*** *** ***
Ajang Piala Dunia Sepak Bola sekali dalam empat tahun, yang tahun 2010 ini berlangsung di Afrika Selatan, termasuk peristiwa yang saya tunggu-tunggu.
Aktivitas tiap anggota di keluarga saya turut gempita, terasa bergairah. Ada yang mengetik ulang jadwal, mencatat skor, menebak-nebak pemenang, mencatat nama dan men-tolis pencetak gol, sampai dengan komentar-komentar saat menonton pertandingan di layar kaca (tentu saja).
Saya sendiri, selain menikmati permainan (dan berkomentar dengan sotoy alias 'sok tahu' dan lebay alias 'berlebihan', ha.ha.ha.), juga suka betul mengamati ekspresi, tingkah laku, termasuk kostum-kostum. Tayangan close up menyenangkan buat saya, sebab sudut amatan saya makin jelas dan detail.
Tidak hanya para pemain yang saya suka amati, juga pelatih, wasit dan penonton di stadion. Orisinalitas dan spontanitas gagasan manusia, baik pada yel-yel, atribut pendukung yang beraneka, sampai pada kostum dan rias wajah/tubuh, merepresentasikan pikiran dan perasaan yang berbaur. Situasi massa yang cerdas, antusias, sukacita, kompak, tapi juga tertib, damai dan serasi, berperan di posisi panggung masing-masing.
Dan kenapa saya suka, serta menikmati betul saat tim Brazil berlaga? Tari-tarian samba mereka yang meningkahi guliran si kulit belang bundar itu, meriangkan hati dan tubuh saya, rasanya diajak ikut bergoyang menikmati penuh irama alam mikro dalam situasi tersebut. Efek psikologis yang luar biasa, meski tidak hanya karena itu.
Banyak sekali yang bisa saya kisahkan soal sepak bola, utamanya pada musim Piala Dunia seperti ini. Strategi pelatih dalam menata komposisi penyerang, gelandang, pemain belakang, dan juga geregetannya di tepi lapangan, adalah suatu amatan dan kajian yang sangat menarik.
Sayang sekali, saya (dan mungkin juga banyak peminat dan penikmat yang lain) perlu menukar antena televisi. Pelanggan TV berbayar di negeri ini tak bisa menikmati tontonan ajang Piala Dunia tanpa mengubah penerima siaran.
Tidak lagi semudah dahulu saat larangan-larangan penyiarannya hampir-hampir tidak terdengar seperti yang ada sekarang. Bahkan tagline dijaga ketat tak boleh digunakan (tanpa membelinya). Betul-betul bisnis tontotan yang menciut kepemilikannya, sulit diakses oleh sembarang orang. Pertandingan tersebut memang sudah jadi milik pribadi tertentu yang mampu membeli, kemudian 'dijual eceran' kepada publik yang ingin menikmati. Sampai-sampai sekelompok masyarakat di salah satu wilayah berdemo demi dapat menikmatinya, seperti yang saya kutip di bawah ini:
-----
Diancam Warga, TV Kabel Terpaksa Siarkan
GORONTALO, KOMPAS.com - Salah satu TV kabel di Gorontalo, Mimoza Multimedia didemo ratusan warga, Minggu (13/6/2010) malam, karena tak menyiarkan pertandingan sepakbola Piala Dunia 2010. Warga yang juga pelanggan televisi kabel tersebut mengancam akan merusak kantor Mimoza jika keinginan mereka tak dipenuhi.
"Kami rakyat kecil sungguh menderita, untuk nonton bola saja susah. Tiap malam harus pergi ke tempat lain untuk nonton bareng," tukas Ismail, salah seorang warga yang ikut aksi tersebut.
Pasalnya, kata dia, stok receiver resmi Piala Dunia 2010, Matrix, di Gorontalo habis sehingga sebagian calon pembeli tak berhasil mendapatkannya. Keadaan tersebut membuat warga kecewa dan akhirnya berunjuk rasa di kantor TV kabel terbesar di Gorontalo itu.
Menanggapi hal itu, Branch Manager Mimoza Multimedia, Arifin Wahab mengungkapkan pihaknya terpaksa menyiarkan pertandingan bola yang diambil dari stasiun televisi dari luar negeri.
"Kami kewalahan menghadapi masyarakat yang datang sejak hari pertama Piala Dunia digelar," katanya.
Pihaknya juga telah menyiapkan pengacara khusus, seandainya Mimoza digugat oleh sejumlah pihak yang berkompeten. "Kami takut karena warga mengancam akan merusak kantor. Jadi, sekarang ya pasrah saja dan menuruti kemauan mereka," tambahnya.
Penulis: WAH Editor: wah
-----
Begiulah.... Sepak Bola Oh Oh... Tapi tetap kusuka :-)
___________
RS @ OwnBlog http://perempuan-berbisik.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment