Thursday, April 2, 2009

Perempuan Berbisik 25: Kuingin "Hanya" Pelukan

Orangtua yang "mengenal" anaknya dengan baik segera terawas ketika sang anak berubah. Tentu saja anak bertambah tinggi, atau lebih gemuk, lebih langsing, lebih gondrong atau baru saja mengubah tatanan rambutnya, adalah perubahan yang cukup mudah terlihat segera. Tenggelam dalam berbagai kesibukan dan rutinitasnya, perubahan sifat, bahkan sikap dan perilaku anak adakalanya disadari justru saat orangtua menerima beberapa laporan dari pihak lain. Guru di sekolah anak, misalnya.

Pekerjaan dan kesibukan mengurus bayi, anggota baru dalam keluarga, membuat Ibu Yeyen (bukan nama sebenarnya) dan Bapak Gogon (juga bukan nama sebenarnya), terkejut menerima panggilan khusus via telefon dari Wali Kelas Sisi, anak perempuan pertama mereka yang duduk di kelas 3 SD.
Gurunya "menggugat" kedua orangtua Sisi ini pada kesempatan pertemuan pertama mereka. Wali kelas yang lemah lembut merasa kecewa atas diabaikannya 3 surat undangan atau panggilan orangtua yang telah dikirim sebelum ini. Bapak Gogon dan Ibu Yeyen tentu saja terkejut, mereka merasa selama ini tidak pernah menerima satu pun surat panggilan dari sekolah anaknya.
Terbukalah masalah yang sesungguhnya, ketiga surat tersebut telah dititipkan lewat Sisi selama tiga minggu berturut-turut. Merasa khawatir orangtua akan memarahi, bahkan menghukumnya apabila surat-surat tersebut sampai ke tangan mereka, Sisi menyembunyikan semua surat di bawah alas lemari pakaiannya yang ia tahu tak kan tersentuh siapapun dalam waktu lama.

Orangtua Sisi makin terkejut mengetahui telah lebih dari satu bulan Sisi lalai mengerjakan PR. Hasil ulangan harian selalu di bawah nilai 6 pada hampir semua mata pelajaran, kecuali Seni Tari yang memang sangat diminatinya. Ibu Yeyen merasa malu karena selama ini ia percaya saja pada pengakuan Sisi saat ditanya tentang sekolahnya ia selalu mengatakan tidak ada PR atau tidak ada ulangan. Bapak Gogon kecewa, merasa tertipu oleh anak sendiri. Lebih dari itu, sang Bapak tidak bisa terima jika nilai-nilai ulangan anaknya jelek, karena bukankah sang Bapak ketika sekolah dulu selalu juara kelas?

Upaya-upaya Bapak Gogon dan Ibu Yeyen untuk menggali masalah anaknya dan memotivasinya, tak membawa hasil. Bahkan belakangan Sisi mogok ke sekolah. Kemarahan kedua orangtuanya disikapi dengan berdiam diri. Sisi tidak mau bicara, tidak mau makan, bahkan pernah "melarikan diri" ke rumah teman baiknya.

Di hadapan saya, Ibu Yeyen menceritakan masalah tersebut dengan emosi tertahan. Ada rasa marah, kecewa, sedih, putus asa, di dalam suaranya saat menuturkan kejadian demi kejadian. Bapak Gogon menambahkan cerita sang istri dengan tak kalah kesal. Seolah-olah anak perempuan yang manis itu telah melakukan suatu kejahatan. Saya menanyakan beberapa hal untuk melengkapi data-data alloanamnesa saya. Setelah itu saya meminta kedua orangtua tersebut menunggu di luar ruangan sementara saya hanya berdua saja dengan Sisi.

Kami, Sisi dan saya mengobrol tentang topik-topik yang ringan. Saya memintanya menceritakan hobinya, musik kesukaan, obyek gambar yang paling sering dibuatnya, dan banyak hal-hal lain. Sambil meminta Sisi menggoreskan pinsil di atas kertas putih, saya mulai "menggalinya".
Sisi, pada awalnya sangat bahagia dan bangga atas kelahiran adik bayi. Ia memamerkan ke seluruh teman-temannya bahwa adiknya cantik dan lucu, ia juga senang sekali karena kini memiliki seorang adik perempuan yang dapat menjadi temannya di rumah. Sisi menyayangi sang adik, bahkan sangat menyayangi. Ia suka mencium pipi adik, bahkan mencoba menggendongnya, namun tidak diizinkan orangtua, khawatir ia akan menjatuhkannya.

Sisi mulai merasa terganggu. Mengapa semua orang boleh menyayangi adiknya, namun hak-haknya sebagai kaka dibatasi? Ia hanya ingin menggendongnya saja, ia yakin adik pasti tidak rewel jika digendongnya. Perhatian semua orang tertuju pada sang adik, termasuk dirinya juga, namun semua orang di dalam rumah seolah-olah tidak menghitung kehadirannya sebagai kakak yang juga ingin diberi hak menyayangi adik dengan caranya. Berkali-kali Sisi berlatih menggendong boneka besarnya di depan cermin, agar ia mampu menggendong adik dengan baik. Tak ada yang memperhatikan usahanya itu.

Lebih dari itu, Sisi merasa dirinya "tidak terpakai" lagi di rumah. Ia "hanya" disuruh belajar dan belajar, sesuatu yang membosankan dan melelahkan. Seharian ia sudah belajar di sekolah, bahkan masih ada les-les pelajaran tambahan di sebuah pusat pembelajaran. Ia lelah terus-menerus belajar. Ia ingin diam di rumah, bermain dengan adiknya, bersama papa dan mamanya. Tapi dia merasa tidak diterima. Setiap adik baru saja dimandikan pada sore hari, ia tidak boleh turut membedaki tubuh mungil adik. Kenapa tidak boleh? Hanya membedaki apa susahnya?

Sisi merasa tertolak, ia sedih, namun ia tidak atau tepatnya belum memahami apa yang terjadi pada perasaannya. Itu sebabnya saat orang-orang dewasa menanyakan "apa masalahmu, nak?" ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia betul-betul belum paham cara menggambarkan perasaan dan pikiran-pikirannya. Saya tahu, untuk inilah orangtua Sisi datang pada saya. Saya juga tahu, perlu sedikit lebih berusaha dan lebih sabar dalam "menggeledah perasaan anak-anak". Selain itu diperlukan teknik yang tepat dan sesuai dengan karakter anak-anak, jika ingin memahami mereka.

Setelah sesi dengan Sisi berakhir, saya meminta kembali Bapak Gogon dan Ibu Yeyen masuk ke ruangan, dan membujuk Sisi menunggu di luar. Keduanya berkaca-kaca, Ibu Yeyen terisak. Sebelum pertemuan kami berakhir, saya mengundang Sisi bergabung. Dengan penuh cinta bercampur rasa bersalah sekaligus kelegaan, Ibu Yeyen meraih Sisi ke dalam pelukannya. Dibenamkannya kepala sang anak ke dadanya, ia mulai terisak lagi saat tangan-tangan mungil Sisi membalas pelukan hangat itu dengan erat.

Satu kerinduan terdalam Sisi yang dirasakannya hilang selama beberapa bulan ini, adalah pelukan hangat Mama dan Papanya. "Hanya" pelukan Mama dan Papa yang membuat Sisi tenteram dan merasa dimiliki.

Laporan setelah ini, Sisi rajin membuat PR, nilai-nilai pelajarannya meningkat, "hanya" karena pelukan. Ah, bukan "hanya", pelukan itu sangat bermakna. I love you, Mom, Sisi whispered. So did I. ;-)

No comments:

Posts Archive


PEREMPUAN = SRIKANDI ?

Kenapa PEREMPUAN PEJUANG sering disebut SRIKANDI.
APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?
Kutelusuri WIKIPEDIA, kutemukan entri SRIKANDI ini

Srikandi (Sanskerta: Śikhaṇḍī) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata vrsi India.
Arti nama
Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".
Srikandi dalam Mahabharata
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Perang di Kurukshetra
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Srikandi dalam Pewayangan Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

JADI, APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?

