*** *** ***
Saya mengamati langkah-langkah ringannya saat menghampiriku. Seolah-olah tiada berbekas sesak hati dan ayunan berat kaki beberapa waktu silam. Sesungging senyuman jiwa mengukir wajah putihnya; lengkungan yang tak berubah mengiring lambaian anak-anak rambut di dahi. Hingga agak mengejutkanku ketika ia sudah menempelkan pipinya yang lembut dan hangat, ke pipiku.
"Kuharap Mbak ngga sedang ngelamun... Ha ha ha..." Renyah suara tawanya pecah membuyarkan pendengaranku yang sedang mengikuti irama pikiranku sendiri.
"Ngga dong, sayang... Paling-paling aku berimajinasi... Kupikir aromamu yang makin kuat cuma halusinasi.... Ha ha ha..."
Upayaku mengimbangi tawa riangnya, tampak cukup berhasil. Ha ha ha... Dia makin larut terbahak keras, terlihat dahi, mata, hidung, pipi, bibir dan akselerasi tawanya, selaras berpadu.
"Senang banget melihatmu seperti ini," ujarku, mengubah suasana.
"Ah! Justru aku sedang melupakan diri, Mbak. Betapa bodoh, tolol dan palsunya aku waktu itu. Huh!"
Saya tidak sependapat. Menurutku, dia sungguh luar biasa. Betapa hebatnya dia mendobrak kungkungan mental yang begitu kuat mencengkeramnya, hingga kini dia mampu tampil menawan penuh daya hidup. Diam-diam saya mengaguminya, yang lalu saya sampaikan segera kepadanya.
"Kamu hebat dan luar biasa. Aku mengasihimu... Kamu bisa menjadi guruku sekarang." Kata-kata terakhir sengaja kutekan dengan intonasi berbeda; lebih kuat dan bertenaga.
Ia tersenyum, getir dan cemas berbaur... Tapi kata-kata yang diucapkannya saat ini keluar dari pikirannya.
"Mbak, kamulah guru sejatiku, yang telah mengangkat harkatku sampai setinggi ini. I love you..."
Didekapnya tubuhku erat, sambil berisak di balik punggungku. Kami berpelukan dalam berbagai rasa.
Yakinlah, saya sungguh-sungguh menganggap dia guruku. Banyak sekali yang telah kupelajari melalui hidupnya. Seorang perempuan pintar, sukses, cantik dan sehat secara fisik; yang suatu waktu dahulu berniat mengakhiri hidupnya sendiri.
Semua yang dianggapnya "pertolongan besar" atas apa yang kulakukan terhadapnya, sungguh tak berasal dariku semata. Saya hanyalah sebuah cermin, tempat ia mematut dan mendapatkan gambar-gambar dirinya. Bahwa kemudian terjadi revolusi pola pikir, pembongkaran penjara bawah sadar, pembangunan struktur kepribadian yang baru, semua itu karena dirinya sendiri.
Bayangan di cermin mengikuti bangunan yang disusun dengan materi-materi pikir dan rasa yang berenergi. Diterangi cahaya cinta hakiki terberi, yang selama ini tak dihiraukannya. Maka ia adalah sesuatu yang baru, yang lahir dan hadir dari sebuah kedalaman. Kekuatan tersebut hampir-hampir tak terbendung dengan kedahsyatan luar biasa.
Tinggallah saya memutar ulang. Menatap pantulan hidup dan kehidupan yang mengagumkan pada dirinya. Hampir-hampir saya tersandung tonggak-tonggak usang yang masih bercokol dalam bangunan saya sendiri. Karena saya sudah mulai kerap berbisik dengan kata-kata yang tak kukenali:
"...saya siap saat ini, kendati sesungguhnya saya tidak siap untuk apa-apa..."
*ditulis dalam kedalaman, di bawah lapisan-lapisan*
___________
RS @ OwnBlog http://perempuan-berbisik.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment