Friday, October 28, 2011

#124 - Boneka & Aku (Mungkin Juga Kamu atau Anakmu :-))

by @RinnyLaPrincesa

Waktu aku masih kecil, aku hanya punya satu boneka, satu-satunya. Itu pun kumiliki lamaaaa setelah hampir semua teman-temanku punya berlusin koleksi boneka.
Waktu itu ibuku bilang:
"Untuk apa boneka? Bermain boneka, apalagi punya banyak boneka, tidak akan membuatmu pintar."

Tapi aku tahu, ibuku mengamati seluruh gerak-gerikku, termasuk ketika aku bermain dengan "boneka-bonekaku" sebelum ibu membelikannya untukku dan adikku.

Ibuku berlangganan majalah wanita, yang ada sisipan rubrik untuk anak-anak. Sekitar sepuluh lembar rubrik anak-anak itu adalah jatahku. Aku boleh melepaskan rubrik di tengah-tengah itu dari induk majalahnya, kapan saja aku mau. Ibuku tidak pernah melarang. Apalagi ibu tahu aku sudah bisa melahap isinya atas inisiatifku sendiri belajar mengenal dan merangkai huruf saat usiaku belum empat tahun. Bagi ibu dan ayahku, tindakanku itu adalah karunia Tuhan. Akulah satu-satunya anak berusia 4 tahun yang sudah mampu membaca dan memahami makna tulisan, di seantero kota kecil tempat kami tinggal.

Kedua orangtuaku tidak pernah dengan sengaja mengarahkan aku untuk belajar membaca. Apalagi di usia yang sangat dini. Mereka memberi contoh dengan bacaan masing-masing di tangan mereka, setiap pagi. Dan aku, tidak senang pada keasyikan mereka itu *manyun*. Maka diam-diam aku mencari cara agar aku bisa asyik seperti mereka, bisa memahami tulisan-tulisan di surat kabar, majalah, buku-buku, bahkan partitur nyanyian.

Dalam waktu singkat aku sudah memiliki keasyikan itu. Ayah dan ibuku memilah bagian-bagian tertentu yang tidak boleh aku baca. Tapi aku, ssssssttttt...aku mengambilnya ketika mereka tidak melihatku. Lalu... Braaakk!!! Malas ah! Aku tidak paham isinya. Jadi waktu itu aku pikir, mereka memang tidak mau aku terlalu lelah membaca hal-hal yang belum mampu kucerna.

Kembali ke persoalan boneka. Pada suatu waktu, rubrik anak-anak di majalah wanita ibuku, menyisipkan bonus pola 'orang-orangan' yang dilengkapi pola beberapa model pakaian. Secara bersambung dalam beberapa edisi, rubrik anak-anak menyisipkan pola-pola tambahan berbagai jenis pakaian. Tapi pola 'orang-orangan' hanya disediakan satu saja.

Aku menggunting pola 'orang-orangan', kutempelkan di selembar kertas tebal, lalu kugunting lagi mengikuti polanya. Jadilah aku memiliki 'boneka' perempuan telanjang, dua dimensi. Pada setiap terbitan, aku sangat menantikan edisi-edisi majalah itu, karena pola pakaian-pakaian untuk 'boneka'ku selalu menakjubkan. Tubuhku bergetar menantikan setiap pola baru. Pola-pola itu kugunting, dan dengan mudah disampirkan ke tubuh 'boneka'ku dengan melipat keliman di bahu dan beberapa tempat lain sesuai model pakaiannya.

Aku paling senang pada model pakaian ala cowboy. Hem kotak-kotak dan celana panjang. Bonekaku tampak gagah betul saat dipakaikan model baju itu. Aku memodifikasi sedikit mode rambutnya, kugambari dengan pinsil warna, he he he... Pita rambut yang disediakan, tidak pernah kutempel di kepala bonekaku.

Memiliki boneka hasil rakitan sendiri itu membuatku asyik dengan kisah-kisah di kepalaku. Sebut saja namanya Poppy.
Jika hari ini si poppy jadi guru, aku 'memainkan' dia sebagai guru yang 'funky', yang selalu mengajak murid-murid ke luar kelas, jalan-jalan di sekeliling sekolah, di kebun jeruk dan melompati pagar sekolah ke toko roti, ha ha ha...
Besoknya poppy jadi kakak (aku tidak punya kakak, tampaknya aku rindu memiliki kakak, waktu itu), ia adalah kakak yang sangat mencintai adiknya. Membantu adiknya bikin layang-layang, menerbangkannya, menggunting bayang-bayang (wayang kertas untuk diadu), sampai membuatkan roti mentega dan kopi susu (sejak kecil aku suka sekali minum kopi, sampai sekarang :-)).

Kali lain poppy jadi jagoan. Berantem dengan anak laki-laki tengik yang suka mengganggu anak-anak perempuan setiap kali lewat di ujung jalan dekat rumah anak laki-laki itu. Belakangan aku bisa berdamai dan malah jadi teman main buat anak laki-laki pengacau itu yang ternyata memang tidak punya teman.

Ibuku selalu mengamati tingkahlakuku dari kejauhan. Aku tidak mengizinkan ibuku dekat-dekat denganku saat aku bermain dengan poppy. Tapi karena aku bercerita komat-kamit sesuai skenario untuk poppy yang ada di kepalaku, tentu saja ibuku bisa mendengarkannya. Meski ibuku pura-pura tidak melihat. Jadi ibuku tahu apa yang terjadi padaku. Ibu tentu tidak melihat poppy sebagai boneka mainan semata, ia pasti mencatat proses demi proses mulai poppy terwujud, hingga cerita-cerita yang kumainkan.

Pada saat aku benar-benar memiliki boneka plastik cukup besar, tangan dan kakinya bisa digerak-gerakkan karena ada persendian. Juga berambut yang bisa disisir, punya baju-baju dari kain yang bisa dipakaikan, justru aku kebingungan memainkannya. Ha ha ha hah! Diapakan sih boneka ini? Digendong-gendong saja? Ah! Manja betul! Rambut disisir? Huh! Aku saja bisa menyisir rambutku sendiri yang panjang terurai. Meski malas kulakukan, sampai sekarang. Ha ha ha hah.

Itulah kisah aku dan boneka pada rentang masa 1973-1978.

Memiliki boneka-boneka yang banyaaaakkk hanya untuk koleksi, memang tidak membuat anak pandai. Alih-alih malah konsumtif. Jika anak bisa memainkannya dengan berbagai skenario sosial dan berisi nilai-nilai hubungan antar manusia yang membangun pribadinya, itu baru lebih baik.
Daripada banyak boneka, mending punya banyak buku yang dibaca. Betul, tidak?

"Salam Semangat Soempah Pemoeda!"
*ngga ada hubungannya ya? He he he... Ada dong, semangat membara!*

::Semangat cinta untuk *hai MLKPT* ;-)

•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••

No comments:

Posts Archive


PEREMPUAN = SRIKANDI ?

Kenapa PEREMPUAN PEJUANG sering disebut SRIKANDI.
APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?
Kutelusuri WIKIPEDIA, kutemukan entri SRIKANDI ini

Srikandi (Sanskerta: Śikhaṇḍī) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata vrsi India.
Arti nama
Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".
Srikandi dalam Mahabharata
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Perang di Kurukshetra
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Srikandi dalam Pewayangan Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

JADI, APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?

*********

PEREMPUAN DAN PENDIDIKAN
Rinny Soegiyoharto (catatan tak selesai pada april 2006)

Ragam aktivitas ke-Kartini-an sebagai simbol emansipasi kaum perempuan seperti sebuah rutinitas lebih bergaung pada bulan April mendekati hari keduapuluhsatu. Ditandai aneka lomba dan berbagai atribut keperempuanan yang adakalanya malah tampak sekadar wujud lahiriah dan kasat mata. Sebut saja lomba berkebaya, lomba masak, lomba pasang dasi, lomba merias wajah, dan sebagainya.

