Monday, April 6, 2009

Perempuan Berbisik 27: Tanggung Jawab Menyongsong PEMILU

"saya mempersembahkan dengan damai penuh, apa yang menjadi milik negeriku, apapun yg terjadi & seperti apapun situasi di negeriku, saya bertumbuh di sini, saya mencintai Indonesia-ku, dan saya sadar, meski amat sangat kecil, saya adalah bagian dari proses demokrasi ini, saya pasti nyontreng tgl 9/4 berdasarkan suara hati..."

Kalimat di atas telah saya tulis pada "kolom status" halaman facebook saya. Setelah melalui berbagai pemikiran, tukar pikiran dan perasaan dengan cukup banyak rekan, perbincangan dan celotehan ringan di dalam lingkaran handai-taulan, saya yakin kalimat itulah yang ingin saya ucapkan dan telah saya ucapkan, bahkan tuliskan di suatu halaman publik yang dapat saya jangkau (baca: facebook saya).

Sebagai warga negara Indonesia, negeri yang sungguh-sungguh saya cintai ini, apakah yang dapat saya persembahkan selain melaksanakan amanat perjalanan masa depan negeri ini? Saya mengagumi dan sangat menghargai aktor-aktor sejarah bangsa ini, para pejuang dan pendahulu, saya menghormati semua presiden dan pejabat negara, terlepas dari kekurangan-kekurangan yang dimiliki. Saya mengagumi pelaku demonstran, para mahasiswa, serta orang-orang muda yang berani berkonfrontasi, menyuarakan harapan dan cita-cita, berjuang di era pasca kemerdekaan, menggulirkan konsep reformasi, dan pada sebagian yang tetap setia mengupayakan reformasi itu.

Saya bangga pada para perempuan, kaum saya, yang terus bertambah-tambah dalam hal intelektual, keberanian menyerukan kesetaraan, berkiprah dalam berbagai bidang, di pemerintahan dan non-pemerintah. Tak kalah penting pada musim PEMILU, meraih suara dalam upaya memenuhi quota 30% di parlemen. Saya berharap dan berdoa, calon-calon legislatif perempuan tetap anggun di panggung politik, meski adu strategi begitu keras dan adakalanya meleset dari rel regulasi. Perempuan hendaknya tetap tunduk pada regulasi dan rambu-rambu strategi.

Perempuan mestinya memiliki hak-hak yang sama sebagai warga negara, namun perempuan Indonesia memperjuangkan hak-haknya, yang sebagian telah didengarkan dan coba dipenuhi, sebagian besar masih terus diperjuangkan. Ibu Kartini pasti tersenyum bahagia di "sana", gebrakannya tidak sia-sia. Saya rasa ia tidak terlalu mempedulikan perayaan ulangtahunnya pada setiap tanggal 21 bulan ke-empat, esensi nilai-nilai luhur dan konsep perjuangannya yang jauh lebih penting dan berharga. Ia sudah berbisik pada banyak perempuan, saya rasa, dan terus berbisik agar kaumnya terus unggul tanpa melupakan ikhwal kodrati perempuan sejati.

Kepedihan dan kesesakan pada proses penyelenggaraan negara yang sudah berlangsung, mungkin dirasakan sebagian besar warga negeri ini. Namun saya rasa kita juga perlu melihat secara "covered both side" (pinjam istilah insan pers), bahwa kita, aahhh... saya sajalah, tumbuh, kembang, belajar, makan, bahkan buang air, ya di negeri ini. Fasilitas negara yang dibangun dari upeti, uuupppsss... kewajiban pajak bagi rakyat, masih dapat saya nikmati, meski adakalanya jika sempat menghitung-hitung, belum seimbang dengan kewajiban yang sudah dilaksanakan rakyat. Saya anggap saja sebagai subsidi silang antar rakyat. Dalam hal ini, saya menerapkan azas, "Berikan pada Kaisar yang menjadi milik Kaisar (negara), berikan pada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan". Kalau sudah begini, saya sering terhenyak, karena pada dasarnya yang ada pada saya 100% adalah milik Tuhan. Perpuluhan, bahkan terlalu kecil dibanding 100% berkatNYA yang tiada berkesudahan.

