Thursday, March 19, 2009

Perempuan Berbisik 21: Multi-Level Mendidik

Salam Bagimu Saudaraku,

SAYA BUKAN sedang menjual teknik jualan, jika itu yang terbersit saat melirik judul posting ini. Saya hanya ingin menyiulkan isi pikiran saya -yang seperti biasa, pikiran yang menari-nari karena suatu atau beberapa peristiwa- tentang aktivitas mendidik yang beranak-pinak dari, oleh dan untuk hal-hal kecil dalam kehidupan kita.

Ciri khas blog ini adalah "perempuan" atau "women" bahasa Jawanya ;-)
meski terbuka bagi kedua jender, perkenankan saya lebih menyoal jender yang terciri. Perempuan.
Pada catatan tetap berbentuk draft tak selesai yang saya posting di bawah, terurai sedikit bahwa perempuan memiliki kekuatan luar biasa dalam aktivitas pendidikan, yang dimulai dari lingkungan rumah tangga. Selain mendidik anak-anak dan anggota keluarga dalam balutan afeksi lemah-lembut-tegas, perempuan juga adalah induk multi-level mendidik terhadap perempuan lain di lingkungannya. Ini hanya pikiran saya, bukan teori yang terbukti secara signifikan.

Fenomena yang mendasari pikiran-pikiran saya mengenai hal ini dapat saya daftarkan sebagai berikut:
- Kenyataan bahwa penduduk Indonesia yang benar-benar ter-update aktivitas pendidikan tergolong rendah, meski lembaga-lembaga pendidikan formal dan informal bagai jamur tumbuh subur, baik dengan hasrat dan semangat mendidik, maupun dengan tujuan komersial (tampaknya yang terakhir ini paling banyak).
- Akses perempuan untuk memasuki dunia pendidikan tetap masih tersendat, kendati pejuang-pejuang perempuan yang menuntut kesetaraan jender utamanya akses pendidikan terus bergeliat dari waktu ke waktu (salut pada anda semua, teman-teman, terimalah salam hormat dan penghargaan dari perempuan yang hanya bisa berbisik ini).
- Fakta bahwa masih banyak perempuan yang kurang senang berbagi pengalaman-pengalaman dan pikiran-pikirannya dalam upaya mencapai tingkat melek didik tertentu, terhadap sesama kaumnya (hal ini akan saya bahas sedikit di bawah berupa contoh peristiwa).
- Fakta peristiwa bahwa masih juga terlihat perempuan yang -eksplisit ataupun implisit- meremehkan perempuan lain karena status sosial, kondisi ekonomi, level latar pendidikan, level jabatan, dan sebagainya (juga akan saya bahas yang terliput dalam contoh).

Setidaknya daftar fenomena di atas, plus tarian di pikiran saya yang terkreasi dari peristiwa-peristiwa aktual dalam -yang saya istilahkan- dunia perempuan dan aktivitas pendidikan, cukup bagi saya untuk berbisik-bisik saat ini. Bisikan untuk semua jender yang ternamai.

Perempuan sebagai pelaku utama bisnis nir-laba berjejaring dalam meneruskan jaringan pendidikan dan keterampilan hidup dapat dimulai dari lingkungan rumahtangganya (Tadi sudah saya katakan, bukan teori berbasis studi empirik). Maksud saya begini. Saya membayangkan suatu jaringan: seorang perempuan mengajarkan table manner (cara makan ala carte -tak perlu penuh-) pada seorang perempuan lain yang -katakanlah dalam hal pegang sendok saja masih digenggam erat-erat sepenuh tangan-, ia pun terampil. Lalu perempuan kedua tersebut menularkan ilmu makan itu pada dua perempuan di lingkungannya. Terampillah dua perempuan tersebut. Lalu masing-masing berumahtangga, mengajarkan lagi pada perempuan-perempuan lain di dalam lingkungan rumah tangganya. Begitu seterusnya, terbangunlah jejaring perempuan terampil makan ala internasional itu. Sehingga pada saat diperlukan dalam suatu gathering atu apapun perempuan sudah terdidik dengan baik hasil dari bisnis berjejaring tadi.

Maaf, contohnya terlalu spesifik, namun keterampilan dan pendidikan banyak sekali silabusnya jika ingin dibuat dan dilakukan sehari-hari. Tujuannya adalah mendidik dengan membangun jaringan yang dimulai dari rumahtangga.
Kenapa rumah tangga?

