*by RinnyS*
*** *** ***
Musim sekolah yang saya maksud yakni suasana, situasi dan kondisi saat-saat ini yang terkait dengan aktivitas per-sekolahan dan pendidikan. Istilah ini semata-mata pendapat dan pandangan pribadi berdasarkan pindaian dan tengaraian peristiwa-peristiwa actual yang tengah berlangsung. Artinya, difinisi praktis dari istilah ini dalam konteks di sini, berlaku dalam lingkup terbatas dan seketika muncul (‘on the spot’), atas spontanitas ide saja.
Musim-musim itu seperti Ujian Nasional (UN), Ujian Akhir Sekolah (UAS), pendaftaran siswa dan mahasiswa baru, persiapan dana pendidikan yang dilakukan para orangtua, pengisian dan pengembalian formulir, tes-tes saringan masuk sekolah, dan sebagainya.
Suasana dan situasi demikian meningkatkan aktivitas dan keterlibatan sebagian besar orangtua terhadap pendidikan dan sekolah anak-anaknya. Mulai dari pendampingan belajar yang lebih intens, pengaturan jadwal belajar anak, membuat soal-soal tambahan, mengantar les, mengundang guru ke rumah, mengantarkan anak ke setiap tempat pendaftaran sekolah dan tes saringan masuk, menyediakan makanan yang lebih padat gizi, hingga membatalkan acara-acara pribadi demi anak-anak.
Alangkah baiknya apabila musim sekolah juga disikapi dan diisi dengan upaya-upaya memberikan aspek pendidikan lain yang tak kalah penting terhadap anak-anak. Aspek-aspek yang justru sangat bermanfaat bagi perkembangan mental dan psikologis mereka. Misalnya kemandirian dan tanggung jawab.
Aspek tersebut sudah tentu menuntut harga yang mahal dari orangtua. Sungguh mahal, karena buah dari harga tersebut baru dapat dipetik setelah waktu-waktu berlalu, yang bisa sangat jadi menghadirkan gejolak dan konflik emosi yang dalam. Mula-mula hanya perlu rasa percaya dan berserah.
Mungkin kisah di bawah ini dapat mewakili ide dan memberi warna pada musim sekolah kita....
SUDAH waktunya untuk mendaftar dan mengikuti tes masuk Perguruan Tinggi di sebuah kota yang sama sekali belum pernah dikenalnya, selain nama kota dan sesekali pernah lewat dalam perjalanan liburan bersama keluarga ke kota lain.
Gadis belia 17 tahun ini mulai bersiap-siap. Mengemasi koper, memilih-milih beberapa buku kumpulan soal dan text book yang mungkin diperlukan nanti, menulis beberapa surat untuk sahabat sekadar menyampaikan informasi tentang aktivitasnya pada hari-hari ke depan nanti.
Ibunya datang, memberikan secarik kertas berisi daftar barang yang perlu dibawa, mengingat si gadis akan menginap sekitar satu minggu di kota itu. Gadis belia berdecak membaca daftar tersebut, ternyata banyak barang penting yang belum ia persiapkan dari tadi. Ah, ibu memang selalu tahu. Tapi ibu hanya menyodorkan daftar, si gadis menyiapkannya sendiri. (POINT 1: KEMANDIRIAN DAN TANGGUNG JAWAB)
Tanpa setahu anak gadisnya, diam-diam ibu memeriksa ulang seluruh isi koper dan bawaan yang telah dipersiapkan sang anak, pada saat si gadis telah terlelap kelelahan. Barang-barang yang belum ada dalam koper segera ditambahkan oleh ibu, seperti setengah lusin celana dalam dan beberapa bra baru, kaus kaki, minyak gosok, obat-obatan dan vitamin, seperangkat stationary, dan lain-lain.
Keesokan pagi, sebelum berangkat dengan mobil, sepintas ibu menginformasikan kepada si gadis mengenai beberapa barang yang telah diselipkannya ke dalam koper. Anak gadis yang ceria itu pun mengangguk. (Belakangan si gadis sungguh bersyukur bahwa barang-barang yang diselipkan oleh ibunya hampir semua terpakai dan sangat bermanfaat selama di kota itu).
Ibu mengantarkan anak gadisnya ke kota tersebut, dengan kendaraan pribadi yang dikemudikan supir pribadi sang ayah. Setiba di sana, mereka mencari tempat kos, berdasarkan insting seorang ibu, dipilihlah tempat kos yang aman dan ditunggui sepasang suami-istri. Hanya semalam ibu ikut menginap di tempat itu bersama anaknya yang hendak berjuang di musim sekolah ini. Sebelum pulang ke kota asal, diam-diam ibu menitipkan anak terkasih kepada suami-istri penjaga rumah kos.
Mulailah hari-hari yang menegangkan, melelahkan, mencemaskan, dan berbagai emosi lainnya, dilalui anak gadis yang kini seorang diri di kota yang baru saja dikenalnya. Tinggal bersama orang-orang lain yang masih asing baginya. Ia kebingungan, sedikit takut, dan tentu saja merasa sedih. Mula-mula memberanikan diri berkenalan dengan penghuni lain di rumah itu, yang rata-rata sudah cukup lama bermukim di sana. Mereka ramah, namun punya kesibukan masing-masing hingga tak mungkin menemani hari-hari dan perjuangannya selama di kota itu.
