Monday, October 31, 2011

#126 - Zigma's Neighbor

by @RinnyLaPrincesa

Lambda bukan sahabat Zigma, meski bertetangga.
Bokap dan Nyokapnya sangat sibuk; urusan kerja, bisnis, sosialita, friends gathering, dan rupa-rupa yang lain. Tiada waktu sedikit pun berbincang dan memeluk Lambda yang hadir atas perkawinan mereka.
Tapi sempat berpesan selalu:
"Nak, kami sayang padamu. Semua uang yang kami cari adalah buat kamu. Jadilah anak hebat!"

Sembilan tahun usianya ketika Lambda jatuh cinta pada guru IPS, sebab di dalam kelas ia seolah-olah murid emas yang sangat diperhatikan sang guru.
Coretan pertama kata-kata cinta di buku cetak IPS Lambda:
"Aku suka guruku ini, karena dia pasti cinta padaku. Dia sangat perhatian padaku".

Saat guru IPS membagi hasil ulangan, ponten Zigma unggul darinya. Lambda berang.
Coretan kata-kata kecewa di halaman akhir buku IPS Lambda:
"Aku benci guruku ini. Sangat menyakitkan! Ternyata dia tidak perhatian padaku! Putus!"

Lambda yang baru tujuhbelas tahun, telah tujuh kali memutuskan hubungan cintanya.
Alasan klise: pacarku kurang perhatian, hatiku tidak nyaman.
Lalu ia memuaskan diri dengan barang-barang branded, nongkrong di resto kelas atas, ataupun modifikasi mobil dengan berbagai aksesori tak penting.

Hidup Lambda penuh gejolak hubungan asmara yang bahkan ia sendiri pun tidak memahami makna 'cinta' sesungguhnya.
Ia tidak pernah merasakan cinta dalam bentuk perhatian, pelukan, belaian lembut, kata-kata penyejuk, menerima, memaafkan, memberi pujian, dan sebagainya.
Lambda hanya tahu, cinta adalah materi yang tidak bisa bernafas, tidak punya perasaan, tidak punya keinginan, tidak ada nilainya jika sudah lewat masa eforia. Hingga kapan saja boleh dilepaskan, dibuang, disia-siakan, jika tidak lagi membuatnya puas.

Bokap dan nyokap masih super sibuk. Mereka pikir, 'toh Lambda sudah dewasa sekarang. Terserah dia saja.
Okeee deeehhh...

#125 - Zigma

by @RinnyLaPrincesa

Empat tahun usia Zigma ketika mama melihatnya jatuh terantuk mainan lego yang bertebaran. Zigma menangis kencang.
Mama: oh sayang, cup cup cup... Legonya nakal ya... *memukul sebuah lego yang tergumpal tak beraturan.*
Tangis Zigma reda.

Zigma sudah delapanbelas tahun. Mengomel berang pada mama.
Zigma: sudah kubilang, Ma! Laptopku tidak boleh dipindahkan, tapi Mama biarkan pembantu memindahkan.
Mama: kenapa kamu selalu menyalahkan Mama dan orang lain? Tidak menjaga barang-barangmu sesuai keinginanmu, nak?

Zigma tigapuluh dua tahun, dalam rapat evaluasi program tahunan di kantor.
Zigma: kegagalan penyerapan dana program ini karena Anda kurang 'fight' melobi rekanan kita! *menuding salah satu anggota tim*

Dalam kamar yang temaram, Mama bergumam pada diri sendiri:
Zigma selalu menyalahkan orang lain atas berbagai masalah dan ketidak-nyamanan perasaannya. Apakah tindakanku melindunginya dengan memukul lego dan barang-barang lain pada saat ia menangis, adalah penyebabnya?

Komen: sayang sekali, tampaknya benar yang Mama pikirkan. Hati-hati ya, Ma, barang-barang itu tidak salah. Tapi ruang bawah sadar Zigma telanjur diisi dengan pemahaman bahwa semua kesalahan terjadi karena pihak lain. Dirinya selalu benar, harus dan untuk selalu nyaman.

Friday, October 28, 2011

#124 - Boneka & Aku (Mungkin Juga Kamu atau Anakmu :-))

by @RinnyLaPrincesa

Waktu aku masih kecil, aku hanya punya satu boneka, satu-satunya. Itu pun kumiliki lamaaaa setelah hampir semua teman-temanku punya berlusin koleksi boneka.
Waktu itu ibuku bilang:
"Untuk apa boneka? Bermain boneka, apalagi punya banyak boneka, tidak akan membuatmu pintar."