Beberapa tahun lalu, saya pernah terlibat dalam suatu proyek penerbitan sebuah buku (terimakasih kepada Mas Wawan, Mas Aris, Mbak Mise, dan yang lainnya), yang mana saya berhadapan langsung dengan penulis, pelaku, dan melakukan riset kecil terkait thema utama yang diangkat dalam buku tersebut. Selain merangkai ulang kalimat-kalimat dan memeriksa diksi, ternyata saya juga perlu berperan secara quasi-partisipasi, terus-terang sangat mendebarkan. Pengalaman baru yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya dalam kehidupan saya yang nyaris mainstream sepanjang waktu. Dalam proses tersebut saya temukan, keikhlasan menerima berbagai kesakitan sebagai warga yang gerak-geriknya sangat terbatas, cukup ampuh untuk menjalani kehidupan dan tetap menyatakan kecintaan pada negeri.

Kebingungan sebagian warga negeri ini, utamanya saat membayangkan lembaran surat suara segede koran, belum lagi dengan 48 partai dan ratusan probabilitas nama caleg, mengguratkan rasa putus asa. Selama musim kampanye berbagai janji berkumandang, iklan-iklan di media (yang saya yakin hasil kerja kreatif insan advertising dan media) berjejalan silih berganti. Apa yang harus saya pilih? Haruskah saya memilih? Seberapa penting suara saya dalam penghintungan nanti? Dapatkah pemilih diyakinkan bahwa dalam penghitungan tidak akan ada kecurangan atau manipulasi surat suara?

Tidak ada yang pasti di dunia ini selama semua hal masih mungkin berubah, bahkan bermutasi. Bagaimana pilihan langkah kita menyikapi perubahan demi perubahan sepenuhnya bertumpu pada rasa tanggung jawab masing-masing pribadi. Demikian menurut saya. Penting tidaknya pendapat saya dalam hal ini tidak saya pusingkan. Saya hanya ingin menuliskan pemikiran dan perasaan saya saja. Karena waktu mencontreng tinggal menghitung hari, saya memiliki pilihan yang harus saya ambil dan bertanggungjawab penuh dalam damai terhadapnya. Kembali pada azas yang saya pegang, saya akan memberikan yang menjadi milik Kaisar (negara), yakni tanggung jawab saya sebagai warga negara yang meski sangat amat kecil, merupakan bagian dari proses bergulirnya demokrasi dan pembelajaran-pembelajaran penting di dalamnya.
Maka saya pasti mencontreng, berdasarkan suara hati dan doa, meski bukan yang terbaik atau yang akan jadi pemenang, semua harus tunduk pada Undang-undang penyelenggaraan negara yang bertujuan mulia ke masa depan. Masih ada langit di atas langit. Ada mata Tuhan yang mengawasi dari tempat luhurNYA.

Selamat mencontreng saudara-saudaraku, sebangsa-setanah-air.
RS for her own blog.
_____________________

No comments:

Posts Archive


PEREMPUAN = SRIKANDI ?

Kenapa PEREMPUAN PEJUANG sering disebut SRIKANDI.
APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?
Kutelusuri WIKIPEDIA, kutemukan entri SRIKANDI ini

Srikandi (Sanskerta: Śikhaṇḍī) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata vrsi India.
Arti nama
Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".
Srikandi dalam Mahabharata
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Perang di Kurukshetra
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Srikandi dalam Pewayangan Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

JADI, APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?

*********

PEREMPUAN DAN PENDIDIKAN
Rinny Soegiyoharto (catatan tak selesai pada april 2006)

Ragam aktivitas ke-Kartini-an sebagai simbol emansipasi kaum perempuan seperti sebuah rutinitas lebih bergaung pada bulan April mendekati hari keduapuluhsatu. Ditandai aneka lomba dan berbagai atribut keperempuanan yang adakalanya malah tampak sekadar wujud lahiriah dan kasat mata. Sebut saja lomba berkebaya, lomba masak, lomba pasang dasi, lomba merias wajah, dan sebagainya.

