Friday, January 16, 2009

Perempuan Bicara 8: WARNA 2009

Jika perusahaan kosmetik yang menyoal topik warna, maka rasanya tak kan jauh-jauh dari tren warna bedak, perona mata, perona pipi, pelentik bulu mata, dan riasan lainnya yang masih identik juga dengan perempuan.

Desainer mungkin akan bicara soal warna-warna busana yang mendominasi tren tahun ini, atau kecenderungan serat cita (baca: kain/bahan pakaian), hingga tren aksesori pelengkap busana, termasuk alas kaki. Sebagian masih identik dengan perempuan.

Aura politik negeri ini terkait "the election", selain warna-warni parpol yang luar biasa ragamnya, juga tak kalah menarik warna suara perempuan yang mencuat di panggung politik. Tentu bukan hanya caleg perempuan yang tampaknya cukup (cukup saja, dibandingkan musim pemilu sebelumnya) meningkat dalam jumlah pada setiap parpol, tetapi juga pekampanye di panggung on air, layar kaca, media cetak, dan sebagainya, yang antara lain diperani artis-artis cantik.

Sebagai pengamat kehidupan, saya melihat warna 2009 dari sisi yang lain. Seperti biasa saya mengambil sample kecil sekali. Tentu saja tetap dengan subyek perempuan. Saat saya sedang di sebuah kota, di ujung timur Indonesia. Saya menangkap warna merah dengan berbagai gradasi atau nuansa, pada beberapa anggota tubuh perempuan di tempat itu. Sebenarnya kurang tepat jika saya katakan warna 2009, namun karena saya berbicara di tahun 2009 maka tidak salah juga menggunakan angka tahun, katakanlah sebagai kode.

Ada warna merah kejingga-jinggaan di rongga mulut beberapa perempuan yang saya tatap. Warna yang mencerahkan gigi, gusi, bibir, dan seputarnya, tercipta oleh pinang, sirih dan kapur yang dikunyah-kunyah. Memang cerah benar warnanya, maka saya coba ambil sumber pewarna tersebut, lalu dengan (harus) berani saya warnai mulut saya dengannya. Tetapi... aaahhh bukannya merah jingga yang saya dapatkan, malah keriput wajah dan sentakan getir yang menghentikan kegiatan saya itu, tak dapat saya lanjutkan lagi. Aktivitas itu saya hentikan sebelum memulai, alhasil saya tidak bisa memiliki warna mulut seperti perempuan-perempuan itu. Ternyata perlu keterampilan khusus, rasa kecanduan dan kebiasaan. Wah.

Nuansa merah lainnya, terdapat di atas panggangan. Beberapa perempuan membolak-balik ikan segar ekor kuning yang daging serta kulitnya berwarna merah kehitaman. Kalau merah yang ini, sungguh luar biasa, nikmaaaattt dan sedap, dicocol dengan sambal merah kecoklatan... tak terasa nasi 2 porsi terpaksa harus saya relakan masuk ke perut saya bersama si merah-hitam ikan ekor kuning panggang. Ikan segar yang hanya mati satu kali sebelum disantap. Tanta-tanta yang memanggangnya tertawa senang memperlihatkan kemerahan rongga mulutnya saat saya menyantap ikan laut nikmat tersebut.

Ada lagi merah yang lain, yakni merah muda, sangat muda yang kontras dengan warna di sebaliknya. Yakni pada telapak kaki seorang perempuan papua yang tengah berjalan dengan cepat sekali sambil bertelanjang kaki. Bukan merah mudanya telapak kaki yang menjadi fokus utama saya, namun warna-warna lain yang terkumpul pada perempuan itu. Warna pertama dan utama, adalah siratan kekuatan fisiknya, otot-otot tubuh yang tampak kencang, raut wajah yang tegas dengan tujuan yang hendak dicapainya. Di atas kepala berambut sangat ikal itu, ia menjunjung noken merah kecoklatan, sarat bermuatan beragam sayur. Tangannya yang kuat menjinjing sebuah buntalan di kirinya, dan.... sepasang sandal karet merah di kanannya... Lho? Tapi dia bertelanjang kaki lho, dia punya sandal karet lho, ck ck ck...

Perempuan itu tidak takut pada jalanan yang panas, kerikil yang menyentuh telapak merah mudanya. Juga tidak takut pada beban berat yang menggayuti kepalanya, tiada khawatir pada lalu-lalang kendaraan yang menyertainya... Ia hanya sedikit khawatir pada sandal karetnya yang merah dan dijinjing... khawatir apabila sandal itu terpasang di kaki-kaki kuat itu, maka ia akan tergelincir dan tak dapat berjalan secepat itu... Saya melambaikan tangan padanya, ia tersenyum lebar memamerkn deretan gigi putih kemerah-merahan. Senyum yang terlihat dan terasa sangat tulus, disertai doa yang tulus: Tuhan berkati...

Saya merenung. Betapa cantiknya warna merah dengan berbagai nuansa itu dalam senyuman tulus dan hati yang bersih. Betapa indahnya warna 2009 apabila semua orang berhati tulus sepeti itu... amin.

RS

No comments:

Posts Archive


PEREMPUAN = SRIKANDI ?

Kenapa PEREMPUAN PEJUANG sering disebut SRIKANDI.
APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?
Kutelusuri WIKIPEDIA, kutemukan entri SRIKANDI ini

Srikandi (Sanskerta: Śikhaṇḍī) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata vrsi India.
Arti nama
Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".
Srikandi dalam Mahabharata
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Perang di Kurukshetra
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Srikandi dalam Pewayangan Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

JADI, APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?

*********

PEREMPUAN DAN PENDIDIKAN
Rinny Soegiyoharto (catatan tak selesai pada april 2006)

Ragam aktivitas ke-Kartini-an sebagai simbol emansipasi kaum perempuan seperti sebuah rutinitas lebih bergaung pada bulan April mendekati hari keduapuluhsatu. Ditandai aneka lomba dan berbagai atribut keperempuanan yang adakalanya malah tampak sekadar wujud lahiriah dan kasat mata. Sebut saja lomba berkebaya, lomba masak, lomba pasang dasi, lomba merias wajah, dan sebagainya.

*** *** *** *** ***

-DRAFT--Wanita. Meski berpadan dengan perempuan, namun kata dasar “empu” pada perempuan terasa lebih nyaman dan membanggakan, oleh sebab itu saya suka menggunakan kata “perempuan”, termasuk dalam menamai blog saya.-
Perempuan, sadar soal pentingnya pendidikan terhadap anak-anak, karena di "dalam" perempuan terdapat beban psikologis memperjuangkan dirinya sendiri, terus-menerus. Utamanya dalam hal pendidikan (sudah diterobos Kartini). Guru TK-SD bahkan SMP kebanyakan perempuan. Bapak-bapak lebih banyak muncul dan berperan pada tingkat pendidikan lanjutan atas (SMA), dimana pendidikan dasar telah ditanamkan lebih dahulu oleh ibu-ibu guru. Mengapa? Sekali lagi karena perempuan secara lahiriah dan kodrati justru memikul tanggung jawab pendidikan itu sendiri yang dimulai pada dirinya sendiri. Maka, bapak-bapak guru lebih kepada transfer of knowledge, ketimbang hal-hal mendasar yang lebih berhubungan dengan pembangunan karakter, penanaman proses belajar dan pengertian-pengertian dasar untuk dan selama manusia menempuh proses pendidikan.- Pendidikan: mencakup attitude/sikap, yakni kognitif, afektif dan perilaku. Pengembangan kepribadian, pembiasaan good character, kesadaran dan tanggung jawab akan masa depan pribadi/diri sendiri yang mempengaruhi masa depan keluarga dan kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara, dll.- Bukan diskriminasi yang mengarah pada gerakan feminisme.- Perbedaan sesuatu yang dirayakan bersama sebagai unsur2 yg saling bersinergi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan bersama: orangtua, pendidik, bangsa dan negara.- Berkaitan erat dengan UU Anti-KDRT. Jika perempuan terus ditindas, bahkan di dalam rumah tangganya sendiri, bagaimana mungkin perempuan dapat bertugas/ berkiprah/ bertindak optimal untuk mendidik anak-anak, baik anak sendiri maupun anak-anak didik apabila ia seorang guru? Kendati lagi, waktu terus merambah, persaingan global semakin cepat dan menantang, anak tidak berhenti tumbuh dan berkembang, suatu waktu akan tiba ketika anak mulai lebih banyak mencurahkan porsi proses pendidikannya pada pemenuhan kognitif, belajar ilmu2 tinggi, yg bisa jadi sebagian besar diberikan oleh laki-laki, bapak2 yg menitikberatkan pada perkembangan kognitif.- Perempuan & laki2 lebih kepada pembagian peran, baik dalam pendidikan di dalam rumah tangga, maupun pendidikan secara luas, formal & informal. Karena baik dari segi struktur fisiologis dan psikologis serta kultural dan sejarah di dalam masyarakat kita, telah membentuk sebuah perbedaan laki2 dan perempuan, yang harus kita rayakan bersama-sama membentuk manusia-manusia berkualitas dlm diri anak2 kita sebagai proses pendidikan menuju masa depan cerah mengikuti kecerahan janji bangsa ini. Amin.-

Pendidikan dimulai dari rumah. Peran ibu sebagai objek kelekatan anak yang pertama terhadap proses pendidikan anak tentulah tidak kecil. Sebagai perempuan, tentunya ibu harus tidak hanya memberikan pelajaran, namun pendidikan kasih sayang, penanaman afeksi, unsur penting bagi rasa nyaman dan aman bagi anak, karena merasa dicintai. Bagaimana mungkin ibu dapat menanam benih cinta pada anak apabila dia sendiri mengalami kekerasan dalam rumah tangga.***