Tuesday, May 10, 2011

Perempuan Berbisik 90: BELANGA NASI

*by RinnyS*
*** *** ***
"BELANGA NASI"
Rinny Soegiyoharto: untuk saudara-saudara dan sahabat-sahabat terkasih.

Saat santap malam tiba, goropa garo rica, kangkung cah bunga pepaya, dabu-dabu lilang, tude kuah terang, terasa kurang sempurna nikmatnya tanpa nasi putih panas mengepul. Meja makan yang berjejak di atas lantai papan oak pun lengkap dan semarak setelah semangkuk besar nasi terhidang. Hanya dua meter dari situ, dodika (tungku) masih menyisakan asap kecil di ujung-ujung kayu bakar. Belanga besi bulat besar berdiameter 30 senti kira-kira, dengan pantat melegam, tergeletak rapih di samping tungku. Dari belanga itu nasi putih diciduk, dan tus-tus-nya (kerak nasi, intep) dikelupas utuh, sebagian jadi hidangan, sebagian masuk ke dalam mug besar Opa. Air putih hangat dengan kerak nasi dibubuhi sedikit garam, konon dapat melegakan pernapasan dan memelihara metabolisme tubuh.
Kisah ini hanya secuplik ingatan kenangan saya pada sebuah desa di Sulawesi Utara, dalam sesusur garis waktu tengah 70-an, abad 20.

Hingga saat ini, bagi sebagian besar penduduk Indonesia, nasi yang mengasup karbohidrat kebutuhan tubuh, tetap primadona. Terbukti negeri kita masih juga mengimpor beras dari negara-negara tetangga untuk memenuhi kebutuhan lumbung-lumbung, bukankah demikian? Kendati areal persawahan yang terserak di seluruh penjuru nusantara, mestinya potensial. Ketrampilan penggarap tampaknya bisa 'outstanding' andai dikelola sistematik dan dengan perlengkapan memadai selaras teknologi yang katanya berkembang dan kian modern :-). Penggarap produktif mestinya bisa mendapatkan hak proporsional (pada posisi tawar yang tinggi) atas hasil garapannya. Dan harga beras (mestinya) terjangkau seluruh lapisan masyarakat. (*Sedih, di abad 21 ini tetap saja dijumpai kelompok-kelompok masyarakat yang tidak mampu beli beras :-(*)

Perangkat dan komponen teknis bukankah cukup tersedia sejak puluhan tahun lalu? Perguruan tinggi yang mengampu materi ajar dan praktik pertanian, misalnya, dengar-dengar sih mumpuni. Tapi bisa saja saya keliru dengar :-). Kemana alumni-alumninya ya? Tidak ada (alih-alih sangat segelintir) yang minat pada urusan sawah-padi-beras-nasi? Atau tidak masuk silabus ajar? Saya tidak banyak tahu, karena saya hanya pengkonsumsi nasi, bukan membuat beras (*sedikit sedih*). Mungkin seharusnya saya dulu belajar mengurus proses per-beras-nasi-an, ya? Supaya saya tidak 'menuding-nuding'. Nyatanya saya malah di-perajar-kan soal manusia dan konstruksi mental-sosialnya. Tahukah teman? Cita-cita masa kecil saya yang terus bertahan hingga lepas sekolah menengah sesungguhnya bidang konstruksi dan desain bangunan. Ha ha ha ha... (*belok* ;-))

Oleh-oleh yang dibawakan adik saya beberapa waktu lalu sepulangnya dari negeri jauh, masih bersisa dalam sebentuk catatan di benak saya. Mendengarkan kisah itu saya memang berdecak kagum, berpikir sambil merekamnya. Kisah nyata dari negeri jauh yang tak banyak memiliki lahan subur. Hasil observasi, percakapan dan bukti-bukti foto, cukup memetakan deskripsi bagi saya yang tidak melihat langsung.
Negara itu belum pernah kehabisan bahan makanan pokok berupa gandum dan kentang. Tidak impor. Upaya pemerintahnya sungguh-sungguh keras, fokus dan serius agar kebutuhan makanan pokok bagi seluruh masyarakatnya terpenuhi dengan sangat baik. Keterbatasan lahan bukan penghalang, justru dioptimalkan efektif dan efisien. Infrastruktur bidang pertanian untuk menjamin kelangsungan ketersediaan pangan, tidak tanggung-tanggung. Peralatan modern tentu saja jadi pilihan dan ditunjang sumber daya manusia yang 'outstanding' di bidang itu. Makna 'outstanding' bukan hanya soal latar belakang pendidikan dan kemampuan bersekolah, juga mencakup kompetensi dan komitmen yang berwawasan kenegaraan dan tertuju pada visi kesejahteraan penduduk.

