Saturday, March 28, 2009

Perempuan Berbisik 24: Situ Gintung Tragedy

Please safe our earth, keep the green space around us...
One of the way we can safe our people's life...
Prihatin yang dalam untuk korban Situ Gintung, 27 Maret 2009... My heart with you all...

before...


after...

Friday, March 27, 2009

Perempuan Berbisik 23: Laki-laki Yang Ingin Mati

Setiap hari kata-kata "ingin mati" mengalir dari bibir dan jemarinya, melalui ucapan verbal, juga pesan-pesan singkat yang diketiknya.
Saya tahu, tidak satu saja, ada sebagian besar orang yang menggemakan alternatif keinginan seperti ini pada keseharian hidupnya, atau pada musim-musim tertentu. Seribu satu masalah dijadikan alasan, namun sesungguhnya tidak cukup memadai untuk dapat dikategorikan sebagai motivasi.
Tentu saja, ide "ingin mati" bukan motivasi. Saya akan uraikan di bagian bawah posting ini nanti.

Sebelumnya, saya ingin menceritakan kisah terkait pemanfaatan manipulatif kata "mati" yang tertangkap langsung oleh indera pengintai saya.
Kisah ini nyata dalam kehidupan, melanjutkan sepenggal yang telah tercuplik pada headline.

Tersebutlah seorang laki-laki ganteng, berpendidikan tinggi, memiliki pekerjaan dan penghasilan, keluarga yang lengkap (anak-anak dan istri), rumah pribadi, kendaraan lebih dari satu, memiliki cukup banyak teman dan sahabat, rutin beribadah, serta mempunyai mimpi dan harapan masa depan (yang ternyata justru menjadi faktor utama tumbuhnya perasaan-perasaan negatif hingga melahirkan ide "ingin mati").
Saya yakin keadaan laki-laki ini mampu mengundang rasa iri pada yang lain, atau mematahkan hati perempuan yang berhasrat padanya.
Telah berbulan-bulan ia terkurung di dalam idenya yang selalu menyertakan kata "mati". Setiap hari tiada absen melontarkan ide "aku ingin mati saja, aku memintanya, tapi kenapa tak pernah diberi?" Dan seterusnya, semua mengalir dari satu ide tambahan ke alternatif lain, yang semua bersumber pada ide utama: “ingin mati saja”.

Luar biasa, bahkan ide-ide kontras, berupa ungkapan-ungkapan yang dapat disepakati bersama sebagai hal lebih popular (favorable) daripada ide ingin mati (unfavorable) tersebut, benar-benar tidak mempan menyentuh ambang lapisan-lapisan kesadarannya. Contoh, ajakan-ajakan berbisnis, undangan rapat sambil saling mengunggah ide alias brainstorming, tantangan pekerjaan, dan hal-hal serupa, semua mental (dipentalkan). Semua ditolak olehnya, hanya dengan satu alasan dari ide utama miliknya: “aku ingin mati saja”.

Siapapun orangnya, suatu saat bisa lelah dan menghentikan upaya memotivasi ataupun tindakan prososial lainnya, terhadap laki-laki yang ingin mati tersebut. Setiap orang, bagaimanapun, tetap membutuhkan penghargaan, meski sekadar menyepakati usul, saran atau ide yang coba disampaikan (dalam konteks menolong orang lain), ataupun pengurangan frekuensi aliran kabar “ingin mati” tersebut.

Masalah hidup ditengarai sebagai alasan utama ide “ingin mati”, kendati laki-laki yang ingin mati tak pula mampu menguraikan masalah hidup apa yang mendera dan memicunya. Bahkan ia sendiri pun tidak mengetahui isi kesadarannya, bagaimana orang lain (di sekelilingnya) bisa?

Kelelahan menghadapi masalah rutin, jauhnya jarak harapan masa depan, kondisi sekeliling yang dipindainya memiliki lebih banyak “keberuntungan” daripada dirinya, serta permintaan dan tuntutan hidup yang terus meningkat, menghiasi alam idenya. Demikian kira-kira sari yang dapat diperas sementara ini. Ide dalam ungkapan ironis berupa, “betapa lelah hidup ini, kenapa semua yang kuinginkan tak jua diberikan? Kenapa hal-hal sederhana yang kupinta tak pernah mampir di hadapanku?”, menjadi rutinitas lain selain rutinitas pekerjaan dan kehidupan yang dilewatinya.
Dan seterusnya, dan sebagainya.

Teringat saya pada adegan saat polisi Griggs menggagalkan percobaan bunuh diri seorang laki-laki yang memilih alternatif terjun dari lantai teratas gedung tinggi. Agen polisi Griggs yang juga memiliki ide ingin mati (Dalam “Lethal Weaponpart one of its sequel), mengajak si laki-laki ini terjun bersama setelah memborgol tangan mereka berdua. Di bawah, sepasukan tim penyelamat, tim medis, polisi dan masyarakat telah siap menanti. Tak lama melompatlah kedua sosok ini atas desakan polisi Griggs. Apa yang terjadi kemudian? Setelah mereka mendarat mulus di atas bantalan penyelamat, laki-laki yang tadinya begitu gagah mengusung ide bunuh diri terjun sendirian itu malah menuduh Griggs berusaha membunuhnya dengan penerjunan itu.

Oh la la… Terbalik jadinya deh…
Semacam ini yang saya katakan tadi, bahwa ide “ingin mati” disertai langkah “ingin bunuh diri”, berbeda dengan motivasi tindakan mengakhiri hidup. Sangat berbeda. Bahkan banyak juga kekasih yang mengungkapkan “lebih baik aku mati saja daripada...” untuk mengancam kekasihnya agar diberikan apa yang ia minta. Hassyaahh...
Mengancam Tuhan dengan “ingin mati saja”, tentu juga berbeda. Sebagian besar kita memiliki keyakinan bahwa kehidupan dan kematian hanya milik Sang Khalik, bukan? Pemilik, saya yakini, memiliki kedaulatan penuh untuk membuat keputusan terhadap seluruh milik dan kekayaannya.