Tapi aku tahu, ibuku mengamati seluruh gerak-gerikku, termasuk ketika aku bermain dengan "boneka-bonekaku" sebelum ibu membelikannya untukku dan adikku.

Ibuku berlangganan majalah wanita, yang ada sisipan rubrik untuk anak-anak. Sekitar sepuluh lembar rubrik anak-anak itu adalah jatahku. Aku boleh melepaskan rubrik di tengah-tengah itu dari induk majalahnya, kapan saja aku mau. Ibuku tidak pernah melarang. Apalagi ibu tahu aku sudah bisa melahap isinya atas inisiatifku sendiri belajar mengenal dan merangkai huruf saat usiaku belum empat tahun. Bagi ibu dan ayahku, tindakanku itu adalah karunia Tuhan. Akulah satu-satunya anak berusia 4 tahun yang sudah mampu membaca dan memahami makna tulisan, di seantero kota kecil tempat kami tinggal.

Kedua orangtuaku tidak pernah dengan sengaja mengarahkan aku untuk belajar membaca. Apalagi di usia yang sangat dini. Mereka memberi contoh dengan bacaan masing-masing di tangan mereka, setiap pagi. Dan aku, tidak senang pada keasyikan mereka itu *manyun*. Maka diam-diam aku mencari cara agar aku bisa asyik seperti mereka, bisa memahami tulisan-tulisan di surat kabar, majalah, buku-buku, bahkan partitur nyanyian.

Dalam waktu singkat aku sudah memiliki keasyikan itu. Ayah dan ibuku memilah bagian-bagian tertentu yang tidak boleh aku baca. Tapi aku, ssssssttttt...aku mengambilnya ketika mereka tidak melihatku. Lalu... Braaakk!!! Malas ah! Aku tidak paham isinya. Jadi waktu itu aku pikir, mereka memang tidak mau aku terlalu lelah membaca hal-hal yang belum mampu kucerna.

Kembali ke persoalan boneka. Pada suatu waktu, rubrik anak-anak di majalah wanita ibuku, menyisipkan bonus pola 'orang-orangan' yang dilengkapi pola beberapa model pakaian. Secara bersambung dalam beberapa edisi, rubrik anak-anak menyisipkan pola-pola tambahan berbagai jenis pakaian. Tapi pola 'orang-orangan' hanya disediakan satu saja.

Aku menggunting pola 'orang-orangan', kutempelkan di selembar kertas tebal, lalu kugunting lagi mengikuti polanya. Jadilah aku memiliki 'boneka' perempuan telanjang, dua dimensi. Pada setiap terbitan, aku sangat menantikan edisi-edisi majalah itu, karena pola pakaian-pakaian untuk 'boneka'ku selalu menakjubkan. Tubuhku bergetar menantikan setiap pola baru. Pola-pola itu kugunting, dan dengan mudah disampirkan ke tubuh 'boneka'ku dengan melipat keliman di bahu dan beberapa tempat lain sesuai model pakaiannya.

Aku paling senang pada model pakaian ala cowboy. Hem kotak-kotak dan celana panjang. Bonekaku tampak gagah betul saat dipakaikan model baju itu. Aku memodifikasi sedikit mode rambutnya, kugambari dengan pinsil warna, he he he... Pita rambut yang disediakan, tidak pernah kutempel di kepala bonekaku.

Memiliki boneka hasil rakitan sendiri itu membuatku asyik dengan kisah-kisah di kepalaku. Sebut saja namanya Poppy.
Jika hari ini si poppy jadi guru, aku 'memainkan' dia sebagai guru yang 'funky', yang selalu mengajak murid-murid ke luar kelas, jalan-jalan di sekeliling sekolah, di kebun jeruk dan melompati pagar sekolah ke toko roti, ha ha ha...
Besoknya poppy jadi kakak (aku tidak punya kakak, tampaknya aku rindu memiliki kakak, waktu itu), ia adalah kakak yang sangat mencintai adiknya. Membantu adiknya bikin layang-layang, menerbangkannya, menggunting bayang-bayang (wayang kertas untuk diadu), sampai membuatkan roti mentega dan kopi susu (sejak kecil aku suka sekali minum kopi, sampai sekarang :-)).

Kali lain poppy jadi jagoan. Berantem dengan anak laki-laki tengik yang suka mengganggu anak-anak perempuan setiap kali lewat di ujung jalan dekat rumah anak laki-laki itu. Belakangan aku bisa berdamai dan malah jadi teman main buat anak laki-laki pengacau itu yang ternyata memang tidak punya teman.

