Ternyata saya tulis 3 tahun silam, pada tanggal 23 Januari 2006, hingga beberapa konteks sudah agak basi... It's fine lah... daripada basi di folder.
Ini dia... semoga bisa menjadi inspirasi untuk apapun...
Family Violence: Pahamkah si Anak Telah Jadi Korban?
Rinny Soegiyoharto
Pada usia yang masih sangat muda, anak-anak itu belum paham telah menjadi korban kekerasan di dalam lingkungan keluarganya sendiri. Kondisi yang dapat mereka ungkapkan sebatas “sakit” dan “takut”. Sakit atas penganiayaan fisik; takut pada pelakunya yang dalam hal ini orangtua atau anggota keluarganya sendiri. Juga takut pada pengulangan rasa sakit yang sudah pernah diderita.
Family violence atau kekerasan dalam keluarga, khususnya terhadap anak-anak, seyogyanya tak sekadar pembicaraan semusim. Ramai, kemudian reda. Masalah ini bukan semata item yang populer atau tidak. Frekuensi kasus kekerasan terhadap anak sekitar era akhir 70-an hingga awal 80-an, dari suatu penelitian di Amerika Serikat (AS), tercatat meningkat 123 persen dalam kurun waktu enam tahun. Dengan catatan banyak kasus yang belum terdeteksi. Itu di negara maju dan dengan budaya masyarakat yang jauh lebih terbuka daripada di sini.
Bagaimana dengan Indonesia? Catatan terkini Komisi Nasional Perlindungan Anak memperlihatkan angka kasus kekerasan terhadap anak meningkat hampir dua kali lipat pada 2005 dibandingkan tahun sebelumnya. Jika banyak pihak berpendapat kasus kekerasan terhadap anak-anak saat ini terus meningkat, sebenarnya menggembirakan. Artinya telah banyak kasus kekerasan domestik yang terkuak, muncul ke permukaan, sehingga mudah dicatat dan didata. Selanjutnya mendapatkan intervensi sesuai undang-undang.
Namun terpikirkah bahwa sesungguhnya praktik-praktik itu sudah terjadi di masyarakat kita sejak puluhan tahun lalu? Semua itu tidak terungkap hanya karena tertutup rapatnya wilayah privat masing-masing keluarga. Apalagi untuk dicatat dan diintervensi. Anak-anak sebagai korban yang ketika itu merasa (sangat) “sakit” dan (sangat) “takut” menjadi terabaikan. Jika sekarang ada Tia di Sunter yang diseterika bapaknya, Indah Sari dan Lintang, juga Eka Suryana, dan seterusnya, mungkin dahulu tidak hanya Ari Hanggara. Tahun-tahun sebelum dan sesudahnya sangat banyak kasus serupa yang tak terdeteksi.
Anak-anak korban kekerasan dalam keluarga belum mengerti bahwa dirinya adalah korban. Sampai ia berjumpa dengan stimulasi sosial yang lebih dalam, luas dan kompleks. Ketika anak yang sudah mulai tumbuh ini dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pengaruh lingkungan, langsung ataupun tidak, memberi kontribusi terhadap keberhasilan/kegagalan seorang anak melewati setiap tahap dan tugas-tugas perkembangannya (developmental tasks). Jon R Conte (1990) mengatakan, anak-anak akan memahami dirinya sebagai korban ketika kemampuan kognitifnya makin berkembang, seiring perkembangan dan pembentukan sikap, keyakinan dan nilai-nilai hidupnya yang berlangsung di dalam lingkungan kehidupan.
Pengaruh Lingkungan dan Akibat
Pemaknaan dari orang-orang di sekelilingnya terhadap tindak kekerasan yang diterima anak memberikan penguat terhadap rasa “sakit” yang telah ia pendam dalam bentuk ketakutan. Kondisi ini seringkali tidak berlangsung secara eksplisit, namun diserap anak dari perilaku nonverbal dan observasi sosial yang dijumpainya. Misalnya, anak yang mengalami kekerasan sendiri saja, sedangkan saudaranya yang lain tidak. Atau pertanyaan yang diajukan kepadanya, "Kenapa kamu dipukul?” Atau ia menyaksikan anak dari keluarga lain tidak mengalami hal yang sama dengan yang ia alami. Dan beragam situasi lainnya. Adakalanya sikap dan perilaku anak yang tengah tumbuh dan kembang ini terasa berbeda dengan anak-anak lain yang juga tengah tumbuh-kembang bersama-sama dalam kelompok. Perbedaan semakin nyata ketika kelompok atau lingkungan sosial memperjelas detail dengan penolakan, misalnya kurang memberikan kepercayaan padanya seperti kepada yang lain.
Pola interaksi yang dilakukan anak tidak sejalan dengan pola interaksi sosial yang berlaku di lingkungannya. Hal ini memaksa anak mencari sebab-musabab yang tak pernah dimengerti ataupun disadarinya. Hingga pencarian itu menerjang lapisan subconsciousness, menggugah alam bawah sadarnya kemudian hinggap pada rasa “sakit” dan “takut” itu lagi. Mutasi dan kolaborasi sakit yang terasa dan takut yang tak terlihat itu berpotensi melahirkan sejumlah besar probabilitas ketidakstabilan pribadi di kemudian hari.
Katakanlah benar bahwa kekerasan terhadap anak telah terjadi semenjak puluhan tahun lalu dan kini anak-anak itu sudah dewasa. Tampakkah mereka ini dalam kehidupan masyarakat kita sekarang? Apabila para ahli yang cukup banyak membahas masalah ini mengatakan anak yang mengalami kekerasan cenderung akan mengulang pola yang sama setelah ia dewasa, barangkali saat inilah masa memanen. Terbukti kasus kekerasan terhadap anak-anak meningkat.
Tidak itu saja. Karena selain luka-luka fisik yang menimbulkan rasa sakit dan takut ketika kekerasan itu terjadi, individu yang mengalami kekerasan juga memproyeksikan pribadi berkarakter khusus ketika ia dewasa. Ia dapat menjadi seorang pemarah yang agresif, menderita inferiority complex, ragu-ragu dan sulit mengambil keputusan. Bisa juga ia menjadi pemaksa, kesulitan dalam memecahkan masalah, cenderung menyalahkan diri sendiri pada hampir setiap permasalahan, memimpin dengan penuh kekuasaan, mengalami masalah sulit belajar, pendendam dan selalu ingin membalas. Bahkan ada pula yang menjadi seorang psikopat.
Cermin Bentuk-bentuk Kekerasan
Sebagai acuan untuk mengingatkan kembali kepada semua kita, beberapa hal yang dipaparkan dalam jurnal penelitian David J Hansen dan kawan-kawan (1990) dapat dimanfaatkan. Tentunya selain sosialisasi berkesinambungan tentang undang-undang antikekerasan terhadap anak-anak. Acuan untuk mendeteksi apakah kekerasan terhadap anak pernah kita alami atau lakukan atau saksikan?
Kekerasan pada anak meliputi: fisik, seksual dan psikologis. Tindakan yang tergolong kekerasan fisik adalah pemukulan, dengan atau tanpa alat, cubitan, pembakaran dan penyulutan, pencabikan, pencekikan, pengikatan pada anggota tubuh seperti kaki dan tangan,. Juga peracunan, secara berlebihan memberikan rasa panas atau dingin, menyentuh sensor inderawi secara berlebihan seperti suara/teriakan/bentakan, bau busuk, rasa tak enak di lidah, dan melarang anak tidur. Mengabaikan anak juga tergolong penganiayaan fisik, antara lain tidak memperhatikan pertumbuhan fisik anak, kurang memberikan nutrisi yang baik, pengobatan medis kurang memadai, dan tidak mengakomodasi kebutuhan emosi anak.
Kekerasan seksual meliputi segala bentuk kontak seksual baik oral, anal maupun genital, sentuhan fisik pada anggota tubuh seperti alat kelamin, bokong dan payudara, tinggal bersama dengan orang-orang di luar anggota keluarga dan berusia lebih tua selama lebih dari lima tahun.
Kekerasan psikologis berkaitan erat dengan tindakan-tindakan yang dilakukan pada dua bentuk kekerasan lainnya. Secara psikologis pasti terjadi kekerasan apabila anak mengalami kekerasan fisik dan seksual. Hal ini meliputi lima bentuk, yakni menimbulkan rasa tertolak (rejecting), terasing (isolating), terteror (terrorizing), terabaikan (ignoring) dan rusaknya struktur psikis (corrupting). Akibat dari bentuk-bentuk kekerasan psikologis adalah dihasilkannya karakter dan kepribadian yang lemah pada anak-anak korban kekerasan.
Setelah bercermin, tak ada alasan untuk tidak mendukung program pemutusan rantai tindak kekerasan terhadap anak-anak di negeri ini, dapat dimulai dari diri sendiri dan lingkungan kita.
Penulis adalah Psikolog
1 comment:
tulisannya bagus mba, bs dijadiin warning buat saya ni,sebagai bunda hehe...
Post a Comment