Dalam berbagai kasus bunuh diri, saya rasa tidak didorong oleh motivasi. Lebih banyak terjadi karena “kecelakaan”, persiapan-persiapan dilakukan, maut diundang, namun jika ditanyakan kepadanya saat itu, “Benarkah kamu siap mati?” Jawabannya pasti,”Tidak sih...tapi aku ingin banget, aku ngga tahan lagi terhadap cobaan ini, alat-alatnya sudah kusiapkan, lihat... lalu... braaakkk,” pelaku kepleset, Sang Khalik berduka, IA nestapa, IA marah... terpelesetlah dia, berubahlah alam kehidupannya.
Jika pun ada yang memiliki motivasi sebesar keinginannya, dalam kurve normal paling-paling hanya menempati ujung tersudut atau bahkan saya rasa adalah data outliers.

Ibu-ibu, istri-istri... pernahkah anak pertama Anda (sang misua) mengadu atau berbagi rasa tentang kekusutan hatinya? Pasti pernah, kalau tidak bukan rumah tangga namanya. Adakah yang pernah mendengar lontaran kata “ingin mati” dari kekasih hati? Jika ya, yakinkah Anda bahwa ia benar-benar menginginkannya? Tidak, bukan? Kebutuhan mendasar setiap orang saat sedang kusut rasa, adalah (menurut saya lho) tersedianya sebuah HATI penuh CINTA yang mendengarkannya.

I LOVE YOU...
---------------------

Monday, March 23, 2009

Perempuan Berbisik 22: Curhat & Obrolan Seputar CALEG

Satu bukti kepedulian komunitas Psikologi terhadap fenomena musim pesta demokrasi negeri ini tampak pada obrolan mendalam yang tergelar di kotak bicara kelompok, alias mailing list. Saya memuatnya dalam posting ini sekadar berbagi di antara kita semua yang peduli, tanpa batasan apapun.

Terimakasih Kepada Ibu Tiwin Herman, perempuan luar biasa yang memprakarsai obrolan curhat caleg, telah mengalir bersama tanggapan-tanggapan luar biasa biasa juga dari insan Psikologi pada milis Psikologi.
Atas izin dan perkenan beliau, saya memuat obrolan-obrolan inspiratif tersebut untuk apapun yang dapat dimaknai dan ditindaklanjuti pembacanya, ke dalam blog ini. Obrolan tidak melulu diisi oleh perempuan, yang diantaranya terdapat Ibu Dyah dan perempuan muda penuh semangat seperti Mbak Mixa, namun juga laki-laki hebat seperti Bapak Lukman, Bapak Bekti, Bapak Heni Prim dan Mas Mario.

Saya mengutip obrolan apa adanya tanpa pengeditan berarti, kecuali menyembunyikan alamat email dan menyamarkan nama-nama tempat.

Berikut kutipannya:

----- Original Message -----
From: tiwin herman
To: milist psikologi
Sent: Saturday, March 21, 2009 7:56 AM
Subject: Curhat istri caleg

Pagiiiiiii……………..
Mumpung libur gini, boleh ya…aku ‘curhat’ sedikit untuk ‘melepas’ keprihatinanku. Rasanya aku lg butuh teman nih…untuk mengeluarkan kegundahanku.
Ceritanya kemarin aku dari B, dan mampir di sebuah lembaga yang menangani perempuan. Tuz, ada seorang ibu datang yg ingin bertemu dg ‘siapa saja’. Berhubung beliau dtngnya belum jam kerja, maka kuajak ngobrol di ruang tamu. Baru sebentar ngobrol, dia langsung curhat mengenai suaminya yang ‘nyaleg’ (suatu sebutan untuk mereka yg sedang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif, dan karena perilakunya yg jd rada ‘aneh’ maka kata tersebut digunakan dg menggunakan analogi orang ‘nyandu’ or ‘nyabu’).
Si ibu ini punya usaha bahan bangunan, dan dengan fasih di bercerita bahwa dia beli pasir (misalnya) satu truk 400 rb lalu dijual per meter kubik 150 rb, kmudian batu kali juga dmkn shg dia merasa dg usahanya ini cukuplah untuk membiayai 2 org anaknya. Yg besar sdh sarjana (sekolah di BJB) dan sdng menjd dosen honorer disatu universitas ternama di kotanya. Yg bungsu kls 3 SMU dan sdh menuntut ingin jg sekolah di BJB.
Nah sejak tahun lalu si suami, stlh pensiun (kini 56 th) menjd caleg sbh partai yg blm bergaung. Bnyk dana yg sdh dikeluarkan, skrng mobil satu2 yg buat usaha sdh 3 bln dipakai kampanye didaerah pemilihannya pdhl disamping utk usaha, mobil itupun msh kredit sebulan 12 jt. Uang pesangon pensiun (yg mestinya dibayarkan bulanan, sdh diambil dimuka, SEMUA !!). Suami pergi selama 3 – 5 hari menggarap konstituen didapilnya dan setiap pulang selalu minta uang. Anaknya yg no 2 sdh mengingatkan bhw uang jgn dipake kampanye terus krn dia ingin kuliah di BJB dan si bapak menjanjikan bahwa semua akan terpenuhi kalo nanti dia sudah ada di Senayan !. (Eduun tenaan...! panteeeeesssss di Senayan..... ??? )
Si ibu sudah tidak tahan lagi karena kalo suami tidak diberi uang, maka dia dipukul, dijambak dan KDRT lainnya. Sekarng setiap suami pulang, dia menyingkir karena dia sdng ’diburu’ utk diminta menandatangi utang baru dan pihak bank memerlukan tanda tangannya jg. Semakin mendekati tgl 9 april ini, semakin banyak uang yg diperlukan suaminya, sementara uang sdh tidak ada, barang sdh banyak dilego (termasuk perhiasan si ibu) dan mobil sdh 3 bln tidak dibayar kreditnya. Si ibu prihatin dan ingin menyudahi pernikahannya krn tidak terbayang masa depannya nanti setelah pemilu ini berakhir atau dlm bahasa si sibu ( masa tua yg aman dan tentram musnah sdh krn suami sdh berubah dan yg tersisa skrng adala suami yg sudah tua, keras kepala, sering menyakiti dan bangkrut !!).
Temans.
Cerita begini tidak satu dua kudengar, tapi inilah cerita yg aku dengar langsung dari dukanya seorang istri yg ’nyaleg’. Padahal, dlm kenyataannya sekarang, seorang caleg utk bisa tembus Senayan itu kalo tidak salah perbandingannya adalah 1 : 98 (cmiiw). Sementara, meski caleg tersebut mendapatkan suara paling banyak seluruh Indonesiapun, tetapi kalo partainya tidak mencapai 2,5% suara, maka diapun tidak akan bisa melenggang ke Senayan.
Dalam kasus si ibu diatas, (tanpa bermaksud mengecilkan) , rasaku kecil kemungkinan partainya bisa masuk karena ketika disebutpun aku gak tahu partai apa itu apalagi nomernya?? Tuz gimana ya...? Agaknya memang patut diantisipasi ’ramalan’ yang menyatakan bahwa kemungkinan penderita stress berat or depressi akan semakin banyak setelah Pemilu ini berlalu. Kasus seorang bupati gagal yg akhirnya menjd penghuni RS Jiwa mungkin bisa menjadi indikatornya. Pertanyaanku, apakah hal ini disadari oleh para caleg tersebut ? Duuuh Gusti....... paringono sabaar......

