Waktu aku masih kecil, aku hanya punya satu boneka, satu-satunya. Itu pun kumiliki lamaaaa setelah hampir semua teman-temanku punya berlusin koleksi boneka.
Waktu itu ibuku bilang:
"Untuk apa boneka? Bermain boneka, apalagi punya banyak boneka, tidak akan membuatmu pintar."
Tapi aku tahu, ibuku mengamati seluruh gerak-gerikku, termasuk ketika aku bermain dengan "boneka-bonekaku" sebelum ibu membelikannya untukku dan adikku.
Ibuku berlangganan majalah wanita, yang ada sisipan rubrik untuk anak-anak. Sekitar sepuluh lembar rubrik anak-anak itu adalah jatahku. Aku boleh melepaskan rubrik di tengah-tengah itu dari induk majalahnya, kapan saja aku mau. Ibuku tidak pernah melarang. Apalagi ibu tahu aku sudah bisa melahap isinya atas inisiatifku sendiri belajar mengenal dan merangkai huruf saat usiaku belum empat tahun. Bagi ibu dan ayahku, tindakanku itu adalah karunia Tuhan. Akulah satu-satunya anak berusia 4 tahun yang sudah mampu membaca dan memahami makna tulisan, di seantero kota kecil tempat kami tinggal.
Kedua orangtuaku tidak pernah dengan sengaja mengarahkan aku untuk belajar membaca. Apalagi di usia yang sangat dini. Mereka memberi contoh dengan bacaan masing-masing di tangan mereka, setiap pagi. Dan aku, tidak senang pada keasyikan mereka itu *manyun*. Maka diam-diam aku mencari cara agar aku bisa asyik seperti mereka, bisa memahami tulisan-tulisan di surat kabar, majalah, buku-buku, bahkan partitur nyanyian.
Dalam waktu singkat aku sudah memiliki keasyikan itu. Ayah dan ibuku memilah bagian-bagian tertentu yang tidak boleh aku baca. Tapi aku, ssssssttttt...aku mengambilnya ketika mereka tidak melihatku. Lalu... Braaakk!!! Malas ah! Aku tidak paham isinya. Jadi waktu itu aku pikir, mereka memang tidak mau aku terlalu lelah membaca hal-hal yang belum mampu kucerna.
Kembali ke persoalan boneka. Pada suatu waktu, rubrik anak-anak di majalah wanita ibuku, menyisipkan bonus pola 'orang-orangan' yang dilengkapi pola beberapa model pakaian. Secara bersambung dalam beberapa edisi, rubrik anak-anak menyisipkan pola-pola tambahan berbagai jenis pakaian. Tapi pola 'orang-orangan' hanya disediakan satu saja.
Aku menggunting pola 'orang-orangan', kutempelkan di selembar kertas tebal, lalu kugunting lagi mengikuti polanya. Jadilah aku memiliki 'boneka' perempuan telanjang, dua dimensi. Pada setiap terbitan, aku sangat menantikan edisi-edisi majalah itu, karena pola pakaian-pakaian untuk 'boneka'ku selalu menakjubkan. Tubuhku bergetar menantikan setiap pola baru. Pola-pola itu kugunting, dan dengan mudah disampirkan ke tubuh 'boneka'ku dengan melipat keliman di bahu dan beberapa tempat lain sesuai model pakaiannya.
Aku paling senang pada model pakaian ala cowboy. Hem kotak-kotak dan celana panjang. Bonekaku tampak gagah betul saat dipakaikan model baju itu. Aku memodifikasi sedikit mode rambutnya, kugambari dengan pinsil warna, he he he... Pita rambut yang disediakan, tidak pernah kutempel di kepala bonekaku.
Memiliki boneka hasil rakitan sendiri itu membuatku asyik dengan kisah-kisah di kepalaku. Sebut saja namanya Poppy.
Jika hari ini si poppy jadi guru, aku 'memainkan' dia sebagai guru yang 'funky', yang selalu mengajak murid-murid ke luar kelas, jalan-jalan di sekeliling sekolah, di kebun jeruk dan melompati pagar sekolah ke toko roti, ha ha ha...
Besoknya poppy jadi kakak (aku tidak punya kakak, tampaknya aku rindu memiliki kakak, waktu itu), ia adalah kakak yang sangat mencintai adiknya. Membantu adiknya bikin layang-layang, menerbangkannya, menggunting bayang-bayang (wayang kertas untuk diadu), sampai membuatkan roti mentega dan kopi susu (sejak kecil aku suka sekali minum kopi, sampai sekarang :-)).
Kali lain poppy jadi jagoan. Berantem dengan anak laki-laki tengik yang suka mengganggu anak-anak perempuan setiap kali lewat di ujung jalan dekat rumah anak laki-laki itu. Belakangan aku bisa berdamai dan malah jadi teman main buat anak laki-laki pengacau itu yang ternyata memang tidak punya teman.
Ibuku selalu mengamati tingkahlakuku dari kejauhan. Aku tidak mengizinkan ibuku dekat-dekat denganku saat aku bermain dengan poppy. Tapi karena aku bercerita komat-kamit sesuai skenario untuk poppy yang ada di kepalaku, tentu saja ibuku bisa mendengarkannya. Meski ibuku pura-pura tidak melihat. Jadi ibuku tahu apa yang terjadi padaku. Ibu tentu tidak melihat poppy sebagai boneka mainan semata, ia pasti mencatat proses demi proses mulai poppy terwujud, hingga cerita-cerita yang kumainkan.
Pada saat aku benar-benar memiliki boneka plastik cukup besar, tangan dan kakinya bisa digerak-gerakkan karena ada persendian. Juga berambut yang bisa disisir, punya baju-baju dari kain yang bisa dipakaikan, justru aku kebingungan memainkannya. Ha ha ha hah! Diapakan sih boneka ini? Digendong-gendong saja? Ah! Manja betul! Rambut disisir? Huh! Aku saja bisa menyisir rambutku sendiri yang panjang terurai. Meski malas kulakukan, sampai sekarang. Ha ha ha hah.
Itulah kisah aku dan boneka pada rentang masa 1973-1978.
Memiliki boneka-boneka yang banyaaaakkk hanya untuk koleksi, memang tidak membuat anak pandai. Alih-alih malah konsumtif. Jika anak bisa memainkannya dengan berbagai skenario sosial dan berisi nilai-nilai hubungan antar manusia yang membangun pribadinya, itu baru lebih baik.
Daripada banyak boneka, mending punya banyak buku yang dibaca. Betul, tidak?
"Salam Semangat Soempah Pemoeda!"
*ngga ada hubungannya ya? He he he... Ada dong, semangat membara!*
::Semangat cinta untuk *hai MLKPT* ;-)
•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••
No comments:
Post a Comment