Friday, July 10, 2009

Perempuan Berbisik 41: Human Right

Perempuan bernama Maria Hartiningsih (MH) jelas-jelas (selalu) t.o.p mengangkat kehidupan perempuan dan HAM. Tidak tahan hati saya untuk segera menempel feature Swara Kompas cetak hari ini, di sini, tentu saja ulasan MH. Mari...


hak asasi manusia
Merawat Ingatan

Maria Hartiningsih - KOMPAS
Jumat, 10 Juli 2009 | 09:36 WIB

Perjalanan ke beberapa wilayah di Jawa terasa cukup melelahkan bagi Ny Sumarsih, Ny Tuti Koto, dan Ny Ruyati Darwin. Namun, rasa lelah itu menguap ketika berhadapan dengan para korban pelanggaran hak asasi manusia di berbagai daerah.

Saya merasa ada benang halus yang menghubungkan kami, bukan hanya sebagai korban, tetapi terutama sebagai sesama warga negara yang dilanggar hak-haknya, ujar Ny Sumarsih. Saya tidak pernah merasa lelah kalau menyangkut soal keadilan, sambung Ny Tuti Koto.

Ny Sumarsih (56) adalah ibu dari Bernardinus Realino Norma Irawan atau Wawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Jakarta. Ia tewas diterabas peluru aparat dalam tragedi Semanggi I pada 13 November 1998. Saat itu Wawan tengah menjalankan tugas kemanusiaannya di dalam Kampus Universitas Atma Jaya.

Ny Tuti Koto (71) adalah ibu dari Yani Afri, korban penculikan aktivis tahun 1997. Ny Ruyati Darwin (63) adalah ibu dari Eten Karyana, guru bahasa Inggris yang tak berhasil lolos dari kobaran api saat mencoba menyelamatkan anak-anak di dalam bangunan Toserba Yogya di bilangan Klender, Jakarta Timur, dalam kerusuhan Mei 1998 di Jakarta.

Merawat ingatan

Ny Sumarsih, Ny Tuti Koto, dan Ny Ruyati Darwin adalah tiga dari 16 anggota rombongan yang dipimpin Usman Hamid dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Mereka melakukan perjalanan ke beberapa daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat selama sepekan sejak 1 Juli.

Selain tiga ibu itu, ikut dalam rombongan itu antara lain Yetty, mewakili keluarga korban Tanjung Priok, 1984; Bejo Untung, mewakili korban tragedi 1965; serta Tanto, pedagang kaki lima, mewakili korban pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Bagi mereka, perjalanan menemui para korban dan para keluarga korban pelanggaran HAM di beberapa daerah itu adalah perjalanan untuk menjaring harapan dan merawat ingatan.

Sebagai perempuan, mereka menyadari posisinya sebagai korban terdepan dari berbagai peristiwa kekerasan. Sebagai ibu, mereka memiliki pengalaman otentik terkait dengan rasa kehilangan anak-anak mereka dalam suatu peristiwa politik.

Pengalaman khas perempuan mulai dari hamil, melahirkan, merawat, mendidik, dan seluruh cinta yang dicurahkan untuk merawat kehidupan, akan menghubungkannya dengan perempuan lain yang memiliki pengalaman serupa untuk kasus-kasus pelanggaran yang berbeda.

Saya tahu, banyak orang mengalami pelupaan terhadap peristiwa pelanggaran hak asasi manusia, ujar Ny Sumarsih. Tetapi itu selalu bisa diatasi. Apalagi pelanggaran terus terjadi menyangkut hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, lanjutnya.

Dalam perjalanan itu, rombongan berhenti di Batang, Semarang, Pati, Kulon Progo, Porong, Surabaya, Malang, dan Indramayu, menemui kelompok-kelompok petani korban perampasan tanah, kelompok miskin kota, korban penggusuran, korban PHK, korban eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam, keluarga korban penghilangan, dan keluarga pelanggaran HAM masa lalu yang tak pernah diselesaikan.