Salam prihatin,
Tiwin H

From: lukspsi
To: milist psikologi
Sent: Saturday, March 21, 2009 8:24:36 AM
Subject: Re : Curhat istri caleg

Menarik....dan karena itulah aku gak mau "nyaleg"..ha ha.
Gak punya banyak bondo ne euy.

Nyaleg macam begini nurut.ku ya dah gak jaman, mosok
jor2-an pasang iklan, pasang tampang di pohon2 macam
penyalur PRT yg beken itu.
Nurut.ku harusnya ya dg kerja nyata, KERJA NYATA
jauh2 hari sebelumnya sehingga orang banyak tahu apa
si prestasi ybs!!!
Dg kerja nyata saja ybs belum tentru bisa melenggang
ke Senayan karena partainya gak nembus angka untuk
bisa ke Senayan.
Jadi sadarlah.... .gak usah nyaleg, kalau memang mau
memberikan sesuatu untuk nusa dan bangsa TIDAK
HARUS ada di Senayan kan???

Menang repot karena kudu bayar utang/pinjaman dan
kalah juga lebih repot karena lebih susah cari tambahan
untuk bayar hutang (makanya RSJ di Surakarta buka
ruang VIP; siapa yg bakal masuk duluan?).

Yuk kita sadarkan sebelum lebih banyak yg akan jadi
korban. Mbak Tiwin siap gak? Yg lain juga siap gak?


LSS

--- Pada Sab, 21/3/09, mixa suprapto menulis:

Dari: mixa suprapto
Topik: Re: Curhat istri caleg
Kepada: milist psikologi
Tanggal: Sabtu, 21 Maret, 2009, 8:42 AM
Yang menyedihkan, ternyata motivasi untuk menjadi caleg, banyak sekali unsur materialistisnya ya (e.g., mendapatkan uang lebih banyak waktu menjabat di senayan). Harapan kita terhadap anggota legislatif (untuk melayani dengan menyalurkan aspirasi masyarakat) jadi harapan yang hampir kosong, karena utamanya dari awal adalah motivasi untuk mendapatkan materi. Apalagi bagi yang bangkrut karena kampanye.

Terus jadi kaya berjudi gitu ya... Peluangnya nyaris 1:100 pula. Lalu ada eliminasi 2.5% suara partai (100% gagal kalo partai gagal). Mungkin penanganan terhadap orang2 yang nyaleg yang kemungkinan mengalami gangguan jiwa akan rada mirip dengan penanganan terhadap orang yang kalah berjudi habis2an. Hehe.

Kerja keras dan berdoa adalah masih cara yang saya pilih untuk mendapatkan kecukupan materi. No shortcuts. Di luar itu, konsekuensinya ada masuk rumah sakit jiwa euy.

Mikha

2009/3/21 EMA Subekti wrote:

Bagi saya, merasa tambah bingung dengan...urusan caleg-mencaleg untuk era ini.
Partai tambah buanyak, seperti sedang kompetisi buka "Bimbang Tes" masuk Perguruan Tinggi...
Masing-masing Lembaga Bimbingan Belajar menawar icon-nya masing, ada yang menjanjikan bisaa masuk ke Harvard University, ada yang cukup lokal-lokal masuk ke Universitas Blambangan.. ..Nah si peserta bimbingan, bingung mana yang harus dipilih.
Ujung-ujungnya, masing-masing lembaga tsb, setelah musim pendaftaran usia, itung-itungan bagi keuntungan,. .masa bodoh, lu..mao keterima kek ya syukur karena kamu sedang mujur, lu gak..keterima, yah..tunggu episode berikutnya.
Jadi, si rakyat ini, (yang nota bene : si peserta bimbel), yah..hanya diperah, pada musimnya. Setelah itu gak ada apa-apa, n a s i b ya n a s i b.

