunyi panjang peluit ketel membawa langkah-langkah tergesa dari ruang dalam.
Glek!
Bukan teman saya, tapi.......... ibunya..........
*Kejadian selanjutnya: ha ha ha ha.... Saya dibuatin kopi susu oleh ibunya teman saya itu, lalu ia juga melumuri benjolan di puncak kepala saya dengan minyak kelapa yang sudah dicampur dengan lumatan daun jarak bergetah... Itu obat tradisional yang sangat ampuh. Ibu saya, oma saya, tante-tante saya, juga sering membuatnya dan menggunakan ramuan itu.*
Itulah cerita ketel. Kisah selanjutnya diduga-duga aja sendiri.... Ơ̴̴̴̴̴̴͡.̮Ơ̴̴͡
»
best regards,
Rinny Soegiyoharto
«
No comments:
Post a Comment