Tuesday, March 9, 2010

Perempuan Berbisik 62: EMPATI (Throughout IWD)


*by RinnyS*
*** *** ***

Kemarin, tepatnya 8 Maret, diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (IWD). Masih banyak perempuan Indonesia yang belum familiar dengan hari khusus yang diperingati perempuan sedunia ini. Kita (di Indonesia) sudah terbiasa memperingati Hari Kartini setiap tanggal 21 April, sebagai simbol dan tonggak sejarah terangkatnya emansipasi perempuan. Tak ketinggalan, Hari Ibu setiap 22 Desember, yang sesungguhnya bermakna sama dengan Hari Kartini, bahkan dekat sekali dengan ide utama Hari Internasional Perempuan pada 8 Maret ini.

Sedikit mengutip hasil unduh soal Hari Perempuan Internasional, sebagai berikut:

International Women's Day (8 March) is a global day celebrating the economic, political and social achievements of women past, present and future.
International Women's Day has been observed since in the early 1900's, a time of great expansion and turbulence in the industrialized world that saw booming population growth and the rise of radical ideologies. (www.internationalwomensday.com)


Lalu,

The very first International Women's Day was launched the following year by Clara Zetkin on 19 March (not 8 March). The date was chosen because on 19 March in the year of the 1848 revolution, the Prussian king recognized for the first time the strength of the armed people and gave way before the threat of a proletarian uprising. Among the many promise he made, which he later failed to keep, was the introduction of votes for women.
……………………
In 1913 International Women's Day was transferred to 8 March and this day has remained the global date for International Women's Day ever since.
…………………
2000 and beyond
IWD is now an official holiday in China, Armenia, Russia, Azerbaijan, Belarus, Bulgaria, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Macedonia, Moldova, Mongolia, Tajikistan, Ukraine, Uzbekistan and Vietnam. The tradition sees men honouring their mothers, wives, girlfriends, colleagues, etc with flowers and small gifts. In some countries IWD has the equivalent status of Mother's Day where children give small presents to their mothers and grandmothers.
(www.internationalwomensday.com)


KENAPA “EMPATI”?

Oh!!! Ini sekadar judul hasil khayal-khayal saya. Tentu saja bukan khayal sembarang khayal! Berbagai peristiwa sehari-hari menjadi latar belakang terangkatnya judul sederhana ini.
Kaitannya dengan IWD? Yaaaahhhh, selain menikmati momen (alih-alih memanfaatkan ;-)), “empati” merupakan fenomena sehari-hari di dalam lingkup kehidupan perempuan. Perempuan mengalami dan mampu berempati, TAPI sekaligus sering juga gagal melakukannya. What’s up?!?

Saya pikir, kata dan makna empati tidak asing lagi di telinga semua orang. Beberapakali saya dengar bahkan anak-anak pun sering berseloroh dengan kata tersebut, meski belum tentu betul-betul tepat penggunaannya.
Bagi saya sendiri, empati tak sekadar membahas maknanya yang terlalu sederhana, seperti: turut merasakan apa yang dirasakan dan dialami orang lain, merasakan isi ‘sepatu’ orang lain, dan sebagainya.
Melakukan empati, ternyata cukup berbeda dari memahami empati.

Perempuan, terlepas dari kodrati emosional yang telanjur melekat (beberapa waktu lalu pernah saya tulis pada bagian lain), mudah menangis bersama orang yang menangis. Bahkan begitu tersentuh secara dramatis oleh tontonan ataupun pertunjukan, hingga dapat berurai air mata gara-gara cerita sinetron, film drama sedih, kisah pilu orang lain, berita-berita mengenai peristiwa menyakitkan, menyedihkan, menggetarkan, mencemaskan, menakutkan, baik berkisah tentang perempuan maupun bukan.

Tak sulit bukan? Perempuan mampu berempati, mengekspresikan perasaannya, menghibur yang pilu, duka dan nestapa, dengan penuh pengertian. Betapa dalamnya keterlibatan perasaan hingga benar-benar tampak turut merasakan yang tengah dirasakan orang lain. Demikianlah, perempuan pandai melakukan empati dengan begitu baik. Benarkah???

