Allow Our Spirit To Speak, Prophesy, and Act Through Our Soul, Heart, Mind, Body....... "The Human Spirit is The SPIRIT of CREATOR"
Monday, December 13, 2010
Perempuan Berbisik 85: Komunikasi Politik
*** *** ***
Komunikasi Politik
Beberapa tahun lampau, saya pernah mengajar di sebuah perguruan tinggi, untuk satu mata kuliah 'unik' di PT tersebut, yakni: MK Komunikasi Antar Pribadi (Interpersonal Communication). Unik, sebab ini satu-satunya mata kuliah di luar ilmu-ilmu teknik dan komputer. Berbeda dari apa yang mahasiswa di sana pelajari sehari-hari. Saya pun menggunakan metode yang berbeda dari sistem pengajaran yang ada. Lebih banyak praktik dan berlatih, jadi seperti training atau workshop. Sekali waktu saya sakit dan harus dirawat di rumah sakit, hingga terpaksa bolos mengajar. Mahasiswa 'memarahi' saya saat saya masuk lagi. Rupanya mata kuliah ini jadi favorit yang mereka tunggu-tunggu. Harus saya akui, kendala melaksanakan isi mata kuliah ini jauh lebih besar daripada mengajarkannya.
Well, inti dari mata kuliah Komunikasi Antar Pribadi, sesungguhnya adalah membahas komunikasi yang merupakan bagian dari perilaku (behavior) dan informasi (information). Mencakup pengertian dan pemahaman, aspek-aspek, dinamika, keterlibatan, sikap, intensi, motif, kognitif, afektif, konatif, persepsi, self concept, self awareness, self image, ability, dan sebagainya. Terpenting dari semua teori itu, adalah praktik. Bagaimana berlatih dan luwes, menjadi kebiasaan yang mengendap di bawah sadar sebagai bagian dari diri seseorang. Sekali lagi, harus saya akui, mengajarkannya (bahkan dalam latihan-latihan) jauh lebih mudah daripada mempraktikkan. Namun saya rasa masih lebih baik ada yang mengajarkannya dan bersedia mengubah diri bersama-sama di dalam proses tersebut, daripada tidak sama sekali, bukan?
Berbicara soal komunikasi, suatu istilah yang kerap diangkat adalah Komunikasi Politik. Kini, Komunikasi Politik menjadi penting dalam perubahan-perubahan negara dan bangsa yang luar biasa, juga penyelenggaraannya. Secara kasat mata perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi oleh komunikasi, antara lain diwakili oleh ungkapan-ungkapan verbal lisan tokok-tokoh politik bangsa ini.
Apakah Komunikasi Politik?
Dari situs shvoong.com, ASMRomli (2010) dalam ringkasannya tentang Pengertian Komunikasi Politik, menulis:
Secara sederhana, komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara “yang memerintah” dan “yang diperintah”.
Selanjutnya:
Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang konkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki Komunikasi Politik sebagai neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka.
Dalam praktiknya, komunikasi politik sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak berkomunikasi, dan kadang-kadang sudah terjebak dalam analisis dan kajian komunikasi politik.
Mengutip Gabriel Almond (1960), ASMRamli 2010) juga menulis: komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik.
Selanjutnya dituliskan bahwa kegiatan komunikasi yang dianggap komunikasi politik berdasarkan konsekuensinya, baik aktual maupun potensial, yakni yang mengatur perbuatan manusia dalam kondisi konflik, mencakup: komunikator (politisi, profesional, aktivis), pesan, persuasi, media, khalayak dan akibat-akibatnya.
Latihan dan Media
Keberhasilan dan kegagalan aktor politik menyampaikan pesan kepada masyarakat, akhirnya menjadi penilaian tersendiri soal kepiawaian mereka melancarkan komunikasi politik. Masyarakat, yang dalam hal ini menempati posisi sebagai ”yang diperintah” makin kritis menerima pesan dari ”yang memerintah”. Oleh sebab itu, rasa-rasanya format komunikasi politik sendiri perlu diperkuat dengan berbagai pelatihan, lokakarya dan pengukuhan diri.
Terlibat dalam program penguatan politik bagi perempuan, yang antara lain juga merealisasikan lokakarya Komunikasi Politik, sedikit banyak mulai membimbing saya pada pemahaman yang lebih nyata dan implementatif. Antara lain dengan mengizinkan emosi saya terlibat dalam penyusunan nilai-nilai (value), agar komunikasi politik tidak berhenti sebagai sebuah neologisme. Setidaknya, penetapan nilai-nilai yang kemudian dikembangkan dalam silabus dan kompetensi yang terukur, lokakarya yang digelar mampu mewariskan jejak-jejak ilmu dan rasa pada partisipan, yang diharapkan benar-benar dapat diimplementasikan dalam percaturan politik negeri ini. Partisipan adalah aktor, baik yang sudah duduk di posisi ”yang memerintah” maupun yang sedang dalam perjalanan ke sana.
Hanya nilai-nilai sederhana yang akhirnya diputuskan untuk diangkat dalam pengembangan modul, kemudian menjadi bahan evaluasi setelah program terselenggara. Dari pergumulan pikiran dan rasa dalam kelompok kecil yang memiliki visi dan misi yang sama, ketika itu kami mengangkat nilai-nilai lokal negeri ini, yakni ”asih, asah, asuh”. Selanjutnya dibangun dalam 15 (lima belas) kompetensi yang menjadi bahan ajar dan latihan dalam 15 sesi pertemuan. Meski tampaknya belum bagus benar, tapi hasil evaluasi cukup membuktikan bahwa program tersebut efektif. Dan hingga saat ini masih terus digali dan dikembangkan, dievaluasi dan direvisi, dan terbuka untuk terus berkembang mengikuti perubahan yang mengiringi zaman, situasi dan kondisi. Namun, nilai-nilai yang berpijak pada kekuatan kearifan lokal negeri ini, terus dipertahankan, karena dari sana lah semua berangkat, dan akan kembali ke sana saat implementasiyang dilakukan oleh para aktor sudah nyata dan teruji.
Sebagai elemen masyarakat yang tak lepas dari jebakan analisis dan kajian komunikasi politik, suguhan media (cetak dan elektronik) merupakan paparan sehari-hari yang tak terhindarkan. Debat politik sebagai sebuah tontonan di media televisi misalnya, menggerakkan pemirsa hanyut dalam analisis dan gejolak emosi. Saya tidak berbicara soal benar atau salah. Justru media merupakan suatu alat yang menjembatani komunikasi politik terjadi. Berbicara tentang media, berarti mencakup seluruh sumber daya yang menjadi kekuatan media itu sendiri. Seorang atau sekelompok aktor politik mestinya memiliki kemampuan media handling.
Seorang sahabat terbaik saya, Almarhum Yuniawan Wahyu Nugroho, insan pers/media yang memiliki komitmen dan dedikasi tinggi terhadap profesi hingga akhir hayatnya, pernah berbagi tips dalam suatu event yang saya selenggarakan. Menurutnya, saat menjalin hubungan dengan media, aktor politik, kelompok/partai, bahkan perusahaan, sesungguhnya bertujuan untuk membangun citra (image building) dan menggaet jubir alias juru bicara dari pihak indipenden (media, yang diwakili oleh wartawan).
Ia juga menyatakan bahwa setiap aktor (politik) harus mau dan mampu memahami media dan kinerja wartawan, serta berhubungan dengan wartawan. Sebab wartawan menyukai relationship dan eksklusivitas, maka para aktor perlu memfasilitasi hal-hal tersebut. Selanjutnya ia juga secara terbuka dan dengan semangat berbaginya yang tinggi, memaparkan soal aktivitas media handling. Dikatakannya ada 2 (dua) jenis aktivitas, yakni: Media Direct dan Media Indirect.
Media Direct meliputi: Press Conference, Media Gathering, Press Release, Product Launching, Test Drive.
Media Indirect meliputi: Jurubicara tidak resmi, Penulisan artikel opini, Penulisan artikel features, Feeding information, Focus Group Discussion (FGD), Seminar pihak ketiga, Event pihak ketiga.
Selain itu ditekankannya pula mengenai pentingnya memanfaatkan media online, dengan mengoptimalkan keunggulan press release online, e-mail yang efektif dan komunitas maya. Hal ini mengingatkan saya pada aktivitas tim sukses Presiden Barrack Obama pada masa-masa kampanyenya, bahkan sebelum itu, dalam memanfaatkan media online dan internet untuk berkomunikasi dengan khalayak, hingga harus diakui keberhasilan yang luar biasa menjaring pendukung dari berbagai penjuru negara bagian.
