*** *** ***
CINTA DAN KEPENTINGAN
Aneh? Saya 'kok getol menyoal CINTA? Tanpa tanya-tanya siapapun, saya memang ingin menyatakan bahwa topik CINTA tak pernah membosankan buat saya. (Eekkkhheeemmm...)
Pergolakan kehidupan sosial manusia yang pada dasarnya makhluk sosial (3/4 waktunya dihabiskan bersama-sama dengan orang lain dalam konteks sosial), mengkondisikan manusia sebagai individu senantiasa dan semestinya memiliki rasa. Kumpulan berbagai rasa atau perasaan, tercitra dan mewujud dalam kehidupan setiap kita, baik secara individual maupun (lebih-lebih lagi) sosial.
Lalu saya lihat, rasa dan perasaan menjadi kian dominan dalam berbagai konteks. Terutama CINTA sebagai suatu kluster perasaan, marak dalam berbagai situasi dan peristiwa. Meski tidak disebutkan eksplisit, namun tampak usaha pelaku peristiwa ingin mencuatkan 'cinta' sebagai dasar lakunya.
Ribet ya kata-kata saya? He he he... Memang agak ribet mengungkapkan maksud dalam kata-kata yang terbatas. (Atau memang vokabulari saya yang terbatas. Halah!)
Supaya (terkesan) asertif, baiklah saya katakan saja sekarang, yang saya maksud 'atas nama cinta' banyak orang melaksanakan berbagai aktivitasnya dengan bertolak pada niat (intensi), tujuan dan coraknya masing-masing.
Oleh sebab itu saya (lagi-lagi) 'ngobrol CINTA saat ini.
Apa sebenarnya CINTA?
Apakah jika saya katakan "aku cinta kamu" itu sudah cukup untuk memperlihatkan saya benar-benar cinta?
Ada banyak teori dan definisi mengenai 'cinta' sesuai cara pandang dan hasil penelitian. Sudah ada beberapa yang pernah saya posting di sini (blog).
Namun sekarang saya sedang malas bicara teori.
Akan tetapi lagi, mestinya memang ada suatu kesepakatan bersama supaya bahasa dan bahasan CINTA kita tidak 'ngelantur. Tapi ternyata saya memang sedang ingin 'ngelantur, sebab saya cinta kamu. Enak betul saya buat pernyataan demikian ya...
Jadi kalau saya 'ngelantur berarti saya cinta? Kalau ada orang bilang "saya pukul kamu karena saya cinta", apakah itu benar dan dapat dibenarkan sebagai wujud cinta?
Ada juga sekelompok orang menyatakan cinta pada keilahian, sehingga atas nama cinta mereka membunuh orang lain yang (dianggap) tidak cinta keilahian. Sebagian (besar) orang juga berucap lantang betapa cintanya pada negeri dan negara, dan pada jelata serta kesejahteraan jelata, lalu berlomba-lomba menduduki kursi kekuasaan demi cinta tersebut.
Cinta juga kerap menjadi kendaraan yang permisif hingga orang-orang memiliki lebih dari satu pasangan romantik dalam episod-episod hidupnya (kawin ataupun tidak, lawan jenis ataupun sejenis). Bukankah cinta yang telah mempertemukan dan menyatukan?
Bahkan, juga karena cinta katanya, ada orang yang membatasi pergaulan pasangannya agar tidak dicintai orang lain. Meski dirinya sendiri tak jauh-jauh dari kesibukan berbagi rasa dan waktunya dengan lebih dari satu pasangan.
Berbagai pelatihan motivasi dan pengembangan diri yang subur saat-saat ini, saya lihat hampir 100% bermain di wilayah rasa dan kluster-kluster perasaan, utamanya mengangkat cinta sebagai nilai (value). Tentu saja tidak ada yang salah. Bahkan baik adanya. Sebab rasa, perasaan dan cinta sebagai bagiannya, pasti ada dalam diri manusia. Barangkali kecuali amigdala dan hipocampus sudah hancur. Begitu pun tidak ada jaminan orang tersebut benar-benar telah kehilangan rasa sama sekali.
"Cintailah semua orang dengan tulus tanpa syarat, maka segala sesuatu akan berjalan indah dan penuh cinta dalam hidup Anda". Demikian kira-kira hantaran banyak fasilitator yang menghela audiens agar selalu punya dan selalu menjaga rasa yang disebut cinta. Pada apapun akan terasa mudah dan lancar, apabila cinta mewujud dari rasa menjadi laku. Termasuk untuk berjualan dan mengumpulkan materi.
Itu sebab saat ini saya 'ngobrolin cinta yang dikaitkan dengan kepentingan. Bahwa apapun terasa bermakna dan segera mencapai tujuan apabila cinta terus penuh terisi.
Salahkah?
Tidak salah. Apabila cinta itu benar-benar tanpa syarat, memang demikian mestinya cinta itu.
Adakah cinta yang seperti itu?
Kalau cinta berkaitan dengan kepentingan, maka syarat-syarat terbangun di dalamnya. Maka mestinya hakikat cinta tidak lagi berakar pada yang luhur dan yang sejatinya cinta.
Teman saya bilang: ketika kita cinta pada sesama atau sesuatu "meskipun" ia begini dan begitu, itulah cinta sejati.
Maka, apabila cinta itu bertujuan, atau disebabkan oleh, atau demi untuk, dan sebagainya, yang bermuara pada kepentingan, tampaknya perlu kita pertanyakan ke dalam diri masing-masing. Ada atau tiada kah keluhuran cinta sejati di sana?
"Ajarilah kami bahasa CINTA-MU..."
___________
RS @ OwnBlog http://perempuan-berbisik.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment