Kemarin dan hari ini, perempuan itu tampak tegang. Gurat-gurat kewaspadaan kuat terukir di setiap sudut lekukan wajahnya. Tarikan nafas yang cepat, hembusan pendek yang keras, mempermainkan dadanya naik-turun. Ucapan-ucapan singkat tak tertata, dengan intonasi datar tinggi, mengejutkan telinga-telinga di sekelilingnya. Ia sadar, lalu memilih diam tanpa kata-kata, meski bibirnya komat-kamit.
Tak satu pun mempercayai cerita tak teratur yang sekuat daya disampaikannya. Ia yang biasa bertutur rapi, senantiasa menata diksi sistematik, tampaknya tak digubris sebagai petunjuk yang kuat. Perbedaan itu dipandang hanyalah bentuk revolusi negatif yang mengubahnya jadi makhluk aneh. Orang-orang mulai menganggapnya gila, bahkan orang-orang terdekatnya. Mata eksotik itu kering, tak ada setitik air pun menggenang di sana. Tak kan ada yang menduga tangisan teramat pilu dan spirit yang meradang sembab, telah menguasai seluruh jiwa perempuan itu.
Hujatan demi hujatan bagai badai katrina menghantam dinding-dinding di rongga otaknya. Setiap orang berlomba-lomba memamerkan keunggulan dan keberhasilan diri masing-masing. Menciptakan kondisi yang makin senjang, keterpurukan perempuan itu dirasainya sendiri.
Siapakah yang bisa merasakan gelombang-gelombang jiwa selain tubuh tempat jiwa itu berlabuh?
Apakah yang mengaku-ngaku dirinya ahli memetakan jiwa manusia dengan segudang ilmu, pengalaman dan proyek-proyek pengembangan, mampu mengulurkan empati sungguh-sungguh ternadapnya?
Bahkan golongan ini pun sibuk merambah tangga keilmuannya yang tinggi bercokol di wilayah ide. Tinggi sekali tangga-tangga itu sampai mereka tak bersedia turun kembali menemui realita, yang harusnya jadi tanggung jawab jubah-jubah hitam dengan topi-topi segi lima.
Apa gunanya ilmu, popularitas, bahkan kekayaan materi dan pengalaman itu jika hanya bisa meleceh, menghina, mengubur jiwa-jiwa yang jauh?
Sayang sekali kata-kata indah tak menyentuh realita hidup yang sesungguhnya di depan mata. Sayang sekali.
Perempuan itu memejamkan matanya, tetapi bukan tidur. Ia mencoba sejenak membutakan penglihatan mata, meski hati dan jiwanya tak kan pernah terpejam sedetik pun.
Gemuruh yang terlalu dahsyat melemparkan kepingan-kepingan raganya dalam ruang bawah sadar.
Ambillah sekarang, sesudah itu lampu grafik dan bunyi datar segera memanjang bergema di ruang kosong tak berpenghuni.
*tulisan ini adalah renungan refleksi dan introspeksi, dalam bahasa hati*
•••
best regards,
Rinny Soegiyoharto
•••
No comments:
Post a Comment