Nah, jadi masalah caleg jaman sekarang itu, menurut kesan saya, mudah-mudahan keliru, dan t o l o n g diluruskan.. ..sebetulnya hanya antri melakukan lamaran kerja..., bukan antre untuk memperjuangkan nasib rakyat.
Hitung-hitungan modal awal, mulai ngitung, beaya foto copy, tetek-bengek dari a sampai z, nah..nanti kalau sudah bisa masuk di bioskop senayan, mulai tolah-teleh, cari incaran buat ngebaliin modal dasar, dan "kalo bisa" cari bekel buat lima keturunan..he. .he.

Kan..bisa dilihat, iklan-iklan yang dipampang di sepanjang jalan-jalan besar, sampai lorong-lorong "gang kelinci", selama musin kampanye ini, tuh lihat wajahnya pada kenal gak.

Malah di tempatku (kelahiran asal), ee.ee, ada pencari kerja (baca caleg), yang sehari-harinya hanya makelar rombeng barang bekas, yang tentunya...maaf tidak mengecilkan arti... modal pengalaman organisasi minin, nekad ikut pasang badan dengan menempelkan wajah di jalan-jalan, ...katanya setelah kutanya mengapa ikut nyaleg, jawab-nya singkat dan pasti,..."rubah nasib ah..ah". Lalu pertanyaan lanjut, apa yang akan anda lakukan kalau bisa diterima (terpilih) menjadi wakil rakyat, jawabnya singkat pula, lho ..aku kan lama menjadi 'rakyat' (maksudnya pekerja makelaran rombeng barang bekas), kan ingin naik statusku, supaya badan tidak bau "apeg" ( maksudnya, bau tidak enak campur-campur antara keringat yang sudah mengering di baju tidak pernah dicuci,dengan bau asap pembakaran barang-2 loak), naah..itu, yang harus saya perjuangkan mati-matian sebagai tahap awal, ya perubahan nasib-ku dulu..ha.ha, ngapain mikirin orang lain, kelakarnya lebih lanjut...!!
Potret semacam ini yang banyak dijumpai,... sebagai gambaran wakil-wakil- ku mendatang di Lembaga Legislatif.
Ceritera tadi, saya petik sebagai bentuk kelakar, karena yang di-interview adalah temen sendiri sewaktu saya kecil, yang kebetulan dia bernasib tidak sempat meneruskan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Jadi sependapat juga dengan pendapat sdr Mixa Suprapto, bahwa motif nyaleg, semata-mata hanya berbasis material belaka. Visi maupun misinya tercampur-adukkan secara carut-marut.

Nah...begitulah, profile mendatang dari legislator kita.

Maaf, hanya lontaran wacana, sekedar curhat...

Salam,

EMAS

--- On Sat, 3/21/09, Rinny Soegiyoharto wrote:

From: Rinny Soegiyoharto
Subject: Re: Curhat istri caleg
To: milist psikologi
Date: Saturday, March 21, 2009, 10:10 AM

Caleg oh... caleg...
Mbak Tiwin, terimakasih sudah berbagi pengalaman yg berharga ini...
Ingin nimbrung, malah terpana-pana dg obrolan di topik ini, thx to all.
Mhn izin, bolehkah saya memuatnya di dlm blog terbuka saya? Mode kutipan asli dg menyembunyikan email add?
Pleassseee.. .
maturnuwun.. .
salam demokrasi,
RS

yoetzche manuhutu wrote:

From: yoetzche manuhutu
Date: 2009/3/22
Subject: Re : Curhat istri caleg
To: milist psikologi
Selamat pagi, rekan-rekan.
Nama saya mario, angkatan 98 psikologi ui.
saya juga mau share ke rekan-rekan pengalaman ibu saya yang dicurhatin istri caleg.

Ketika itu saya sedang mengunjungi ibu saya yang ikut ayah dinas di PBR, tahun 2006.
Ibu saya kedatangan seorang tamu, sebut saja namanya ibu A. mereka sudah saling mengenal sebelum saya datang ke PB. Sementara ibu saya dan ibu A berbicara di ruang tengah, saya sedang menikmati secangkir kopi dan pisang goreng kuantan yang enak sekali.

Tiba-tiba, di tengah pembicaraan mereka, si ibu A menangis tersedu-sedu. ia menceritakan pada ibu saya betapa suaminya yang jadi caleg dari partai yang -- sudah sangat bergaung namanya -- justru akhirnya disingkirkan (menjadi kecil kemungkinannya terpilih) karena ada caleg lain yang bisa menawarkan uang lebih banyak ke partai tersebut. alhasil, suaminya ibu A tidak bisa melenggang ke senayan. waktu itu pencalonannya untuk pemilu 2004.

Untuk keperluan pencalegan itu, ibu A sudah merelakan tanahnya yang sekian hektar untuk dijual, rumah pun digadai, mobil dijual, harta-harta yang lain dijual.
sambil masih tersedu-sedu ia menceritakan kondisinya yang sekarang: tinggal di rumah kontrakan, berusaha kerja lebih keras karena anaknya hampir lulus kuliah agar jangan sampai putus kuliah karena kondisi yang mereka alami.

