Thursday, December 31, 2009

Perempuan Berbisik 53: Tiga Puluh Satu Desember Dua Ribu Sembilan

"AH!"

hari ini
hari ke tigapuluh satu
bulan duabelas
tahun duaribu sembilan

saat ini
saya menyeruput kopi susu
menatap layar berkedip
berpikir

saat ini
saya coba mengais huruf-huruf
memilih kata demi kata
merangkai frasa

saat ini
saya masih saja mencoba
merenung-renung
menyeruput kopi sampai habis

saat ini
saya masih juga mengais-ngais
memilih-milih
kopi saya tinggal ampas

saat ini
saya iseng menekuri
lereng-lereng
pada ampas kopi di cangkir

saat ini
saya tersenyum
tidak ada apa-apa
ampas kopi bisa apa?

saat ini
saya tersedak ludah sendiri
bercampur sisa manis
gula dalam kopi susu

"Ah!"
kata-kata saya sebanyak apa pun...
tak kan mampu menandingi kasih luar biasa NYA...
sepanjang duaribu sembilan???
tidak hanya!!!
bahkan janji NYA sudah bersemai hangat terasa di hati
sebelum kumasuki duaribu sepuluh sebentar lagi...

"Terimakasih Duhai ENGKAU!!! yang tiada terukur menyemai kasih cinta MU!"

Mari dekap penuh ungkap syukur dan semangat dan harapan puncak menatap gerbang warsa...
Selamat Tahun Baru - Happy New Year - Slamat Tombaru Jo Dang - Sugeng Warso Enggal -

RS @ http://perempuan-bernama-rinny.blogspot.com/

Sunday, December 6, 2009

Perempuan Berbisik 52: Demos Cratein

Perempuan Berbisik 52: Demos Cratein

Tepatnya kapan untuk pertama kali saya mendengar tentang kedua kata itu? Pada usia sekolah, di bangku SD, saat mulai belajar kluster Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), lalu berlanjut dengan Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Saya yakin ketika itu saya hanya sebagai pem-beo, peng-hapal (mati), sekadar bisa melewati ulangan-ulangan dan ujian. Tidak lebih. Karena bukankah murid sekolah formal di negeri ini lebih banyak dicekoki hapalan? Lalu tekanan agar "bisa" mendapatkan "nilai" (ponten), bukannya tekanan agar "tahu" dan "paham"?

No matter. Sesungguhnya saya lebih berminat pada cerita-cerita anak di majalah "Koentjoeng", "Bimba" (yang ketika itu masih sebagai selipan di majalah ibu-ibu), dan head-line surat kabar yang tidak saya pahami maknanya. Khusus yang terakhir, adalah upaya saya supaya dapat mengobrol dengan ayah saya, seolah-olah saya mengerti yang sedang dibacanya, padahal saya hanya menyebutkan judul besar-besar yang terpampang. Di sekolah, saya lebih suka mata pelajaran Aljabar dan Ilmu Ukur, Ilmu Alam (Fisika, bukan Biologi), dan Bahasa Indonesia.

Minat saya yang lain adalah membaca puisi, memanjat pohon, bermain perang-perangan, menjadi komentator sepak-bola untuk teman-teman laki-laki (yang sebenarnya tidak suka saya ikut-ikutan di club bola kaki kampung itu karena saya perempuan), jalan-jalan dan naik sepeda. Saya tidak bermain boneka. Tapi saya bermain dampu, engklek (dende), gundu dan kasti. Saya memiliki beberapa kelompok bermain yang terdiri atas anak perempuan dan laki-laki.

Halah! Lalu apa hubungannya dongeng tentang saya itu dengan "demos" dan "cratein"?

Begini. Meskipun tidak ingat lagi peristiwa di sekolah ketika pertama kali mendapatkan istilah "bagus" itu, namun saya ingat "permainan" yang kami (saya dan teman-teman di kampung) kembangkan terkait isu demos dan cratein ini. Tentu saja tidak hanya saya seorang yang mendapatkan pelajaran tersebut di sekolah. Semua teman-teman saya juga. Namun saya lah yang mula-mula menggunakan istilah tersebut di kelompok bermain kami.

Saya anggap sebagai istilah yang lucu dan aneh, karena berirama sama dengan suatu istilah untuk menyebutkan anak yang jorok (slordeh), yakni: "keremos". Mungkin istilah ini lebih dikenal dan dipergunakan oleh masyarakat yang mukim di wilayah utara dan tengah Sulawesi.

Jadi, ketika saya dan teman-teman berkumpul, lalu di dalam kelompok itu ada anak keremos sebagai bagian atau anggota, maka kami akan menyebutnya "demoscratein". Hahaha... Keterlaluan saya ini.

Apapun kegiatan kami, permainan apapun yang kami lakukan saat itu, selalu saja ada anak (teman) yang "demoscratein". Karena tidak semua anak-anak sudah mampu membenahi dirinya sendiri, bukan? Misalnya memilih pakaian bermain yang bersih, atau membersihkan mulut dan wajah dari sisa makanan, atau membersihkan hidung yang berleleran ingus, ataupun memakai topi dan atribut permainan yang tepat (sesuai kesepakatan hasil musyawarah kelompok saat itu).

Namun, jika diingat-ingat, saya juga heran, betapa anak-anak yang datang berkumpul (di sebuah kebun atau di halaman rumah seseorang), tidak terbersit pikiran untuk mendiskreditkan anak/teman yang demoscratein. Ia atau mereka (tak jarang lebih dari satu yang seperti itu) tetap boleh ikut bermain, mendapatkan peran dalam permainan, meski ia/mereka tetap saja dijuluki demoscratein, namanya sendiri jarang disebut.

Lalu, bagaimanakah respon teman si demoscratein itu? Tentu saja ia atau mereka segera membenahi diri semampunya; cepat-cepat menyeka mulut dan hidung dengan lengan baju, atau pada pertemuan berikut sudah lebih bebenah tampil dengan pakaian yang lumayan bersih. Permainan tetap berlangsung dalam keceriaan anak-anak.

Itulah dukungan kelompok, menurut saya (sekarang). Pada masa itu terjadi di dalam kelompok anak-anak yang belajar berperan sesuai bagiannya. Jelas, tetap ada konformitas. Setiap anak berusaha menyesuaikan diri agar diterima oleh kelompok bermainnya. Namun kelompok selalu bisa menemukan jenis permainan yang melibatkan semua anggota. Peran masing-masing diatur bersama, disepakati dan dilaksanakan, sampai kemudian orangtua sebagian anak mulai memanggil anaknya untuk pulang.

Demos dan Cratein, bahasa Yunani Kuno yang berarti Rakyat dan Pemerintahan. Demikian kalau tidak salah. Demoscratein (demokrasi), berarti pemerintahan yang berasal dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Kalau tidak salah juga.
Lha?!? Demoscratein yang dipergunakan dan dikembangkan secara sembarang dalam kelompok bermain anak-anak di atas itu, kok dalam keutuhan perguliran aktivitasnya, hampir-hampir mirip dengan demokrasi?

Bayangkan. Anak-anak itu berkelompok sebagai suatu kelompok rakyat. Menata peraturan berdasarkan kesepakatan bersama. Toleran dan tetap menerima anggota yang agak "di luar jalur", bahkan mengembangkannya sehingga menjadi lebih baik (dapat membenahi diri). Setiap anggota patuh dan "nrimo". Ketidak-sukaan yang suatu saat muncul di dalam hati (mungkin merasa diberi peran yang kurang pas), dapat ditutupi dengan kegembiraan dan sukacita yang diperoleh dari kelompok tersebut secara utuh. Tujuannya adalah bermain dengan lancar dari awal hingga akhir. Sukacita kelompok adalah juga sukacitaku.

Yang penting senang dan bisa bermain, menerima dan menghayati perannya meski hanya sebagai penunggu bola kasti yang melesat terlalu jauh, misalnya. Patuh pada aturan main, melakukan peran dan bagian masing-masing sebaik-baiknya. Sepakat dan menerima, berbagi dan saling mendukung, bahkan mengembangkan yang masih kurang. Semua adalah pemimpin pada perannya. Bahkan bagi si "demoscratein".

Salam buat "demos" dan "cratein", dalam cinta tanah air pusaka.

*RS* @ http://perempuan-bernama-rinny.blogspot.com/

Wednesday, November 25, 2009

Perempuan Berbisik 51: MENANGIS *

*
Adakalanya saya lupa untuk menangis, meski sekadar membasuh mata dari jutaan partikel yang tak pernah dapat dihambat. Tidak hanya lupa, namun nyaris tanpa ide, tanpa inisiatif. Menangis? Haruskah saya?

Saat sempat mundur bertahap-tahap pada garis waktu, sesuatu menarik saya begitu kuat. Rekaman yang belum juga pupus tertelan teknologi lapisan zaman. Suatu waktu ketika saya sangat takut pada air mata. Bukan itu saja, melainkan juga muak & mual pada tangisan. Haruskah saya menangis hanya karena deraan?

Deraan tak semata sakit, tidak melulu derita. Deraan adalah juga haru saat perasaan tak tertentukan tak terbahasakan. Deraan adalah juga resonansi rasa melalui peristiwa yang dialami sesama. Deraan adalah juga sukacita yang terekspresikan.

Namun ketika itu saya tak mampu, tak boleh, tak terampuni, tak ada tangis. Menangis adalah kamu, bukan saya. Menangis tak memiliki tempat dalam kamus saya, bahkan tak selintas-pikir meminjam kamus lain. Menangis adalah petaka, akhir dari akhir.

Maka menangis pun menjadi silabus khusus. Ketika hati saya tertawa melihat air mata, sadarlah saya bahwa modul itu harus saya ambil. Tidak ada yang menjualnya, tidak ada sekolah atau lembaga pendidikan yang membuka registrasi. Terpaksa saya harus membuatnya.

Saya telah lama lulus dari sana, mengantongi air mata yang sudah dapat merebak. Meski mungkin nilai saya tak sebaik sahabat-sahabat semua. Saya punya cetak tebal tentang menangis; bahwa ia bukan barang salah, bukan barang cacat, bukan hal yang berjenis kelamin. Ia bebas jender, ia bukan milik kaum lemah, bukan juga kaum kuat.

Menangis, sebuah kegiatan yang tepat pada saat yang tepat. Ia dapat menjadi ekspresi dan pelepasan. Ia mampu membasuh mata, membasuh hati, membasuh jiwa. Menangis, suatu ketika mengangkat spirit ke atas dan naik.

Menangislah, dengan lutut bertelut, tubuh bersimpuh, hati menengadah & kepala menangkup. Menangislah dalam seruan pasrah, jiwa berserah. Menangislah dalam sujudmu menghadap Sang Khalik Sang Maha Kasih. Menangislah karena saya, kamu, kita, milikNYA.***

RS@ http://perempuan-bernama-rinny.blogspot.com/

Wednesday, November 18, 2009

Perempuan Berbisik 50: Bakusedu Sadiki

So nyanda sadap kwa kita da rasa ni ta pe badang... Nyintau kiapa lei... Dapa rasa rupa so abis tu energi for bakerja. Noh bole jo noh kita pe salah dang ini dia, dari ada brapa malang stow kita nyanda ba tidor butul, dari napa tu karja pe banya nya' lei abis-abis dang kamari.

Daripada lei mo rasa-rasa tu saki, hele lei so nimbole ba tarek nafas, rupa tu batu da tindis akang dang ta pe dada ni dia (odooo mateh kasiang e keke... hahaha... dapa inga kamari lei pa ta pe Oma Ringin...)
Lebe bae dang mari jo torang bakusedu lei sadiki neh... Ada ta pe tamang da kirim kwa tu joke, dong bilang dang manado be bakusedu, hehehe...

Marrrrreeee jjjoooo daaannnggg.... tatawa neeehhh ;-)


Baku Piara

KEKE : "Utu tempo apa dang ngana mo kaweng pa kita, so malo kita orang lia lia so ba tinggal deng ngana? Bulan Oktober jo neh !"
UTU : "Oh ... nemboleh no! soalnya kita ada banya urusan dikantor bulan Oktober"
KEKE : "Kalo bagitu November jo dang."
UTU : "Adoh... kasiang jo pa ngana..... November kita mo ada pelantikan kenaikan pangkat"
KEKE : "Oh kalo bagitu Desember jo neh... biar rame"
UTU : "December kua talalo rame karna hari Natal, sabar jo... nanti January taong datang"
KEKE : "Oh... jangan January bahaya... ngana mo geger otak..."
UTU : "Dari mana ngana tahu... tukang ramal so ngana?"
KEKE : "Kita bukan tukang ramal... maar kalo so' bulan January kita mo beking picah deng botol ngana pe kapala..."
UTU : "!!/$@#?!!!"


Brapa Liter

Suatu waktu, Kale pigi pa Oom Petu pe warong. Pas sampe dimuka warong.
Kale : “Oom Petu, bli roko dang…?”
Oom Petu : (acuh sambil ba ator jualan)
Kale : (deng suara yang sadiki keras) “Oom Petu…bli roko dang ?”
Oom Petu : (masih tetap acuh)
Kale : (bataria keras skali) “Oom petu….! Bli roko dang…!”
Oom Petu : (deng nada marah) “Eh..Kale, baku hormat sadiki deng orang tua, ngana pe kira kita pongo ? Brapa liter minya so ngana mo bli ?”
Kale : ???


Tanta Ola Beli Kacamata

Tanta Ola so rasa stress, lantaran, dia kalu lia orang so sadiki babayang.
Lantaran dia pikir depe mata so rusak, dia pigi di toko kaca mata.
Pelayan : “Siang tante, ada yang boleh kita bantu?”
Tanta Ola : “Kita pe mata so rusak ini noh…cari akang kacamata yang pas dang?”
Pelayan : “Tante so pernah pake kacamata?”
Tanta Ola : “Ohh..blum….”
Pelayan : “Kalu bagitu torang priksa dulu tante pe mata. Mari tante, torang ke tampa priksa.”
Pelayan : “Tante, ini huruf apa ?” (sambil tunjung tu huruf yang sadiki basar )
Tanta Ola : “Nyanda jelas noh…”
Pelayan : “Kalu huruf ini dang?” (Sambil tunjung tu huruf yang lebeh basar)
Tanta Ola : “Masih nyanda jelas noh…”
Pelayan : “Ini komaling tanta huruf yang paling besar yang ada disini. Sekarang tanta bilang, ini huruf apa?” (sambil tunjung huruf yang depe basar
rupa piring )
Tanta Ola : “Sama noh…masih nyanda jelas”
Pelayan : (sambil garo-garo kapala lantaran bingo) “Kiapa dari tadi nyanda jelas dang tanta?”
Tanta Ola : “Kita kwa nintau babaca, ngana kase tunjung huruf. Mana kita mo tau?”


(masi ada lei, maar baku sambung jo neh...daaaggg)

Friday, October 30, 2009

Perempuan Berbisik 49: Tipe Perempuan Bercinta

TIPE-TIPE PEREMPUAN DALAM BERCINTA

Tipe ISTERI
Setia dan terus berusaha menjaga cinta suami terhadapnya. Sebelum menikah ia ingin segera menikah dan menjadi perempuan satu-satunya dan utama bagi suami. Berbagai upaya dilakukan demi tetap dicintai suami, bahkan apabila harus merasa sakit dan menderita. Meninggalkan pekerjaan, mengurangi bahkan meniadakan aktivitas bersama sahabat-sahabat, menghadiri pertemuan-pertemuan bersama suami, menuruti kehendak suami, selalu meminta izin suami untuk seluruh aktivitasnya. Ia bahkan lebih memperhatikan kebutuhan suami daripada anak-anaknya. Perempuan tipe ini telah melupakan identitas lamanya sebagai pribadi, berganti dengan identitas baru sebagai bayang-bayang suami, menyandang nama suami dengan “nyonya” adalah kebutuhan dan kebanggaannya.

Tipe IBU
Mencintai suami sama dengan mencintai anak-anaknya, namun dalam situasi memilih antara kebutuhan suami dan anak, ia cenderung mendahulukan anak-anak. Termasuk apabila harus berpisah ranjang dengan suami dan menemani anak-anak yang tidak ingin berpisah dengan ibu. Penampilan luar bukan hal utama baginya, asalkan seluruh urusan area domestic ditangani dengan baik dan memberinya perasaan puas. Tempat yang paling penting baginya adalah rumah beserta segala isinya, meski hal itu belum tentu membuatnya nyaman dan bahagia. Begitu ia memutuskan menikah dan memiliki anak, komitmennya terbangun dengan kuat untuk mengabdi sebagai ibu dan pengurus rumah-tangga. Undangan untuk berkumpul dengan sahabat-sahabat lama sering ditolak dengan alasan anak-anak dan suami.

Tipe KEKASIH
Menikah atau belum bukan hal yang terlalu penting baginya, meski sesungguhnya di lubuk terdalam ia ingin menikah, yakni menjadi kekasih bagi pasangan di dalam lembaga yang diakui. Ia cenderung memilih pasangan yang dapat mengimbangi ungkapan-ungkapan cintanya. Ia tetap menjadi dirinya sendiri, serta memiliki lingkungan pergaulan lain dan pekerjaan yang disukainya. Ia adalah perempuan yang memahami gairah, kebutuhan dirinya sendiri dan kebutuhan pasangan. Memberi dan menerima merupakan prinsip hubungan percintaannya, sehingga ia selalu dapat memberikan perhatian terhadap pasangan dan sebaliknya mampu menarik perhatian pasangannya. Hampir-hampir tak ada istilah “gengsi” di dalam kamus percintaannya apabila ia memang ingin menunjukkan perhatian sekaligus kemanjaannya terhadap sang kekasih. Ia dapat saja menjadi kekasih bagi orang lain apabila pasangannya dinilai tidak mampu mengimbangi gairah cintanya.

Tipe TERKASIH
Ia adalah perempuan yang dapat dicintai oleh banyak orang, karena ia melakukan hal yang sama. Pasangan dan sahabat sama penting baginya, meski bentuk aksi dan reaksi cinta yang diberikan kepada pasangan berbeda dengan yang diberikan kepada sahabat. Semua orang adalah sahabatnya, ia mampu menunjukkan perhatian dan cintanya kepada hampir semua orang yang dikenalnya. Ia tetap menjadi dirinya sendiri, memiliki dan menjalani pekerjaan yang dicintai, serta menata kehidupannya secara harmonis dalam suatu orkestra cinta. Apabila ia pernah memiliki beberapa kekasih dalam periode yang berbeda-beda, semua kekasihnya tetap mencintainya meski mereka tidak bersatu. Pasangan-pasangan dari perempuan tipe ini sebagian besar merasa sangat beruntung pernah menjadi yang terdekat dalam kehidupan cintanya. Ia seringkali sangat dicintai banyak orang termasuk banyak kekasih, namun “tidak boleh” dimiliki oleh siapapun.

Tipe ISTERI-IBU-KEKASIH-TERKASIH
Betapa hebatnya perempuan dan lingkungan perempuan yang dapat membangun dan memelihara hidup dan cintanya dalam kombinasi sesempurna ini.
Tantangannya: lakukanlah selagi kau dapat, wahai seluruh perempuan! Lakukan untuk kebahagiaan dan tujuan hidupmu sendiri yang sudah di-misikan dari SANA, bukan untuk orang lain, dengan demikian sesungguhnya perempuan sudah melakukannya bagi seluruh aspek kehidupan yang menyentuh semua makhluk.

RS @ own blog http://perempuan-bernama-rinny.blogspot.com/

Tuesday, October 20, 2009

Perempuan Berbisik 48: L-O-V-E

(dari ketinggian tertentu)

Beberapa waktu lalu, saya memutuskan untuk mencintai seseorang yang telah saya kenal. Pertimbangan saya semata-mata bahwa saya belum pernah memberikan kesempatan pada hati saya untuk mencintainya sebagaimana bentuk-bentuk gambaran tentang cinta yang saya miliki. Dalam hal ini saya tidak peduli apakah ia tahu, atau ia merasakannya, atau bahkan memiliki perasaan cinta yang sama dengan saya. Intinya, saya hanya ingin mencintainya dan disetujui hati saya. Tanpa paksaan tanpa tekanan.

Tiba-tiba seseorang yang lain berkelebat di ruang benak saya. Ia hadir sungguh sekonyong-konyong, membawa sinyal cinta (tanpa sepengetahuannya) dan memaksa hati saya untuk setuju bahwa saya mencintainya. Lalu saya memaksa hati saya lebih keras untuk mengirimkan kabar terbaik kepadanya, yakni bisikan-bisikan cinta tanpa kata. Saya tetap tidak peduli apakah ia tahu, atau merasakannya, atau bahkan memiliki perasaan cinta melebihi yang ada pada saya. Pokoknya, saya hanya ingin mencintainya dan disetujui hati saya. Dipaksa oleh hati namun rela.

Saat merenung dalam keheningan doa, saya mendapati sebuah hati terbungkus wajah yang saya kenal. Ya, saya mencintainya. Membayangkan dekapan erat tanpa kata yang sempat teralami, melambungkan saya pada kehangatan cinta yang tak kan mungkin menjadi dingin. Saya masih saja tidak peduli apakah ia tahu, atau merasakannya, bahkan juga mencintai saya dalam kenangan-kenangan terbarui yang tak pupus. Sejatinya, saya hanya ingin mencintainya dan disetujui hati saya. Tanpa bertatap tanpa berpagut.

Sepenggal syair menghentak dalam frekuensi berirama, meleburkan sumbat aliran mikrokosmik yang mengitari tubuh. Sesosok bayangan menyelinap di balik lensa mata yang tak terselami ruang dan waktu. Benar, saya mencintainya. Betapa kuatnya cinta itu bergeletar dan menggemparkan jiwa saya, sampai-sampai saya lupa bernafas dan tersedak. Bibir saya mengucapkan kata-kata cinta penuh emosi, namun lembut dan menyesap. Saya lagi-lagi tidak peduli apakah ia tahu, atau merasakannya, bahkan juga mencintai saya sama dengan cinta saya atau lebih. Sejelasnya, saya hanya ingin mencintainya dan disetujui hati saya. Penuh emosi tapi tetap lembut.

Maka otak sadar saya pun mulai berhitung, menjumlah dan terus menjumlah. Semakin banyak dan bertambah tak henti, tiada ada satu pun berkurang. Saya mencintai semuanya dengan cara yang berbeda. Namun semua itu cinta, hati saya menyetujuinya, batin saya berseru yakin. Tidak satu pun kesalahan ada di sana.

Saya menyerang ungkapan-ungkapan banyak ahli mengenai cinta dan pengukuhan. Saya katakan saat ini di sini, CINTA TIDAK DIKUKUHKAN. Stop mencoba mengukuhkan cinta, karena tak ’kan berjalan dengan baik. Stop mencoba mengukuhkan cinta, percayalah pada saya.
Bahkan dalam perkawinan yang disepakati sebagai lembaga, cinta tidak dikukuhkan di sana. Sebab lembaga mengukuhkan komitmen. Temukan, apakah cinta juga dikukuhkan dalam lembaga itu? Jika ada, bawa kemari.

Bunda Teresa yang agung dalam sinar cintanya, berkata:
”Cinta tidak mempunyai arti jika tidak dibagikan. Cinta harus diwujudkan. Anda harus mencintai tanpa berharap apapun, lakukan segala sesuatu untuk cinta itu sendiri, tidak untuk sesuatu yang mungkin akan anda terima. Jika anda berharap sesuatu sebagai balasan, maka ini bukan cinta, karena cinta sejati adalah mencintai tanpa mengharapkan sesuatu.”

Kutipan singkat dari Sang Bunda penuh cinta menutup tulisan ini,
”Setiap tindakan cinta merupakan doa.”

RS @ http://perempuan-bernama-rinny.blogspot.com/

Saturday, September 19, 2009

Perempuan Berbisik 47: IED MUBARROK

1 Syawal 1430 Hijriah, di Indonesia telah diputuskan oleh government-nya dan pihak-pihak ahli, yakni berjalan seiring 20 September 2009 Masehi.

Menurut saya luar biasa, karena pada hari tersebut ada lebih banyak orang beribadah secara berjama'ah. Sholat Ied dan Ibadah/Kebaktian Minggu. Setidaknya dua bentuk itu yang saya tahu. Bukan kebetulan apabila akan ada banyak orang yang mengucap syukur atas hikmat dan anugerahNYA, memohon penyertaan Illahi atas seluruh umat manusia yang dikasihiNYA, seraya memohonkan ampunan bagi saudara-saudara yang tak sempat menyelesaikan Ramadhan kali ini karena ideologinya yang (sering disebut-sebut sebagai) radikal dan yang telah menghilangkan banyak jiwa pada masa-masa terdahulu.

Apapun...
Manusia memang tiada pernah lepas dari salah, khilaf dan dosa. Hanya karena kasih Allah saja manusia dapat menjadi baik, lebih baik, dan makin baik...

Minal aidin wal faidzin.

RS on her ownblog http://perempuan-bernama-rinny.blogspot.com/

Tuesday, August 25, 2009

Perempuan Berbisik 46: SIAPA [YANG] MALING

SIAPA MALING

Siapa yang maling, malingnya siapa, maling apa, mana malingnya, apa itu maling?
"Jangan pura-pura, deh, kamu maling, maling-sial!"

Gue inget nih ye, waktu itu gue masih kecil, kali SD gitu, kelas 1 deh, kecil bener kan? Masih tahun sembilan-belasan dan tujuh-puluh lebih dikit gitu deh...
Di kota kecil, kabupaten gitu, di Sulawesi Tengah deh...

Waktu itu, di tempat itu, kali jauh bener dari ibukota ya, jadi baru masuk tuh barang lucu buat anak sekolahan. Barangnya tuh "setip" alias karet penghapus, yang warnanya dominan putih, tapi di atasnya ada setrip hijo (hijau), yang kalo dipake nyetip tuh yang hijo bisa lebih bersihin bekas warna pinsil di kertas, daripada yang putih. Padahal yang putihnya besaaaaarrr, yang hijo cuma keciiiilll banget. Tapi, yang putih punya kelebihan dan bikin kita nih, yang punya setip merasa banggaaaa banget deh. Karena di atas satu permukaan bagian putih itu ada inisial nama kita. Misalnya punya gue waktu itu ada huruf "R" besar warna merah dan ada bunga kecil di tengah-tengah lobangnya si-R itu.

Singkat ceritanya nih, setip baru itu gue bawa dong ke sekolah, dimasukin kotak pinsil yang ada magnetnya buat nutup. Waktu bel masuk berbunyi, gue dan temen-2 sekelas udah pada duduk di bangku masing-2 yang berdua-berdua gitu duduknya, kan bangknya gandeng dengan mejanya dan untuk berdua memang. Mejanya miring dari depan menurun ke arah kita. Trusss di bagian depan meja ada bidang yang rata dan ada lubang buat naruh pinsil atau botol tinta gitu kali deh. Nah... gue langsung dong ngeluarin kotak pinsil plastik yang ada magnetnya itu, gue keluarin dari sana deh "setip" baru gue, lalu ditaruh di bidang rata meja.

Pancingan gue kena! Teman sebangku gue (duh namanya ngga bakal inget deh biar kata udah memeras bawah sadar sampai pingsan, udah deh...) langsung bereaksi.
"Ah... setip baru ya? Beli dimana? Bagus, ada R nya ya..."
Mata dia dan mata gue tentu aja dong sama-sama berbinar; yang satu bangga dan pamer abis, yang satunya mupeng alias muka kepengin banget punya setip kayak gitu.
Hati gue jatuh kesian deh sama temen sebangku gue itu. Jadi waktu dia minjem setip baru gue, langsung gue kasih dengan sukacita tanpa mikir macem-2.

Baru gue nyadar sesampenya gue di rumah, ternyata setip baru gue ngga ada di kotak pinsil plastik bermagnet. Aduuuuuhhhh maaaaaakkkk... Gue langsung lemes deh. Waktu adik gue sedang menggambar dan memakai setip dia yang ada huruf "D" namanya, gue iri dan gemes, karena ngga bisa ngeluarin punya gue sendiri. Ah, paling-2 ketinggalan di meja kelas, besok pasti udah ada lagi, gitu cara gue menghibur diri.

Berhari-hari setip gue hilang, akhirnya gue ngga mikirin lagi. Sampai suatu hari, teman sebangku gue ngeluarin setip dari kotak pinsilnya, setip berinisial "R". Wwwaaaaa.... hati gue menjerit, tapi gue ngga berani nanya dia. Jelas banget setip itu bukan setip baru, udah dipake, udah banyak wilayah-wilayah yang gundul gitu.
Eeeehhh malah temen gue itu yang pamer,"eh setip gue baru ni... mau pinjam? boleh kok,"
Duuuuhhhh panas dingin hati gue. Tiba-tiba gue malah nanya,"baru ya? beli dimana? kok udah dipake sih?"
Dengan ringannya dia menjawab,"iya, ini punya gue, beli di toko tomini dong, kan lagi musim setip kayak gini, tapi emang belinya sih udah kayak gini,"

Hhhaaaahhhhh???? Gue harus bilang apa? Jelas banget nama dia tuh bukan "R", nama dia "G" (sebut aja gitu ya, karena gue lupa, tapi yang pasti bukan R). Untuk ini dia punya alasan lho, katanya,"ini gue beli yang R karena mama gue kan namanya R,"
Mallliiiiiinnnngggg.... (ini cuma teriakan dalam hati lho...). Gue yakin banget setip itu punya gue yang hilang beberapa minggu lalu, yakiiiiinnn banget. Gue masih inget ada bunga di tengah lubang R yang gue iseng kasih daun kecil pake spidol hijo bokap gue di rumah sebelum gue bawa ke sekolah tuh setip.