*********

PEREMPUAN DAN PENDIDIKAN
Rinny Soegiyoharto (catatan tak selesai pada april 2006)

Ragam aktivitas ke-Kartini-an sebagai simbol emansipasi kaum perempuan seperti sebuah rutinitas lebih bergaung pada bulan April mendekati hari keduapuluhsatu. Ditandai aneka lomba dan berbagai atribut keperempuanan yang adakalanya malah tampak sekadar wujud lahiriah dan kasat mata. Sebut saja lomba berkebaya, lomba masak, lomba pasang dasi, lomba merias wajah, dan sebagainya.

*** *** *** *** ***

-DRAFT--Wanita. Meski berpadan dengan perempuan, namun kata dasar “empu” pada perempuan terasa lebih nyaman dan membanggakan, oleh sebab itu saya suka menggunakan kata “perempuan”, termasuk dalam menamai blog saya.-
Perempuan, sadar soal pentingnya pendidikan terhadap anak-anak, karena di "dalam" perempuan terdapat beban psikologis memperjuangkan dirinya sendiri, terus-menerus. Utamanya dalam hal pendidikan (sudah diterobos Kartini). Guru TK-SD bahkan SMP kebanyakan perempuan. Bapak-bapak lebih banyak muncul dan berperan pada tingkat pendidikan lanjutan atas (SMA), dimana pendidikan dasar telah ditanamkan lebih dahulu oleh ibu-ibu guru. Mengapa? Sekali lagi karena perempuan secara lahiriah dan kodrati justru memikul tanggung jawab pendidikan itu sendiri yang dimulai pada dirinya sendiri. Maka, bapak-bapak guru lebih kepada transfer of knowledge, ketimbang hal-hal mendasar yang lebih berhubungan dengan pembangunan karakter, penanaman proses belajar dan pengertian-pengertian dasar untuk dan selama manusia menempuh proses pendidikan.- Pendidikan: mencakup attitude/sikap, yakni kognitif, afektif dan perilaku. Pengembangan kepribadian, pembiasaan good character, kesadaran dan tanggung jawab akan masa depan pribadi/diri sendiri yang mempengaruhi masa depan keluarga dan kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara, dll.- Bukan diskriminasi yang mengarah pada gerakan feminisme.- Perbedaan sesuatu yang dirayakan bersama sebagai unsur2 yg saling bersinergi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan bersama: orangtua, pendidik, bangsa dan negara.- Berkaitan erat dengan UU Anti-KDRT. Jika perempuan terus ditindas, bahkan di dalam rumah tangganya sendiri, bagaimana mungkin perempuan dapat bertugas/ berkiprah/ bertindak optimal untuk mendidik anak-anak, baik anak sendiri maupun anak-anak didik apabila ia seorang guru? Kendati lagi, waktu terus merambah, persaingan global semakin cepat dan menantang, anak tidak berhenti tumbuh dan berkembang, suatu waktu akan tiba ketika anak mulai lebih banyak mencurahkan porsi proses pendidikannya pada pemenuhan kognitif, belajar ilmu2 tinggi, yg bisa jadi sebagian besar diberikan oleh laki-laki, bapak2 yg menitikberatkan pada perkembangan kognitif.- Perempuan & laki2 lebih kepada pembagian peran, baik dalam pendidikan di dalam rumah tangga, maupun pendidikan secara luas, formal & informal. Karena baik dari segi struktur fisiologis dan psikologis serta kultural dan sejarah di dalam masyarakat kita, telah membentuk sebuah perbedaan laki2 dan perempuan, yang harus kita rayakan bersama-sama membentuk manusia-manusia berkualitas dlm diri anak2 kita sebagai proses pendidikan menuju masa depan cerah mengikuti kecerahan janji bangsa ini. Amin.-

Pendidikan dimulai dari rumah. Peran ibu sebagai objek kelekatan anak yang pertama terhadap proses pendidikan anak tentulah tidak kecil. Sebagai perempuan, tentunya ibu harus tidak hanya memberikan pelajaran, namun pendidikan kasih sayang, penanaman afeksi, unsur penting bagi rasa nyaman dan aman bagi anak, karena merasa dicintai. Bagaimana mungkin ibu dapat menanam benih cinta pada anak apabila dia sendiri mengalami kekerasan dalam rumah tangga.***