Partai besar dan terkenal pun, menurut saya, lebih 'kejam' dalam urusan siapa yang bisa menyumbang lebih banyak dan dapat nomor urut yang lebih diprioritaskan oleh partainya, sehingga berlaku: "siapa yang lebih kaya, dia yang menang".
aneh, menurut saya. wakil rakyat adalah perpanjangan tangan Tuhan, yang seharusnya bisa memberikan yang terbaik buat rakyat, bukan justru semakin menyengsarakan rakyat.

saya melihat bahwa kesemuanya itu adalah sistem yang diciptakan oleh mereka yang membuat UU. maaf kalau saya tidak begitu paham soal UU itu, namun jelas dalam praktiknya yang terjadi adalah bukan kompetensi dan hati nurani yang berbicara, tapi kantong yang berbicara.

Selain curhat dari istri caleg di atas, saya juga dapat info dari milis lainnya bahwa total gaji seorang anggota legislatif setahunnya sudah mencapai 1 Miliar rupiah. 5 tahun berarti 5 miliar rupiah.

beberapa anggota legislatif yang dikeluarkan dari badan legislatif negara karena kasus korupsi pun masih menikmati gaji dan fasilitas dari badan legislatif tersebut. berarti hukuman tidak membuat mereka jadi kapok dan bertobat, karena toh masih dapat gaji plus tunjangan lain-lain.

terima kasih sudah bisa share.

salam,
Mario Manuhutu

Original Message from Tiwin Herman (Mon, Mar 23, 2009, 1:34 PM)

Temans,
Terimakasih banyak atas responsnya ya….. apalagi ada cerita yg mirip dari mas Mario Manuhutu. Kenapa aku cerita di milis ini ya...karena aku merasa ‘aman’ hehehe....skaligus ini buat menjwb mas Agus. Kalo pake nulis di surat pembaca...walah..repot mas..surat pembaca sekarang ini pake model konfirmasi segala. Kepengen sih seperti sarannya mas Revo, dimuat di fesbuk, tapi...lha wong aku jg baru di fesbuk jd msh gaptek gitu.., gimana uploadnya ya blum ngerti hehehe...Ntar deh, kalo anakku datang aku coba follow up idenya mas Revo (dg catatatan nek aku wani yo huehahaha...) Jadi mbak Rinny, monggo aja kalo mau dimuat dalam blognya nggih.....

Untuk mbak Heni Prim, mbak Mikha dan mbak Dyah parameshwary, ternyata memang sebagian dari nyaleg motivasinya ya...untuk ‘balik modal’ plus untungnya tentunya. Kalkulasinya kan udah disampaikan mbak Endah Triwijati, yaitu : ... 2 tahun di dpr(d) semua duit yang keluar pasti sudah susuk (alias balik dan plus ada tambahannya). Bahkan td pagi di radio dengar ada joke bahwa minimal jd anggota dewan 5 th bs dapat minimal 5 M bersih !!. Jadi.... Mau ? Mau ? Mau ?

Dengan model demokrasi yg kita miliki sekarang ini ya memang memungkinkan penjual kaleng rombeng seperti ceritanya mas Bekti bs nyaleg. Siapapun jg bs nyaleg, cuman...apa nggak mikir gitu lho...ada mekanisme pemilihan yg harus difahami biar nggak babak belur atau bangkrut atau depressi. Ini sebetulnya euphoria demokrasi atau udah masuk suatu zaman ’nek ora edan..ora keduman’ (kalo gak ikut gila nggak kebagian) ??
Ada yang bisa membantu menjawab ?

Salam hangat,
Tiwin H

Thursday, March 19, 2009

Perempuan Berbisik 21: Multi-Level Mendidik

Salam Bagimu Saudaraku,

SAYA BUKAN sedang menjual teknik jualan, jika itu yang terbersit saat melirik judul posting ini. Saya hanya ingin menyiulkan isi pikiran saya -yang seperti biasa, pikiran yang menari-nari karena suatu atau beberapa peristiwa- tentang aktivitas mendidik yang beranak-pinak dari, oleh dan untuk hal-hal kecil dalam kehidupan kita.

Ciri khas blog ini adalah "perempuan" atau "women" bahasa Jawanya ;-)
meski terbuka bagi kedua jender, perkenankan saya lebih menyoal jender yang terciri. Perempuan.
Pada catatan tetap berbentuk draft tak selesai yang saya posting di bawah, terurai sedikit bahwa perempuan memiliki kekuatan luar biasa dalam aktivitas pendidikan, yang dimulai dari lingkungan rumah tangga. Selain mendidik anak-anak dan anggota keluarga dalam balutan afeksi lemah-lembut-tegas, perempuan juga adalah induk multi-level mendidik terhadap perempuan lain di lingkungannya. Ini hanya pikiran saya, bukan teori yang terbukti secara signifikan.

Fenomena yang mendasari pikiran-pikiran saya mengenai hal ini dapat saya daftarkan sebagai berikut:
- Kenyataan bahwa penduduk Indonesia yang benar-benar ter-update aktivitas pendidikan tergolong rendah, meski lembaga-lembaga pendidikan formal dan informal bagai jamur tumbuh subur, baik dengan hasrat dan semangat mendidik, maupun dengan tujuan komersial (tampaknya yang terakhir ini paling banyak).
- Akses perempuan untuk memasuki dunia pendidikan tetap masih tersendat, kendati pejuang-pejuang perempuan yang menuntut kesetaraan jender utamanya akses pendidikan terus bergeliat dari waktu ke waktu (salut pada anda semua, teman-teman, terimalah salam hormat dan penghargaan dari perempuan yang hanya bisa berbisik ini).
- Fakta bahwa masih banyak perempuan yang kurang senang berbagi pengalaman-pengalaman dan pikiran-pikirannya dalam upaya mencapai tingkat melek didik tertentu, terhadap sesama kaumnya (hal ini akan saya bahas sedikit di bawah berupa contoh peristiwa).
- Fakta peristiwa bahwa masih juga terlihat perempuan yang -eksplisit ataupun implisit- meremehkan perempuan lain karena status sosial, kondisi ekonomi, level latar pendidikan, level jabatan, dan sebagainya (juga akan saya bahas yang terliput dalam contoh).