Ibuku selalu mengamati tingkahlakuku dari kejauhan. Aku tidak mengizinkan ibuku dekat-dekat denganku saat aku bermain dengan poppy. Tapi karena aku bercerita komat-kamit sesuai skenario untuk poppy yang ada di kepalaku, tentu saja ibuku bisa mendengarkannya. Meski ibuku pura-pura tidak melihat. Jadi ibuku tahu apa yang terjadi padaku. Ibu tentu tidak melihat poppy sebagai boneka mainan semata, ia pasti mencatat proses demi proses mulai poppy terwujud, hingga cerita-cerita yang kumainkan.

Pada saat aku benar-benar memiliki boneka plastik cukup besar, tangan dan kakinya bisa digerak-gerakkan karena ada persendian. Juga berambut yang bisa disisir, punya baju-baju dari kain yang bisa dipakaikan, justru aku kebingungan memainkannya. Ha ha ha hah! Diapakan sih boneka ini? Digendong-gendong saja? Ah! Manja betul! Rambut disisir? Huh! Aku saja bisa menyisir rambutku sendiri yang panjang terurai. Meski malas kulakukan, sampai sekarang. Ha ha ha hah.

Itulah kisah aku dan boneka pada rentang masa 1973-1978.

Memiliki boneka-boneka yang banyaaaakkk hanya untuk koleksi, memang tidak membuat anak pandai. Alih-alih malah konsumtif. Jika anak bisa memainkannya dengan berbagai skenario sosial dan berisi nilai-nilai hubungan antar manusia yang membangun pribadinya, itu baru lebih baik.
Daripada banyak boneka, mending punya banyak buku yang dibaca. Betul, tidak?

"Salam Semangat Soempah Pemoeda!"
*ngga ada hubungannya ya? He he he... Ada dong, semangat membara!*

::Semangat cinta untuk *hai MLKPT* ;-)

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

Wednesday, October 19, 2011

#123 - Mimpi Di Garis Waktu

by @RinnyLaPrincesa

Aku telah berlari menyusuri lorong-lorong
Kubawa tubuh telanjangku di sepanjang lintasan
Menggapai dan melambai pada setiap sesuatu
Memejamkan mata dengan linangan airmata

Aku telah berlari menyusuri garis waktu
Ketelanjanganku tak menemukan penutup
Tiada jua sesiapa menjulurkan sehelai selendang
Tiada jua sesiapa peduli pada airmata ternista

Mata terpejam mencari peraduan agar lelap
Mengembara sepanjang lintasan garis waktu
Kutemukan mimpi yang tak lagi terpotong
Hingga airmata terseka dalam senyuman
Hingga keindahan mimpi tak berakhir boleh hadir

Mimpi tentang masa-masa
Mimpi tentang kata-kata
Mimpi tentang sapa-sapa
Mimpi tentang ruang-ruang
Mimpi tentang kisah-kisah
Mimpi tentang desah-desah
Mimpi tentang resah-resah
Mimpi tentang bisik-bisik
Mimpi tentang buku-buku
Mimpi tentang tanah-tanah
Mimpi tentang rumah-rumah
Mimpi tentang rasa-rasa
Mimpi tentang suka-suka
Mimpi tentang duka-duka
Mimpi tentang janji-janji
Mimpi tentang tari-tari
Mimpi tentang poci-poci
Mimpi tentang kasih-kasih
Mimpi tentang ...
Segala sesuatu yang berulang

Di garis waktu
Mimpiku tak kan dapat kau usik
Di garis waktu
Mimpiku tak kan dapat kau ganti
Di garis waktu
Mimpiku tak kan dapat kau ralat
Di garis waktu
Mimpiku tak kan dapat kau bongkar
Di garis waktu
Mimpiku tak kan dapat kau teror

Di garis waktu
Mimpiku adalah milikku
Kau, Dia, Mereka, Kalian,
Di mimpiku... Dimanakah
Kau, Dia, Mereka, Kalian,
Tak satu pun hirau
Semua menonton
Pura-pura empati
Membungkus hujat
Yang tak pernah berhenti
Menelanjangiku

Di garis waktu
Mimpiku adalah milikku

Di garis waktu
Mimpiku juga berkisah tentang
Penganan putih
Tumpukan kata
Gagasan-gagasan
Selalu hidup dalam
Percayaku pada
Keindahan mimpi

*terus menyusuri garis waktu*

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

Sunday, October 16, 2011

#122 - Nanti-Mimpi-Doa :: Rindu-Harapan-Sujud

by @RinnyLaPrincesa

Nanti,
Lilin-lilin ini hanya 'kan bersinar di dasar hati,
Meski redup dan tanpa hiasan.