Maling! Kamu maling deh... Tapi gimana gue bisa ambil lagi ya? Apa gue ambil aja diem-2 di kotak pinsil dia? Aaaahhh jadinya entar gue yang dituduh maling... Uuuuhhh. Atau, gue bilang aja sama dia bahwa setip gue hilang, dan setip dia kan "R" maka lebih baik dikasih gue aja biar cocok sama orangnya. Tapi aaaahhhh masa gue ngemis gitu sih??? Pussssiiinnng deh gue...

Suatu hari nyokap beliin lagi setip yang sama buat gue, dengan huruf "R" juga, tanpa bertanya-tanya nasib setip lama gue yang tiba-2 udah ngga keliatan lagi itu. Trus nyokap gue bilang,"kasih nama setipnya, sekarang banyak yang sama..."
Hehehehe... bijak ya nyokap gue. Maka dengan segala daya imajinasi dan kreativitas gue waktu itu, gue ukir seluruh sisi setip yang berjumlah 6 itu dengan nama gue, pake tinta warna-warni, padahal luas permukaannya ngga sama kan, jadi ukirannya pun beda-2, hehehe... Biarin deh. Malah perasaan gue tambah cakep tuh setip.

Di Sekolah, temen gue keliatan ngiri, hahahaha... Trus dia bilang,"bagus ya, ada nama kamu, jelas banget, banyak lagi..."
Dengan senyum-2 gue bilang,"daripada nanti ilang trus kamu ngakuin punya kamu kan gue bisa sakit ati teruzzzz..."

Tapi... ASLI! Gue masih kesaaalll banget sama maling itu. Udah maling, ngga ngaku, malah ngarang cerita lagi kalo huruf "R" nama mamanya... Huuuhhh! MALING DASAR MALING!!!
Tapi... thanks deh ya maling, gara-2 kamu maka gue jadi lebih ati-2 jagain barang gue niii... hehehehe....

salam [RS - di sini ingin ucap - *hai maling, harap hati-2, budaya kami jauh lebih cerdas dari anda!*]

Saturday, August 15, 2009

Perempuan Berbisik 45: CEDAW - Hapus Diskriminasi Terhadap Perempuan

CEDAW
Keberagaman yang Ingin Diseragamkan

KOMPAS Jumat, 14 Agustus 2009 | 05:29 WIB

Tiga penari jaipong yang masih berusia muda bergerak mengikuti irama musik di Gedung IASTH Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, awal Agustus. Seusai tarian dibawakan dalam memperingati 25 tahun pelaksanaan CEDAW oleh jaringan lembaga perempuan nonpemerintah, pendamping tari dari Bogor itu menjelaskan beberapa gerak tari yang berubah.

Bukan hanya gerak yang berubah, kostum tari pun tampak berbeda: kebaya lengan panjang, meskipun bahan sifon poliester untuk kebaya itu transparan.

Perubahan itu mengingatkan pada kontroversi Februari lalu seputar imbauan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Meski mengatakan tidak melarang jaipong, Heryawan dalam pertemuan dengan seniman tari Jawa Barat mengakui sebelumnya pernah mengatakan pentingnya keseimbangan moralitas dan nilai masyarakat dalam tampilan seni di Jabar, seperti lebih baik menggunakan baju lengan panjang ketika menari (Kompas, 10/2).

Imbauan tersebut sebelumnya menuai protes dari Komunitas Peduli Jaipongan Jawa Barat. Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jabar Herdiawan mengatakan, Gubernur hanya mengimbau para penari mengenakan pakaian lebih tertutup. Dikhawatirkan, bila disajikan dengan pakaian terlalu terbuka akan menimbulkan polemik tentang pornografi di kalangan masyarakat (Kompas, 6/2).

Imbauan tersebut menambah kontroversi seputar Undang-Undang Pornografi. Mengaitkan busana dan nilai moral dengan pornografi adalah salah satu kekhawatiran sebagian masyarakat tentang pelaksanaan undang-undang itu.

Kekhawatiran tersebut juga tecermin dalam diskusi di Universitas Indonesia awal Agustus lalu. Prof Soetandyo Wignyosubroto MPA mengingatkan, kebudayaan majemuk adalah hal tak terhindarkan di Indonesia dan nilai moral atau norma sosial dalam faktanya amat berbeda-beda dalam keragaman cukup besar.

Karena alasan keberagaman yang besar di daerah-daerah Indonesia, Prof Soetandyo mengingatkan, memaksakan keseragaman, nilai, norma, atau konsep berdasarkan kekuatan undang-undang dengan mekanisme yang sentral hanya akan melahirkan kontroversi. Penyeragaman tentang kenyataan budaya yang sebetulnya relatif, antara lain konsep pornografi, adalah tindakan yang terkesan otokratik dan sentralistik serta tidak menghormati hak budaya masyarakat.

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi menyebut pornografi sebagai gambar, sketsa, ilustrasi, foto, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Busana dan masyarakat

Diskusi membahas khusus tentang busana. Kepantasan berpakaian adalah konsensus masyarakat dan merupakan hak kebebasan individu yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945. Adalah kenyataan cara berpakaian dan apa yang disebut pantas memiliki perbedaan besar dari daerah ke daerah di Indonesia.

Prof Benny H Hoed dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI menyebutkan, fungsi sosial budaya ditentukan masyarakat dan kebudayaan. Secara umum alat genital tidak dapat diperlihatkan di depan umum meski untuk bagian tubuh lain berbeda antara satu kebudayaan dan kebudayaan lain.

Fungsi sosial busana dari sisi kepantasan, demikian Hoed, lebih banyak dikenakan pada perempuan dan lebih banyak ditinjau dari sudut pandang laki-laki. Perempuan diatur cara berpakaiannya karena sering kali dikaitkan dengan penimbulan birahi pada laki-laki. ”Mitos yang muncul dalam sejarah manusia ini juga tampak dalam Undang-Undang Pornografi,” papar Hoed.

Saat ini, tambah Hoed, UU Pornografi tidak lagi dilihat sebagai teks, tetapi sebagai artefak budaya atau tanda yang diberi makna. Makna yang berkembang bagi yang mendukung UU ini adalah melindungi masyarakat dari kerusakan moral, melindungi perempuan dan anak. Adapun yang menentang melihat UU ini menjadikan perempuan sebagai obyek utama sehingga menjadi korban undang-undang. UU Pornografi sebagai patron yang ditaruh pada aras negara memiliki kekuatan sangat besar dan menimbulkan sanksi pidana. Di sini terjadi pertarungan kekuasaan karena yang berkuasa yang menentukan makna.

Seno Gumira Ajidarma, wartawan, berpendapat, kebudayaan adalah situs perjuangan ideologis tempat kelompok terbawah di masyarakat melawan beban makna dari kelompok dominan dan kelompok dominan harus terus-menerus menegosiasi wacana kelompok bawah.

Dalam hubungannya dengan media, Seno meyakini meskipun media mencoba menggiring penonton (audience), penonton adalah sosok yang berpikir, mengolah informasi yang mereka terima berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang mereka miliki. Karena itu, penonton akan melakukan perlawanan. ”Saya tidak khawatir karena masyarakat tidak boleh dan akan terus melawan hegemoni beban makna kelompok dominan,” kata Seno.

Karena itu, Soetandyo mengatakan, UU yang dibuat melalui konsensus akan memiliki efektivitas tinggi, sementara UU yang menimbulkan kontroversi akan menimbulkan pembangkangan sipil sehingga UU tidak efektif. Dan, kontroversi dalam pembentukan UU akan selalu terjadi ketika isinya menyangkut moral. (NMP/MH)

Perempuan Berbisik 44: Jaipong Tanpa 3G

Kontroversi
UU Pornografi...


KOMPAS - Jumat, 14 Agustus 2009 | 05:28 WIB

Kontroversi Seorang penari muda dari Sanggar Mayang Arum Bogor memeragakan tari jaipong tanpa ”3G” (goyang, gitek, geyol) di depan peserta diskusi publik tentang kepentingan krusial peninjauan ulang UU Pornografi di Kampus UI, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Hasilnya? ”Aneh,” bisik seorang peserta diskusi. Si penari memang masih bergoyang, tetapi kaku.

Dalam diskusi memperingati 25 tahun ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) itu, pendamping penari, Mang Gian, menegaskan, jaipong tanpa ”3G” kehilangan rohnya.

Sebelumnya, pernyataan Gubernur Jawa Barat ”agar gerakan jaipong dikurangi” menyasar inti kontroversi UU No 44/2008 yang disahkan pada 30 Oktober 2008. Meski hanya imbauan, pernyataan itu juga dikhawatirkan para seniman memasung kreativitas karena bisa diterjemahkan sebagai ”keharusan” oleh aparat di lapangan.

Dalam diskusi publik di UI sempat terjadi silang pendapat antara Netty Prasetijani, istri Gubernur Jawa Barat, dengan Agnes Dwi Rusdiati dari Masyarakat Jawa Barat Tolak UU Pornografi. Netty mengatakan, suaminya tidak pernah menyatakan melarang ”3G” dalam jaipong. Ia menyalahkan pers yang dianggap memelintir pernyataan itu.

Namun, menurut Agnes,, pihaknya berkali-kali, dengan surat resmi, mencoba menemui Netty untuk meminta konfirmasi tentang hal itu, tetapi selalu gagal. ”Sekalinya diterima, kami dihadang barikade polisi,” ujar Agnes. Polemik jaipong diselesaikan melalui pertemuan dengan seniman, budayawan, dan para sesepuh Jawa Barat di rumah seniman pencipta tari jaipong, Gugum Gumbira Tirasonjaya, pada 9 Februari 2009.

Gubernur memberikan klarifikasi dia tak pernah mengeluarkan pernyataan melarang ”3G” dalam jaipong, tetapi ia juga mengatakan, menjaga moral bangsa melalui cara berpakaian adalah komitmen. Ia juga menyatakan harus ada harmonisasi antara seni dan moralitas (Pikiran Rakyat, 10 Februari 2009).

”Morality cannot be legislated but behaviour can be regulated,” ujar ahli hukum JE Sahetapy, mengutip Martin Luther King, di depan Mahkamah Konstitusi (MK) ketika menjadi saksi pihak yang mengajukan judicial review terhadap UU itu. Dengan rumusan lain, ahli hukum Soetandyo Wignjosoebroto menegaskan hal senada.

Masalah moralitas yang menjadi subyek kontroversi dalam UU Pornografi ini tampaknya tidak dipertimbangkan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono, yang juga luput mengamati perbedaan antara ”melindungi” dan ”mengontrol”. Pasal 1 tentang Definisi Pornografi yang sumir dan multitafsir kental dengan nuansa kontrol.

Atas nama ”moralitas” masyarakat, UU itu luput melindungi perempuan dan anak dari kekerasan dan eksploitasi seksual yang jadi esensi pornografi, ujar guru besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum UI, Sulistyowati Irianto. UU itu juga mengkriminalisasi tubuh dan seksualitas perempuan melalui cara berpakaian dan gerakan.

UU itu adalah legislative misbaksel, kata Sahetapy, ”Karena tak didahului rancangan akademis yang obyektif berdasarkan penelitian yang memenuhi kaidah pengkajian secara filosofis, sosiologis, dan yuridis yang dapat dipertanggungjawabkan.”

Sahetapy dan Soetandyo menyatakan, UU tentang Pornografi telah mengingkari landasan dan prinsip-prinsip yang disepakati ketika membentuk bangsa ini, yakni Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila. Pelanggaran itu tergambarkan antara lain lewat Pasal-pasal 1, 4, 5, 8, 20, dan 21.

Secara prosedural mekanisme pembuatannya menabrak UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta Tata Tertib DPR. ”Prosedur pembuatannya direkayasa secara politik, mudah menyulut dan menebar racun perpecahan yang menghancurkan negara ini,” ujar Sahetapy.

Sebagai catatan, hanya Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang sangat keras berjuang menolak RUU Pornografi.

UU itu juga mengingkari Konvensi CEDAW yang disahkan melalui UU No 7/1984, bahkan mengingkari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil, Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya, kata pakar hukum internasional Enny Suprapto.

Dalam tanggapannya, pihak DPR mengatakan, tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan UU Pornografi, kalau suatu karya kreatif (seni) hanya dipertunjukkan di kalangan masyarakat yang bisa menerima.

”Justru ini membatasi dan tidak menghargai kebinekaan kita,” sergah Sri Nurherwati dari LBH-APIK, seraya menjelaskan, persidangan di MK masih tertunda karena pilpres.

DPR juga menyatakan UU itu tidak diskriminatif karena tak membedakan masyarakat atas dasar apa pun. ”Justru itu menimbulkan diskriminasi karena memang harus ada perlakuan khusus pada kelompok masyarakat yang dianggap berbeda,” sambung Nurherwati.

(MARIA HARTININGSIH/NINUK M PAMBUDY)

Thursday, August 6, 2009

Perempuan Berbisik 43: Priyanka Chopra, Pendidikan Anak (Perempuan)



Priyanka Chopra,
Pendidikan Anak (PEREMPUAN)


Kamis, 6 Agustus 2009 | 03:33 WIB

Salah satu aktris papan atas India, Priyanka Chopra, ternyata punya keprihatinan mendalam soal pendidikan anak-anak perempuan. Dia mengampanyekan pentingnya orangtua memberikan perhatian kepada anak-anak perempuannya.

”Saya merasakan sakit hati ketika ada orangtua memberi tahu anak perempuannya bahwa dia tidak sama statusnya dengan laki-laki. Sampai sekarang masih ada pembunuhan janin perempuan karena hanya menginginkan anak laki-laki,” katanya.

Kebetulan, di Mumbai ada insiden pembuangan bayi perempuan dan diindikasikan terkait kecenderungan orangtua yang tak menginginkan anak perempuan. ”Itu insiden yang mengejutkan. Mereka membuang anak itu setelah lahir,” katanya.

Mantan Miss World ini menekankan pentingnya pendidikan untuk anak-anak perempuan. ”Tiap anak perempuan harus mendapatkan pendidikan yang baik agar bisa mandiri. Lama sekali orang-orang baru menyadari bahwa perempuan itu bisa sejajar dan bahkan lebih baik dibandingkan laki-laki,” kata bintang Drona (2008) ini.