Setidaknya daftar fenomena di atas, plus tarian di pikiran saya yang terkreasi dari peristiwa-peristiwa aktual dalam -yang saya istilahkan- dunia perempuan dan aktivitas pendidikan, cukup bagi saya untuk berbisik-bisik saat ini. Bisikan untuk semua jender yang ternamai.

Perempuan sebagai pelaku utama bisnis nir-laba berjejaring dalam meneruskan jaringan pendidikan dan keterampilan hidup dapat dimulai dari lingkungan rumahtangganya (Tadi sudah saya katakan, bukan teori berbasis studi empirik). Maksud saya begini. Saya membayangkan suatu jaringan: seorang perempuan mengajarkan table manner (cara makan ala carte -tak perlu penuh-) pada seorang perempuan lain yang -katakanlah dalam hal pegang sendok saja masih digenggam erat-erat sepenuh tangan-, ia pun terampil. Lalu perempuan kedua tersebut menularkan ilmu makan itu pada dua perempuan di lingkungannya. Terampillah dua perempuan tersebut. Lalu masing-masing berumahtangga, mengajarkan lagi pada perempuan-perempuan lain di dalam lingkungan rumah tangganya. Begitu seterusnya, terbangunlah jejaring perempuan terampil makan ala internasional itu. Sehingga pada saat diperlukan dalam suatu gathering atu apapun perempuan sudah terdidik dengan baik hasil dari bisnis berjejaring tadi.

Maaf, contohnya terlalu spesifik, namun keterampilan dan pendidikan banyak sekali silabusnya jika ingin dibuat dan dilakukan sehari-hari. Tujuannya adalah mendidik dengan membangun jaringan yang dimulai dari rumahtangga.
Kenapa rumah tangga?

Ada suatu peristiwa, begini:
Seorang perempuan androgini, ibu rumahtangga sekaligus perempuan yang berkarier di industri, ingin membeli mesin cuci. Tak ada yang dapat memungkiri bahwa perempuan ini pasti cukup modern, melek teknologi dan paham fungsi mesin cuci bagi percepatan tugas-tugas domestik. Namun yang terjadi adalah, ia membeli mesin cuci manual yang murah (kendati anggaran yang dimiliki lebih dari cukup untuk membeli mesin cuci otomatik). Alasan praktisnya, "operator mesin sehari-hari kan si'mbak' (asisten RT), jadi percuma beli mesin otomatik, malah dirusakin 'ntar,"
Menurut saya, perempuan seperti ini belum terpikir untuk membuat jejaring didik. Bisa saja karena kurang senang berbagi, bisa juga karena 'meremehkan', atau sebab lainnya.

Bayangkan, andai saja ia mengambil sedikit waktu, mengajarkan teknik penggunaan mesin otomatik pada si'mbak'. Perhatikan, bahwa mengajarkan pengoperasian mesin otomatik pada 'mbak', berarti juga memperkenalkan istilah berbahasa Inggris atau bahasa asing lain yang tertera pada tombol dan panel mesin. Termasuk mengajarkan prinsip kerja suatu teknologi mutakhir yang dapat mencuci sekaligus membilas dan mengeringkan. Mengajarkan trik penghematan air dengan memanfaatkan tombol shorcut, yang sekaligus melatih cara berpikir strategis dan memecahkan masalah. Dan tujuan untuk mempercepat pekerjaan domestik pasti tercapai pula.

Bayangkan, suatu saat 'mbak' resign, menikah atau kembali pada keluarganya, lalu ia mampu membeli mesin otomatik, maka ia sudah terampil, dapat juga mengajarkan ilmu itu pada orang lain. Atau 'mbak' bercerita pada teman-teman dan keluarganya, yang dapat menstimulasi mereka yang lain itu juga mendapat informasi penting tentang teknologi, mengerti istilah 'spin' yang digunakan untuk mengeringkan pakaian di mesin, namun juga dapat menjelaskan makna entri 'spin' dalam penggunaan lainnya. Itu semua dari perempuan sang upline pertama dari jejaring ini.

Beberapa peristiwa berbeda menari-nari juga dalam benak saya. Perempuan yang tak bersedia berbagi informasi seputar 'rahasia kecantikan' yang dianutnya, yang jengah saat diminta berbagi ilmu, yang malas menjawab pertanyaan-pertanyaan teman seputar perkembangan suatu disiplin ilmu yang sudah pernah dienyamnya. Termasuk yang menyimpan rasa bersaing terus-menerus, memanipulasi perempuan lain untuk tujuan pribadi dan pengakuan serta benefit pribadi.

Ah! Maaf untuk pernyataan-pernyataan yang terkesan negatif, namun itu dimaksud sebagai kontras, dan ada di seputar dunia perempuan. Kembali ke topik, jejaring itu pasti sudah ada yang berjalan sejak beberapa masa yang lalu, pasti sudah ada yang menengguk hasil yang tak dapat dibayar oleh mata uang manapun. Namun jejaring itu perlu terus berlangsung dan berkembang.