Mimpi,
Telah porak-poranda menjelang fajar,
Mengikis harapan syahdunya doa dan cinta.

Mimpi,
Telah melumer dari bukit menuruni lembah,
Sebelum satu batang pun sempat disulut.

Nanti,
Lilin-lilin ini 'kan tetap dibakar satu-satu,
Biar pun angin danau menggoyahnya.

Doa,
Senantiasa tak 'kan lepas dari bibir-bibir,
Dari hati demi hati yang sedia mengirimkan.

Doa,
Adalah kepasrahan dan penyerahan diri,
Menyongsong ujung waktu saat lilin-lilin meredup.

*rindu pada harapan yang telah telanjur mengapung*

*tunduk sujud pada kaki Sang Khalik yang tak pernah beranjak*

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

#121 - Kasihan kau, nak

by @RinnyLaPrincesa

Kasihan kau, nak
Segarnya pancuran
Wanginya buih sampo
Hangatnya berkas surya
Renyahnya biskuit sepiring
Dan mimpimu pada tongkat tulang
yang sebentar lagi akan kau kejar
lalu kau tangkap
lalu kau hantarkan kembali
dan seterusnya hingga energimu habis
hingga makan malam lezatmu ludes
hingga potongan favoritmu kau benam di tempat rahasiamu
tinggal mimpi penghias tidurmu

Semoga kau tak rindu terlalu lama pada sahabatmu
yang membuatmu ceria dengan salakan dan lompatan
yang kau beri porsi makan malammu untuknya
semoga kau tak rindu terlalu lama

Sayang sekali,
cinta kami padamu yang telanjur paham
pada karakter unikmu
yang selalu ringan kau mengerti
sampai-sampai kau longokkan selalu seluruh tubuhmu
saat kupulang dari penatku juga yang lain
Sayang sekali,
cinta kami padamu tak mudah dipahami,
bahkan dianggap keliru dan tak cinta
Sayang sekali

Tapi kuyakin kau sangat paham,
karena karakter unikmu tak kan mudah dipahami
catatan kami terlalu lengkap tentangmu
hingga kau mudah mengikuti seluruh kelas belajarmu
Memahamimu adalah bagian dari cinta kami
yang tulus dan ikhlas merawatmu dengan keunikanmu
Dan kau pun mencintai kami dengan caramu dan kegilaanmu
Will miss you

Maafkan melepaskanmu dan tak ingin lagi mengalami
reaksi-reaksi berlebihan yang makin memperlihatkan
tak pahamnya mereka padamu
juga pada cinta yang kita bangun dalam unikmu

Berbahagialah
Kau tetap di hati

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

#120 - Sensitif

by @RinnyLaPrincesa

Mengapa kau harus berpura-pura tak paham?
Jika nyatanya memang kelam untuk sisiku?
Mengapa kau pikir aku tak paham
pada segala yang bisa kulihat, kutanya, kuraba, kurasa?
Meski tak berjawab yang kau kirimkan...

Mengapa kau pikir hanya dirimu paling perlu?
Hingga perluku tak kau hirau, hingga sesakku hiasan belaka.
Apakah bagimu aku tak punya hati?
Apakah bagimu aku sekadar malam cair?
Apakah bagimu aku tak lebih berharga dari sepotong bangket?

Kau tak nilai makna ujarku, dalam lisan dan huruf,
Tapi tutur lisanku, diksi tulisanku, adalah jiwa yang sama.
Kau boleh bunuh semuanya, tapi tidak olah-pikirku.
Kau boleh ambrukkan struktur mentalku, tapi tidak struktur logikku.

Mari sudahi pertandingan ini, karena aku sendirian.
Bukannya kutakut pada bala pasukanmu,
Tapi cukup satu, cukup kau saja,
Aku telanjur mengenal pola yang kalian bangun.
Cukup.

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

Saturday, October 15, 2011

#119 - Nirwana Pada Tumpukan Goresan

@RinnyLaPrincesa

Mula-mula aku mencoba hayati makna dan rasanya, hingga ke penjuru jiwa yang paling jauh. Lalu kumulai merasa nyaman dengan nama itu. Seperti ketika lafalmu yang asing namun intim meyakinkanku seribu persen. Meski telah kupakai nama lain, dan yang lainnya lagi, nama ini memberiku kenyamanan berhiaskan bangga dan hormat (tentu kepadamu).

