*** *** ***
"BELANGA NASI"
Rinny Soegiyoharto: untuk saudara-saudara dan sahabat-sahabat terkasih.
Saat santap malam tiba, goropa garo rica, kangkung cah bunga pepaya, dabu-dabu lilang, tude kuah terang, terasa kurang sempurna nikmatnya tanpa nasi putih panas mengepul. Meja makan yang berjejak di atas lantai papan oak pun lengkap dan semarak setelah semangkuk besar nasi terhidang. Hanya dua meter dari situ, dodika (tungku) masih menyisakan asap kecil di ujung-ujung kayu bakar. Belanga besi bulat besar berdiameter 30 senti kira-kira, dengan pantat melegam, tergeletak rapih di samping tungku. Dari belanga itu nasi putih diciduk, dan tus-tus-nya (kerak nasi, intep) dikelupas utuh, sebagian jadi hidangan, sebagian masuk ke dalam mug besar Opa. Air putih hangat dengan kerak nasi dibubuhi sedikit garam, konon dapat melegakan pernapasan dan memelihara metabolisme tubuh.
Kisah ini hanya secuplik ingatan kenangan saya pada sebuah desa di Sulawesi Utara, dalam sesusur garis waktu tengah 70-an, abad 20.
Hingga saat ini, bagi sebagian besar penduduk Indonesia, nasi yang mengasup karbohidrat kebutuhan tubuh, tetap primadona. Terbukti negeri kita masih juga mengimpor beras dari negara-negara tetangga untuk memenuhi kebutuhan lumbung-lumbung, bukankah demikian? Kendati areal persawahan yang terserak di seluruh penjuru nusantara, mestinya potensial. Ketrampilan penggarap tampaknya bisa 'outstanding' andai dikelola sistematik dan dengan perlengkapan memadai selaras teknologi yang katanya berkembang dan kian modern :-). Penggarap produktif mestinya bisa mendapatkan hak proporsional (pada posisi tawar yang tinggi) atas hasil garapannya. Dan harga beras (mestinya) terjangkau seluruh lapisan masyarakat. (*Sedih, di abad 21 ini tetap saja dijumpai kelompok-kelompok masyarakat yang tidak mampu beli beras :-(*)
Perangkat dan komponen teknis bukankah cukup tersedia sejak puluhan tahun lalu? Perguruan tinggi yang mengampu materi ajar dan praktik pertanian, misalnya, dengar-dengar sih mumpuni. Tapi bisa saja saya keliru dengar :-). Kemana alumni-alumninya ya? Tidak ada (alih-alih sangat segelintir) yang minat pada urusan sawah-padi-beras-nasi? Atau tidak masuk silabus ajar? Saya tidak banyak tahu, karena saya hanya pengkonsumsi nasi, bukan membuat beras (*sedikit sedih*). Mungkin seharusnya saya dulu belajar mengurus proses per-beras-nasi-an, ya? Supaya saya tidak 'menuding-nuding'. Nyatanya saya malah di-perajar-kan soal manusia dan konstruksi mental-sosialnya. Tahukah teman? Cita-cita masa kecil saya yang terus bertahan hingga lepas sekolah menengah sesungguhnya bidang konstruksi dan desain bangunan. Ha ha ha ha... (*belok* ;-))
Oleh-oleh yang dibawakan adik saya beberapa waktu lalu sepulangnya dari negeri jauh, masih bersisa dalam sebentuk catatan di benak saya. Mendengarkan kisah itu saya memang berdecak kagum, berpikir sambil merekamnya. Kisah nyata dari negeri jauh yang tak banyak memiliki lahan subur. Hasil observasi, percakapan dan bukti-bukti foto, cukup memetakan deskripsi bagi saya yang tidak melihat langsung.
Negara itu belum pernah kehabisan bahan makanan pokok berupa gandum dan kentang. Tidak impor. Upaya pemerintahnya sungguh-sungguh keras, fokus dan serius agar kebutuhan makanan pokok bagi seluruh masyarakatnya terpenuhi dengan sangat baik. Keterbatasan lahan bukan penghalang, justru dioptimalkan efektif dan efisien. Infrastruktur bidang pertanian untuk menjamin kelangsungan ketersediaan pangan, tidak tanggung-tanggung. Peralatan modern tentu saja jadi pilihan dan ditunjang sumber daya manusia yang 'outstanding' di bidang itu. Makna 'outstanding' bukan hanya soal latar belakang pendidikan dan kemampuan bersekolah, juga mencakup kompetensi dan komitmen yang berwawasan kenegaraan dan tertuju pada visi kesejahteraan penduduk.
Tahun ke tahun produksi bahan pokok tersebut selalu berjalan dengan lancar. Kendati penanggung jawab dan para penggarap harus secara cermat memperhitungkan datangnya musim gugur dan musim dingin yang membatasi kerja di tanah garapan, sekaligus harus tetap memenuhi kebutuhan pangan sepanjang musim tidak produktif tersebut. Tercatat, setiap musim dingin tiba, saat produktivitas pertanian istirahat total, lumbung-lumbung pangan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh kota dan area mukim masyarakatnya. Luar biasa, bukan? Dan yang lebih luar biasa lagi, tidak ada kenaikan harga bahan pangan di saat kondisi perekonomian sedang merosot! Hingga semua orang mampu beli bahan makanan, kebutuhan utama manusia menjalani hidup. Hhhhmmmm... Meskipun, hidup 'kan bukan dari roti saja... (*senyum*)
Secercah optimisme menyala di perasaan saya, bahwa negeri Nusantara negara Indonesia bukannya tak mampu mengupayakan ketahanan pangan masyarakat sebagai bagian dari ketahanan nasional. Ketahanan pangan sedikitnya dapat menjadi faktor pengurang terhadap angka kemiskinan. Bayangkan saja, semua orang bisa makan kenyang, karena mampu beli beras dan bahan pangan lainnya. Bukankah itu membuat hati manusia (masyarakat) merasa kaya? Mudah-mudahan saya punya teman-teman yang berpikiran sebangun dan similar mengenai isu ini.
Kembali ke paragraf pertama, deretan menu lengkap itu. Terpaksa pikiran saya berjalan-jalan lagi di garis waktu. Berhenti tidak jauh dari periode itu, yakni ketika ibu saya mulai mengajarkan cara mempersiapkan semua jenis menu tersebut, termasuk cara menanak nasi di belanga bulat tanpa dandang pengukus. Usia saya belum 10. Dorongan kuat untuk lebih suka bermain di halaman daripada mengurus tetek-bengek dapur, membuat saya bertanya gusar pada ibu saya,
"Kenapa saya harus memasak? Apakah karena saya perempuan???" Saya sangat tidak terima, merasa tidak adil jika karena perempuan saya harus bisa memasak!
Dengan tegas ibu saya menjawab,
"Memasak bukan pekerjaan perempuan ataupun laki-laki! Jika kamu bisa memasak makananmu sendiri, itu hanya satu bagian kecil saja dalam kamu belajar mandiri untuk kehidupanmu yang masih panjang."
Hidup Mamiku! I miss you, forever!
Ditulis bebas dan curcol, oleh:
Rinny Soegiyoharto.
Babe Jawa, Nyak Minahasa.
Kewarganegaraan Indonesia!
(8 Mei 2011)
___________
RS @ OwnBlog http://perempuan-berbisik.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment