*** *** ***
Meski harus pulang sebelum final, tim Brazil tetap saya puji.
Meski tiada Samba kasat mata yang saya tunggu-tunggu selalu, namun soul mereka menari di laga tetap bisa saya rasakan.
Menurut hati saya, ada tarian indah dalam jiwa Kaka, Lucio, Robinho, dan yang lainnya. Meski di paruh waktu kedua menghadapi Netherlands yang tiba-tiba mengubah gaya kembali ke Total Football, tim Samba tetap punya tarian. Lebih gemulai, memang. Seolah-olah mencoba kembali pada gaya asal seperti yang diperbuat lawannya, tapi agak lupa pada hitungan-hitungan step; berapa ke depan berapa ke belakang, step ke berapa berputar, dan seterusnya. Hingga keselarasan teknik dan soul Samba belum cukup waktu untuk mereka capai (saat itu).
Tak apalah. Dunga memang mengubah strategi, tapi tak mampu mengubah jiwa. Sehingga tampaknya ada semacam internal conflict, antara mind dan soul pemain. Strategi Dunga menyasar goal untuk harus menang, menguasai tataran mind, mempermainkan "keinginan" (wanting) mereka begitu kuatnya. Sementara "kebutuhan" (needs) mereka pada keindahan Samba yang menempati ruang soul, sulit dibenamkan dalam-dalam tanpa menuntut pemenuhan. Yang terakhir itu yang tetap dapat saya rasakan. Thanks God, syukurlah masih tersisa jiwanya.
Jadi, bagi saya, tim Samba tetap tim Samba, tetap cantik dan punya jiwa.
Lebih dari cukup mengisi sisi indah tontonan, kecuali bagian yang terlalu gemulai di akhir :-D
*sekadar catatan occasional dari saya: penonton yang berisik, pengamat amatiran (banget), yang amat sok tahu... teriak-teriak dan menari-nari waktu nobar... ha ha ha ha... norbangs (noraks bangets deee...)*
___________
RS @ OwnBlog http://perempuan-berbisik.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment