Rinny Soegiyoharto
Saya ingin menyebutkan beberapa nama perempuan. Lalu bertutur tentang mereka, kendati sebagian besar di antaranya tak pernah saya kenal dari dekat. Mulai dengan Dani, seorang perempuan berjabatan tinggi pada sebuah perusahaan telekomunikasi di negeri ini. Saya tak mengenalnya secara antarpribadi, bisa jadi karena -sekali lagi- ia adalah seorang vice president di perusahaan telekomunikasi yang besar ternama. Tapi saya merasa akrab dan seolah-olah begitu dekat dengan pribadi perempuan itu. Dipastikan bukan dari portofolio ataupun biografi ’Bu Dani. Kedekatan yang menghangat terasa justru saat saya mulai menyimak sajak demi sajak yang ditulisnya dan makin tenggelam di relung kedalaman jiwa sang penulis. Antologi puisi perempuan androgini (berperan ganda, karir dan menjadi ibu) itu telah menguakkan rahasia jiwa dan kedalaman batinnya.
Jiwa Perempuan yang Khas
Prof Dr Sarlito Wirawan Sarwono menelaah untaian puisi-puisi tersebut, mengungkapkan bahwa rangkaian kata-kata Dani membawa emosi pembaca ke suasana melankolik. Barangkali buah torehan Dani didiagnosis sebagai proyeksi kepribadiannya, yakni seorang yang bertipe melankolik. Bukan, hal ini jangan lantas dipahami sebagai dua kepribadian berbeda. Ketika berperan sebagai perempuan karir sambil menduduki jabatan penting, ia tampil bak sang kolerik perkasa. Sebaliknya saat mengekspresikan bahasa jiwa lewat puisi-puisinya maka ia menjadi melankolik. Sekali lagi, bukan begitu. (Saya sarankan anda membaca referensi lain untuk memahami tipologi kepribadian manusia). Menurut saya, Dani sungguh-sungguh perempuan dengan jiwanya yang khas.
Mumpung sedang membahas perempuan, izinkan saya mendaftarkan nama Osin -yang ini memang bukan Oshin di telenovela Jepang itu. Ia kurang mengenal perjuangan emansipasi bagi perempuan dan hanya tahu sebatas sejarah dan peristiwa. Karena ia tidak berdiam di tanah Jawa pada masa mudanya. Jangan dibalik, saya tidak mengatakan perempuan yang berjuang untuk emansipasi hanya ada di Jawa (meski mungkin saja memang begitu adanya). Yang saya maksud, emansipasi lebih ’ngetren’ di pulau Jawa (bagian tengah) ketimbang pulau-pulau lain. Osin ini berasal dari Minahasa, yang meski titik berat pelaksanaan hak-hak masih berpihak pada laki-laki (juga), perempuan tidak pernah diletakkan sebagai ”teman di belakang”nya laki-laki. Perempuan-perempuan Minahasa bahkan cenderung ’ge-er’ menempatkan dirinya senantiasa sebagai ”teman di samping”, mitra sejajar, seiring-sejalan dengan laki-laki membangun kampung, menyukseskan mapalus (gotong-royong).
Namun tetap ada barier yang menghadang perempuan, adakalanya berwujud rambu-rambu kaku. Pada masa Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta), saat banyak tentara Jawa beredar di seantero Minahasa, berdengung petitah dari para tetua untuk gadis-gadis di sana. ”Jangan sampai dinikahi mereka, sebab kebanyakan sudah punya istri.” Perempuan Minahasa yang dinikahi tentu akan jadi istri ke sekian. Dari cerita Osin, memang tidak banyak gadis Minahasa di kampungnya menikah dengan pemuda Jawa. Ke’ge-er’an mereka untuk selalu menjadi ”teman di samping” laki-laki, membuat mereka ketakutan dijadikan istri ke sekian yang nantinya menjadi ”teman di belakang”. Terkecuali Osin. Ia sungguh-sungguh perempuan dengan ciri khas jiwanya. Ia menikahi pemuda Jawa tanpa kehadiran calon mertua dalam proses pernikahan itu. Sekian tahun setelah menikah barulah ia berjumpa dengan mertuanya di Jawa. Baru setelah 20 tahun menikah, kedua pasang besan berjumpa dan berakrab-ria dalam uniknya komunikasi dan bahasa yang saling dipaham-pahamkan. Osin adalah ibu saya, jadi ceritanya saya yakini sungguh-sungguh benar.
Ada seorang perempuan lain bernama Mistin. Ia tengah mengandung tujuh bulan ketika saya mendengar berita tentang dia baru-baru ini. Sedikit sekali informasi yang saya peroleh, sebab dia tidak menulis dan bercerita apa-apa. Hanya sepenggal kata-katanya yang masih terus terngiang dalam benak saya. Mistin yang asli Malang, Jawa Timur, didakwa melakukan tindak kekerasan terhadap suaminya, Dadang. Ia menyiram wajah sang suami dan sebagian tubuh bagian atas dengan minyak panas, hingga saluran napas Dadang tersumbat, seluruh kulitnya melepuh.
Diungkapkan dalam Emosi
Usia kandungan Mistin tujuh bulan, mestinya ia sangat membutuhkan kehadiran suami menantikan saat-saat kelahiran. Tapi mengapa justru “mengirim” suaminya ke rumah sakit, bahkan nyaris menghilangkan nyawa bapak dari anaknya itu. Kata-kata Mistin lugas menjawab pertanyaan apakah dirinya menyesal telah mencelakakan suami sendiri. “Saya tidak menyesal sama sekali,” ujarnya dalam emosi datar dan ekspresi yang sulit ditebak. Mistin yakin betul bahwa tindakannya disertai motivasi kuat dan benar, meski cara yang dipilih tergolong kekerasan.
Dalam kutipan tak langsung, diberitakan betapa Mistin seringkali mengalami tindak kekerasan dari sang suami. Kandungan Mistin yang jelas-jelas berisi buah cinta mereka berdua sempat ditendang berkali-kali oleh suaminya itu, hingga ia mengalami perdarahan hebat. Ekspresi Mistin seolah tidak mencerminkan suasana emosi tertentu itu bahkan terkesan dingin dan ‘tega’. Bercampur pula dengan kegetiran dan ketakutan. Ia bukannya takut suaminya mati, yang ditakutinya adalah pembalasan yang bakal ia terima saat suaminya pulih nanti. Pantulan jiwa Mistin pada segala tindak-tanduknya khas milik perempuan.
Semasa hidupnya Kartini juga demikian. Ia yang lahir pada 21 April 1879, merupakan putri Raden Mas Ario Sosrodiningrat, asisten wedana Mayong, Jepara, tentu saja tergolong priyayi. Sayangnya, Kartini tidak menikmati fasilitas kewedanaan yang dimiliki ayahnya, karena ia anak seorang selir. Saya tak mungkin berceloteh soal perempuan tanpa memasukkan nama Kartini dalam daftar, bukan?
Keberanian dan Cinta
Sampai pada Kartini, ada benang merah yang merajut nama-nama perempuan dalam daftar saya ini. Dalam surat-suratnya kepada mevrouw de Booij Boissevain, Kartini meletupkan kepedihan hati atas pembedaan fasilitas antara ibunya beserta anak-anak, dan yang diperoleh istri utama ayahnya. Demikian pula yang terungkap dalam banyak surat-surat Kartini, menyiratkan kegigihan menyelimuti ketak-terimaan nasib dan perlakuan terhadap kaumnya.
Semangat Kartini memperjuangkan emansipasi bagi nasib perempuan sudah barang tentu dilatari perangkat budaya dan lingkungan kehidupannya. Ia lahir dan dibesarkan dalam adat-istiadat Jawa priyayi yang feodal. Meski secara kognitif ayahnya dan lingkungan priyayi Jawa bergaul dengan budaya Barat yang dibawa kerabat Belanda mereka, semua itu tidak cukup kuat mengubah paradigma yang menyentuh intensi perilaku menempatkan perempuan di luar lingkaran yang telah berlangsung berabad-abad.
Di sinilah benang merah itu. Kartini memiliki keberanian yang tinggi mengungkapkan gejolak jiwanya ke dalam surat-surat yang terkirim, sehingga orang lain dapat membaca dan turut merasakan (berempati) apa yang tengah dialaminya. Itulah jiwa perempuan, berbagi pikiran dan perasaan merupakan kerinduan jiwanya. Dengan berani perempuan mengungkapkan letupan jiwanya dalam berbagai cara.
Dani rela berbagi episode hidupnya dengan orang lain dalam sajak-sajak yang dipublikasikan. Juga dilakukan dengan berani dan dalam dorongan kebutuhan untuk berbagi pengalaman jiwa. Osin berani menerobos petitah dan memenangi tantangannya sendiri. Menikahi pemuda Jawa tidak beda dengan pemuda-pemuda lainnya. Halnya Mistin, andai saja ia tidak punya keberanian lebih untuk memutuskan derita kekerasan yang dilakukan suaminya selama ini, mungkin orang lain tak ‘kan pernah tahu.
Mereka semua perempuan yang punya keberanian mengungkapkan kebutuhan jiwanya untuk berbagi dan didengar. Namun tak semata itu, keberanian perempuan justru didorong oleh cinta dan kelembutan yang terpelihara alami di dalam jiwanya. Coba nikmati ungkapan-ungkapan jiwa perempuan, pasti ciri khasnya akan terasa.
Penulis adalah Psikolog
No comments:
Post a Comment