*** *** *** *** ***

-DRAFT--Wanita. Meski berpadan dengan perempuan, namun kata dasar “empu” pada perempuan terasa lebih nyaman dan membanggakan, oleh sebab itu saya suka menggunakan kata “perempuan”, termasuk dalam menamai blog saya.-
Perempuan, sadar soal pentingnya pendidikan terhadap anak-anak, karena di "dalam" perempuan terdapat beban psikologis memperjuangkan dirinya sendiri, terus-menerus. Utamanya dalam hal pendidikan (sudah diterobos Kartini). Guru TK-SD bahkan SMP kebanyakan perempuan. Bapak-bapak lebih banyak muncul dan berperan pada tingkat pendidikan lanjutan atas (SMA), dimana pendidikan dasar telah ditanamkan lebih dahulu oleh ibu-ibu guru. Mengapa? Sekali lagi karena perempuan secara lahiriah dan kodrati justru memikul tanggung jawab pendidikan itu sendiri yang dimulai pada dirinya sendiri. Maka, bapak-bapak guru lebih kepada transfer of knowledge, ketimbang hal-hal mendasar yang lebih berhubungan dengan pembangunan karakter, penanaman proses belajar dan pengertian-pengertian dasar untuk dan selama manusia menempuh proses pendidikan.- Pendidikan: mencakup attitude/sikap, yakni kognitif, afektif dan perilaku. Pengembangan kepribadian, pembiasaan good character, kesadaran dan tanggung jawab akan masa depan pribadi/diri sendiri yang mempengaruhi masa depan keluarga dan kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara, dll.- Bukan diskriminasi yang mengarah pada gerakan feminisme.- Perbedaan sesuatu yang dirayakan bersama sebagai unsur2 yg saling bersinergi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan bersama: orangtua, pendidik, bangsa dan negara.- Berkaitan erat dengan UU Anti-KDRT. Jika perempuan terus ditindas, bahkan di dalam rumah tangganya sendiri, bagaimana mungkin perempuan dapat bertugas/ berkiprah/ bertindak optimal untuk mendidik anak-anak, baik anak sendiri maupun anak-anak didik apabila ia seorang guru? Kendati lagi, waktu terus merambah, persaingan global semakin cepat dan menantang, anak tidak berhenti tumbuh dan berkembang, suatu waktu akan tiba ketika anak mulai lebih banyak mencurahkan porsi proses pendidikannya pada pemenuhan kognitif, belajar ilmu2 tinggi, yg bisa jadi sebagian besar diberikan oleh laki-laki, bapak2 yg menitikberatkan pada perkembangan kognitif.- Perempuan & laki2 lebih kepada pembagian peran, baik dalam pendidikan di dalam rumah tangga, maupun pendidikan secara luas, formal & informal. Karena baik dari segi struktur fisiologis dan psikologis serta kultural dan sejarah di dalam masyarakat kita, telah membentuk sebuah perbedaan laki2 dan perempuan, yang harus kita rayakan bersama-sama membentuk manusia-manusia berkualitas dlm diri anak2 kita sebagai proses pendidikan menuju masa depan cerah mengikuti kecerahan janji bangsa ini. Amin.-

Pendidikan dimulai dari rumah. Peran ibu sebagai objek kelekatan anak yang pertama terhadap proses pendidikan anak tentulah tidak kecil. Sebagai perempuan, tentunya ibu harus tidak hanya memberikan pelajaran, namun pendidikan kasih sayang, penanaman afeksi, unsur penting bagi rasa nyaman dan aman bagi anak, karena merasa dicintai. Bagaimana mungkin ibu dapat menanam benih cinta pada anak apabila dia sendiri mengalami kekerasan dalam rumah tangga.***