”Pendidikan itu sangat penting. Dengan cara itu, dia akan dapat meraih keluarga yang lebih baik dan membentuk masyarakat yang lebih baik,” katanya. Priyanka sejak kecil juga sudah berusaha membantu anak-anak miskin agar bisa membaca dengan memberi mereka buku-buku bacaan. (WENN/AMR)

Friday, July 31, 2009

Perempuan Berbisik 42: Malalai Joya, Perempuan Berani Mati Afganistan

Great Woman...!

Malalai Joya, Perempuan Berani Mati Afganistan

Jumat, 31 Juli 2009 | 04:21 WIB

Lima kali menghadapi percobaan pembunuhan tak membuat Malalai Joya menyerah. Perempuan anggota parlemen Afganistan ini terus melawan, bahkan mengabadikan sikap perlawanannya dalam buku Raising My Voice yang tengah dipromosikan di berbagai negara. Rakaryan Sukarjaputra

Ketika mempromosikan bukunya di Inggris, Selasa (28/7), seperti ditulis The Telegraph, ia mengatakan, ”Kami tak menerima pendudukan asing. Tiga kali Pemerintah Inggris menduduki negeri kami dan menghadapi perlawanan dari rakyat.”

Terpilih sebagai anggota Wolesi (Loya) Jirga (parlemen nasional Afganistan), September 2005, sebagai wakil Provinsi Farah, Joya mengalami pahitnya masa pendudukan. Ketika Soviet menginvasi negerinya, dia (saat itu berusia 4 tahun) mengungsi keluar negeri pada 1982, dan bergabung dengan sejumlah warga Afganistan di kamp pengungsian di Iran, lalu pindah ke kamp pengungsian di perbatasan Pakistan.

Ia menyelesaikan pendidikan di Pakistan, dan mengajar kesusastraan kepada perempuan, saat berusia 19 tahun.

Ketika Soviet hengkang, Joya kembali ke negerinya pada 1998, saat Taliban berkuasa. Ia mendirikan klinik kesehatan, lalu perlahan menjadi penentang rezim Taliban.

”Saya tak tahu berapa hari lagi bisa hidup. Saya katakan kepada mereka yang mau membunuh suara saya, ’Saya siap kapan pun, di mana pun kamu menyerang. Kamu bisa memotong bunga, tetapi tak ada yang bisa menghentikan datangnya musim semi’,” tegas Joya kepada kolumnis London Independent, Johann Hari.

Tak pernah aman

Pertama kali menginjakkan kaki di Loya Jirga, Joya mengatakan, hal pertama yang dilihat adalah barisan panjang pelanggar hak asasi manusia yang pernah dikenal di negerinya. Mereka adalah para panglima perang, penjahat perang, dan fasis.

Ia melihat orang yang mengundang Osama bin Laden ke negerinya, orang yang mengenalkan aturan hukum, yang menanamkan kebencian terhadap perempuan. Banyak di antara mereka bisa masuk ke Jirga karena mengintimidasi para pemilih atau mencurangi kertas suara. Banyak juga yang masuk dengan cara mudah, ditunjuk Hamid Karzai, yang kini menjadi Presiden Afganistan.

Para panglima perang itu tak sanggup menghadapi seorang perempuan muda yang bicara kebenaran. Mereka mencemooh, menyebutnya ”wanita tunasusila” dan ”dungu”, bahkan melemparkan botol kepadanya.

”Sejak saat itu saya tak pernah aman. Bagi para fundamentalis, seorang perempuan adalah setengah seorang lelaki. Perempuan artinya memenuhi semua keinginan lelaki, menghasilkan anak-anak, dan tinggal di rumah. Mereka tak percaya perempuan bisa membuka kedok mereka di depan mata rakyat,” ungkapnya.

Berbagai bentuk serangan dihadapi Joya, mulai dari kedatangan segerombolan fundamentalis ke rumah, berteriak hendak memerkosa dan menghabisinya. Ia lalu ditempatkan dalam perlindungan pasukan bersenjata, tetapi menolak berada di bawah perlindungan tentara AS.

Gagal dengan upaya itu, usaha pembunuhan terus dilakukan dengan menggunakan penembak gelap. Namun, Sang Pencipta masih melindungi dia. ”Saya ingin para panglima perang itu tahu, saya tak takut.”

Keberanian Joya membuahkan dukungan simpati banyak rakyat. Suatu ketika seorang nenek berusia hampir 100 tahun menggunakan kursi roda reyot mendatanginya. Dia bercerita, kehilangan dua anak lelaki, satu pada masa Soviet dan satu lagi oleh kelompok fundamentalis.

Dia mengatakan kepada Joya, ”Ketika mendengar tentang kamu, saya tahu harus menemuimu. Tuhan melindungimu, sayangku.” Nenek itu memberinya cincin emas, satu-satunya barang berharga miliknya, dan mengatakan, ”Kamu harus menerima ini. Saya telah menderita sepanjang hidup. Saya hanya ingin kamu menerima pemberian ini.”

Bukan demokrasi

Sebagai salah seorang dari sejumlah kecil orang yang terpilih melalui pemilihan umum, Joya tak ragu menyatakan, demokrasi belum ada di Afganistan. Karena itu, menjelang pemilihan presiden Afganistan, 20 Agustus nanti, dia bersuara keras dan meyakini hasilnya tak akan berbeda.

Hamid Karzai yang melindungi sejumlah panglima perang dan kepala suku yang telah menindas rakyat hampir pasti kembali terpilih.

”Pemerintah asing hanya membuang uang dan darah mereka di Afganistan. Setelah pemungutan suara, hasilnya tetap ’keledai’ yang sama, dengan kursi baru,” tegasnya.

Tak sulit membayangkan, kertas suara yang dikirim sampai ke pelosok itu hanya akan diisi para penguasa perang dan orang-orangnya. Mereka tentu memilih orang yang ”bisa melindungi” mereka, dan Karzai telah menunjukkannya.

Di wilayah yang jauh dari rasa aman, perjuangan untuk sekadar memberikan suara tak sebanding dengan nyawa yang dipertaruhkan. Meski terdaftar 17 juta pemilih, rakyat yang benar-benar bisa memberikan suara secara aman dan jujur sangat kecil jumlahnya. Sisanya adalah suara fiktif untuk keuntungan calon tertentu. Ini bukanlah demokrasi.

Ia menegaskan, semua informasi kemajuan di Afganistan setelah tumbangnya Taliban hanyalah mitos. Dalam bukunya, dia mengungkapkan, kebebasan media yang digembar-gemborkan hanya jika media tak mengkritik para panglima perang dan pejabat.

”Jika kamu menulis sesuatu mengenai dia (panglima perang yang namanya disebut dalam buku Joya), hari berikutnya kamu disiksa atau dibunuh oleh aliansi panglima perang wilayah utara,” tulisnya.

Soal kebebasan bersekolah bagi perempuan di luar ibu kota Kabul pun sama. ”Hanya 5 persen anak perempuan, menurut PBB, bisa meneruskan pendidikan hingga tingkat 12 (lulus SMA),” katanya.

Demokrasi Afganistan, kata Joya, terperangkap di antara dua musuh, yakni pasukan pendudukan yang menjatuhkan bom renteng dari udara dan di darat ada pasukan panglima perang dan Taliban dengan senjata mereka.

Perjuangan Joya masih panjang. Ia terus berjuang untuk demokrasi Afganistan di luar parlemen, sejak dihukum tak boleh hadir di parlemen mulai Mei 2007.

Joya juga terus memperjuangkan kehidupan kaum perempuan di negerinya melalui Organization of Promoting Afghan Women’s Capabilities (OPAWC) di wilayah Provinsi Herat dan Farah, di barat Afganistan. (malalaijoya.com)

Biodata

• Nama: Malalai Joya • Lahir: 25 April 1978 • Keluarga: Memiliki 3 saudara laki-laki dan 6 saudara perempuan • Pekerjaan: - Anggota parlemen mewakili Provinsi Farah pada September 2005, tetapi dikenai sanksi tak boleh menghadiri persidangan selama 3 tahun sejak Mei 2007. Ia dinilai menghina anggota parlemen lainnya - Direktur Organization of Promoting Afghan Women’s Capabilities • Pencapaian: - Ia disejajarkan dengan tokoh demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi

Friday, July 10, 2009

Perempuan Berbisik 41: Human Right

Perempuan bernama Maria Hartiningsih (MH) jelas-jelas (selalu) t.o.p mengangkat kehidupan perempuan dan HAM. Tidak tahan hati saya untuk segera menempel feature Swara Kompas cetak hari ini, di sini, tentu saja ulasan MH. Mari...


hak asasi manusia
Merawat Ingatan

Maria Hartiningsih - KOMPAS
Jumat, 10 Juli 2009 | 09:36 WIB

Perjalanan ke beberapa wilayah di Jawa terasa cukup melelahkan bagi Ny Sumarsih, Ny Tuti Koto, dan Ny Ruyati Darwin. Namun, rasa lelah itu menguap ketika berhadapan dengan para korban pelanggaran hak asasi manusia di berbagai daerah.

Saya merasa ada benang halus yang menghubungkan kami, bukan hanya sebagai korban, tetapi terutama sebagai sesama warga negara yang dilanggar hak-haknya, ujar Ny Sumarsih. Saya tidak pernah merasa lelah kalau menyangkut soal keadilan, sambung Ny Tuti Koto.

Ny Sumarsih (56) adalah ibu dari Bernardinus Realino Norma Irawan atau Wawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Jakarta. Ia tewas diterabas peluru aparat dalam tragedi Semanggi I pada 13 November 1998. Saat itu Wawan tengah menjalankan tugas kemanusiaannya di dalam Kampus Universitas Atma Jaya.

Ny Tuti Koto (71) adalah ibu dari Yani Afri, korban penculikan aktivis tahun 1997. Ny Ruyati Darwin (63) adalah ibu dari Eten Karyana, guru bahasa Inggris yang tak berhasil lolos dari kobaran api saat mencoba menyelamatkan anak-anak di dalam bangunan Toserba Yogya di bilangan Klender, Jakarta Timur, dalam kerusuhan Mei 1998 di Jakarta.

Merawat ingatan

Ny Sumarsih, Ny Tuti Koto, dan Ny Ruyati Darwin adalah tiga dari 16 anggota rombongan yang dipimpin Usman Hamid dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Mereka melakukan perjalanan ke beberapa daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat selama sepekan sejak 1 Juli.

Selain tiga ibu itu, ikut dalam rombongan itu antara lain Yetty, mewakili keluarga korban Tanjung Priok, 1984; Bejo Untung, mewakili korban tragedi 1965; serta Tanto, pedagang kaki lima, mewakili korban pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Bagi mereka, perjalanan menemui para korban dan para keluarga korban pelanggaran HAM di beberapa daerah itu adalah perjalanan untuk menjaring harapan dan merawat ingatan.

Sebagai perempuan, mereka menyadari posisinya sebagai korban terdepan dari berbagai peristiwa kekerasan. Sebagai ibu, mereka memiliki pengalaman otentik terkait dengan rasa kehilangan anak-anak mereka dalam suatu peristiwa politik.

Pengalaman khas perempuan mulai dari hamil, melahirkan, merawat, mendidik, dan seluruh cinta yang dicurahkan untuk merawat kehidupan, akan menghubungkannya dengan perempuan lain yang memiliki pengalaman serupa untuk kasus-kasus pelanggaran yang berbeda.

Saya tahu, banyak orang mengalami pelupaan terhadap peristiwa pelanggaran hak asasi manusia, ujar Ny Sumarsih. Tetapi itu selalu bisa diatasi. Apalagi pelanggaran terus terjadi menyangkut hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, lanjutnya.

Dalam perjalanan itu, rombongan berhenti di Batang, Semarang, Pati, Kulon Progo, Porong, Surabaya, Malang, dan Indramayu, menemui kelompok-kelompok petani korban perampasan tanah, kelompok miskin kota, korban penggusuran, korban PHK, korban eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam, keluarga korban penghilangan, dan keluarga pelanggaran HAM masa lalu yang tak pernah diselesaikan.

Merebut ruang

Pertemuan dengan para korban pelanggaran HAM di sejumlah daerah itu, menurut Usman Hamid, merupakan tindak lanjut dari Kongres Pejuang HAM yang bertema Merebut Ruang Politik bagi Pemajuan HAM di Jakarta, 17-20 Maret 2009.

Usman mengingatkan, kekerasan terhadap warga negara cenderung tak pernah berhenti. Pemenuhan kewajiban negara dalam hal pemajuan, perlindungan, dan penegakan HAM tak terwujud. Korban pelanggaran HAM tetap terpinggirkan.

Forum itu merupakan wujud keprihatinan terhadap komunitas korban yang terus berada di tepi arena politik, ujar Usman. Mereka tak mampu menerobos ruang-ruang politik formal untuk membuka kebenaran versi korban, lanjutnya.

Ruang itu dimaksudkan untuk menggali persepsi perubahan dan menjadikan Pemilu 2009 sebagai resolusi untuk memperbaiki keadaan yang selama ini masih mendiskriminasikan hak-hak korban pelanggaran HAM.

Namun, pemilu tak menjamin keadilan bagi korban dapat digapai, sementara pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya semakin masif terjadi pada zaman liberalisasi ekonomi ini. Kongres itu menguakkan fakta mengapa kekayaan alam di suatu daerah tidak menyejahterakan rakyat, sebaliknya, justru terjadi pengambilalihan hak kepemilikan tanah warga dan sumber daya komunitas oleh pihak lain.



Upaya menemui para korban di daerah-daerah itu juga dapat dilihat sebagai upaya merebut memori kolektif atas pelanggaran yang telah terjadi untuk menajamkan persepsi terhadap pelanggaran yang terus terjadi.

Namun, keberadaan memori kolektif juga dipertanyakan. Dalam diskusi di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) beberapa waktu lalu, Agung Yudha dari Elsam mempertanyakan apakah memori kolektif tentang pelanggaran masa lalu itu telah terbangun atau hanya merupakan memori kolektif korban.

Kalau benar ada, mengapa upaya menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu selalu menemui jalan buntu, ujarnya.

Usman Hamid mengatakan, pertarungan antara memori melawan amnesia terjadi lebih pada tingkat diskursus publik serta perebutan akses kekuasaan politik. Namun, memori tentang peristiwa itu tak pernah mati dalam diri korban dan keluarganya serta komunitas yang langsung mengalaminya.



Diingatkan, respons negara membuat korban tak pernah menjadi kekuatan penekan yang efektif. Pelanggaran masa lalu banyak dianggap sebagai kasus, bukan lembaran utuh. Korban pelanggaran hak-hak sipil dan politik juga dibedakan dari korban pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, padahal semuanya berkait dan berkelindan.

Kemiskinan adalah sebab sekaligus akibat dari berbagai pelanggaran itu, ujarnya.