Ceriteramu tentang berbagai kisah yang belum pernah kudengar, mengaduk-aduk kerinduan dan kehausanku. Tak terganggu kita saat akhir waktu tiba, dan kita tetap tepekur pada kisah masing-masing. Kau dengan kesukaanmu dan bahasamu, aku dengan kuriusitasku, hausku, sukaku dan rasaku. Bahasaku tidak begitu penting, karena dengan rasa aku mengisap kisahmu pada bahasamu.

Kini aku semakin gila. Saat rindu tak terobati akibat dunia jauh lebih berkuasa, kucuri sisa-sisa dan celah-celah. Ah! Tepatnya, kukreasi dengan sengaja, kuletakkan dunia sejenak di samping mesin berlayar yang kedipannya seringkali berhasil membuatku muntah.
Hhhoooeeekkkhhh!!!

Semakin gila, setiap kali kubenamkan jiwa pada tumpukan goresan ide dan budaya. Kutemukan nirwana penuh madu dan anggur nikmat. Yang hausku tak kan pernah terpuaskan.
Biarkan mereka bilang aku gila, karena memilih surga yang tidak sama dengan surga mereka. Terperangah mereka sejadi-jadinya, karena kesunyian dalam tumpukan goresan ide adalah nirwanaku, daripada yang mereka sebut ibadah agung dan surga dunia.

Nirwanaku... Kehadirannya bisa kuundang sewaktu-waktu. Mesin pencari ciptaan dewa dunia pun sangat dipercayai, lalu kenapa energi maha tinggi melebihi segala dewa malah diabaikan?

Biarlah yang bertelinga mendengar, yang memiliki mata melihat, yang memiliki hati merasa, yang memiliki jiwa melawat. Energi itu sekarang ada, sudah pernah ada, akan selalu ada.

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

Friday, October 14, 2011

#118 - The Lord's Prayer

Matthew 6:

9 Our Father which art in heaven, Hallowed be thy name.
10 Thy kingdom come, Thy will be done in earth, as it is in heaven.
11 Give us this day our daily bread.
12 And forgive us our debts, as we forgive our debtors.
13 And lead us not into temptation, but deliver us from evil: For thine is the kingdom, and the power, and the glory, for ever.
Amen.

(King James Version - 1611)

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

#117 - Berpeluh Dengan Rasa, Senantiasa Sediakala

by @RinnyLaPrincesa

Peluhku menggumpal di setiap lipatan, mengiringi aneka rasa di sudut-sudut sukma. Meski peluh itu tetap asin, seperti yang kerap kau laporkan. Aku tak suka mencicipinya sendiri, kecuali milikmu.

Kau tahu? Aku berpeluh dingin bukan karena penat ataupun sakit. Saat usapan-usapan menyeka lembut, dinginnya menyublim. Lihat parasku, adakah penat atau letih? Pasti kau harus menggeleng.

Peluhku kali ini, bercampur racun-racun yang telanjur berizin menari dalam kalbuku. Terlambat aku membatalkan izin itu, sebab aku sangat perempuan (bah! Aku tak suka frase itu). Pengkarakteran yang tidak sensitif, membunuh kesadaran gender sebelum terbangun.

Mereka suka bermain-main dengan ide yang salah tempat. Mereka pikir itu sudah paling benar. Padahal mereka juga sama berpeluh, hanya saja yang dihasilkan dari perasan-perasan sisa.
Kasihan sungguh!
Sampai kapanpun mereka tak kan sadar, jika indera rasa tak diizinkan mewujud dalam laku. Sayang sungguh!
Malang sungguh!

Aku bangga pada peluh rasa yang kumiliki. Kau juga sama. Karena kita sama-sama mengizinkan rasa memilih peluh yang terbagikan di antara kita. Berpeluh kita sungguh. Berjerih dalam rasa dan menjaganya senantiasa sediakala. Walau adakalanya kita menyerah pada izin yang tak kita sadari. Tapi... Itulah rasa. Kita sepakat, bukan?

Peluhku bergumpal-gumpal dan tetap asin, senantiasa sediakala.

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

Wednesday, October 12, 2011

#116 - •˘Ħăª˚⌣˚Ħăª˚⌣˚Ħăª˘•

@RinnyLaPrincesa

Die: ngomong apaan sih lu?
Gw: yang manaaaa???

Die: entuuuuu... Kagak ngarti deh guuueeeehhh...
Gw: mikir dong aaahhh *pongah*

Die: udeeehhh...
Gw: truuusss???