Ada suatu peristiwa, begini:
Seorang perempuan androgini, ibu rumahtangga sekaligus perempuan yang berkarier di industri, ingin membeli mesin cuci. Tak ada yang dapat memungkiri bahwa perempuan ini pasti cukup modern, melek teknologi dan paham fungsi mesin cuci bagi percepatan tugas-tugas domestik. Namun yang terjadi adalah, ia membeli mesin cuci manual yang murah (kendati anggaran yang dimiliki lebih dari cukup untuk membeli mesin cuci otomatik). Alasan praktisnya, "operator mesin sehari-hari kan si'mbak' (asisten RT), jadi percuma beli mesin otomatik, malah dirusakin 'ntar,"
Menurut saya, perempuan seperti ini belum terpikir untuk membuat jejaring didik. Bisa saja karena kurang senang berbagi, bisa juga karena 'meremehkan', atau sebab lainnya.

Bayangkan, andai saja ia mengambil sedikit waktu, mengajarkan teknik penggunaan mesin otomatik pada si'mbak'. Perhatikan, bahwa mengajarkan pengoperasian mesin otomatik pada 'mbak', berarti juga memperkenalkan istilah berbahasa Inggris atau bahasa asing lain yang tertera pada tombol dan panel mesin. Termasuk mengajarkan prinsip kerja suatu teknologi mutakhir yang dapat mencuci sekaligus membilas dan mengeringkan. Mengajarkan trik penghematan air dengan memanfaatkan tombol shorcut, yang sekaligus melatih cara berpikir strategis dan memecahkan masalah. Dan tujuan untuk mempercepat pekerjaan domestik pasti tercapai pula.

Bayangkan, suatu saat 'mbak' resign, menikah atau kembali pada keluarganya, lalu ia mampu membeli mesin otomatik, maka ia sudah terampil, dapat juga mengajarkan ilmu itu pada orang lain. Atau 'mbak' bercerita pada teman-teman dan keluarganya, yang dapat menstimulasi mereka yang lain itu juga mendapat informasi penting tentang teknologi, mengerti istilah 'spin' yang digunakan untuk mengeringkan pakaian di mesin, namun juga dapat menjelaskan makna entri 'spin' dalam penggunaan lainnya. Itu semua dari perempuan sang upline pertama dari jejaring ini.

Beberapa peristiwa berbeda menari-nari juga dalam benak saya. Perempuan yang tak bersedia berbagi informasi seputar 'rahasia kecantikan' yang dianutnya, yang jengah saat diminta berbagi ilmu, yang malas menjawab pertanyaan-pertanyaan teman seputar perkembangan suatu disiplin ilmu yang sudah pernah dienyamnya. Termasuk yang menyimpan rasa bersaing terus-menerus, memanipulasi perempuan lain untuk tujuan pribadi dan pengakuan serta benefit pribadi.

Ah! Maaf untuk pernyataan-pernyataan yang terkesan negatif, namun itu dimaksud sebagai kontras, dan ada di seputar dunia perempuan. Kembali ke topik, jejaring itu pasti sudah ada yang berjalan sejak beberapa masa yang lalu, pasti sudah ada yang menengguk hasil yang tak dapat dibayar oleh mata uang manapun. Namun jejaring itu perlu terus berlangsung dan berkembang.

Demikian bisik-bisik saya soal multi-level mendidik. Hanya bisikan kecil saja, jadi tak perlu didengarkan jika hanya seperti bulu ayam menggelitik bulu-bulu halus telinga anda, nikmati saja... enak lah geli-geli... ;-)

Selamat menikmati hari yang indah hari ini...
------

No comments:

Posts Archive


PEREMPUAN = SRIKANDI ?

Kenapa PEREMPUAN PEJUANG sering disebut SRIKANDI.
APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?
Kutelusuri WIKIPEDIA, kutemukan entri SRIKANDI ini

Srikandi (Sanskerta: Śikhaṇḍī) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata vrsi India.
Arti nama
Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".
Srikandi dalam Mahabharata
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Perang di Kurukshetra
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Srikandi dalam Pewayangan Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

JADI, APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?