Usman juga mengingatkan, semua pelanggaran masa lalu memiliki relevansi dengan kekinian dan oleh karena itu membutuhkan taktik perjuangan yang lebih strategis untuk menghadapinya.

Peristiwa 65 terkait dengan kasus tanah, peristiwa Talangsari punya relevansi dengan perebutan sumber daya alam di Aceh, Papua, dan lain-lain. Peristiwa Tanjung Priok terkait dengan sekuritisasi untuk mengamankan agenda-agenda pembangunan, ujarnya. (MARIA HARTININGSIH)

Perempuan Berbisik 40: Hari ini "Ketemu" Feminisme yang lain

Pilpres... bye bye love... whatever will be will be... Negara ini terus berjalan, bukan?

Hari ini ingin menempel tulisan baru feminisme dari Kompas cetak, feature di Swara yang diulas & ditulis Soe Tjen Marching (salam kenal Bu...)


Feminisme
Antara Keharusan dan Pilihan


Jumat, 10 Juli 2009 | 09:39 WIB

SOE TJEN MARCHING

Apa feminis itu antilelaki? Ini adalah pertanyaan yang banyak saya dengar dari beberapa pria. Persepsi negatif tentang feminisme tidak saja mencuat dari mulut lelaki. Beberapa perempuan juga sempat bertanya, Feminis itu kan benci ibu rumah tangga seperti kita, ya?

Namun, bukankah jenis feminisme bermacam-macam? Seperti juga jenis demokrasiada demokrasi versi Soekarno, Soeharto, atau versi George Bush. Yang namanya monyet tidak hanya satu dan ras anjing juga banyak. Tentunya feminisme jauh lebih kompleks daripada monyet dan anjing.

Memang sejak tahun 1963, buku Betty Friedan, The Feminine Mystique, membuat kedudukan ibu rumah tangga mulai dipertanyakan. Kumpulan artikel yang sempat didepak berbagai media ini akhirnya dibukukan sendiri oleh Friedan dan terjual berjuta-juta banyaknya. Di dalamnya terdapat kisah ruang-ruang dokter serta klinik psikologi beserta pasien perempuan yang menderita gangguan mental karena sesuatu yang mereka sendiri tak tahu namanya. Tidak ada yang salah dalam hidup para pasien ini: Mereka merasa mempunyai suami dan anak-anak yang baik (atau tidak terlalu bejat, bahasa lainnya). Tetapi mengapa hidup mereka terasa begitu kosong dan tak berarti?

Friedan akhirnya menemukan jawaban dari sesuatu yang tanpa nama ini: Keharusan menjadi Ibu Rumah Tangga. Buku Betty Friedan sempat membuat kata ibu rumah tangga haram bagi beberapa pejuang hak perempuan. Karena keharusan ini yang membuat mereka terkurung dalam dunia sempit, yang tidak memperkenankan mereka mengejar karier di luar rumah demi kepuasan diri mereka sendiri. Mereka diharuskan meladeni keluarga, menyenangkan suami dan mengurusi anak-anak: Hidup bagi kebahagiaan orang lain. Kurangnya kesempatan dan pilihan yang membuat banyak perempuan terpenjara dan bahkan beberapa terserang mentalnya.

Siapa juga yang dirugikan bila makhluk yang seharusnya berfungsi sebagai pembawa rasa tenteram, namun ternyata justru tidak bahagia? Bukankah seorang yang tidak bahagia akan menebarkan suasana tegang karena ia biasanya mudah tersinggung dan mudah marah? Dan yang lebih parah, si penderita sakit mental ini selalu tinggal di rumah!

Merugikan

Keharusan perempuan untuk menjadi ibu rumah tangga ini akhirnya merugikan para pria juga. Lebih-lebih lagi ketika krisis ekonomi melanda Amerika pada pertengahan tahun 1970-an. Beban untuk mencari nafkah biasanya jatuh ke tangan lelaki yang istrinya menjadi ibu rumah tangga. Ketika si lelaki kehilangan pekerjaan dalam masa krisis, tidak ada lagi yang bisa menopang kebutuhan ekonomi keluarga. Sedangkan bila perempuan juga bekerja atau terlatih bekerja di luar rumah, paling tidak, dalam masa sulit, ada cadangan yang bisa diandalkan.

Inilah yang terkadang jarang disadari: feminisme sering kali tidak hanya menyelamatkan perempuan, tetapi juga lelaki. Paling tidak, feminisme terkadang bisa membantu kesehatan mental lelaki. Karena rasa keangkuhan lelaki yang sering kali dipupuk dalam sistem patriarki dapat membawa bencana bagi diri mereka sendiri. Berapa banyak lelaki yang menderita depresi karena mempertahankan kebanggaan atau harga diri? Harga diri yang biasanya amat tergantung dari keinginan untuk mengontrol perempuan di sekitarnya sehingga bila perempuan ini tidak memenuhi harapan mereka, ego sang lelakilah yang terhantam.

Berapa pria yang begitu menderita bila kehilangan pekerjaan dan terpaksa harus menjadi bapak rumah tangga? Berapa pria yang begitu tersiksa bila sang istri lebih sukses dalam karier darinya? Kasus yang lebih ekstrem dari dampak keangkuhan lelaki adalah pembunuhan demi martabat yang telah dilakukan di beberapa bagian negara Pakistan dan Afganistan karena sang perempuan telah dianggap menyinggung harga diri lelaki. Terkadang hal ini terjadi hanya karena sang perempuan menolak dikawinkan paksa dan memilih pacar yang amat dicintainya.

Namun, tidak semua lelaki demikian. Suami Kanselir Jerman Angela Merkel tetap bahagia berada di balik bayangan istrinya. Sang suami, Joachim Sauer, justru lebih sering menghindari sorotan media masa dan berkutat pada penelitiannya. Bahkan ia sempat dijuluki the phantom of the opera, tentunya bukan karena ia seperti hantu yang ingin membunuh istrinya, tapi karena sosoknya yang sering menghilang.

Joachim Sauer yang modern ternyata telah didahului oleh Leonard Woolf, yang begitu setia mendukung Virgina Woolf, salah seorang tokoh feminis yang jauh lebih terkenal dari sang suami. Dengan keterbukaan Leornard, tidak saja ia bebas dari rasa rendah diri yang begitu menyiksa, ia juga dapat menikmati kerja sama dengan sang istri pada akhirnya. Bahkan setelah istrinya meninggal, Leonard tidak menyatakan keberatan lebih dikenal sebagai dudanya Virginia.

Feminisme sama sekali bukan antilelaki. Karena ia membuka pilihan. Dan karena itu, pilihan yang lebih luas ini juga berlaku untuk lelaki dan perempuan. Tidak ada keharusan menjadi lebih sukses dalam karier bagi lelaki. Sebaliknya, tidak ada keharusan berdandan atau menikah dan mempunyai anak bagi perempuan.

Tetapi bukan profesi itu yang patut dicela. Keharusannyalah yang seharusnya diperangi. Bila sang perempuan memang sungguh-sungguh bahagia menjadi ibu rumah tangga, ini juga merupakan pilihan yang harus dihormati. Bukankah seorang ibu rumah tangga juga menjalankan tugas yang cukup berat? Bukankah ia juga mempunyai keahlian yang harus dihargai? Feminisme yang merendahkan ibu rumah tangga akan memerangkap perempuan dalam kandang baru, keharusan baru, dan siksaan baru.

Pilihan perempuan bisa tak terbatas dan tak terduga. Dan bagi saya, feminisme bukanlah memaksakan bermacam keharusan. Ia membuka kesempatan, ia membebaskan.

Soe Tjen Marching Pengajar di SOAS - University of London, dan Komponis

Friday, June 26, 2009

Perempuan Berbisik 39: The Five Principles of Indonesian People (PANCASILA)

First,
Believe in one supreme God

Second,
Judge and civilize humanity

Third,
The unity of Indonesia

Fourth,
Democracy wisely led by the wisdom of the liberation among representatives

Fifth,
Social justice for the whole of the people of Indonesia


I am very proud of my beloved Pancasila. I remember that I have learnt Pancasila by heart since I was a little girl. Thought of that deeply and seriously as well, whenever, how to guard these principles of Indonesian people as well as implementing by highest awareness in our mind, feeling, attitude, behavior, every single part of people's activities as belonging to one nation Indonesia.

Let us going to succeed the process of democracy as part of Pancasila implementated by the president election almost here.

Pray for my country...

RS @ own blog http://perempuan-bernama-rinny.blogspot.com/

Sunday, May 31, 2009

Perempuan Berbisik 38: EMOSI

Tahun-tahun belakangan ini EMOSI menjadi bahan yang paling sering diutak-atik banyak orang. Mengalir bersama sentakan awal yang dilakukan Bapak Goleman, dengan terlebih dahulu menengarai kecerdasan intelektual hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan hidup manusia.

Sekadar berpikir, apakah kesuksesan itu memang benar-benar tujuan manusia hidup? Bahasan mengenai SUKSES sendiri berkembang dan dikembangkan banyak pihak, yang diselaraskan dengan kebutuhan audience. Artinya MAKNA sukses beragam bentuknya, bukan? Tampaknya penyetelan EMOSI pun kemudian disandingkan satu rel dengan MAKNA sukses yang dianut pribadi per pribadi, ataupun kelompok per kelompok.

Berpikir lagi, ditambah pengamatan demi pengamatan, penyetelan emosi tetap saja dilakukan dalam ranah KOGNITIF. Mengandalkan pemahaman manusia secara kognitif tentang EMOSI itu sendiri, yang bolak-balik tetap menuntut kemampuan intelektual orang untuk menangkap, memahami, menerima, mengelola dan “merasakan” proses kerja sang EMOSI.

Lalu ada pula yang melakukan “perbaikan” terhadap emosi negatif, seperti marah, kesal, kecewa, sedih dan sebagainya, menjadi bentuk emosi yang “disebut” lebih positif. Ada penjelasannya, bahwa misalnya, marah itu emosi negatif, namun “pertunjukkannya” perlu dikelola agar tidak terlihat negatif. Artinya, yang dikelola itu ‘kan perilakunya, bukan bentuk emosinya. Lha, orang marah sebenarnya positif di sisi lain, menunjukkan reaksi berpikirnya terhadap stimulus yang dihadapi. Situasi ini dijawab lagi dengan mengubah cara memberi makna pada stimulus supaya reaksi emosi marah bisa lebih terkelola hingga tidak menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan sosial.

Nah, bolak-balik yang disetel area KOGNITIF ‘kan? Lha processor nya semua di tempat yang sama, OTAK manusia. Bicara otak, ada pula yang kemudian membagi-bagi kapling kerja otak, sehingga sistem limbik yang memuat amigdala adalah pusat pengendali EMOSI. Jika secara medis ditemukan seperti itu yang nantinya bermanfaat dalam diagnosis dan pemberian treatment, baiklah. Tapi yang belum ditemukan masih banyak sekali. Eh... maksud saya yang belum dikelompokkan dan diberi nama. Saya pikir-pikir upaya mencerdaskan itu tidak ada, yang ada adalah mengoptimalkan fungsi.

Klik! Selamat datang di area yang tak terbatas (UNLIMITED AREA). Kekuatan SPIRITUAL (tanpa sekat) memiliki peran terbesar, seharusnya. Ini menurut saya.

RS @ own blog http://perempuan-bernama-rinny.blogspot.com/

Perempuan Berbisik 37: CINTA TAK PERNAH USAI

Saya pernah menulis judul topik seperti ini di sebuah media cetak, sekitar 4 tahun berselang. Menulis ulang topik yang sama bukan tipe saya, alias “ngga gue bangets deh...”, oleh sebab itu saya hanya meminjam judulnya saja. Isinya sih beda.

Kenapa? Sederhana. Topik CINTA dan variannya masih tetap favorit. Ditulis untuk tujuan penyegaran, dan tujuan sampingnya mengingatkan, bahwa CINTA itu anugerah. Menghindari cinta sama saja dengan mencetak setebal-tebalnya cinta di dasar kesadaran. Sebaliknya, mengagung-agungkan (dengan pemahaman & pengalaman subyektif), bahkan menjual cinta, tak beda juga dengan mencetak miring huruf kapital dengan warna terang.

CINTA, bisa halal bisa haram. Sama halnya barang-barang lain yang digunakan manusia. Tunggu. Kalau benar cinta itu anugerah, kenapa bisa halal (baca: baik, manfaat) dan sekaligus haram (baca: buruk, dosa)??? Bukankah anugerah itu baik? Jawaban saya sederhana (lagi), sebab cinta bermanifestasi. Hhmmm... ngga sederhana juga ternyata. Ya, justru karena tampak sederhana mengemasi kompleksitas cinta yang sesungguh-sungguhnya, maka CINTA TAK PERNAH USAI.

Berteori tentang cinta, tidak sama dengan mempraktikkan cinta, namun juga kedua-duanya tetap sejalan. Teori dibangun dari pengalaman praktik cinta, pengalaman praktik (tak sengaja) merujuk teori-teori yang sudah ada, baik tertulis maupun terdengar saja. Indikasinya gampang ditangkap, yakni konflik-konflik pengalaman manusia pelaku cinta.

Teorinya Robert J Sternberg tentang The Triangle of Love salah satu yang bisa digunakan sebagai rumus. Intimacy, Passion dan Commitment, disebut-sebut sebagai komponen-komponen si CINTA yang menentukan bentuk hubungan cinta yang terjadi. Contoh, cinta orangtua-anak, pasti ada ketiga-tiganya, namun komponen intimacy jauh lebih dominan, baru diikuti commitment dan terakhir passion.

Contoh lain, cinta passionate (di dalam hetero ataupun homo), jelas-jelas dikuasai komponen passion, gairah (boleh disebut nafsu ngga ya?) yang meletup-letup. Adakah commitment di dalam hubungan itu? Sedikit sekali kadarnya. Contoh lain, coba deh cari. Pertanyaannya: Samakah cinta dengan ketertarikan?
Dalam teori ini, disebut ketertarikan adalah bagian dari cinta. Atas ketertarikan orang berjalan-jalan di medan cinta, tarik-ulur antar ketiga komponen pun terjadi.

Companionate Love, bentuk cinta yang didominasi komponen commitment. Lihatlah kakek dan nenek yang telah menjalin komitmen puluhan tahun (baca: menikah kali yeee), itulah CINTA yang companion. Mau??? Pilih aja sendiri dengan anugerah ”independent will” yang dimiliki setiap kita. Cinta tak pernah usai boookkk...

RS @ own blog http://perempuan-bernama-rinny.blogspot.com/

Sunday, May 17, 2009

Perempuan Berbisik 36: Women's Personality (#ending)

Terdorong menyelesaikan rangkaian topik ini, saya mencoba saja dengan beberapa kata ataupun kalimat kunci yang menurut saya relevan dengan kepribadian perempuan.