Suatu waktu dahulu, ketika sedang menelaah “empati”, seseorang bertanya pada kelompok diskusinya,
“Lebih mudah mana, turut merasakan kesedihan dan kegagalan orang lain? Ataukah turut merasakan kebahagiaan dan keberhasilan orang lain?”
Sebagian besar anggota kelompok menjawab: lebih mudah turut merasakan kebahagiaan dan keberhasilan orang lain.

Beberapa alasan dan argumen dilontarkan, semua benar dan masuk akal. Misalnya, bahwa ketika melakukan empati atas perasaan duka seseorang, kita tidak sekadar mengucapkan kata-kata saja, namun harus dapat menunjukkan ekspresi tulus saat menatap, menyentuh, bahkan memeluknya. Berbeda halnya ketika kita hadir ke sebuah pesta pernikahan, mengucapkan selamat dengan wajah sumringah, jauh lebih mudah dan spontan, sebagai ungkapan empati atas kebahagiaan mempelai.

Seseorang yang sama melontarkan pertanyaan berikutnya,
“Apakah orang yang diam-diam memiliki hasrat dan menyimpan rasa cinta kepada salah satu mempelai, juga mampu berbuat hal yang sama?”
Ramai-ramai kelompok menjawab: TIDAAAAAK.
Pertanyaan selanjutnya bersifat mengajak,
“Dapatkah kita turut merasa bahagia secara penuh, ketika rekan sekerja dengan level jabatan dan beban kerja yang sama, mendapatkan promosi jabatan dan kenaikan gaji jauh melebihi diri kita?”

Hanya ada satu dua jawaban spontan namun terkesan reaktif: “Ya, tentu saja dapat.”
Jawaban-jawaban tersebut pun perlahan-lahan melemah dan kehilangan makna kepastiannya. Situasi yang kemudian mengajak kelompok bersepakat, bahwa melakukan empati dalam suasana menyenangkan yang dialami orang lain, memiliki syarat-syarat tertentu. Bukan hal mudah menunjukkan empati yang selaras antara kata-kata dan ekspresi nonverbal, bahkan pada situasi turut merasakan kebahagiaan dan keberhasilan orang lain.

Latar belakang lahirnya International Women’s Day di tengah-tengah suasana politik dalam aroma revolusi industri awal abad 19, saya rasa tidak semata-mata menyoal pengakuan terhadap hak suara perempuan untuk menentukan arah politik kelompok, organisasi, negara dan bangsa, bahkan dunia. Tidak juga sekadar penghargaan kaum laki-laki terhadap eksistensi perempuan sebagai bukan warga masyarakat kelas dua.

Perjuangan perempuan di seluruh dunia, khususnya saat menuntut hak suara dan hak pilihnya mengarungi arus perpolitikan dan arah politik (dalam masyarakat, organisasi, pekerjaan, lembaga, parlemen, pemerintahan, dan sebagainya), tak lepas dari mengentaskan pemahaman antar sesama perempuan sendiri untuk saling mendukung satu sama lain.

Khayalan saya, di sinilah kendaraan “empati” mengambil peran, yakni pengejawantahan empati di setiap ranah perempuan berkiprah. Tentu saja pengejawantahan yang perlu dipikirkan mendalam oleh setiap perempuan pelaku, sesuai dengan posisinya saat ini dan tempatnya berada. Kontemplasi yang membutuhkan sedikitnya kejujuran hati nurani.

Mungkin begitu yaaaaaa….
Iya, ‘gitu aja dulu deh… ;-)

___________
RS @ OwnBlog http://perempuan-berbisik.blogspot.com/

No comments:

Posts Archive


PEREMPUAN = SRIKANDI ?

Kenapa PEREMPUAN PEJUANG sering disebut SRIKANDI.
APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?
Kutelusuri WIKIPEDIA, kutemukan entri SRIKANDI ini

Srikandi (Sanskerta: Śikhaṇḍī) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata vrsi India.
Arti nama
Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".
Srikandi dalam Mahabharata
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Perang di Kurukshetra
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Srikandi dalam Pewayangan Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

JADI, APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?