*********

PEREMPUAN DAN PENDIDIKAN
Rinny Soegiyoharto (catatan tak selesai pada april 2006)

Ragam aktivitas ke-Kartini-an sebagai simbol emansipasi kaum perempuan seperti sebuah rutinitas lebih bergaung pada bulan April mendekati hari keduapuluhsatu. Ditandai aneka lomba dan berbagai atribut keperempuanan yang adakalanya malah tampak sekadar wujud lahiriah dan kasat mata. Sebut saja lomba berkebaya, lomba masak, lomba pasang dasi, lomba merias wajah, dan sebagainya.

*** *** *** *** ***

-DRAFT--Wanita. Meski berpadan dengan perempuan, namun kata dasar “empu” pada perempuan terasa lebih nyaman dan membanggakan, oleh sebab itu saya suka menggunakan kata “perempuan”, termasuk dalam menamai blog saya.-
Perempuan, sadar soal pentingnya pendidikan terhadap anak-anak, karena di "dalam" perempuan terdapat beban psikologis memperjuangkan dirinya sendiri, terus-menerus. Utamanya dalam hal pendidikan (sudah diterobos Kartini). Guru TK-SD bahkan SMP kebanyakan perempuan. Bapak-bapak lebih banyak muncul dan berperan pada tingkat pendidikan lanjutan atas (SMA), dimana pendidikan dasar telah ditanamkan lebih dahulu oleh ibu-ibu guru. Mengapa? Sekali lagi karena perempuan secara lahiriah dan kodrati justru memikul tanggung jawab pendidikan itu sendiri yang dimulai pada dirinya sendiri. Maka, bapak-bapak guru lebih kepada transfer of knowledge, ketimbang hal-hal mendasar yang lebih berhubungan dengan pembangunan karakter, penanaman proses belajar dan pengertian-pengertian dasar untuk dan selama manusia menempuh proses pendidikan.- Pendidikan: mencakup attitude/sikap, yakni kognitif, afektif dan perilaku. Pengembangan kepribadian, pembiasaan good character, kesadaran dan tanggung jawab akan masa depan pribadi/diri sendiri yang mempengaruhi masa depan keluarga dan kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara, dll.- Bukan diskriminasi yang mengarah pada gerakan feminisme.- Perbedaan sesuatu yang dirayakan bersama sebagai unsur2 yg saling bersinergi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan bersama: orangtua, pendidik, bangsa dan negara.- Berkaitan erat dengan UU Anti-KDRT. Jika perempuan terus ditindas, bahkan di dalam rumah tangganya sendiri, bagaimana mungkin perempuan dapat bertugas/ berkiprah/ bertindak optimal untuk mendidik anak-anak, baik anak sendiri maupun anak-anak didik apabila ia seorang guru? Kendati lagi, waktu terus merambah, persaingan global semakin cepat dan menantang, anak tidak berhenti tumbuh dan berkembang, suatu waktu akan tiba ketika anak mulai lebih banyak mencurahkan porsi proses pendidikannya pada pemenuhan kognitif, belajar ilmu2 tinggi, yg bisa jadi sebagian besar diberikan oleh laki-laki, bapak2 yg menitikberatkan pada perkembangan kognitif.- Perempuan & laki2 lebih kepada pembagian peran, baik dalam pendidikan di dalam rumah tangga, maupun pendidikan secara luas, formal & informal. Karena baik dari segi struktur fisiologis dan psikologis serta kultural dan sejarah di dalam masyarakat kita, telah membentuk sebuah perbedaan laki2 dan perempuan, yang harus kita rayakan bersama-sama membentuk manusia-manusia berkualitas dlm diri anak2 kita sebagai proses pendidikan menuju masa depan cerah mengikuti kecerahan janji bangsa ini. Amin.-

Pendidikan dimulai dari rumah. Peran ibu sebagai objek kelekatan anak yang pertama terhadap proses pendidikan anak tentulah tidak kecil. Sebagai perempuan, tentunya ibu harus tidak hanya memberikan pelajaran, namun pendidikan kasih sayang, penanaman afeksi, unsur penting bagi rasa nyaman dan aman bagi anak, karena merasa dicintai. Bagaimana mungkin ibu dapat menanam benih cinta pada anak apabila dia sendiri mengalami kekerasan dalam rumah tangga.***