Die: teteeepp gak ngerti... Belit-belit amat sih elu ngomongnya, lidah gueh sampe bebelitan nih bacanye...
Gw: ngerasainnya jangan pake lidah dong. Coba pake alat rasa lu yang lain. Cobain duluuu, jangan komplen!

*beberapa jam kemudian*

Die: merindiiiinnggg... *bergidig*
Gw: kenapeh?

Die: mimpi gueh, mpok... Kata-kata lu semueh kayak pilem di mimpi gueh... *pucat*
Gw: bawah sadar elu udah aktif. Slamet yeeehhh...

*ketawa bareng*

​​╋╋ム╋╋ム╋╋ム╋╋ム

•˘Ħăª˚⌣˚Ħăª˚⌣˚Ħăª˘•

Ơ̴̴̴̴̴̴͡.̮Ơ̴̴͡

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

#115 - Sembilanbelas Dunia

by @RinnyLaPrincesa

Belum jauh langkahnya ringan berayun, membayangkan telaga rindang yang menyimpan belahan pinangnya. Harapan angan dan impian yang bisa dipanggil, memekarkan kuncup hati, dan berdenyut-denyut.
Tapi bola panas itu menyikut keras. Ia terhuyung, berpegangan ranting pinus patah, tak ada guna. Tubuhnya berputar-putar melebihi gasing pesohor, terantuk batu, dahan patah, puing kakus tua, rongsokan pedati. Terpental berkali-kali sebelum akhirnya tumbang dalam lobang jamban yang sudah lama kering. Tapi tetap menguarkan bau busuk.

Ia tak dapat meratap dengan mulut nganga, sebab rasa busuk sisa jamban sontak menyerbu celah-celah bibir. Teriak pun hanya menyumbat kerongkongan yang kian perih. Sisa-sisa air tegukan terakhir mengering bersama sang bola panas yang masih saja menghantam-hantam. Sedangkan lobang jamban kering sudah terlalu panas dan bau. Hanya telaga itu satu-satunya harapan, yang samar-samar menyampaikan bau lumut segar dan cairan tubuh hangat. Bayangan itu sejenak melegakan. Sejenak.

Dalam pejam, ia mulai menghitung dunia pada bola panas. Bola dunia warna-warni dengan tarikan mulut, ekspresi mata dan lekukan hidung dalam hologram emoticon. Tidak ada yang sama. Tapi semua menampilkan geligi pada sela-sela dua garis bibir. Memuakkan.
Ia tetap bertahan menghitung. Satu, dua, tiga, ....
Sembilanbelas dunia mengitarinya. Mereka pecahan bola panas.

Dengan sisa-sisa energi ia coba kembali menghitung. Tetap sama, semua sembilanbelas. Ada sembilanbelas dunia mengacungkan lusinan bedil, golok, tombak, dan alat perkosa.
Selesai menghitung untuk terakhir kalinya, ia sadar, yang hilang cuma tiga, dan itu melebihi besarnya sembilanbelas dunia.
Tiga itu tidak hilang, hanya tertutup bayang-bayang sembilanbelas dunia yang penuh kekerasan, kemunafikan, hawa nafsu.
Dan tiga itu tetap terbesar, terkuat, terhangat. Tiga itu sangat lembut.

Ia terlelap damai berselimut hologram tiga kasih lembut di balik bayang-bayang sembilanbelas dunia.

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

#114 - Belahan Pinang

by @RinnyLaPrincesa

Saat bongkah mungil dalam genggamannya membuyarkan pantulan palma dan perdu di wajah bening telaga itu, ia mengerjap. Perasaannya yang bervibrasi panjang tak kuasa menahan jemari dan hasta melepaskan energinya.

Satu fase yang melekat di memorinya, ia perlu sedikit berpikir agar tak menghela udara banyak ke dalam toraks. Maka perlahan hembusan ringan namun panjang, mengalun bersenandung melewati rongga sempit antara toraks dan indera olfaktori. Bulu-bulu halus di seputar gua hidungnya terasa bergetar. Ia mampu merasakannya, makin kuat dan makin bermakna.

Tak percuma teknik pernafasan itu sempat ditekuninya beberapa sesi. Sangat menolong ketika tiada hati tersedia menyerap dalam rasa, tiada cara lain yang ampuh sekejab menyirnakan sesaknya.
Perempuan itu tersenyum bersamaan butir-butir bening mengalir menemui permukaan telaga. Ia bergeser lebih dekat, kendati bebatuan tak lagi tersedia untuk meletakkan pantatnya. Ia membungkuk di atas telaga, hingga butiran air matanya bergabung di dalamnya.