*********

PEREMPUAN DAN PENDIDIKAN
Rinny Soegiyoharto (catatan tak selesai pada april 2006)

Ragam aktivitas ke-Kartini-an sebagai simbol emansipasi kaum perempuan seperti sebuah rutinitas lebih bergaung pada bulan April mendekati hari keduapuluhsatu. Ditandai aneka lomba dan berbagai atribut keperempuanan yang adakalanya malah tampak sekadar wujud lahiriah dan kasat mata. Sebut saja lomba berkebaya, lomba masak, lomba pasang dasi, lomba merias wajah, dan sebagainya.

*** *** *** *** ***

-DRAFT--Wanita. Meski berpadan dengan perempuan, namun kata dasar “empu” pada perempuan terasa lebih nyaman dan membanggakan, oleh sebab itu saya suka menggunakan kata “perempuan”, termasuk dalam menamai blog saya.-
Perempuan, sadar soal pentingnya pendidikan terhadap anak-anak, karena di "dalam" perempuan terdapat beban psikologis memperjuangkan dirinya sendiri, terus-menerus. Utamanya dalam hal pendidikan (sudah diterobos Kartini). Guru TK-SD bahkan SMP kebanyakan perempuan. Bapak-bapak lebih banyak muncul dan berperan pada tingkat pendidikan lanjutan atas (SMA), dimana pendidikan dasar telah ditanamkan lebih dahulu oleh ibu-ibu guru. Mengapa? Sekali lagi karena perempuan secara lahiriah dan kodrati justru memikul tanggung jawab pendidikan itu sendiri yang dimulai pada dirinya sendiri. Maka, bapak-bapak guru lebih kepada transfer of knowledge, ketimbang hal-hal mendasar yang lebih berhubungan dengan pembangunan karakter, penanaman proses belajar dan pengertian-pengertian dasar untuk dan selama manusia menempuh proses pendidikan.- Pendidikan: mencakup attitude/sikap, yakni kognitif, afektif dan perilaku. Pengembangan kepribadian, pembiasaan good character, kesadaran dan tanggung jawab akan masa depan pribadi/diri sendiri yang mempengaruhi masa depan keluarga dan kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara, dll.- Bukan diskriminasi yang mengarah pada gerakan feminisme.- Perbedaan sesuatu yang dirayakan bersama sebagai unsur2 yg saling bersinergi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan bersama: orangtua, pendidik, bangsa dan negara.- Berkaitan erat dengan UU Anti-KDRT. Jika perempuan terus ditindas, bahkan di dalam rumah tangganya sendiri, bagaimana mungkin perempuan dapat bertugas/ berkiprah/ bertindak optimal untuk mendidik anak-anak, baik anak sendiri maupun anak-anak didik apabila ia seorang guru? Kendati lagi, waktu terus merambah, persaingan global semakin cepat dan menantang, anak tidak berhenti tumbuh dan berkembang, suatu waktu akan tiba ketika anak mulai lebih banyak mencurahkan porsi proses pendidikannya pada pemenuhan kognitif, belajar ilmu2 tinggi, yg bisa jadi sebagian besar diberikan oleh laki-laki, bapak2 yg menitikberatkan pada perkembangan kognitif.- Perempuan & laki2 lebih kepada pembagian peran, baik dalam pendidikan di dalam rumah tangga, maupun pendidikan secara luas, formal & informal. Karena baik dari segi struktur fisiologis dan psikologis serta kultural dan sejarah di dalam masyarakat kita, telah membentuk sebuah perbedaan laki2 dan perempuan, yang harus kita rayakan bersama-sama membentuk manusia-manusia berkualitas dlm diri anak2 kita sebagai proses pendidikan menuju masa depan cerah mengikuti kecerahan janji bangsa ini. Amin.-

Pendidikan dimulai dari rumah. Peran ibu sebagai objek kelekatan anak yang pertama terhadap proses pendidikan anak tentulah tidak kecil. Sebagai perempuan, tentunya ibu harus tidak hanya memberikan pelajaran, namun pendidikan kasih sayang, penanaman afeksi, unsur penting bagi rasa nyaman dan aman bagi anak, karena merasa dicintai. Bagaimana mungkin ibu dapat menanam benih cinta pada anak apabila dia sendiri mengalami kekerasan dalam rumah tangga.***