Jelas-jelas saya bukan ahli dalam bidang ini, sesungguhnya saya tertarik saja dan mencoba memahami dengan berbagai cara, termasuk melibatkan diri dalam aktivitas-aktivitas yang dapat memberikan jawaban terhadap keingin-tahuan saya mengenai politik secara umum. Pelibatan diri artinya membuka pintu pikiran, perasaan dan dorongan bertindak, hingga dapat mengakses seluas-luasnya sumber yang ada. Apabila saya menulis (seperti ini), artinya saya sedang belajar dari sumber-sumber yang pernah saya serap dan dituangkan kembali dengan cara tutur saya. Latar belakang pendidikan saya sendiri Psikologi, barangkali itu salah satu sebabnya saya tertarik pada banyak hal, bahkan saya sadar umur hidup saya tidak akan cukup untuk menjawab dorongan-dorongan saya.
Semoga bermanfaat. Kalau bagi diri saya ’sih pasti bermanfaat .
Rinny Soegiyoharto
___________
RS @ OwnBlog http://perempuan-berbisik.blogspot.com/
PEREMPUAN = SRIKANDI ?
APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?
Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".
Srikandi dalam Mahabharata
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Perang di Kurukshetra
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Srikandi dalam Pewayangan Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.
Perempuan, sadar soal pentingnya pendidikan terhadap anak-anak, karena di "dalam" perempuan terdapat beban psikologis memperjuangkan dirinya sendiri, terus-menerus. Utamanya dalam hal pendidikan (sudah diterobos Kartini). Guru TK-SD bahkan SMP kebanyakan perempuan. Bapak-bapak lebih banyak muncul dan berperan pada tingkat pendidikan lanjutan atas (SMA), dimana pendidikan dasar telah ditanamkan lebih dahulu oleh ibu-ibu guru. Mengapa? Sekali lagi karena perempuan secara lahiriah dan kodrati justru memikul tanggung jawab pendidikan itu sendiri yang dimulai pada dirinya sendiri. Maka, bapak-bapak guru lebih kepada transfer of knowledge, ketimbang hal-hal mendasar yang lebih berhubungan dengan pembangunan karakter, penanaman proses belajar dan pengertian-pengertian dasar untuk dan selama manusia menempuh proses pendidikan.- Pendidikan: mencakup attitude/sikap, yakni kognitif, afektif dan perilaku. Pengembangan kepribadian, pembiasaan good character, kesadaran dan tanggung jawab akan masa depan pribadi/diri sendiri yang mempengaruhi masa depan keluarga dan kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara, dll.- Bukan diskriminasi yang mengarah pada gerakan feminisme.- Perbedaan sesuatu yang dirayakan bersama sebagai unsur2 yg saling bersinergi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan bersama: orangtua, pendidik, bangsa dan negara.- Berkaitan erat dengan UU Anti-KDRT. Jika perempuan terus ditindas, bahkan di dalam rumah tangganya sendiri, bagaimana mungkin perempuan dapat bertugas/ berkiprah/ bertindak optimal untuk mendidik anak-anak, baik anak sendiri maupun anak-anak didik apabila ia seorang guru? Kendati lagi, waktu terus merambah, persaingan global semakin cepat dan menantang, anak tidak berhenti tumbuh dan berkembang, suatu waktu akan tiba ketika anak mulai lebih banyak mencurahkan porsi proses pendidikannya pada pemenuhan kognitif, belajar ilmu2 tinggi, yg bisa jadi sebagian besar diberikan oleh laki-laki, bapak2 yg menitikberatkan pada perkembangan kognitif.- Perempuan & laki2 lebih kepada pembagian peran, baik dalam pendidikan di dalam rumah tangga, maupun pendidikan secara luas, formal & informal. Karena baik dari segi struktur fisiologis dan psikologis serta kultural dan sejarah di dalam masyarakat kita, telah membentuk sebuah perbedaan laki2 dan perempuan, yang harus kita rayakan bersama-sama membentuk manusia-manusia berkualitas dlm diri anak2 kita sebagai proses pendidikan menuju masa depan cerah mengikuti kecerahan janji bangsa ini. Amin.-
No comments:
Post a Comment