Bak Narcissus menatap pantulan wajah sendiri di muka bening telaga yang telah menelan butir-butir airmatanya. Tapi ia tak bertanya pada sang telaga. Bibirnya tetap komat-kamit mengucap mantera hapalan mati. Mantera yang tak pernah menyihir kinestetik benda-benda. Mantera yang mengulum doa pada Sang Rahman. Permohonannya selalu terkabul. Selalu sebagian. Dan itu menyayat perih hatinya.

Perempuan itu menatap belahan pinang di pantulan telaga yang mulai samar-samar. Sebab senja tidak jingga kali ini. Selaput kabut menuruni lembah lebih cepat, hingga tenggelamnya surya tak sempat memoles cakrawala dengan jingganya.
Lekas-lekas ia beranjak, mengibaskan ujung gaun dari lumut bebatuan, sebelum memeriksa celana dalamnya yang basah. Belahan pinangnya telah mengantar gairah tak tertahan. Menorehkan rindu makin memuncak.

Besok aku kemari lagi, ujarnya sendu.

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

Sunday, October 9, 2011

#113 - Senjang

by @RinnyLaPrincesa

Kemarin dan hari ini, perempuan itu tampak tegang. Gurat-gurat kewaspadaan kuat terukir di setiap sudut lekukan wajahnya. Tarikan nafas yang cepat, hembusan pendek yang keras, mempermainkan dadanya naik-turun. Ucapan-ucapan singkat tak tertata, dengan intonasi datar tinggi, mengejutkan telinga-telinga di sekelilingnya. Ia sadar, lalu memilih diam tanpa kata-kata, meski bibirnya komat-kamit.

Tak satu pun mempercayai cerita tak teratur yang sekuat daya disampaikannya. Ia yang biasa bertutur rapi, senantiasa menata diksi sistematik, tampaknya tak digubris sebagai petunjuk yang kuat. Perbedaan itu dipandang hanyalah bentuk revolusi negatif yang mengubahnya jadi makhluk aneh. Orang-orang mulai menganggapnya gila, bahkan orang-orang terdekatnya. Mata eksotik itu kering, tak ada setitik air pun menggenang di sana. Tak kan ada yang menduga tangisan teramat pilu dan spirit yang meradang sembab, telah menguasai seluruh jiwa perempuan itu.

Hujatan demi hujatan bagai badai katrina menghantam dinding-dinding di rongga otaknya. Setiap orang berlomba-lomba memamerkan keunggulan dan keberhasilan diri masing-masing. Menciptakan kondisi yang makin senjang, keterpurukan perempuan itu dirasainya sendiri.
Siapakah yang bisa merasakan gelombang-gelombang jiwa selain tubuh tempat jiwa itu berlabuh?

Apakah yang mengaku-ngaku dirinya ahli memetakan jiwa manusia dengan segudang ilmu, pengalaman dan proyek-proyek pengembangan, mampu mengulurkan empati sungguh-sungguh ternadapnya?
Bahkan golongan ini pun sibuk merambah tangga keilmuannya yang tinggi bercokol di wilayah ide. Tinggi sekali tangga-tangga itu sampai mereka tak bersedia turun kembali menemui realita, yang harusnya jadi tanggung jawab jubah-jubah hitam dengan topi-topi segi lima.

Apa gunanya ilmu, popularitas, bahkan kekayaan materi dan pengalaman itu jika hanya bisa meleceh, menghina, mengubur jiwa-jiwa yang jauh?
Sayang sekali kata-kata indah tak menyentuh realita hidup yang sesungguhnya di depan mata. Sayang sekali.

Perempuan itu memejamkan matanya, tetapi bukan tidur. Ia mencoba sejenak membutakan penglihatan mata, meski hati dan jiwanya tak kan pernah terpejam sedetik pun.
Gemuruh yang terlalu dahsyat melemparkan kepingan-kepingan raganya dalam ruang bawah sadar.
Ambillah sekarang, sesudah itu lampu grafik dan bunyi datar segera memanjang bergema di ruang kosong tak berpenghuni.

*tulisan ini adalah renungan refleksi dan introspeksi, dalam bahasa hati*

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

Posts Archive


PEREMPUAN = SRIKANDI ?