- Pertumbuhan Fisik Yang Khas
- Fungsi Reproduksi
- Harapan, Situasi & Peran Sosial
- Nilai-nilai Spesifik
- Perbedaan Individu (Individual Differences)
- Peran & Tugas Berbeda Dalam Setiap Tahap Perkembangan
- Peran Ganda (Androgini)
- Multi Roles & Multi Tasking
- Kebutuhan Psikologis
- (Jika ada yang lain)

Dengan Cinta,
RS @ own blog http://perempuan-bernama-rinny.blogspot.com/
--------

Tuesday, May 5, 2009

Perempuan Berbisik 35: Women's Personality (Part#3)

-- Would like to translate my posting's title template, first. 'Perempuan Berbisik' means woman has been whispering, described of not only words which have attended in communication and or conversation, more than that, it serves to woman's inner voice whenever echo as well as reecho came from and into every single ram of deep inside human's heart, particularly and universally as well. I talk about heart and love what had been staying there ever after. Thank you for understanding. --
-----------------------

Posting untuk topik ini dan kali ini saya awali kutipan release di akhir posting part#2, perempuan yang (senantiasa) berwarna dan mewarnai kehidupan di dunia yang -telah saya katakan sebelumnya- adalah dunia laki-laki. Hal ini saya tekankan demi sebuah prinsip yang tak dapat kita tinggalkan begitu saja, yakni individual differences. Bagaimana pun, setiap perempuan memiliki keunikan masing-masing yang menjadi kekayaan pribadinya. Kendati kluster kepribadian perempuan sendiri pun sudah unik, setidaknya dalam persepsi gender sebelah, kerap digeneralisasi dengan suatu pernyataan takjub, gusar, kebingungan dan tertantang, "Betapa sulit memahami (hati) perempuan. Seperti apa sesungguhnya, apa maunya?"

Apakah perempuan dan kepribadiannya itu sederhana, ataukah kompleks? Menurut saya, kedua-duanya.

Pakar Psikologi Sosial, Baron dan rekannya Byrne, merangkum definisi praktis Psikologi Kepribadian (Personality Psychology) yakni berfokus pada bagaimana setiap orang menata diri dan perilakunya di dalam berbagai situasi (sosial) yang dihadapi. Mereka menjelaskan pula, secara umum pengaturan atau penataan kepribadian 'menengahi' antara berbagai rangsangan dalam situasi-situasi yang dihadapi, dengan perilaku yang ditampilkan terhadap situasi-situasi tersebut. Sedangkan kepribadian itu sendiri pada masing-masing orang dipengaruhi oleh individual differences (perbedaan individu) dalam hal emosi, sikap, kognisi (pikiran), harapan, fantasi dan aktivasi psikologis. Nah... kan, sederhana klausalnya, tapi kompleks kontennya.

Benar, kutipan bebas di atas tetaplah teori, dan berlaku umum, tidak spesifik mengenai perempuan. Namun marilah kita ambil unsur-unsur kepribadian berbasis individual differences yang telah para pakar itu suguhkan. Emosi, sikap, pikiran, harapan, fantasi dan aktivasi psikologis, tentu saja melahirkan berbagai varian, baik terkait identitas jender (gender identity) maupun ragam keberadaan manusia. Perempuan, dalam kluster kepribadiannya yang memuat unsur-unsur tersebut, jelas sudah merefleksikan bayang-bayang yang unik.

Pertama, terlahir dengan vagina dan rahim (tanpa anomali), serta merta membedakan perlakuan terhadapnya. Menyandang nama tertentu untuk memberikan kepastian identitas kelaminnya. Kedua, mengalami menstruasi, serta merta diikuti perputaran jadwal yang (hampir) teratur, meski yang sederhana seperti persediaan pembalut setiap bulan. Hal ini sesungguhnya tidak sesederhana sebagaimana aktivitas membeli barang kebutuhan. Pada usia belia, yakni masa remaja saat menstruasi merupakan pengalaman menakjubkan yang menghadirkan berbagai perasaan baru, termasuk perasaan malu ketika hendak menyampaikan kepada pemilik toko untuk membeli pembalut, kendati membeli bukan meminta. Jangan dikira setiap remaja perempuan di masa menstruasi awal sanggup melakukannya sendirian. Sedikit atau banyak (tergantung lagi pada individual differences pembentuk varian kepribadian unik dari uniknya kepribadian perempuan) rasa tidak nyaman, mengaliri emosi perempuan.


Ketiga, menyadari ketertarikannya pada lawan jenis, kebutuhannya akan sesuatu yang sulit didefinisikan. Sederhananya kebutuhan itu adalah gairah (from attraction to love, ini jalan panjang yang juga membedakan setiap perempuan), namun kompleksnya saat kebingungan menentukan perilaku seperti apa yang perlu, harus dan 'boleh' ditunjukkan, belum lagi pertimbangan-pertimbangan yang dibatasi oleh kemampuan berpikir dan pengalaman hidup mengenai benar-salahnya gairah itu ada di dalam dirinya.

Keempat, pengalaman seksual pertama, baik dengan atau tanpa intercourse (persetubuhan yang sesungguhnya), yang menghadirkan berbagai emosi, antara perasaan bersalah, nikmat, terkejut, penasaran, senang, kecewa, bahagia, sedih, bangga, malu, dan seterusnya. Kelima, pemahaman orgasme dan kepuasan seksual dalam hubungan suami-istri, yang kisah sesungguhnya jarang dibagi-bagikan antar perempuan kecuali untuk berkelakar atau konsultasi (menurut hasil investigasi saya lho...).

Keenam, mengandung dan melahirkan (termasuk tidak mengandung dan tidak melahirkan), yang diisi morning sick, cemas, marah, rindu, senang, takut, baby blue, dan sebagainya. Sedangkan yang tidak/belum mengandung dan melahirkan, tentu saja menerima stimulus lingkungan yang berbeda-beda, mulai dari rasa iba orang, pertanyaan-pertanyaan yang mengundang rasa sensitif yang lebih kuat, sampai pada cemoohan, baik terang-terangan maupun terpoles kata-kata manis.

Ketujuh, memiliki anak dan menjadi ibu, diikuti tugas-tugas pengasuhan, pengasihan dan pengasahan. Tanyakan pada seorang ibu, apakah yang paling dilindunginya (mengandung makna dicintai, disayangi, dimiliki, diayomi, dibela, disanjung, bahkan disakiti untuk tujuan dan alasan cinta) dalam kehidupan ini? Jawabannya tidak jauh dari anak, atau anak-anak, atau nama anak, akan disebutnya.

Kedelapan, kesembilan, kesepuluh, dan seterusnya, berbagai isu lingkungan, sosial, pergaulan, pendidikan, politik, dunia, bidang peminatan, budaya, agama, kebebasan, keterikatan... Ternyata breakdown unsur-unsur kepribadian yang disarikan para pakar tadi sungguh luas dan dalam. Wilayah kehidupan perempuan di dalam dunia laki-laki pun tak lepas dari nyala kecil yang tak pernah padam di dalam lapisan terdalam kesadaran perempuan bahwa ia butuh cinta. Cinta yang termanifestasi dalam kehidupannya dan menjalari seluruh kepribadiannya, menyentuh fisik, mental, pikiran dan spiritual. (to be continued)

RS @ own blog http://perempuan-bernama-rinny.blogspot.com/
_____________________________________________________
Note: kisah ini semata-mata pandangan pribadi yang diselipi kutipan-kutipan teori dan liputan, dilengkapi investigasi pribadi (pula) dan pendapat subyektif saya.
_____________________________________________________

Thursday, April 30, 2009

Perempuan Berbisik 34: Women's Personality (Part#2)


Bagian pertama dari posting ini (bagian kedua mengalami sedikit perubahan subyek, dari tunggal menjadi jamak dan dengan tambahan makna 'dimiliki oleh') saya akhiri dengan perempuan yang berjuang di dunia laki-laki. Saya harap kata-kata tersebut tidak disalah-artikan sebagai sinisma terhadap laki-laki, atau pernyataan ketidak-sukaan. Keliru jika demikian. Karena saya tetap suka laki-laki, apalagi jika sudah 'ditiup melalui telinga' (beh beh beh... jangan tanya maknanya, karena saya pasti sulit menjawab. Klik! Telepon diletakkan.)

Mula-mula saya ingin membuka referensi kitab (yang dianggap) suci, yakni alkitab pegangan saya (di dalamnya ada perjanjian lama dan perjanjian baru/injil). Tapi sebelumnya mohon maaf, saya tidak (mau) menganggap alkitab itu suci, sebab itu semata-mata hanya kitab, namun isinya, naaahhh isinya saya yakini sebagai penuntun kebenaran cinta dan firman Allah, yang telah teruji di dalam ruang dan waktu, dan akan terus teruji hingga akhir zaman.

Dalam kitab Kejadian, dikisahkan Allah menciptakan manusia dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup kepadanya. Manusia itu adalah Adam (laki-laki), manusia pertama penghuni bumi dan penguasa seluruh isinya. Setelah melihat bahwa tidak baik manusia itu sendiri saja, barulah kemudian diciptakanNYA manusia kedua, Hawa (perempuan), sebagai penolong bagi manusia pertama yang telah lebih dahulu memberi warna bagi kehidupan di dunia. Apakah sejak awal dunia telah lebih dahulu diwarnai oleh laki-laki sebagaimana Adam adalah penghuni pertamanya?

Kisah selanjutnya pun Hawa adalah satu-satunya perempuan dalam keluarga itu setelah kedua anak mereka yang terlahir lebih kemudian adalah juga laki-laki. Daripada mempertanyakan penciptaanNYA yang lainnya, lebih baik saya fokuskan saja, bahwa Hawa sebagai perempuan di antara tiga laki-laki dalam keluarganya, tentu berjuang 'sendirian' bersama berkembangnya kepribadian khas miliknya. Sebagai perempuan, ia dikatakan sebagai ibu semua yang hidup. Jelas, peran ibu tentunya melekat pada perempuan dan memiliki tugas-tugas rumah tangga yang luar biasa beragam.

Atas dosa-dosa manusia di Firdaus (Eden), kepada Hawa (represantasi perempuan, masih dalam alkitab) difirmankanNYA, "Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi ('horny' tentu maksudnya) kepada suamimu dan ia (sang suami, laki-laki) akan berkuasa atasmu." Bukti, betapa laki-laki telah dimeteraikan menguasai perempuan. Hal ini juga mengandung makna bahwa perempuan, selain hidup dalam dunia laki-laki, juga dikuasai oleh laki-laki.

Kadang-kadang saya mempertanyakan, jika sejak mula-mula manusia perempuan sudah ditakdirkan berada dalam 'kekuasaan' manusia laki-laki, masihkah bermakna perjuangan perempuan untuk mendapatkan kesetaraan yang sesungguhnya? Ataukah makna kesetaraan sendiri dalam setiap perjuangan kaum perempuan pada dasarnya tidak sama? Tergantung -dan kembali- pada kepentingan golongan kecil yang diusungnya? Daripada mempertanyakan hal itu, sekarang lebih baik saya menyelami pembentukan kepribadian perempuan akibat sejarah penciptaan dan pada gilirannya juga perkembangan perempuan dalam dunia laki-laki ini.

Bukan menyerah (give up), hal ini lebih pada berserah (surrender), menerima dengan ikhlas segala sesuatu yang telah terjadi dan dijadikan. Artinya, perempuan memang berkembang dan berjuang, sekaligus bertugas sebagai penolong bagi laki-laki di dalam dunia laki-laki. Kata-kata kunci yang dapat saya 'tag' pada bagian posting ini adalah: laki-laki menguasai perempuan (artinya dunia dikuasai laki-laki), banyak kesusahan dialami perempuan (artinya perempuan harus berjuang selama hidupnya, dan hal ini membentuk ciri kepribadian khas pada perempuan yang membuatnya KUAT), perempuan memiliki berahi (nafsu seksual) terhadap laki-laki.

Perempuan-perempuan yang terus berjuang, nyatanya tetap kembali kepada ikhwal kodratinya. Berwarna dan mewarnai dunia. Apa jadinya dunia tanpa perempuan dengan kepribadiannya yang kuat? (to be continued)...

RS @ own blog http://perempuan-bernama-rinny.blogspot.com/
__________________________________________________________

Monday, April 27, 2009

Perempuan Berbisik 33: Woman Personality (Part#1)


"Kamu seorang feminist?"
Akhirnya seseorang menanyakan hal itu pada saya. Alih-alih menjawab, saya malah bertanya balik,
"Kenapa memangnya?"
Tentu saja sambil mengumpulkan ingatan-ingatan, mencoba pahami perspektif penanya, memformulasikan kalimat untuk jawaban-jawaban antisipatif sekiranya muncul pertanyaan-pertanyaan berikut. Kemudian saya putuskan kembali saja pada titik nol, yakni saya dan adanya saya.

Sebagaimana yang telah saya prediksikan, pertanyaan berikutnya mengalir dengan membawa tiga tanda tanya (???) lebih besar (mengingatkan pada simbol logo 'Pasukan Mau Tahu'nya Enid Mary Blyton, novel detektif remaja, bacaan saya di masa remaja duluuuu).
"Kenapa kamu sering sekali bicara soal perempuan, kamu juga (tampaknya) mengagumi perempuan, bahkan (tampaknya lagi) memuja perempuan?"

Well. Sebenarnya saya sendiri tidak paham benar soal istilah atau kelompok atau komunitas atau kaum yang disebut 'feminist'. Saya perlu belajar lagi lebih spesifik mengenai hal itu. Tadinya belum terpikir, namun karena pertanyaan memuat istilah itu sudah memasuki ruang kesadaran saya, maka kini saya rasa perlu mempelajarinya, nanti dan segera.

Kembali pada keputusan saya tadi, berdiri di koordinat 0;0, maka saya jelaskan sederhana di sini (tentu tidak sama persis dengan obrolan model verbal-lisan), saya ini perempuan, sejak lahir hingga saat ini. Itulah satu-satunya alasan saya sering berbicara tentang perempuan, artinya saya berbicara tentang diri saya sendiri. Pendapat subyektif saya soal perempuan: KUAT.

Kuat beroposisi dengan lemah, menurut saya. Akan tetapi keduanya bukan dikotomi, menurut saya lagi. Antara kuat dan lemah terdapat gradasi yang padat, namun tidak ada nuansa tengah, tidak ada setengah kuat setengah lemah. Seumpama pemaksaan Meyrs-Briggs (semoga ejaannya benar) dalam menentukan I atau E, misalnya, ambillah nilai yang terbesar andai persentasenya pun 51:49, maka itulah model kepribadianmu. Demikian yang saya maksud, meski seseorang 'hanya' kuat 51%, maka ia bolehlah tergolong kuat.

