Thursday, April 9, 2009

Perempuan Berbisik 28: Lembut Dan Tegas

Posting kali ini tidak ada hubungannya lagi dengan pemilu. Tadi pagi sudah mencontreng, sehari sebelumnya berjuang di kelurahan dan KPPS, siang hingga sore ini sesekali melirik quick count di tilipisi. Tinggallah optimis saja menyongsong hari esok, serta perlu koreksi dan evaluasi terhadap kerja KPU, termasuk UU-nya. Ya ampun, masih bahas ini-ini juga. Sudah ah!

Judul 'lembut-tegas' yang saya angkat sesungguhnya berkisah seputar perilaku anak-anak zaman sekarang. Bukan anak muda, yang remaja dan dewasa awal saja, namun terlebih juga anak-anak dalam kluster usia anak-anak beneran, mulai batita hingga akhir masa anak, sekitar 11-12 tahun begitu. Kenapa?

Saya cukup sering bertemu teman-teman yang dilakukan dengan sengaja karena janjian. Atau bertemu tanpa sengaja dengan teman, kenalan, kerabat, di suatu tempat kegiatan bersama, tempat ibadah, tempat berbelanja, atau tempat-tempat tertentu, bahkan termasuk juga bertemu klien di ruang praktik. Mereka dengan anak-anak atau anaknya. Poinnya adalah, perilaku anak-anak dari teman-teman, kerabat, kenalan, klien tersebut, sungguh rupa-rupa warnanya. Indah.

Unik dan spesialnya setiap anak pasti membawa kebahagiaan tersendiri pada para orangtua, di samping bawaan yang kurang menyenangkan karena ulah anak juga. Kekhususan anak-anak dalam masa perkembangannya tak kurang mendatangkan suasana berbeda dengan keceriaan mereka yang khas. Oleh sebab itu saat mengamati perilaku anak-anak di dalam kelompoknya, dapat membuat orang dewasa terpingkal-pingkal karena lucunya mereka. Kepolosan dan keinginannya mencoba berbagai peran orang dewasa merupakan salah satu pemandangan yang segar. Tentu saja sedikit berbeda untuk kelompok anak-anak berkebutuhan khusus. Topiknya harus khusus juga, bukan sekarang.

Soalan untuk topik kali ini, yakni perilaku anak-anak yang di luar batas, alias kurang tepat di dalam suatu situasi. Ada anak-anak yang disebut 'manis' oleh sebagian orang dewasa, karena dapat berlaku sopan dan santun (sesuai norma-norma orang dewasa). Ada pula yang disebut 'tidak manis' karena melakukan berbagai hal yang mengganggu aktivitas orangtua, atau 'melawan' dengan kasar pada orang-orang dewasa di sekitarnya, tanpa takut.

Sebagian anak-anak tipe kedua tersebut tanpa sadar 'terlabel' di dalam hati orang dewasa yang menyaksikannya, sebagai 'anak yang menjengkelkan'. Meski tetap ada orang-orang dewasa dan orangtua lain selain orangtua si anak tentunya, yang dapat 'menerima' perilaku tersebut (sungguh-sungguh menerima, atau pura-pura menerima dengan rasa kesal di hati) dengan alasan: "tidak masalah, masih anak-anak, memang demikian."

Dewasa ini banyak ilmu dan anjuran dalam 'parenting and nursering advice' kepada orangtua agar sungguh-sungguh memahami anak-anak mereka secara unik dan special. Memberikan rasa aman, nyaman, kasih sayang, kelemah-lembutan, dan seterusnya, agar anak-anak merasa dicintai. Berikan pelukan, ciuman, tatapan kasih dan pengertian, agar dengan cinta yang diterimanya saat usia dini dapat tertanam dan kemudian terbawa di dalam kepribadiannya kelak.

Saya sepakat. Namun pertanyaannya, bagaimana dengan penanaman nilai-nilai? Peraturan, disiplin, sopan-santun, dan sebagainya? Jika seorang anak yang melakukan tingkah laku yang kurang baik, katakanlah mengganggu anak lain dengan merebut mainan yang dibawa, apakah orangtua harus juga mengambil anaknya ke dalam pelukan, membelainya, menciumnya, dan mengatakan "Ilove you"? Atau membiarkan saja tingkah anak tersebut tanpa melakukan apa-apa? Saya menuliskan ini karena saya melihat hal itu terjadi.
Mohon maaf, dalam hal ini saya tidak setuju.