*** *** *** *** ***

-DRAFT--Wanita. Meski berpadan dengan perempuan, namun kata dasar “empu” pada perempuan terasa lebih nyaman dan membanggakan, oleh sebab itu saya suka menggunakan kata “perempuan”, termasuk dalam menamai blog saya.-
Perempuan, sadar soal pentingnya pendidikan terhadap anak-anak, karena di "dalam" perempuan terdapat beban psikologis memperjuangkan dirinya sendiri, terus-menerus. Utamanya dalam hal pendidikan (sudah diterobos Kartini). Guru TK-SD bahkan SMP kebanyakan perempuan. Bapak-bapak lebih banyak muncul dan berperan pada tingkat pendidikan lanjutan atas (SMA), dimana pendidikan dasar telah ditanamkan lebih dahulu oleh ibu-ibu guru. Mengapa? Sekali lagi karena perempuan secara lahiriah dan kodrati justru memikul tanggung jawab pendidikan itu sendiri yang dimulai pada dirinya sendiri. Maka, bapak-bapak guru lebih kepada transfer of knowledge, ketimbang hal-hal mendasar yang lebih berhubungan dengan pembangunan karakter, penanaman proses belajar dan pengertian-pengertian dasar untuk dan selama manusia menempuh proses pendidikan.- Pendidikan: mencakup attitude/sikap, yakni kognitif, afektif dan perilaku. Pengembangan kepribadian, pembiasaan good character, kesadaran dan tanggung jawab akan masa depan pribadi/diri sendiri yang mempengaruhi masa depan keluarga dan kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara, dll.- Bukan diskriminasi yang mengarah pada gerakan feminisme.- Perbedaan sesuatu yang dirayakan bersama sebagai unsur2 yg saling bersinergi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan bersama: orangtua, pendidik, bangsa dan negara.- Berkaitan erat dengan UU Anti-KDRT. Jika perempuan terus ditindas, bahkan di dalam rumah tangganya sendiri, bagaimana mungkin perempuan dapat bertugas/ berkiprah/ bertindak optimal untuk mendidik anak-anak, baik anak sendiri maupun anak-anak didik apabila ia seorang guru? Kendati lagi, waktu terus merambah, persaingan global semakin cepat dan menantang, anak tidak berhenti tumbuh dan berkembang, suatu waktu akan tiba ketika anak mulai lebih banyak mencurahkan porsi proses pendidikannya pada pemenuhan kognitif, belajar ilmu2 tinggi, yg bisa jadi sebagian besar diberikan oleh laki-laki, bapak2 yg menitikberatkan pada perkembangan kognitif.- Perempuan & laki2 lebih kepada pembagian peran, baik dalam pendidikan di dalam rumah tangga, maupun pendidikan secara luas, formal & informal. Karena baik dari segi struktur fisiologis dan psikologis serta kultural dan sejarah di dalam masyarakat kita, telah membentuk sebuah perbedaan laki2 dan perempuan, yang harus kita rayakan bersama-sama membentuk manusia-manusia berkualitas dlm diri anak2 kita sebagai proses pendidikan menuju masa depan cerah mengikuti kecerahan janji bangsa ini. Amin.-

Pendidikan dimulai dari rumah. Peran ibu sebagai objek kelekatan anak yang pertama terhadap proses pendidikan anak tentulah tidak kecil. Sebagai perempuan, tentunya ibu harus tidak hanya memberikan pelajaran, namun pendidikan kasih sayang, penanaman afeksi, unsur penting bagi rasa nyaman dan aman bagi anak, karena merasa dicintai. Bagaimana mungkin ibu dapat menanam benih cinta pada anak apabila dia sendiri mengalami kekerasan dalam rumah tangga.***