Merebut ruang

Pertemuan dengan para korban pelanggaran HAM di sejumlah daerah itu, menurut Usman Hamid, merupakan tindak lanjut dari Kongres Pejuang HAM yang bertema Merebut Ruang Politik bagi Pemajuan HAM di Jakarta, 17-20 Maret 2009.

Usman mengingatkan, kekerasan terhadap warga negara cenderung tak pernah berhenti. Pemenuhan kewajiban negara dalam hal pemajuan, perlindungan, dan penegakan HAM tak terwujud. Korban pelanggaran HAM tetap terpinggirkan.

Forum itu merupakan wujud keprihatinan terhadap komunitas korban yang terus berada di tepi arena politik, ujar Usman. Mereka tak mampu menerobos ruang-ruang politik formal untuk membuka kebenaran versi korban, lanjutnya.

Ruang itu dimaksudkan untuk menggali persepsi perubahan dan menjadikan Pemilu 2009 sebagai resolusi untuk memperbaiki keadaan yang selama ini masih mendiskriminasikan hak-hak korban pelanggaran HAM.

Namun, pemilu tak menjamin keadilan bagi korban dapat digapai, sementara pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya semakin masif terjadi pada zaman liberalisasi ekonomi ini. Kongres itu menguakkan fakta mengapa kekayaan alam di suatu daerah tidak menyejahterakan rakyat, sebaliknya, justru terjadi pengambilalihan hak kepemilikan tanah warga dan sumber daya komunitas oleh pihak lain.



Upaya menemui para korban di daerah-daerah itu juga dapat dilihat sebagai upaya merebut memori kolektif atas pelanggaran yang telah terjadi untuk menajamkan persepsi terhadap pelanggaran yang terus terjadi.

Namun, keberadaan memori kolektif juga dipertanyakan. Dalam diskusi di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) beberapa waktu lalu, Agung Yudha dari Elsam mempertanyakan apakah memori kolektif tentang pelanggaran masa lalu itu telah terbangun atau hanya merupakan memori kolektif korban.

Kalau benar ada, mengapa upaya menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu selalu menemui jalan buntu, ujarnya.

Usman Hamid mengatakan, pertarungan antara memori melawan amnesia terjadi lebih pada tingkat diskursus publik serta perebutan akses kekuasaan politik. Namun, memori tentang peristiwa itu tak pernah mati dalam diri korban dan keluarganya serta komunitas yang langsung mengalaminya.



Diingatkan, respons negara membuat korban tak pernah menjadi kekuatan penekan yang efektif. Pelanggaran masa lalu banyak dianggap sebagai kasus, bukan lembaran utuh. Korban pelanggaran hak-hak sipil dan politik juga dibedakan dari korban pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, padahal semuanya berkait dan berkelindan.

Kemiskinan adalah sebab sekaligus akibat dari berbagai pelanggaran itu, ujarnya.

Usman juga mengingatkan, semua pelanggaran masa lalu memiliki relevansi dengan kekinian dan oleh karena itu membutuhkan taktik perjuangan yang lebih strategis untuk menghadapinya.

Peristiwa 65 terkait dengan kasus tanah, peristiwa Talangsari punya relevansi dengan perebutan sumber daya alam di Aceh, Papua, dan lain-lain. Peristiwa Tanjung Priok terkait dengan sekuritisasi untuk mengamankan agenda-agenda pembangunan, ujarnya. (MARIA HARTININGSIH)

No comments:

Posts Archive


PEREMPUAN = SRIKANDI ?

Kenapa PEREMPUAN PEJUANG sering disebut SRIKANDI.
APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?
Kutelusuri WIKIPEDIA, kutemukan entri SRIKANDI ini

Srikandi (Sanskerta: Śikhaṇḍī) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata vrsi India.
Arti nama
Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".
Srikandi dalam Mahabharata
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Perang di Kurukshetra
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Srikandi dalam Pewayangan Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

JADI, APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?