Demikian bisik-bisik saya soal multi-level mendidik. Hanya bisikan kecil saja, jadi tak perlu didengarkan jika hanya seperti bulu ayam menggelitik bulu-bulu halus telinga anda, nikmati saja... enak lah geli-geli... ;-)

Selamat menikmati hari yang indah hari ini...
------

Tuesday, March 17, 2009

http://perempuan-bernama-rinny.blogspot.com/

Would like to say big thank you to owners of several sites and blogs which have enriched as well as enlightened me by scrolling on their URL. Hereby I will inform that have been up-loading all the URL related to beloved them on my blog as URL listed, proudly. Once more thanks.
I'm going to scroll and search on periodically for much URL that being own of all my relatives, have been attached on my blog or have not yet, without exception.
Having brightest and best time in every single part of your life and circumstances.

Best Regards,
RS ;-)
--***--***--***--***--***--

Friday, March 13, 2009

Perempuan Bicara 20: Sleep Well


What do you opinion about "sleep well"?
Should we start to count lambs there? And when the last counted lamb dissappear it would be mark that we have in a dreamland city already?
Maybe many moms had have ever been humming lullaby for their kids before slept and whisper tenderly then, "sleep well, sweetheart..."
In current years I noted some of my friends and me as well, of course, almost having less quality asleep. Not about how long, nor how many dreams we had. Its about how well as quality as our sleep we got. Such as we get freshing eye and mind when awake. Work, problem, people around, have been reasoned instead of searching as true as reasonable thing. Have no idea by now, maybe next.
I think, we can sleep well when we believe will listen to the lullaby whereas if would be whispering by the universe, "Sleep well my child..."
:-)

Perempuan Bicara 19: Bukan Manusia Biasa


Sebuah lagu baru, warna lain dari sisi berbeda. Pengakuan dan pelepasan, sedikit pilihan kata yang mungkin saja dapat menggambarkan riak-riak dalam danauku. Biasanya muka danau itu relatif tenang, seolah-olah. Riak-riak kecil hal biasa dan nyaris tak terlihat. Sesungguhnya gemuruh di dasar tetaplah gemuruh, namun tak berizin untuk merayap hingga ke atas.

Keinginan, dorongan, harapan, tujuan, motivasi, wanting (dalam ilmu wantingologi temanku) dan sebagainya di dalam danauku, yang kemudian dirancang untuk dituang, selama ini terseleksi. Namun atas pertimbangan manusiawi, azas keadilan harusnya berlaku. Aku pemiliknya, kuputuskan bertindak adil saat ini. Bukan untuk apa dan siapa, keadilan harus tertuju pada diriku sendiri sebelum mata ini mampu menembus ke luar.

Kemana dokter berobat jika ia sakit? Kemana lawyer meminta perimbangan ketika ia butuh? Kemana seorang guru mencari ilmu lanjutan baginya berkembang?
Iya, bisa. Tentu saja bisa manusia itu menolong dirinya sendiri.
Sebelumnya ia perlu memahami yang terjadi, mengidentifikasi yang terasa, menganalisis yang terpikir.

Kupikir-pikir, kurasa-rasa, iya benar, kusut dan sesak. Manusia ini harus mulai darimana? Biasanya mendengarkan dan bukan didengarkan, selain menyerap dan menggemakan suara hati terredam di dalam kotak kedap. Ini saatnya rasa adil jadi pemenang. Yang ingin kukatakan, manusia ini bukan manusia yang biasa. Kusut, sesak dan tersedak.

Hhhhmmm tampaknya belum adil juga nih ah. Yo wis lah.
*****************************************************

Tuesday, March 10, 2009

Perempuan Bicara 18: Ringan

-----------------------------------------------------------------------------------
Mungkin pada 16 Nopember 2004 itu, saya sedang mencoba menghibur diri sendiri, mencoba tergelak dengan kisah-kisah ringan sehari-hari yang kutulis seperti di bawah ini:


Teman saya sangat getol berpuasa. Niat dan tujuannya bermacam-macam. Bahkan ia juga terima order puasa untuk kerabat dan teman yang memerlukan. Adakalanya ia ceritakan tentang niatnya kepada orang-orang di sekitar. Suatu hari teman ini melapor kepada seorang teman di kantor. Rupanya si teman sedang order puasa.
“Hai, hari ini saya puasa untuk kesembuhan Ayah kamu, semoga dikabulkan ya,” kata teman yang berpuasa ini kepada temannya.
Teman yang order terperanjat dan berseru, “Eh, yang sakit Ibu saya. Kalau Ayah saya kan sudah meninggal 2 tahun yang lalu…” Olala…


Semasa mahasiswa saya agak senewen jika sedang banyak tugas. Karena itu kadang-kadang keliru saat merespons informasi. Saya masih ingat betul peristiwa duapuluhan tahun lalu. Ketika itu ada satu mata kuliah dimana saya harus mengumpulkan data tentang anak-anak dengan kriteria khusus. Sulit memperoleh klien anak-anak bagi saya ketika itu. Teman yang baik bersedia membantu. Ia mengatakan bahwa sore ini seorang anak akan datang ke kampus menemui saya diantar oleh tantenya. Antusias saya merespons, “Oh thank’s. Tantenya perempuan atau laki-laki?”


Lola bercerita tentang kegusarannya telah membeli ikan asin dengan harga yang cukup mahal sewaktu di Filipina. Ternyata di PRJ harga ikan asin yang sama persis cuma sepersepuluh dari harga itu. Rara menyahut dengan mimik serius dan respons empatik, mungkin yang di Filipina ikannya hidup.

Sunday, March 8, 2009

Perempuan Bicara 17: International Women's Day

Today, has been declared as International Women's Day.
What's next then? What women able to do? Indonesia Women Labour Alliance held peace demonstration in several strategic places, such as Monas and jalan Thamrin in the morning. Issues, whichever, had been claiming and striving by women, we can name it as "never ending women's struggling". Why women, until this second, have to screaming out their rights?

Some day ago, I involved in hottest discussion with my best friend, a man of course, point to in timely centuries women had been considered as second level people, almost even whole through entire of the world. In the whole lifetime women could fight for theirselves, the other side, eventhough women would be proud as heroes in their family. Ironic. He said that, tried to being empathy, this world had gone too far built by man world. People's mind set had been formed by values, norms, ethics, and so on which gain for men in every condition.

According of my opinion, this is such a sadness history of women. But, in order of strenghten, women were always coming forward with their truly omipotence. Women are stronger, smarter, great, and more than that, survivor. Even have to struggle in the very very long time of human history, women never latle. Women straight to the vision, beside of their daily tasks need to handle.

Regarding to the election almost here, what women have to do to fulfill 20% quota for women in parliament? Never doubt to choose women! We are going to the election on April, 9. Viva Women vote for women! Viva my lovely country, Indonesia! Let's doing the most democratic election ever been done. God bless us.

written by RS for own blog http://perempuan-bernama-rinny.blogspot.com

Posts Archive


PEREMPUAN = SRIKANDI ?

Kenapa PEREMPUAN PEJUANG sering disebut SRIKANDI.
APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?
Kutelusuri WIKIPEDIA, kutemukan entri SRIKANDI ini

Srikandi (Sanskerta: Śikhaṇḍī) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata vrsi India.
Arti nama
Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".
Srikandi dalam Mahabharata
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Perang di Kurukshetra
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Srikandi dalam Pewayangan Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

JADI, APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?

*********

PEREMPUAN DAN PENDIDIKAN
Rinny Soegiyoharto (catatan tak selesai pada april 2006)

Ragam aktivitas ke-Kartini-an sebagai simbol emansipasi kaum perempuan seperti sebuah rutinitas lebih bergaung pada bulan April mendekati hari keduapuluhsatu. Ditandai aneka lomba dan berbagai atribut keperempuanan yang adakalanya malah tampak sekadar wujud lahiriah dan kasat mata. Sebut saja lomba berkebaya, lomba masak, lomba pasang dasi, lomba merias wajah, dan sebagainya.

*** *** *** *** ***

-DRAFT--Wanita. Meski berpadan dengan perempuan, namun kata dasar “empu” pada perempuan terasa lebih nyaman dan membanggakan, oleh sebab itu saya suka menggunakan kata “perempuan”, termasuk dalam menamai blog saya.-
Perempuan, sadar soal pentingnya pendidikan terhadap anak-anak, karena di "dalam" perempuan terdapat beban psikologis memperjuangkan dirinya sendiri, terus-menerus. Utamanya dalam hal pendidikan (sudah diterobos Kartini). Guru TK-SD bahkan SMP kebanyakan perempuan. Bapak-bapak lebih banyak muncul dan berperan pada tingkat pendidikan lanjutan atas (SMA), dimana pendidikan dasar telah ditanamkan lebih dahulu oleh ibu-ibu guru. Mengapa? Sekali lagi karena perempuan secara lahiriah dan kodrati justru memikul tanggung jawab pendidikan itu sendiri yang dimulai pada dirinya sendiri. Maka, bapak-bapak guru lebih kepada transfer of knowledge, ketimbang hal-hal mendasar yang lebih berhubungan dengan pembangunan karakter, penanaman proses belajar dan pengertian-pengertian dasar untuk dan selama manusia menempuh proses pendidikan.- Pendidikan: mencakup attitude/sikap, yakni kognitif, afektif dan perilaku. Pengembangan kepribadian, pembiasaan good character, kesadaran dan tanggung jawab akan masa depan pribadi/diri sendiri yang mempengaruhi masa depan keluarga dan kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara, dll.- Bukan diskriminasi yang mengarah pada gerakan feminisme.- Perbedaan sesuatu yang dirayakan bersama sebagai unsur2 yg saling bersinergi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan bersama: orangtua, pendidik, bangsa dan negara.- Berkaitan erat dengan UU Anti-KDRT. Jika perempuan terus ditindas, bahkan di dalam rumah tangganya sendiri, bagaimana mungkin perempuan dapat bertugas/ berkiprah/ bertindak optimal untuk mendidik anak-anak, baik anak sendiri maupun anak-anak didik apabila ia seorang guru? Kendati lagi, waktu terus merambah, persaingan global semakin cepat dan menantang, anak tidak berhenti tumbuh dan berkembang, suatu waktu akan tiba ketika anak mulai lebih banyak mencurahkan porsi proses pendidikannya pada pemenuhan kognitif, belajar ilmu2 tinggi, yg bisa jadi sebagian besar diberikan oleh laki-laki, bapak2 yg menitikberatkan pada perkembangan kognitif.- Perempuan & laki2 lebih kepada pembagian peran, baik dalam pendidikan di dalam rumah tangga, maupun pendidikan secara luas, formal & informal. Karena baik dari segi struktur fisiologis dan psikologis serta kultural dan sejarah di dalam masyarakat kita, telah membentuk sebuah perbedaan laki2 dan perempuan, yang harus kita rayakan bersama-sama membentuk manusia-manusia berkualitas dlm diri anak2 kita sebagai proses pendidikan menuju masa depan cerah mengikuti kecerahan janji bangsa ini. Amin.-

Pendidikan dimulai dari rumah. Peran ibu sebagai objek kelekatan anak yang pertama terhadap proses pendidikan anak tentulah tidak kecil. Sebagai perempuan, tentunya ibu harus tidak hanya memberikan pelajaran, namun pendidikan kasih sayang, penanaman afeksi, unsur penting bagi rasa nyaman dan aman bagi anak, karena merasa dicintai. Bagaimana mungkin ibu dapat menanam benih cinta pada anak apabila dia sendiri mengalami kekerasan dalam rumah tangga.***