Kenapa PEREMPUAN PEJUANG sering disebut SRIKANDI.
APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?
Kutelusuri WIKIPEDIA, kutemukan entri SRIKANDI ini

Srikandi (Sanskerta: Śikhaṇḍī) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata vrsi India.
Arti nama
Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".
Srikandi dalam Mahabharata
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Perang di Kurukshetra
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Srikandi dalam Pewayangan Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

JADI, APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?

*********

PEREMPUAN DAN PENDIDIKAN
Rinny Soegiyoharto (catatan tak selesai pada april 2006)

Ragam aktivitas ke-Kartini-an sebagai simbol emansipasi kaum perempuan seperti sebuah rutinitas lebih bergaung pada bulan April mendekati hari keduapuluhsatu. Ditandai aneka lomba dan berbagai atribut keperempuanan yang adakalanya malah tampak sekadar wujud lahiriah dan kasat mata. Sebut saja lomba berkebaya, lomba masak, lomba pasang dasi, lomba merias wajah, dan sebagainya.

*** *** *** *** ***

-DRAFT--Wanita. Meski berpadan dengan perempuan, namun kata dasar “empu” pada perempuan terasa lebih nyaman dan membanggakan, oleh sebab itu saya suka menggunakan kata “perempuan”, termasuk dalam menamai blog saya.-
Perempuan, sadar soal pentingnya pendidikan terhadap anak-anak, karena di "dalam" perempuan terdapat beban psikologis memperjuangkan dirinya sendiri, terus-menerus. Utamanya dalam hal pendidikan (sudah diterobos Kartini). Guru TK-SD bahkan SMP kebanyakan perempuan. Bapak-bapak lebih banyak muncul dan berperan pada tingkat pendidikan lanjutan atas (SMA), dimana pendidikan dasar telah ditanamkan lebih dahulu oleh ibu-ibu guru. Mengapa? Sekali lagi karena perempuan secara lahiriah dan kodrati justru memikul tanggung jawab pendidikan itu sendiri yang dimulai pada dirinya sendiri. Maka, bapak-bapak guru lebih kepada transfer of knowledge, ketimbang hal-hal mendasar yang lebih berhubungan dengan pembangunan karakter, penanaman proses belajar dan pengertian-pengertian dasar untuk dan selama manusia menempuh proses pendidikan.- Pendidikan: mencakup attitude/sikap, yakni kognitif, afektif dan perilaku. Pengembangan kepribadian, pembiasaan good character, kesadaran dan tanggung jawab akan masa depan pribadi/diri sendiri yang mempengaruhi masa depan keluarga dan kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara, dll.- Bukan diskriminasi yang mengarah pada gerakan feminisme.- Perbedaan sesuatu yang dirayakan bersama sebagai unsur2 yg saling bersinergi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan bersama: orangtua, pendidik, bangsa dan negara.- Berkaitan erat dengan UU Anti-KDRT. Jika perempuan terus ditindas, bahkan di dalam rumah tangganya sendiri, bagaimana mungkin perempuan dapat bertugas/ berkiprah/ bertindak optimal untuk mendidik anak-anak, baik anak sendiri maupun anak-anak didik apabila ia seorang guru? Kendati lagi, waktu terus merambah, persaingan global semakin cepat dan menantang, anak tidak berhenti tumbuh dan berkembang, suatu waktu akan tiba ketika anak mulai lebih banyak mencurahkan porsi proses pendidikannya pada pemenuhan kognitif, belajar ilmu2 tinggi, yg bisa jadi sebagian besar diberikan oleh laki-laki, bapak2 yg menitikberatkan pada perkembangan kognitif.- Perempuan & laki2 lebih kepada pembagian peran, baik dalam pendidikan di dalam rumah tangga, maupun pendidikan secara luas, formal & informal. Karena baik dari segi struktur fisiologis dan psikologis serta kultural dan sejarah di dalam masyarakat kita, telah membentuk sebuah perbedaan laki2 dan perempuan, yang harus kita rayakan bersama-sama membentuk manusia-manusia berkualitas dlm diri anak2 kita sebagai proses pendidikan menuju masa depan cerah mengikuti kecerahan janji bangsa ini. Amin.-

Pendidikan dimulai dari rumah. Peran ibu sebagai objek kelekatan anak yang pertama terhadap proses pendidikan anak tentulah tidak kecil. Sebagai perempuan, tentunya ibu harus tidak hanya memberikan pelajaran, namun pendidikan kasih sayang, penanaman afeksi, unsur penting bagi rasa nyaman dan aman bagi anak, karena merasa dicintai. Bagaimana mungkin ibu dapat menanam benih cinta pada anak apabila dia sendiri mengalami kekerasan dalam rumah tangga.***