*by RinnyS*
*** *** ***
Kemarin, tepatnya 8 Maret, diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (IWD). Masih banyak perempuan Indonesia yang belum familiar dengan hari khusus yang diperingati perempuan sedunia ini. Kita (di Indonesia) sudah terbiasa memperingati Hari Kartini setiap tanggal 21 April, sebagai simbol dan tonggak sejarah terangkatnya emansipasi perempuan. Tak ketinggalan, Hari Ibu setiap 22 Desember, yang sesungguhnya bermakna sama dengan Hari Kartini, bahkan dekat sekali dengan ide utama Hari Internasional Perempuan pada 8 Maret ini.
Sedikit mengutip hasil unduh soal Hari Perempuan Internasional, sebagai berikut:
International Women's Day (8 March) is a global day celebrating the economic, political and social achievements of women past, present and future.
International Women's Day has been observed since in the early 1900's, a time of great expansion and turbulence in the industrialized world that saw booming population growth and the rise of radical ideologies. (www.internationalwomensday.com)
Lalu,
The very first International Women's Day was launched the following year by Clara Zetkin on 19 March (not 8 March). The date was chosen because on 19 March in the year of the 1848 revolution, the Prussian king recognized for the first time the strength of the armed people and gave way before the threat of a proletarian uprising. Among the many promise he made, which he later failed to keep, was the introduction of votes for women.
……………………
In 1913 International Women's Day was transferred to 8 March and this day has remained the global date for International Women's Day ever since.
…………………
2000 and beyond
IWD is now an official holiday in China, Armenia, Russia, Azerbaijan, Belarus, Bulgaria, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Macedonia, Moldova, Mongolia, Tajikistan, Ukraine, Uzbekistan and Vietnam. The tradition sees men honouring their mothers, wives, girlfriends, colleagues, etc with flowers and small gifts. In some countries IWD has the equivalent status of Mother's Day where children give small presents to their mothers and grandmothers.
(www.internationalwomensday.com)
KENAPA “EMPATI”?
Oh!!! Ini sekadar judul hasil khayal-khayal saya. Tentu saja bukan khayal sembarang khayal! Berbagai peristiwa sehari-hari menjadi latar belakang terangkatnya judul sederhana ini.
Kaitannya dengan IWD? Yaaaahhhh, selain menikmati momen (alih-alih memanfaatkan ;-)), “empati” merupakan fenomena sehari-hari di dalam lingkup kehidupan perempuan. Perempuan mengalami dan mampu berempati, TAPI sekaligus sering juga gagal melakukannya. What’s up?!?
Saya pikir, kata dan makna empati tidak asing lagi di telinga semua orang. Beberapakali saya dengar bahkan anak-anak pun sering berseloroh dengan kata tersebut, meski belum tentu betul-betul tepat penggunaannya.
Bagi saya sendiri, empati tak sekadar membahas maknanya yang terlalu sederhana, seperti: turut merasakan apa yang dirasakan dan dialami orang lain, merasakan isi ‘sepatu’ orang lain, dan sebagainya.
Melakukan empati, ternyata cukup berbeda dari memahami empati.
Perempuan, terlepas dari kodrati emosional yang telanjur melekat (beberapa waktu lalu pernah saya tulis pada bagian lain), mudah menangis bersama orang yang menangis. Bahkan begitu tersentuh secara dramatis oleh tontonan ataupun pertunjukan, hingga dapat berurai air mata gara-gara cerita sinetron, film drama sedih, kisah pilu orang lain, berita-berita mengenai peristiwa menyakitkan, menyedihkan, menggetarkan, mencemaskan, menakutkan, baik berkisah tentang perempuan maupun bukan.
Tak sulit bukan? Perempuan mampu berempati, mengekspresikan perasaannya, menghibur yang pilu, duka dan nestapa, dengan penuh pengertian. Betapa dalamnya keterlibatan perasaan hingga benar-benar tampak turut merasakan yang tengah dirasakan orang lain. Demikianlah, perempuan pandai melakukan empati dengan begitu baik. Benarkah???
Suatu waktu dahulu, ketika sedang menelaah “empati”, seseorang bertanya pada kelompok diskusinya,
“Lebih mudah mana, turut merasakan kesedihan dan kegagalan orang lain? Ataukah turut merasakan kebahagiaan dan keberhasilan orang lain?”
Sebagian besar anggota kelompok menjawab: lebih mudah turut merasakan kebahagiaan dan keberhasilan orang lain.
Beberapa alasan dan argumen dilontarkan, semua benar dan masuk akal. Misalnya, bahwa ketika melakukan empati atas perasaan duka seseorang, kita tidak sekadar mengucapkan kata-kata saja, namun harus dapat menunjukkan ekspresi tulus saat menatap, menyentuh, bahkan memeluknya. Berbeda halnya ketika kita hadir ke sebuah pesta pernikahan, mengucapkan selamat dengan wajah sumringah, jauh lebih mudah dan spontan, sebagai ungkapan empati atas kebahagiaan mempelai.
Seseorang yang sama melontarkan pertanyaan berikutnya,
“Apakah orang yang diam-diam memiliki hasrat dan menyimpan rasa cinta kepada salah satu mempelai, juga mampu berbuat hal yang sama?”
Ramai-ramai kelompok menjawab: TIDAAAAAK.
Pertanyaan selanjutnya bersifat mengajak,
“Dapatkah kita turut merasa bahagia secara penuh, ketika rekan sekerja dengan level jabatan dan beban kerja yang sama, mendapatkan promosi jabatan dan kenaikan gaji jauh melebihi diri kita?”
Hanya ada satu dua jawaban spontan namun terkesan reaktif: “Ya, tentu saja dapat.”
Jawaban-jawaban tersebut pun perlahan-lahan melemah dan kehilangan makna kepastiannya. Situasi yang kemudian mengajak kelompok bersepakat, bahwa melakukan empati dalam suasana menyenangkan yang dialami orang lain, memiliki syarat-syarat tertentu. Bukan hal mudah menunjukkan empati yang selaras antara kata-kata dan ekspresi nonverbal, bahkan pada situasi turut merasakan kebahagiaan dan keberhasilan orang lain.
Latar belakang lahirnya International Women’s Day di tengah-tengah suasana politik dalam aroma revolusi industri awal abad 19, saya rasa tidak semata-mata menyoal pengakuan terhadap hak suara perempuan untuk menentukan arah politik kelompok, organisasi, negara dan bangsa, bahkan dunia. Tidak juga sekadar penghargaan kaum laki-laki terhadap eksistensi perempuan sebagai bukan warga masyarakat kelas dua.
Perjuangan perempuan di seluruh dunia, khususnya saat menuntut hak suara dan hak pilihnya mengarungi arus perpolitikan dan arah politik (dalam masyarakat, organisasi, pekerjaan, lembaga, parlemen, pemerintahan, dan sebagainya), tak lepas dari mengentaskan pemahaman antar sesama perempuan sendiri untuk saling mendukung satu sama lain.
Khayalan saya, di sinilah kendaraan “empati” mengambil peran, yakni pengejawantahan empati di setiap ranah perempuan berkiprah. Tentu saja pengejawantahan yang perlu dipikirkan mendalam oleh setiap perempuan pelaku, sesuai dengan posisinya saat ini dan tempatnya berada. Kontemplasi yang membutuhkan sedikitnya kejujuran hati nurani.
Mungkin begitu yaaaaaa….
Iya, ‘gitu aja dulu deh… ;-)
___________
RS @ OwnBlog http://perempuan-berbisik.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment