Tuesday, May 5, 2009

Perempuan Berbisik 35: Women's Personality (Part#3)

-- Would like to translate my posting's title template, first. 'Perempuan Berbisik' means woman has been whispering, described of not only words which have attended in communication and or conversation, more than that, it serves to woman's inner voice whenever echo as well as reecho came from and into every single ram of deep inside human's heart, particularly and universally as well. I talk about heart and love what had been staying there ever after. Thank you for understanding. --
-----------------------

Posting untuk topik ini dan kali ini saya awali kutipan release di akhir posting part#2, perempuan yang (senantiasa) berwarna dan mewarnai kehidupan di dunia yang -telah saya katakan sebelumnya- adalah dunia laki-laki. Hal ini saya tekankan demi sebuah prinsip yang tak dapat kita tinggalkan begitu saja, yakni individual differences. Bagaimana pun, setiap perempuan memiliki keunikan masing-masing yang menjadi kekayaan pribadinya. Kendati kluster kepribadian perempuan sendiri pun sudah unik, setidaknya dalam persepsi gender sebelah, kerap digeneralisasi dengan suatu pernyataan takjub, gusar, kebingungan dan tertantang, "Betapa sulit memahami (hati) perempuan. Seperti apa sesungguhnya, apa maunya?"

Apakah perempuan dan kepribadiannya itu sederhana, ataukah kompleks? Menurut saya, kedua-duanya.

Pakar Psikologi Sosial, Baron dan rekannya Byrne, merangkum definisi praktis Psikologi Kepribadian (Personality Psychology) yakni berfokus pada bagaimana setiap orang menata diri dan perilakunya di dalam berbagai situasi (sosial) yang dihadapi. Mereka menjelaskan pula, secara umum pengaturan atau penataan kepribadian 'menengahi' antara berbagai rangsangan dalam situasi-situasi yang dihadapi, dengan perilaku yang ditampilkan terhadap situasi-situasi tersebut. Sedangkan kepribadian itu sendiri pada masing-masing orang dipengaruhi oleh individual differences (perbedaan individu) dalam hal emosi, sikap, kognisi (pikiran), harapan, fantasi dan aktivasi psikologis. Nah... kan, sederhana klausalnya, tapi kompleks kontennya.

Benar, kutipan bebas di atas tetaplah teori, dan berlaku umum, tidak spesifik mengenai perempuan. Namun marilah kita ambil unsur-unsur kepribadian berbasis individual differences yang telah para pakar itu suguhkan. Emosi, sikap, pikiran, harapan, fantasi dan aktivasi psikologis, tentu saja melahirkan berbagai varian, baik terkait identitas jender (gender identity) maupun ragam keberadaan manusia. Perempuan, dalam kluster kepribadiannya yang memuat unsur-unsur tersebut, jelas sudah merefleksikan bayang-bayang yang unik.

Pertama, terlahir dengan vagina dan rahim (tanpa anomali), serta merta membedakan perlakuan terhadapnya. Menyandang nama tertentu untuk memberikan kepastian identitas kelaminnya. Kedua, mengalami menstruasi, serta merta diikuti perputaran jadwal yang (hampir) teratur, meski yang sederhana seperti persediaan pembalut setiap bulan. Hal ini sesungguhnya tidak sesederhana sebagaimana aktivitas membeli barang kebutuhan. Pada usia belia, yakni masa remaja saat menstruasi merupakan pengalaman menakjubkan yang menghadirkan berbagai perasaan baru, termasuk perasaan malu ketika hendak menyampaikan kepada pemilik toko untuk membeli pembalut, kendati membeli bukan meminta. Jangan dikira setiap remaja perempuan di masa menstruasi awal sanggup melakukannya sendirian. Sedikit atau banyak (tergantung lagi pada individual differences pembentuk varian kepribadian unik dari uniknya kepribadian perempuan) rasa tidak nyaman, mengaliri emosi perempuan.


Ketiga, menyadari ketertarikannya pada lawan jenis, kebutuhannya akan sesuatu yang sulit didefinisikan. Sederhananya kebutuhan itu adalah gairah (from attraction to love, ini jalan panjang yang juga membedakan setiap perempuan), namun kompleksnya saat kebingungan menentukan perilaku seperti apa yang perlu, harus dan 'boleh' ditunjukkan, belum lagi pertimbangan-pertimbangan yang dibatasi oleh kemampuan berpikir dan pengalaman hidup mengenai benar-salahnya gairah itu ada di dalam dirinya.

Keempat, pengalaman seksual pertama, baik dengan atau tanpa intercourse (persetubuhan yang sesungguhnya), yang menghadirkan berbagai emosi, antara perasaan bersalah, nikmat, terkejut, penasaran, senang, kecewa, bahagia, sedih, bangga, malu, dan seterusnya. Kelima, pemahaman orgasme dan kepuasan seksual dalam hubungan suami-istri, yang kisah sesungguhnya jarang dibagi-bagikan antar perempuan kecuali untuk berkelakar atau konsultasi (menurut hasil investigasi saya lho...).

Keenam, mengandung dan melahirkan (termasuk tidak mengandung dan tidak melahirkan), yang diisi morning sick, cemas, marah, rindu, senang, takut, baby blue, dan sebagainya. Sedangkan yang tidak/belum mengandung dan melahirkan, tentu saja menerima stimulus lingkungan yang berbeda-beda, mulai dari rasa iba orang, pertanyaan-pertanyaan yang mengundang rasa sensitif yang lebih kuat, sampai pada cemoohan, baik terang-terangan maupun terpoles kata-kata manis.

Ketujuh, memiliki anak dan menjadi ibu, diikuti tugas-tugas pengasuhan, pengasihan dan pengasahan. Tanyakan pada seorang ibu, apakah yang paling dilindunginya (mengandung makna dicintai, disayangi, dimiliki, diayomi, dibela, disanjung, bahkan disakiti untuk tujuan dan alasan cinta) dalam kehidupan ini? Jawabannya tidak jauh dari anak, atau anak-anak, atau nama anak, akan disebutnya.

Kedelapan, kesembilan, kesepuluh, dan seterusnya, berbagai isu lingkungan, sosial, pergaulan, pendidikan, politik, dunia, bidang peminatan, budaya, agama, kebebasan, keterikatan... Ternyata breakdown unsur-unsur kepribadian yang disarikan para pakar tadi sungguh luas dan dalam. Wilayah kehidupan perempuan di dalam dunia laki-laki pun tak lepas dari nyala kecil yang tak pernah padam di dalam lapisan terdalam kesadaran perempuan bahwa ia butuh cinta. Cinta yang termanifestasi dalam kehidupannya dan menjalari seluruh kepribadiannya, menyentuh fisik, mental, pikiran dan spiritual. (to be continued)

RS @ own blog http://perempuan-bernama-rinny.blogspot.com/
_____________________________________________________
Note: kisah ini semata-mata pandangan pribadi yang diselipi kutipan-kutipan teori dan liputan, dilengkapi investigasi pribadi (pula) dan pendapat subyektif saya.
_____________________________________________________

No comments:

Posts Archive


PEREMPUAN = SRIKANDI ?

Kenapa PEREMPUAN PEJUANG sering disebut SRIKANDI.
APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?
Kutelusuri WIKIPEDIA, kutemukan entri SRIKANDI ini

Srikandi (Sanskerta: Śikhaṇḍī) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata vrsi India.
Arti nama
Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".
Srikandi dalam Mahabharata
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Perang di Kurukshetra
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Srikandi dalam Pewayangan Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

JADI, APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?

*********

PEREMPUAN DAN PENDIDIKAN
Rinny Soegiyoharto (catatan tak selesai pada april 2006)

Ragam aktivitas ke-Kartini-an sebagai simbol emansipasi kaum perempuan seperti sebuah rutinitas lebih bergaung pada bulan April mendekati hari keduapuluhsatu. Ditandai aneka lomba dan berbagai atribut keperempuanan yang adakalanya malah tampak sekadar wujud lahiriah dan kasat mata. Sebut saja lomba berkebaya, lomba masak, lomba pasang dasi, lomba merias wajah, dan sebagainya.

*** *** *** *** ***

-DRAFT--Wanita. Meski berpadan dengan perempuan, namun kata dasar “empu” pada perempuan terasa lebih nyaman dan membanggakan, oleh sebab itu saya suka menggunakan kata “perempuan”, termasuk dalam menamai blog saya.-
Perempuan, sadar soal pentingnya pendidikan terhadap anak-anak, karena di "dalam" perempuan terdapat beban psikologis memperjuangkan dirinya sendiri, terus-menerus. Utamanya dalam hal pendidikan (sudah diterobos Kartini). Guru TK-SD bahkan SMP kebanyakan perempuan. Bapak-bapak lebih banyak muncul dan berperan pada tingkat pendidikan lanjutan atas (SMA), dimana pendidikan dasar telah ditanamkan lebih dahulu oleh ibu-ibu guru. Mengapa? Sekali lagi karena perempuan secara lahiriah dan kodrati justru memikul tanggung jawab pendidikan itu sendiri yang dimulai pada dirinya sendiri. Maka, bapak-bapak guru lebih kepada transfer of knowledge, ketimbang hal-hal mendasar yang lebih berhubungan dengan pembangunan karakter, penanaman proses belajar dan pengertian-pengertian dasar untuk dan selama manusia menempuh proses pendidikan.- Pendidikan: mencakup attitude/sikap, yakni kognitif, afektif dan perilaku. Pengembangan kepribadian, pembiasaan good character, kesadaran dan tanggung jawab akan masa depan pribadi/diri sendiri yang mempengaruhi masa depan keluarga dan kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara, dll.- Bukan diskriminasi yang mengarah pada gerakan feminisme.- Perbedaan sesuatu yang dirayakan bersama sebagai unsur2 yg saling bersinergi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan bersama: orangtua, pendidik, bangsa dan negara.- Berkaitan erat dengan UU Anti-KDRT. Jika perempuan terus ditindas, bahkan di dalam rumah tangganya sendiri, bagaimana mungkin perempuan dapat bertugas/ berkiprah/ bertindak optimal untuk mendidik anak-anak, baik anak sendiri maupun anak-anak didik apabila ia seorang guru? Kendati lagi, waktu terus merambah, persaingan global semakin cepat dan menantang, anak tidak berhenti tumbuh dan berkembang, suatu waktu akan tiba ketika anak mulai lebih banyak mencurahkan porsi proses pendidikannya pada pemenuhan kognitif, belajar ilmu2 tinggi, yg bisa jadi sebagian besar diberikan oleh laki-laki, bapak2 yg menitikberatkan pada perkembangan kognitif.- Perempuan & laki2 lebih kepada pembagian peran, baik dalam pendidikan di dalam rumah tangga, maupun pendidikan secara luas, formal & informal. Karena baik dari segi struktur fisiologis dan psikologis serta kultural dan sejarah di dalam masyarakat kita, telah membentuk sebuah perbedaan laki2 dan perempuan, yang harus kita rayakan bersama-sama membentuk manusia-manusia berkualitas dlm diri anak2 kita sebagai proses pendidikan menuju masa depan cerah mengikuti kecerahan janji bangsa ini. Amin.-

Pendidikan dimulai dari rumah. Peran ibu sebagai objek kelekatan anak yang pertama terhadap proses pendidikan anak tentulah tidak kecil. Sebagai perempuan, tentunya ibu harus tidak hanya memberikan pelajaran, namun pendidikan kasih sayang, penanaman afeksi, unsur penting bagi rasa nyaman dan aman bagi anak, karena merasa dicintai. Bagaimana mungkin ibu dapat menanam benih cinta pada anak apabila dia sendiri mengalami kekerasan dalam rumah tangga.***