Orangtua yang bersikap lembut terhadap anak, itu baik, dianjurkan. Akan tetapi, orangtua wajib juga menanamkan nilai-nilai dan norma yang benar sedari anak masih kecil, yakni saat usianya sudah cukup tepat untuk memahami. Kewajiban ini tentunya dilaksanakan dengan tetap lemah-lembut, tapi TEGAS.
Kapan ditanamkan nilai-nilai, norma dan peraturan umum tersebut? Menurut saya saat anak sudah mampu menangkap perkataan verbal orangtua yang disertai pemahaman terhadap gesture atau ekspresi orangtuanya. Ketika anak sudah mengerti jika ditunjukkan suatu mainan berikut cara mengoperasikannya, artinya dia sudah paham penjelasan verbal yang disertai CONTOH.

Ada anak yang sudah mampu memahami isi pembicaraan saat ia berusia 3 tahun, bahkan kurang. Namun anak-anak tertentu baru bisa memahami saat berusia 4-5 tahun. That's ok. Tapi tugas orangtua lah yang mula-mula memberitahukan kepadanya, termasuk memberikan contoh-contoh konkret dalam pelaksanaannya, alias teladan. Misalnya, orangtua perlu memberitahukan (menurut saya lho) bahwa pada saat antar orangtua sedang berbicara, atau bahkan hal itu terjadi di tengah-tengah acara orangtua, maka anak harus menuruti peraturan. Sebaiknya justru anak-anak tidak berada di tengah-tengah acara yang diperuntukkan bagi orangtua. Apabila ia diperkenankan berada di sana, maka perlu ada rules yang disepakati bersama.

Sepasang bapak dan ibu menerapkan suatu teknik yang cukup berjalan dengan baik dalam menanamkan nilai, norma, aturan dan disiplin pada anak. Tentunya dengan prinsip LEMBUT dan TEGAS itu tadi. Anak-anak sudah dibekali sejak dari rumah, sejak mereka mulai paham kata-kata orangtua. Tentunya tidak semua hal bisa berjalan mulus, namun pasti sebagian besar bisa terlaksana. Lalu, pada saat anak-anak dan orangtua berada di luar area kekuasaan mereka, yakni di luar rumah, bapak atau ibu akan berbicara dengan anak-anak yang turut serta bersama mereka.

Contohnya begini,
"Nak, sebentar lagi ibu akan berkumpul dengan teman-teman ibu di meja nomor 5, kamu duduk bersama adik di meja nomor 7 ya, atau ingin bermain di kamar bola?"
Ketika anak menentukan pilihannya, maka orangtua membuat kontrak berikutnya:
"Ibu berkumpul dengan teman-teman ibu yang semuanya orangtua itu tidak lama, hanya satu jam saja. Tapi mungkin bisa lebih panjang setengah jam lagi, jadi kamu harus menunggu satu setengah jam, ya,"
Jika anak menawar, ingatkan bahwa dari rumah tadi mereka sudah ada kontrak anak akan tunduk pada peraturan orangtua saat berada di tempat ini. Selanjutnya, jika anak sudah ingin gabung padahal waktu kontraknya belum selesai, maka orantua perlu tegas mengatakan: "tidak".

Bagaimana jika anak-anak membuat keributan di tengah acara orangtua? Haruskah dimarahi? Tentu bukan dimarahi, tapi ditarik dengan tegas, diingatkan, bahkan kalau perlu dibawa ke tempat yang agak jauh untuk berbicara, memperbarui kontrak. Jika anak menagis menggerung-gerung, bagaimana? Jika sudah ada penanaman nilai-nilai sejak awal, jika sudah ada saling pengertian, terlebih ada kontrak-kontrak yang dibuat dengan lembut dan tegas, tak kan terjadi pergulatan itu.

Akhirnya, tingkah laku anak mencerminkan pola asuh orangtua terhadap anak, utamanya dalam hal penanaman nilai-nilai, norma, disiplin, sopan-santun dan sebagainya. BTW, ada orangtua yang saking khawatirnya, meski sudah membuat kontrak dengan anak untuk beberapa waktu anak bermain di tempat lain yang masih dapat dijangkau pandangan orangtua, namun ketika anak terjatuh sedikit saja, orangtua sudah berlari-lari menolongnya. Wah, kapan ia bisa mengatasi masalahnya? Semua hal diambil alih oleh orangtuanya.

Maaf... lebih baik saya tuliskan daripada saya simpan saja, bukan?
peace.....
______________RS for her own blog______________

No comments:

Posts Archive


PEREMPUAN = SRIKANDI ?