*********

PEREMPUAN DAN PENDIDIKAN
Rinny Soegiyoharto (catatan tak selesai pada april 2006)

Ragam aktivitas ke-Kartini-an sebagai simbol emansipasi kaum perempuan seperti sebuah rutinitas lebih bergaung pada bulan April mendekati hari keduapuluhsatu. Ditandai aneka lomba dan berbagai atribut keperempuanan yang adakalanya malah tampak sekadar wujud lahiriah dan kasat mata. Sebut saja lomba berkebaya, lomba masak, lomba pasang dasi, lomba merias wajah, dan sebagainya.

*** *** *** *** ***

-DRAFT--Wanita. Meski berpadan dengan perempuan, namun kata dasar “empu” pada perempuan terasa lebih nyaman dan membanggakan, oleh sebab itu saya suka menggunakan kata “perempuan”, termasuk dalam menamai blog saya.-
Perempuan, sadar soal pentingnya pendidikan terhadap anak-anak, karena di "dalam" perempuan terdapat beban psikologis memperjuangkan dirinya sendiri, terus-menerus. Utamanya dalam hal pendidikan (sudah diterobos Kartini). Guru TK-SD bahkan SMP kebanyakan perempuan. Bapak-bapak lebih banyak muncul dan berperan pada tingkat pendidikan lanjutan atas (SMA), dimana pendidikan dasar telah ditanamkan lebih dahulu oleh ibu-ibu guru. Mengapa? Sekali lagi karena perempuan secara lahiriah dan kodrati justru memikul tanggung jawab pendidikan itu sendiri yang dimulai pada dirinya sendiri. Maka, bapak-bapak guru lebih kepada transfer of knowledge, ketimbang hal-hal mendasar yang lebih berhubungan dengan pembangunan karakter, penanaman proses belajar dan pengertian-pengertian dasar untuk dan selama manusia menempuh proses pendidikan.- Pendidikan: mencakup attitude/sikap, yakni kognitif, afektif dan perilaku. Pengembangan kepribadian, pembiasaan good character, kesadaran dan tanggung jawab akan masa depan pribadi/diri sendiri yang mempengaruhi masa depan keluarga dan kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara, dll.- Bukan diskriminasi yang mengarah pada gerakan feminisme.- Perbedaan sesuatu yang dirayakan bersama sebagai unsur2 yg saling bersinergi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan bersama: orangtua, pendidik, bangsa dan negara.- Berkaitan erat dengan UU Anti-KDRT. Jika perempuan terus ditindas, bahkan di dalam rumah tangganya sendiri, bagaimana mungkin perempuan dapat bertugas/ berkiprah/ bertindak optimal untuk mendidik anak-anak, baik anak sendiri maupun anak-anak didik apabila ia seorang guru? Kendati lagi, waktu terus merambah, persaingan global semakin cepat dan menantang, anak tidak berhenti tumbuh dan berkembang, suatu waktu akan tiba ketika anak mulai lebih banyak mencurahkan porsi proses pendidikannya pada pemenuhan kognitif, belajar ilmu2 tinggi, yg bisa jadi sebagian besar diberikan oleh laki-laki, bapak2 yg menitikberatkan pada perkembangan kognitif.- Perempuan & laki2 lebih kepada pembagian peran, baik dalam pendidikan di dalam rumah tangga, maupun pendidikan secara luas, formal & informal. Karena baik dari segi struktur fisiologis dan psikologis serta kultural dan sejarah di dalam masyarakat kita, telah membentuk sebuah perbedaan laki2 dan perempuan, yang harus kita rayakan bersama-sama membentuk manusia-manusia berkualitas dlm diri anak2 kita sebagai proses pendidikan menuju masa depan cerah mengikuti kecerahan janji bangsa ini. Amin.-

Pendidikan dimulai dari rumah. Peran ibu sebagai objek kelekatan anak yang pertama terhadap proses pendidikan anak tentulah tidak kecil. Sebagai perempuan, tentunya ibu harus tidak hanya memberikan pelajaran, namun pendidikan kasih sayang, penanaman afeksi, unsur penting bagi rasa nyaman dan aman bagi anak, karena merasa dicintai. Bagaimana mungkin ibu dapat menanam benih cinta pada anak apabila dia sendiri mengalami kekerasan dalam rumah tangga.***