Tahun ke tahun produksi bahan pokok tersebut selalu berjalan dengan lancar. Kendati penanggung jawab dan para penggarap harus secara cermat memperhitungkan datangnya musim gugur dan musim dingin yang membatasi kerja di tanah garapan, sekaligus harus tetap memenuhi kebutuhan pangan sepanjang musim tidak produktif tersebut. Tercatat, setiap musim dingin tiba, saat produktivitas pertanian istirahat total, lumbung-lumbung pangan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh kota dan area mukim masyarakatnya. Luar biasa, bukan? Dan yang lebih luar biasa lagi, tidak ada kenaikan harga bahan pangan di saat kondisi perekonomian sedang merosot! Hingga semua orang mampu beli bahan makanan, kebutuhan utama manusia menjalani hidup. Hhhhmmmm... Meskipun, hidup 'kan bukan dari roti saja... (*senyum*)

Secercah optimisme menyala di perasaan saya, bahwa negeri Nusantara negara Indonesia bukannya tak mampu mengupayakan ketahanan pangan masyarakat sebagai bagian dari ketahanan nasional. Ketahanan pangan sedikitnya dapat menjadi faktor pengurang terhadap angka kemiskinan. Bayangkan saja, semua orang bisa makan kenyang, karena mampu beli beras dan bahan pangan lainnya. Bukankah itu membuat hati manusia (masyarakat) merasa kaya? Mudah-mudahan saya punya teman-teman yang berpikiran sebangun dan similar mengenai isu ini.

Kembali ke paragraf pertama, deretan menu lengkap itu. Terpaksa pikiran saya berjalan-jalan lagi di garis waktu. Berhenti tidak jauh dari periode itu, yakni ketika ibu saya mulai mengajarkan cara mempersiapkan semua jenis menu tersebut, termasuk cara menanak nasi di belanga bulat tanpa dandang pengukus. Usia saya belum 10. Dorongan kuat untuk lebih suka bermain di halaman daripada mengurus tetek-bengek dapur, membuat saya bertanya gusar pada ibu saya,
"Kenapa saya harus memasak? Apakah karena saya perempuan???" Saya sangat tidak terima, merasa tidak adil jika karena perempuan saya harus bisa memasak!
Dengan tegas ibu saya menjawab,
"Memasak bukan pekerjaan perempuan ataupun laki-laki! Jika kamu bisa memasak makananmu sendiri, itu hanya satu bagian kecil saja dalam kamu belajar mandiri untuk kehidupanmu yang masih panjang."

Hidup Mamiku! I miss you, forever!

Ditulis bebas dan curcol, oleh:
Rinny Soegiyoharto.
Babe Jawa, Nyak Minahasa.
Kewarganegaraan Indonesia!
(8 Mei 2011)
___________
RS @ OwnBlog http://perempuan-berbisik.blogspot.com/

No comments:

Posts Archive


PEREMPUAN = SRIKANDI ?

Kenapa PEREMPUAN PEJUANG sering disebut SRIKANDI.
APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?
Kutelusuri WIKIPEDIA, kutemukan entri SRIKANDI ini

Srikandi (Sanskerta: Śikhaṇḍī) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata vrsi India.
Arti nama
Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".
Srikandi dalam Mahabharata
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Perang di Kurukshetra
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Srikandi dalam Pewayangan Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

JADI, APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?

*********

PEREMPUAN DAN PENDIDIKAN
Rinny Soegiyoharto (catatan tak selesai pada april 2006)

Ragam aktivitas ke-Kartini-an sebagai simbol emansipasi kaum perempuan seperti sebuah rutinitas lebih bergaung pada bulan April mendekati hari keduapuluhsatu. Ditandai aneka lomba dan berbagai atribut keperempuanan yang adakalanya malah tampak sekadar wujud lahiriah dan kasat mata. Sebut saja lomba berkebaya, lomba masak, lomba pasang dasi, lomba merias wajah, dan sebagainya.

*** *** *** *** ***

-DRAFT--Wanita. Meski berpadan dengan perempuan, namun kata dasar “empu” pada perempuan terasa lebih nyaman dan membanggakan, oleh sebab itu saya suka menggunakan kata “perempuan”, termasuk dalam menamai blog saya.-
Perempuan, sadar soal pentingnya pendidikan terhadap anak-anak, karena di "dalam" perempuan terdapat beban psikologis memperjuangkan dirinya sendiri, terus-menerus. Utamanya dalam hal pendidikan (sudah diterobos Kartini). Guru TK-SD bahkan SMP kebanyakan perempuan. Bapak-bapak lebih banyak muncul dan berperan pada tingkat pendidikan lanjutan atas (SMA), dimana pendidikan dasar telah ditanamkan lebih dahulu oleh ibu-ibu guru. Mengapa? Sekali lagi karena perempuan secara lahiriah dan kodrati justru memikul tanggung jawab pendidikan itu sendiri yang dimulai pada dirinya sendiri. Maka, bapak-bapak guru lebih kepada transfer of knowledge, ketimbang hal-hal mendasar yang lebih berhubungan dengan pembangunan karakter, penanaman proses belajar dan pengertian-pengertian dasar untuk dan selama manusia menempuh proses pendidikan.- Pendidikan: mencakup attitude/sikap, yakni kognitif, afektif dan perilaku. Pengembangan kepribadian, pembiasaan good character, kesadaran dan tanggung jawab akan masa depan pribadi/diri sendiri yang mempengaruhi masa depan keluarga dan kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara, dll.- Bukan diskriminasi yang mengarah pada gerakan feminisme.- Perbedaan sesuatu yang dirayakan bersama sebagai unsur2 yg saling bersinergi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan bersama: orangtua, pendidik, bangsa dan negara.- Berkaitan erat dengan UU Anti-KDRT. Jika perempuan terus ditindas, bahkan di dalam rumah tangganya sendiri, bagaimana mungkin perempuan dapat bertugas/ berkiprah/ bertindak optimal untuk mendidik anak-anak, baik anak sendiri maupun anak-anak didik apabila ia seorang guru? Kendati lagi, waktu terus merambah, persaingan global semakin cepat dan menantang, anak tidak berhenti tumbuh dan berkembang, suatu waktu akan tiba ketika anak mulai lebih banyak mencurahkan porsi proses pendidikannya pada pemenuhan kognitif, belajar ilmu2 tinggi, yg bisa jadi sebagian besar diberikan oleh laki-laki, bapak2 yg menitikberatkan pada perkembangan kognitif.- Perempuan & laki2 lebih kepada pembagian peran, baik dalam pendidikan di dalam rumah tangga, maupun pendidikan secara luas, formal & informal. Karena baik dari segi struktur fisiologis dan psikologis serta kultural dan sejarah di dalam masyarakat kita, telah membentuk sebuah perbedaan laki2 dan perempuan, yang harus kita rayakan bersama-sama membentuk manusia-manusia berkualitas dlm diri anak2 kita sebagai proses pendidikan menuju masa depan cerah mengikuti kecerahan janji bangsa ini. Amin.-

Pendidikan dimulai dari rumah. Peran ibu sebagai objek kelekatan anak yang pertama terhadap proses pendidikan anak tentulah tidak kecil. Sebagai perempuan, tentunya ibu harus tidak hanya memberikan pelajaran, namun pendidikan kasih sayang, penanaman afeksi, unsur penting bagi rasa nyaman dan aman bagi anak, karena merasa dicintai. Bagaimana mungkin ibu dapat menanam benih cinta pada anak apabila dia sendiri mengalami kekerasan dalam rumah tangga.***