Kenapa PEREMPUAN PEJUANG sering disebut SRIKANDI.
APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?
Kutelusuri WIKIPEDIA, kutemukan entri SRIKANDI ini

Srikandi (Sanskerta: Śikhaṇḍī) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata vrsi India.
Arti nama
Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".
Srikandi dalam Mahabharata
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Perang di Kurukshetra
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Srikandi dalam Pewayangan Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

JADI, APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?

*********

PEREMPUAN DAN PENDIDIKAN
Rinny Soegiyoharto (catatan tak selesai pada april 2006)

Ragam aktivitas ke-Kartini-an sebagai simbol emansipasi kaum perempuan seperti sebuah rutinitas lebih bergaung pada bulan April mendekati hari keduapuluhsatu. Ditandai aneka lomba dan berbagai atribut keperempuanan yang adakalanya malah tampak sekadar wujud lahiriah dan kasat mata. Sebut saja lomba berkebaya, lomba masak, lomba pasang dasi, lomba merias wajah, dan sebagainya.

*** *** *** *** ***

-DRAFT--Wanita. Meski berpadan dengan perempuan, namun kata dasar “empu” pada perempuan terasa lebih nyaman dan membanggakan, oleh sebab itu saya suka menggunakan kata “perempuan”, termasuk dalam menamai blog saya.-
Perempuan, sadar soal pentingnya pendidikan terhadap anak-anak, karena di "dalam" perempuan terdapat beban psikologis memperjuangkan dirinya sendiri, terus-menerus. Utamanya dalam hal pendidikan (sudah diterobos Kartini). Guru TK-SD bahkan SMP kebanyakan perempuan. Bapak-bapak lebih banyak muncul dan berperan pada tingkat pendidikan lanjutan atas (SMA), dimana pendidikan dasar telah ditanamkan lebih dahulu oleh ibu-ibu guru. Mengapa? Sekali lagi karena perempuan secara lahiriah dan kodrati justru memikul tanggung jawab pendidikan itu sendiri yang dimulai pada dirinya sendiri. Maka, bapak-bapak guru lebih kepada transfer of knowledge, ketimbang hal-hal mendasar yang lebih berhubungan dengan pembangunan karakter, penanaman proses belajar dan pengertian-pengertian dasar untuk dan selama manusia menempuh proses pendidikan.- Pendidikan: mencakup attitude/sikap, yakni kognitif, afektif dan perilaku. Pengembangan kepribadian, pembiasaan good character, kesadaran dan tanggung jawab akan masa depan pribadi/diri sendiri yang mempengaruhi masa depan keluarga dan kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara, dll.- Bukan diskriminasi yang mengarah pada gerakan feminisme.- Perbedaan sesuatu yang dirayakan bersama sebagai unsur2 yg saling bersinergi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan bersama: orangtua, pendidik, bangsa dan negara.- Berkaitan erat dengan UU Anti-KDRT. Jika perempuan terus ditindas, bahkan di dalam rumah tangganya sendiri, bagaimana mungkin perempuan dapat bertugas/ berkiprah/ bertindak optimal untuk mendidik anak-anak, baik anak sendiri maupun anak-anak didik apabila ia seorang guru? Kendati lagi, waktu terus merambah, persaingan global semakin cepat dan menantang, anak tidak berhenti tumbuh dan berkembang, suatu waktu akan tiba ketika anak mulai lebih banyak mencurahkan porsi proses pendidikannya pada pemenuhan kognitif, belajar ilmu2 tinggi, yg bisa jadi sebagian besar diberikan oleh laki-laki, bapak2 yg menitikberatkan pada perkembangan kognitif.- Perempuan & laki2 lebih kepada pembagian peran, baik dalam pendidikan di dalam rumah tangga, maupun pendidikan secara luas, formal & informal. Karena baik dari segi struktur fisiologis dan psikologis serta kultural dan sejarah di dalam masyarakat kita, telah membentuk sebuah perbedaan laki2 dan perempuan, yang harus kita rayakan bersama-sama membentuk manusia-manusia berkualitas dlm diri anak2 kita sebagai proses pendidikan menuju masa depan cerah mengikuti kecerahan janji bangsa ini. Amin.-

Pendidikan dimulai dari rumah. Peran ibu sebagai objek kelekatan anak yang pertama terhadap proses pendidikan anak tentulah tidak kecil. Sebagai perempuan, tentunya ibu harus tidak hanya memberikan pelajaran, namun pendidikan kasih sayang, penanaman afeksi, unsur penting bagi rasa nyaman dan aman bagi anak, karena merasa dicintai. Bagaimana mungkin ibu dapat menanam benih cinta pada anak apabila dia sendiri mengalami kekerasan dalam rumah tangga.***