Ditulis tanpa konsep.
Penulisnya masih sama seperti yang lalu lalu: aku.
Hari ini hari Bumi,
Kemarin hari Kartini,
Kemarinnya lagi hari raya Paskah,
Dua hari sebelumnya hari Jumat Agung,
Catatan catatanku kini lebih banyak kumuat di media sosial. Tidak ada alasan khusus, aku hanya merasa jadi terdakwa yang didakwa oleh sang kala. Kewalahan menangani 25 satuan waktu yang ada untuk merambah akun akun maya dan akun akun nyata. Sementara 25 satuan waktu yang lain telah diberangus perjalanan berlingkar lingkar dan ingar bingar rasa yang tak jarang tampak bertele tele penuh tedeng aling aling.
Ada masa ketika aku berlangganan jarum jarum ramping dan jemari shinse perempuan keturunan Tiong Hoa. Jarum jarum yang merasuki kulit daging urat.
Juga masa ketika sungut sungut pekerja madu terlepas di dalam dagingku. Pekerja pekerja itu mati setelah menyengatku. Entahlah, apakah aku harus berduka atau bersuka.
Berlanjut masa tangan tangan perempuan Sunda berkostum kodratnya namun mengaku androgini kelaki lakian, yang memelintir sekujur urat urat arisan di bawah lapisan kulit dagingku.
Dalam ruang dan waktu, lorong lorong berkoloni. Bagi ruang dan waktuku selalu ada sembari, senyampang, seiring, sekonyong konyong ini itu berkelindan. Dan seterusnya.
Pembuluh pembuluh bergiliran menampakkan diri ke permukaan. Mereka merambah semua bilik, bahkan sebagian tak mau turun lagi dari peraduannya. Ketegangan menyergap di singgasana singgasana mereka.
Bagaikan hidangan soto yang hanya menyisakan ampas kulit limau, botol kecap kosong, cawan sambal hanya berteman biji biji cabai, mangkuk berlemak, serta kulit ayam berbulu (yang terakhir ini tak pernah masuk ke mulutku hampir sepanjang usiaku semenjak aku paham tentang makna makan dan makanan).
Pagi berlalu siang menjelang. Senja tak berdaya menahan diri. Ia datang lebih cepat. Secepat pagi dan siang meninggalkan ruangan.
Aku suka jingga, berpadu dengan hijau dan biru, berhias gradasi semua warna yang terlihat dari dan di bumi.
Tapi tak cocok jingga berpagut dengan senja yang datang lebih cepat.
Pejalan kaki pejalan kaki menepi satu satu, menaiki undakan rumah nyaman masing-masing. Mereka pergi semakin jauh, bahkan remah remah roti di perjalanan tiada bersisa.
Senja datang lebih cepat.
Bahkan lebih cepat dari menguapnya jingga.
/MKJ-22-04-14/
#RinnySoegiyoharto
Powered by Telkomsel BlackBerry®
No comments:
Post a Comment