Beberapa jadwal tes saringan masuk ada dalam genggamannya, yang letak antar tempat cukup berjauhan satu sama lain, termasuk dari tempat kosnya. Ia mulai mencari informasi mengenai kendaraan apa yang bisa ditumpangi untuk sampai ke tempat-tempat tersebut. Hari pertama terjadi kesalahan memilih jasa angkutan, akibatnya ia harus menumpang kendaraan umum lain yang memungkinkannya tiba di tempat tujuan. Dalam waktu yang sangat terbatas, ia bisa juga sampai di tempat tes berlangsung, dengan peluh bercucuran akibat perjalanan panjang yang telah dialami pagi itu.
Hari kedua, ketiga dan seterusnya, ia mulai dapat memilih kendaraan umum yang tepat, juga menghitung waktu tempuh ke tempat-tempat yang hendak dituju termasuk jauh perjalanan berjalan kaki. Uang yang diberikan orangtuanya tidak berlebihan, namun tentu saja tidak kurang. Ia harus pandai-pandai mengaturnya agar cukup sampai waktu ia pulang ke kota asal nanti.
Belum lagi, saat menemui pihak perguruan tinggi yang mewawancarai calon mahasiswa dengan pertanyaan-pertanyaan yang tajam. Lalu pembicaraan-pembicaraan orang di sekitarnya yang lebih banyak tak dipahami. Ditambah lagi dengan berbagai kesalahannya saat mengajukan pertanyaan yang mengundang tawa sekeliling, ia merasa malu dan agak stres. Perasaannya makin tidak menentu. Cemas, sedih, marah, kecewa, kesal, semua jadi satu dan sungguh menyesakkan.
Betapa hatinya makin sedih dan teriris saat menyaksikan beberapa peserta tes lain yang diantar oleh orangtua mereka. Orangtua menemani saat wawancara, saat membayar di loket, juga memberikan minuman dalam kemasan dan makanan yang semerbak harumnya berbungkus kertas dari toko-toko makanan terkenal. Orangtua membelikan buku-buku yang dijajakan di sekitar kampus-kampus untuk membantu anak-anaknya lebih siap menghadapi tes saringan nanti. Sementara dirinya harus menahan diri tidak membeli terlalu banyak buku, agar tidak kehabisan uang sampai waktu pulang tiba.
Ia sedih, kecewa, marah:”Kenapa ibu dan ayah membiarkan diriku terlunta-lunta di kota ini? Sama sekali tidak membantuku mengatasi masalah-masalah yang berat dan membuat stres ini?”
Namun ada saatnya ia merasa bangga, ketika seorang ibu yang mengantarkan anak gadisnya yang sebaya dengan dirinya, bertanya soal beberapa hal yang sudah ia pelajari secara mandiri beberapa hari ini. Ibu itu menatap kagum dan tercengang saat mengetahui ia sendirian saja tanpa ditemani. Sampai kemudian ibu tersebut memutuskan meninggalkan anak gadisnya di situ bersamanya, hingga kemudian mereka bersahabat.
Tiba saat untuk pulang ke kota asal. Seluruh proses telah ia lalui, secara bertahap melewati dan mempelajari banyak hal selama sepuluh hari berjuang di kota ini. Ia juga sudah memiliki teman-teman baru, bahkan sahabat yang belajar beberapa hal dari pengalamannya. Pulang menumpang kendaraan umum dalam jarak tempuh yang cukup jauh, bukan lagi hal yang terlalu menakutkan. Ia tetap waspada. Namun juga masih menyimpan rasa sedih karena merasa ”ditinggalkan” oleh orangtuanya yang sebenarnya sanggup menemaninya sepanjang waktu, bahkan mampu memberikan uang lebih banyak.
Sesampai di kota asal, ibu, ayah beserta seluruh anggota keluarga menyambutnya dengan senyum dan pelukan. Ia masih juga menyimpan kesal atas perasaan ”ditinggalkan”. Sampai kemudian, setelah tahun-tahun berlalu, masa berganti, yang dalam perjalanannya ia menyadari kemandirian dan ketabahan yang dimilikinya menghadapi berbagai tantangan hidup, saat itu hanya satu yang ingin dibisikinya ke telinga lembut orangtuanya: TERIMAKASIH, AKU SANGAT MENGASIHIMU.
Hal lain yang juga disadarinya kemudian, betapa besar harga yang dibayar ibunya dahulu, berpisah meninggalkan anak perempuannya di kota asing, berjuang seorang diri melewati berbagai tantangan dan gempuran hidup. Ia yakin, sangat amat yakin, betapa sedihnya hati sang ibu menahan diri, menahan air mata dan rasa tertekan pada saat meninggalkan dirinya dahulu. Hal-hal yang kemudian ia ketahui, ibu dan ayah yang diam-diam menelepon ke rumah kos, menayakan dirinya dan kondisinya (belum ada telepon genggam sebagai sarana komunikasi jarak jauh sewaktu-waktu).
Satu hal utama yang ia tahu saat memergoki tanpa sengaja dan membuat hatinya menangis tiada henti dalam sesak keharuan, yakni ketika mendengar doa-doa yang dipanjatkan kedua orangtuanya di dalam ruang tertutup mereka. Doa-doa luar biasa yang ia yakin merupakan tonggak kekuatan tak terkira, yang telah mengantarkan dirinya menjadi pribadi yang (setidaknya) matang dan mandiri. Semua itu tidak ada sekolahnya. Tidak bermusim, karena mengalir sepanjang waktu sepanjang musim.
Musim sekolah tiba, selamat menghayatinya.[RS]
___________
RS @ OwnBlog http://perempuan-berbisik.blogspot.com/