Sesuatu yang KUAT pada perempuan itu adalah kepribadiannya (personality), yang mengandung unsur-unsur karakter, sifat, sikap, intensi, perilaku. Golongan unsur-unsur itu hanya saya jemput-acak saja, mengingat telah begitu banyak daftar traits yang berkembang hingga saat ini, mulai dari kembangan Personality Plus, hingga kuis-kuis kepribadian dan deskripsi sifat yang banjir dan makin banjir. Artinya, maju betul ilmu tentang manusia ini, banyak betul orang berminat menjadi psikolog atau melakukan praktik-praktik psikologi, maka banjir juga fakultas Psikologi dimana-mana.

Jadi, apakah pada dasarnya kepribadian perempuan atau bukan perempuan, sama saja? Apakah kepribadian itu faktor bawaan (biological forces) atau karena belajar, pengalaman hidup dan pengaruh lingkungan? Jawabannya, kedua-duanya. Dan karena dari sononya telah terbedakan perempuan dan laki-laki, tentu saja faktor bawaan ini berpengaruh besar pada berkembangnya kepribadian perempuan.

Entah kenapa dunia berkembang sebagai dunia laki-laki. Saya cari-cari, bahkan tak ada rasanya seorang nabi perempuan. Ketika seorang perempuan menikah dengan laki-laki, maka ia (harus) 'mengikuti' suaminya. Beberapa di dalam diriya tertanggalkan, bahkan juga namanya yang dibawa sejak lahir (Nama belakang saya adalah nama ayah saya, laki-laki, supaya tidak berganti-ganti saja ;-)). Kendati semua manusia keluar dari rahim seorang perempuan (saya belum bisa percaya metode cloning bisa menggantikannya).

Demikianlah, sejak awal perempuan berjuang di dunia laki-laki, menurut saya... (to be continued)

RS for own blog, http://perempuan-bernama-rinny.blogspot.com/
_____________________________________________________________

Friday, April 24, 2009

Perempuan Berbisik 32: Telanjang (Naked)



Pada suatu hari, seorang perempuan yang tatapannya lebih sering menembus ke ruangan tak berhingga daripada 'berada' di sini dan kini, memutuskan untuk bicara.

"Saya tidak tahan terhadap godaan ini. Saya ingin telanjang," bisiknya lirih.
"Telanjang?" tanya saya, "telanjang seperti apa?"

Mula-mula ia tampak kebingungan memilih kata untuk menjelaskan maknanya. Sekelompok kata-kata bantuan pada akhirnya dapat mengaktifkan kalimat demi kalimat yang mengalir kemudian. Kata-kata bantuan itu hanyalah "lepaskan seluruh pakaian" tanpa awalan (me-, di-, ter-) pada kata kerjanya. Ini berarti, saya tidak mengarahkan pada sosok pelaku.

Perempuan ini adalah pelakunya. Ia ingin menelanjangi dirinya, melepaskan sendiri seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya, hingga tak tertinggal jenis tekstil apapun di sana. Benar-benar telanjang, 'naked' bahasa Jawanya. Saya tidak bertanya sebabnya, juga tidak menilai apapun terhadap tindakan khayalan itu. Saya bertanya sambil lalu saja (seolah-olah), "apa yang terjadi kemudian?"

Dalam keadaan telanjang ia ingin berdiri di depan cermin besar yang dapat memantulkan seluruh bayangan tubuhnya.
"Adakah cermin itu? Dimana?" tanya saya. Ia menggeleng. (Oooohhh, beli dong, canda saya dalam hati saja).
Dengan menatap tubuh sendiri dari pantulan cermin, ia merasakan gairah yang luar biasa, tanpa menyentuh segala sesuatunya. Gairah tersebut (sayang sekali) tidak berkaitan dengan hasrat seksual dan pernik-perniknya. Ia merasa seolah-olah berubah seperti orok dengan kelopak mata yang belum bisa terkuak.

***maaf, terpaksa disensor, cukup sampai di sini saja***

Apa pikir anda, tentang seseorang yang ingin telanjang? Apa perasaan anda membayangkan cerita tentang telanjang?

Suatu waktu saya pernah mendengarkan percakapan tentang seseorang yang risau pada mimpinya semalam. Dalam mimpi itu ia tampil telanjang di depan banyak orang, yang dikenalnya dan tidak dikenal. Lalu seseorang yang lain menjelaskan antusias, mimpi telanjang artinya: anda akan mengalami suatu peristiwa yang sangat memalukan. Bisa jadi dalam peristiwa itu anda dicemooh, atau pendapat anda diejek dan diserang oleh berbagai pihak, atau salah satu keluarga terdekat yang anda cintai melakukan perbuatan tercela yang sangat mempermalukan keluarga.

Tafsir mimpi itu masih terus berlanjut. Bahkan ada juga pendapat mengatakan bahwa mimpi telanjang bermakna positif, artinya anda akan memulai hidup baru yang lebih baik dan bermasa depan cerah. Telanjang berarti kembali kepada ihwal kodrati kelahiran manusia, keluar dari rahim ibu tanpa membawa kebendaan, bahkan suci dari dosa. Jika anda bermimpi telanjang, anda akan menjadi manusia baru yang terlepas dari kesulitan hidup masa sebelumnya.

Meski lingkup olahan Psikologi telah mengalami perkembangan yang pesat, ditandai berjamurnya ilmu-ilmu terapan, terapi-terapi modern, sempalan-sempalan pada setiap ranah atau konsentrasi studi (Psikologi Perkembangan, Klinis, Pendidikan, Industri, Sosial, dsb), praktik-praktik yang dilakukan oleh pelaku berlatar-belakang disiplin ilmu lain yang kian dahsyat membanjir, bahkan lahirnya mahzab baru. Akan tetapi saya masih menjunjung hormat kepada sang Tuan Psikoanalisa mula-mula, Sigmund Freud.

Bapak satu itu, pada masanya dahulu juga melakukan analisis mimpi klien/pasiennya. Mimpi membawa isi pikiran bawah sadar seseorang yang dapat dianalisis untuk memahami apa yang menjadi akar masalah kehidupan sehingga ia menjadi pasien. Demikian kira-kira singkat maknawinya. Jika ingin tahu lebih banyak lagi kita bisa membedah literatur Psikoanalisa tradisional, baik dari Freud sendiri, Jung dan yang lainnya.

Hubungannya dengan telanjang? Ingin telanjang, mimpi telanjang, atau telanjang beneran, tentu saja berbeda-beda substansinya. Panjang kali lebar kali tinggi untuk dibahas satu per satu. Bukankah lebih enak jika kita sadari saja, selama masih berwujud manusia, tak kan lepas raga dan jiwa ini menghadapi berbagai kemungkinan koslet pada lapisan tertentu. Daripada menyesali pergumulan, masalah, keruwetan, bahkan kejanggalan yang kita rasakan, lebih baik diterima saja dengan ikhlas dan berserah. Minta tolong pada orang lain sebagai hakikat manusia adalah makhluk sosial. Peace... Telanjang boleh banget kok... tapi.... ;-)

RS @ own Blog
______________

Tuesday, April 21, 2009

Perempuan Berbisik 31: Tolong... Ada Yang Tahu???

Terkait hari lahir Kartini, mengingatkan rasa penasaran saya yang hingga kini belum terjawab.
Sekitar 1973-1975, berkisar tahun-tahun itu pada musim Kartini-an di bulan April (entah yang mana dari kisaran tahun-tahun tersebut). Waktu itu saya masih sangat kecil, saya tinggal di kabupaten Poso Sulawesi Tengah, dan pada masa-masa tersebut saya kerap mengikuti lomba deklamasi ataupun pembacaan puisi.

Ada sebuah puisi yang hingga saat ini masih saya hafal, kendati puluhan tahun lewat sudah. Puisi yang dideklamasikan anak 5 atau 6 tahunan ini (waktu itu), yang dihayati mendalam hingga dapat membayangkan sosok Kartini sang tokoh sentral di puisi tersebut.

Masalah utamanya, saya sama sekali tidak ingat penulis ataupun pengarang puisi sederhana nan sarat makna itu.
Adakah yang tahu dan dapat membantu saya?
Ini dia penggalan syair BUNDA...

Liku-liku jalan joang,
penuh onak duri...
Bunda saingi sayang,
Gelap pekat cuaca,
Bunda terangi cita...

Rantai usang adat ketat,
Bunda urai, hikmat,
walau makan enerji,
tanggung jawab tersendiri...
Payah menyelubung hasrat,
niat kukuh menyengat,
'narik wanita dari lumpur,
buta ilmu,
ditindas takabur...

Kini...
Luas jalan terang...
bebas terbentang...
'tuk wanita segala lapisan,
'ngejar kemajuan.

Salam kasih, hormat dan takzim kepada Sang Pengarang yang belum juga kuketahui...
RS @ RS own blog "Whisper of Woman"
___________________________________

Monday, April 13, 2009

Perempuan Berbisik 30: Ide, Rapat, Eksekusi

Kepala gue mau meledak rasanya, bukan karena masalah-masalah yang emang dan pasti setiap hari ada aja, namanya juga orang hidup, di dunia fana lagi 'kan, ya ngga. Penuhnya otak gue tuh gara-gara ide, datang aja gitu, ngga dicari-cari. Kalau mau yang enak aja, bisa sih sebenernya. Mikirin aja tuh ide-ide, sebanyak-banyaknya, bayangin aja seolah-olah udah terjadi, selesai. Mimpi tinggal mimpi deh. Meski cara itu ngga salah juga merujuk teori transpersonal yang gue tau dikit-dikit. Bahwa imajinasi yang nyata diikuti teknik visualisasi terhadap hasil akhir dari suatu proses, lalu lupakan sudah, tinggal tunggu apa yang akan terjadi. Fine. Tapi gue belum merasa selesai untuk ide-ide yang banjir ini. Jadi cara itu belum sepenuhnya kena untuk saat ini. Fine juga lah.

Masalahnya sekarang, gue ngga bisa berhenti di wilayah ide yang berputar-putar ini aja. Apa mau dikata, gue maksa bikin rapat dengan kolega-kolega. Ngga perlu ngumpul, ngalor-ngidul, lagian kolega-kolega yang gue libatin dalam ide-ide ini saling ngga nyambung, hanya gue yang bisa menjahitnya jadi nyambung, karena ide-ide ini kan banjirnya di otak gue. Meski begitu, gue ngga sayang buat ngebagi-bagiin ide gue ke kolega-kolega, tentu yang gue pilih dari daftar terdekat, biar lebih gampang aja transferin ide-ide itu.

Berjalan deh rapat-rapat gue. Semua yang ada dalam daftar langsung gue undang ke rapat, meski masih banyak juga sih yang ingin gue masukin ke daftar anggota rapat, tapi entar aja, dipending buat tahap berikut. Rapat pertama, mulus. Kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Mulus. Ide gue udah terbagi-bagi ke semua, dan bisa dipahami. Gue dapat banyak masukan yang berarti dan berharga tentu dong. Jangan salah, rapat-rapat gue ngga mesti ngumpul kok, boros ongkos transport, kudapan, belum lagi musti dandan sebelum berangkat. Jadi cukup via media elektronik, wesewesewes... Praktis, ekonomis, banyak hasil. Terimakasih lho, Tuhan, karena dalam semuanya itu kan gue pasti ngundang Elu, ya kan God? Siiipp, jawaban Tuhan ramah banget... (meski ngga ramah pun ngga papa, karena Dia kan Tuhan Yang Maha Tahu yang paling baik, dan gue semata-mata berserah penuh pada kehendakNYA ajeee).

Akhirnya... the very important thing... eksekusinya dong. Ide banyak, rapat udah, kalo ngga dijalanin gimana bisa tuntas. Teori-teori action plan banyak banget boookk, mikirin teori malah bisa bikin teori baru pula nanti, jadi jalan pintasnya tailor made aja deh. Besok mulai dibedah, satu per satu, waktu tinggal diatur; gue mengikuti waktu dan waktu mengikuti gue, win-win kan. Target? Hhhmmm ide-ide gue yang sudah terbagi-bagi, sudah dirapatin, sudah dapat masukan untuk pengembangan, sudah ini, sudah itu pula, itulah target. Dan teori visualisasi boleh berlangsung deh sekarang, sambil membedah dan berjalan di rel yang tepat. Optimalisasi kekuatan pikiran, plus action yang selaras, tunggu dan lihat... apa yang terjadi?

RS__curhat di blog sendiri__
_______________________________

Sunday, April 12, 2009

Perempuan Berbisik 29: Geludug

Bahasa Indonesianya 'guruh', kan? Makanya ada kata bentukan 'gemuruh' dari kata dasar 'guruh' tadi itu, yang mendapat sisipan '-em'. Arti sederhananya, banyak guruh, sehingga terdengar mengg(-el)egar, bahkan mencekam apabila bunyi guruh yang riuh itu tidak jua berhenti. Kini disertai hujan, setelah tadi guruh bersahut-sahutan dari kejauhan, lalu makin mendekat.

Pada dasarnya saya tidak takut pada suara guruh atau 'geludug'. Sejak masih anak-anak pun saya tidak pernah punya pengalaman menangis, atau ketakutan lalu mencari perlindungan, juga tidak pernah bersembunyi di balik bantal dan selimut. Setiap kali mendengar bunyi guruh, saya akan menunggu. Itu selalu, terjadi sejak saya mengenal kata guruh, guntur, geludug, geledeg, petir, kilat, mungkin baru 3 tahun umur saya (hampir 40 tahun yang lalu).

Saya menunggu bunyi guruh berikutnya. Saya menghitung bunyi itu (yang kemudian saya bandingkan dengan jumlah hitungan sebelumnya, padahal bisa saja saya sudah lupa berapa bunyi guruh yang terhitung waktu itu). Tak lama hujan akan turun, apabila bunyi guruh sudah lebih dari 7 kali (demikian kesimpulan saya ketika masih anak-anak dulu). Saya senang jika guruh berbunyi, tandanya petir tidak akan datang. Jika petir menyambar sebelum guruh berbunyi, maka saya serta-merta membunyikan suara dengan mulut dan bibir saya. Caranya, mulut dimonyongkan, lalu menyedot (menghisap dengan mulut terkatup dan monyong) dengan kuat, maka akan terdengar bunyi seperti mengecup yang panjang. Ini resep dari para leluhur saya, diturunkan kepada ibu saya, tak disadarinya saya pelajari dari mengamati. Dulu alm Oma saya bilang, bunyi mulut kita itu bisa didengar oleh guntur (guruh). Dengan bergemanya suara guruh, maka petir akan berhenti menyambar. Sekarang saya senyum-senyum mengingat cerita ini. Anehnya, saya masih mempraktikkan teknik mulut monyong menyedot mengecup itu. He he he...

Saat ini saya sedang menunggu sampai waktu untuk mandi dan bersiap-siap tiba. Saya ingin berjaga-jaga saja sekarang, karena sebentar lagi saat matahari masih bersembunyi, belum cukup tua untuk mengintip di ufuk, saya harus sudah berkumpul. Saya deg-degan. Bukan karena hendak menyanyi dengan not-not yang tinggi. Saya bergetar, karena saya merasa seolah-olah masuk ke dalam putaran waktu, kembali ke abad pertama. Ketika batu itu terguling, kubur itu kosong.

Saat ini, guruh terhitung lebih dari 10 kali. Air hujan mengikuti jejak guruh, membasahi ranting-ranting dan dedaunan, rumput, atap, halaman, jalan, menyapu debu yang tadi begitu hebat mengepul dari berbagai sumbernya. Air hujan ini terasa sangat sejuk, namun saya tetap deg-degan, hati saya bergetar, tubuh saya gemetar. Guruh yang bergemuruh beberapa waktu berselang, membayangi sebuah citra, menghadirkan suasana saat gelap menyelimuti bumi, tabir Bait Allah terbelah dua. Guruh itu adalah suaraNYA, hati saya bergetar hebat mendengar suara itu, sekaligus tenteram.

Apalah saya tanpa kematian dan kebangkitanMU?
Saya tidak memuja agamaku, sama sekali tidak. Saya hanya memuja ENGKAU, ya Allah, ya Anak, ya Rohul Kudus.

Thursday, April 9, 2009

Perempuan Berbisik 28: Lembut Dan Tegas

Posting kali ini tidak ada hubungannya lagi dengan pemilu. Tadi pagi sudah mencontreng, sehari sebelumnya berjuang di kelurahan dan KPPS, siang hingga sore ini sesekali melirik quick count di tilipisi. Tinggallah optimis saja menyongsong hari esok, serta perlu koreksi dan evaluasi terhadap kerja KPU, termasuk UU-nya. Ya ampun, masih bahas ini-ini juga. Sudah ah!

Judul 'lembut-tegas' yang saya angkat sesungguhnya berkisah seputar perilaku anak-anak zaman sekarang. Bukan anak muda, yang remaja dan dewasa awal saja, namun terlebih juga anak-anak dalam kluster usia anak-anak beneran, mulai batita hingga akhir masa anak, sekitar 11-12 tahun begitu. Kenapa?

Saya cukup sering bertemu teman-teman yang dilakukan dengan sengaja karena janjian. Atau bertemu tanpa sengaja dengan teman, kenalan, kerabat, di suatu tempat kegiatan bersama, tempat ibadah, tempat berbelanja, atau tempat-tempat tertentu, bahkan termasuk juga bertemu klien di ruang praktik. Mereka dengan anak-anak atau anaknya. Poinnya adalah, perilaku anak-anak dari teman-teman, kerabat, kenalan, klien tersebut, sungguh rupa-rupa warnanya. Indah.

Unik dan spesialnya setiap anak pasti membawa kebahagiaan tersendiri pada para orangtua, di samping bawaan yang kurang menyenangkan karena ulah anak juga. Kekhususan anak-anak dalam masa perkembangannya tak kurang mendatangkan suasana berbeda dengan keceriaan mereka yang khas. Oleh sebab itu saat mengamati perilaku anak-anak di dalam kelompoknya, dapat membuat orang dewasa terpingkal-pingkal karena lucunya mereka. Kepolosan dan keinginannya mencoba berbagai peran orang dewasa merupakan salah satu pemandangan yang segar. Tentu saja sedikit berbeda untuk kelompok anak-anak berkebutuhan khusus. Topiknya harus khusus juga, bukan sekarang.

Soalan untuk topik kali ini, yakni perilaku anak-anak yang di luar batas, alias kurang tepat di dalam suatu situasi. Ada anak-anak yang disebut 'manis' oleh sebagian orang dewasa, karena dapat berlaku sopan dan santun (sesuai norma-norma orang dewasa). Ada pula yang disebut 'tidak manis' karena melakukan berbagai hal yang mengganggu aktivitas orangtua, atau 'melawan' dengan kasar pada orang-orang dewasa di sekitarnya, tanpa takut.

Sebagian anak-anak tipe kedua tersebut tanpa sadar 'terlabel' di dalam hati orang dewasa yang menyaksikannya, sebagai 'anak yang menjengkelkan'. Meski tetap ada orang-orang dewasa dan orangtua lain selain orangtua si anak tentunya, yang dapat 'menerima' perilaku tersebut (sungguh-sungguh menerima, atau pura-pura menerima dengan rasa kesal di hati) dengan alasan: "tidak masalah, masih anak-anak, memang demikian."

Dewasa ini banyak ilmu dan anjuran dalam 'parenting and nursering advice' kepada orangtua agar sungguh-sungguh memahami anak-anak mereka secara unik dan special. Memberikan rasa aman, nyaman, kasih sayang, kelemah-lembutan, dan seterusnya, agar anak-anak merasa dicintai. Berikan pelukan, ciuman, tatapan kasih dan pengertian, agar dengan cinta yang diterimanya saat usia dini dapat tertanam dan kemudian terbawa di dalam kepribadiannya kelak.

Saya sepakat. Namun pertanyaannya, bagaimana dengan penanaman nilai-nilai? Peraturan, disiplin, sopan-santun, dan sebagainya? Jika seorang anak yang melakukan tingkah laku yang kurang baik, katakanlah mengganggu anak lain dengan merebut mainan yang dibawa, apakah orangtua harus juga mengambil anaknya ke dalam pelukan, membelainya, menciumnya, dan mengatakan "Ilove you"? Atau membiarkan saja tingkah anak tersebut tanpa melakukan apa-apa? Saya menuliskan ini karena saya melihat hal itu terjadi.
Mohon maaf, dalam hal ini saya tidak setuju.

Orangtua yang bersikap lembut terhadap anak, itu baik, dianjurkan. Akan tetapi, orangtua wajib juga menanamkan nilai-nilai dan norma yang benar sedari anak masih kecil, yakni saat usianya sudah cukup tepat untuk memahami. Kewajiban ini tentunya dilaksanakan dengan tetap lemah-lembut, tapi TEGAS.
Kapan ditanamkan nilai-nilai, norma dan peraturan umum tersebut? Menurut saya saat anak sudah mampu menangkap perkataan verbal orangtua yang disertai pemahaman terhadap gesture atau ekspresi orangtuanya. Ketika anak sudah mengerti jika ditunjukkan suatu mainan berikut cara mengoperasikannya, artinya dia sudah paham penjelasan verbal yang disertai CONTOH.

Ada anak yang sudah mampu memahami isi pembicaraan saat ia berusia 3 tahun, bahkan kurang. Namun anak-anak tertentu baru bisa memahami saat berusia 4-5 tahun. That's ok. Tapi tugas orangtua lah yang mula-mula memberitahukan kepadanya, termasuk memberikan contoh-contoh konkret dalam pelaksanaannya, alias teladan. Misalnya, orangtua perlu memberitahukan (menurut saya lho) bahwa pada saat antar orangtua sedang berbicara, atau bahkan hal itu terjadi di tengah-tengah acara orangtua, maka anak harus menuruti peraturan. Sebaiknya justru anak-anak tidak berada di tengah-tengah acara yang diperuntukkan bagi orangtua. Apabila ia diperkenankan berada di sana, maka perlu ada rules yang disepakati bersama.

Sepasang bapak dan ibu menerapkan suatu teknik yang cukup berjalan dengan baik dalam menanamkan nilai, norma, aturan dan disiplin pada anak. Tentunya dengan prinsip LEMBUT dan TEGAS itu tadi. Anak-anak sudah dibekali sejak dari rumah, sejak mereka mulai paham kata-kata orangtua. Tentunya tidak semua hal bisa berjalan mulus, namun pasti sebagian besar bisa terlaksana. Lalu, pada saat anak-anak dan orangtua berada di luar area kekuasaan mereka, yakni di luar rumah, bapak atau ibu akan berbicara dengan anak-anak yang turut serta bersama mereka.

Contohnya begini,
"Nak, sebentar lagi ibu akan berkumpul dengan teman-teman ibu di meja nomor 5, kamu duduk bersama adik di meja nomor 7 ya, atau ingin bermain di kamar bola?"
Ketika anak menentukan pilihannya, maka orangtua membuat kontrak berikutnya:
"Ibu berkumpul dengan teman-teman ibu yang semuanya orangtua itu tidak lama, hanya satu jam saja. Tapi mungkin bisa lebih panjang setengah jam lagi, jadi kamu harus menunggu satu setengah jam, ya,"
Jika anak menawar, ingatkan bahwa dari rumah tadi mereka sudah ada kontrak anak akan tunduk pada peraturan orangtua saat berada di tempat ini. Selanjutnya, jika anak sudah ingin gabung padahal waktu kontraknya belum selesai, maka orantua perlu tegas mengatakan: "tidak".

Bagaimana jika anak-anak membuat keributan di tengah acara orangtua? Haruskah dimarahi? Tentu bukan dimarahi, tapi ditarik dengan tegas, diingatkan, bahkan kalau perlu dibawa ke tempat yang agak jauh untuk berbicara, memperbarui kontrak. Jika anak menagis menggerung-gerung, bagaimana? Jika sudah ada penanaman nilai-nilai sejak awal, jika sudah ada saling pengertian, terlebih ada kontrak-kontrak yang dibuat dengan lembut dan tegas, tak kan terjadi pergulatan itu.

Akhirnya, tingkah laku anak mencerminkan pola asuh orangtua terhadap anak, utamanya dalam hal penanaman nilai-nilai, norma, disiplin, sopan-santun dan sebagainya. BTW, ada orangtua yang saking khawatirnya, meski sudah membuat kontrak dengan anak untuk beberapa waktu anak bermain di tempat lain yang masih dapat dijangkau pandangan orangtua, namun ketika anak terjatuh sedikit saja, orangtua sudah berlari-lari menolongnya. Wah, kapan ia bisa mengatasi masalahnya? Semua hal diambil alih oleh orangtuanya.

Maaf... lebih baik saya tuliskan daripada saya simpan saja, bukan?
peace.....
______________RS for her own blog______________

Posts Archive


PEREMPUAN = SRIKANDI ?

Kenapa PEREMPUAN PEJUANG sering disebut SRIKANDI.
APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?
Kutelusuri WIKIPEDIA, kutemukan entri SRIKANDI ini

Srikandi (Sanskerta: Śikhaṇḍī) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata vrsi India.
Arti nama
Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".
Srikandi dalam Mahabharata
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Perang di Kurukshetra
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Srikandi dalam Pewayangan Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

JADI, APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?

*********

PEREMPUAN DAN PENDIDIKAN
Rinny Soegiyoharto (catatan tak selesai pada april 2006)

Ragam aktivitas ke-Kartini-an sebagai simbol emansipasi kaum perempuan seperti sebuah rutinitas lebih bergaung pada bulan April mendekati hari keduapuluhsatu. Ditandai aneka lomba dan berbagai atribut keperempuanan yang adakalanya malah tampak sekadar wujud lahiriah dan kasat mata. Sebut saja lomba berkebaya, lomba masak, lomba pasang dasi, lomba merias wajah, dan sebagainya.

*** *** *** *** ***

-DRAFT--Wanita. Meski berpadan dengan perempuan, namun kata dasar “empu” pada perempuan terasa lebih nyaman dan membanggakan, oleh sebab itu saya suka menggunakan kata “perempuan”, termasuk dalam menamai blog saya.-
Perempuan, sadar soal pentingnya pendidikan terhadap anak-anak, karena di "dalam" perempuan terdapat beban psikologis memperjuangkan dirinya sendiri, terus-menerus. Utamanya dalam hal pendidikan (sudah diterobos Kartini). Guru TK-SD bahkan SMP kebanyakan perempuan. Bapak-bapak lebih banyak muncul dan berperan pada tingkat pendidikan lanjutan atas (SMA), dimana pendidikan dasar telah ditanamkan lebih dahulu oleh ibu-ibu guru. Mengapa? Sekali lagi karena perempuan secara lahiriah dan kodrati justru memikul tanggung jawab pendidikan itu sendiri yang dimulai pada dirinya sendiri. Maka, bapak-bapak guru lebih kepada transfer of knowledge, ketimbang hal-hal mendasar yang lebih berhubungan dengan pembangunan karakter, penanaman proses belajar dan pengertian-pengertian dasar untuk dan selama manusia menempuh proses pendidikan.- Pendidikan: mencakup attitude/sikap, yakni kognitif, afektif dan perilaku. Pengembangan kepribadian, pembiasaan good character, kesadaran dan tanggung jawab akan masa depan pribadi/diri sendiri yang mempengaruhi masa depan keluarga dan kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara, dll.- Bukan diskriminasi yang mengarah pada gerakan feminisme.- Perbedaan sesuatu yang dirayakan bersama sebagai unsur2 yg saling bersinergi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan bersama: orangtua, pendidik, bangsa dan negara.- Berkaitan erat dengan UU Anti-KDRT. Jika perempuan terus ditindas, bahkan di dalam rumah tangganya sendiri, bagaimana mungkin perempuan dapat bertugas/ berkiprah/ bertindak optimal untuk mendidik anak-anak, baik anak sendiri maupun anak-anak didik apabila ia seorang guru? Kendati lagi, waktu terus merambah, persaingan global semakin cepat dan menantang, anak tidak berhenti tumbuh dan berkembang, suatu waktu akan tiba ketika anak mulai lebih banyak mencurahkan porsi proses pendidikannya pada pemenuhan kognitif, belajar ilmu2 tinggi, yg bisa jadi sebagian besar diberikan oleh laki-laki, bapak2 yg menitikberatkan pada perkembangan kognitif.- Perempuan & laki2 lebih kepada pembagian peran, baik dalam pendidikan di dalam rumah tangga, maupun pendidikan secara luas, formal & informal. Karena baik dari segi struktur fisiologis dan psikologis serta kultural dan sejarah di dalam masyarakat kita, telah membentuk sebuah perbedaan laki2 dan perempuan, yang harus kita rayakan bersama-sama membentuk manusia-manusia berkualitas dlm diri anak2 kita sebagai proses pendidikan menuju masa depan cerah mengikuti kecerahan janji bangsa ini. Amin.-

Pendidikan dimulai dari rumah. Peran ibu sebagai objek kelekatan anak yang pertama terhadap proses pendidikan anak tentulah tidak kecil. Sebagai perempuan, tentunya ibu harus tidak hanya memberikan pelajaran, namun pendidikan kasih sayang, penanaman afeksi, unsur penting bagi rasa nyaman dan aman bagi anak, karena merasa dicintai. Bagaimana mungkin ibu dapat menanam benih cinta pada anak apabila dia sendiri mengalami kekerasan dalam rumah tangga.***