Friday, February 12, 2010

Perempuan Berbisik 58: P(em)erkosa(an)

*** *** ***
"Dengarkan dan mengertilah..."

Dalam banyak kasus perkosaan/pemerkosaan, yang korbannya 90% perempuan, masih jarang dibahas soal bagaimana orang-orang di sekitar memahami "perasaan terdalam" sang korban.

Bahkan orang terdekat sekalipun, seperti ibu atau saudara perempuan korban, tak mampu melakukannya, kecuali mereka pernah mengalaminya. Lebih-lebih ayah, ataupun saudara laki-laki korban, selain membalas dengan kekerasan yang tak ada hubungannya. Apalagi orang-orang di luar lingkaran keluarga.
Memahami perasaan terdalam korban perkosaan & kekerasan seksual, yang mengkristal dalam wujud traumatik beserta gejala & simptom-simptom yang dialaminya, memang bukan hal mudah.

Misalnya saja, ketika setelah sekian belas bahkan puluhan tahun kemudian, perasaan aman korban masih sering "terganggu" dengan munculnya kecemasan yang tinggi, ketakutan berlebihan, perasaan sedih yang kalut, kemarahan yang tak terbendung, yang semua itu mendorongnya berperilaku tidak adekuat. Seperti: memusuhi lingkungan, menyakiti diri sendiri, berkurung diri berjam-jam, tak mampu berkomunikasi secara interaktif, dan sebagainya.

Munculnya hal-hal semacam itu tentu saja tidak serta-merta tanpa alasan. Kemungkinan besar ada stimulus yang menjadi "precipitating event", misalkan saja bertemu dengan sosok yang berciri-ciri fisik atau berperilaku atau bersikap atau bermotivasi mirip dengan pelaku. Kendati motivasi sosok tersebut bukan untuk melakukan tindak kekerasaan, melainkan motivasi lain untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk bantuan, yang teridentifikasi oleh korban sebagai situasi yang mirip dengan motivasi pelaku beberapa waktu dahulu.

Dapat dipahami bahwa betapa sulit pihak keluarga dan lingkungan korban memahami alur pikiran serta kecamuk perasaan korban, yang mendorong munculnya perilaku "inadequate" yang ditampilkannya. Bahkan peristiwa itu pun mungkin sudah hilang dari memori orang-orang di seputar kehidupan korban.
Akan tetapi, TIDAK bagi korban sendiri.

Sedikit sekali, atau bahkan mungkin hampir tidak ada korban perkosaan atau usaha pemerkosaan yang dapat menghapus begitu saja ingatan-ingatan buruk yang telah menoreh luka di jiwanya tersebut. Ingatan-ingatan bawah sadarnya tetap memiliki tempat serupa "built-in microchip programing" yang sewaktu-waktu aktif.

Dikatakan bahwa:
"Victims of rape can be severely traumatized by the assault and may have difficulty functioning as well as they had been used to prior to the assault, with disruption of concentration, sleeping patterns and eating habits, for example. They may feel jumpy or be on edge. After being raped it is common for the victim to experience Acute Stress Disorder, including symptoms similar to those of posttraumatic stress disorder, such as intense, sometimes unpredictable, emotions, and they may find it hard to deal with their memories of the event." [Wikipedia].

Simptom-simptom penyerta dalam "Acute Stress Disorder" antara lain terdiri atas:

• depersonalisasi atau disosiasi (perasaan mengambang, tidak tahan menghadapi realitas diri & lingkungannya, seperti sedang bermimpi atau merasa dunia ini aneh/tidak nyata)

• Sulit mengingat bagian penting dari kekerasan yang dialaminya

• Sering dihantui peristiwa kekerasan tersebut, melalui pikiran, ingatan-ingatan, ataupun teror mimpi-mimpi buruk

• Menjauhi segala sesuatu terkait peristiwa tersebut, seperti tempat, pikiran-pikiran, perasaan-perasaan yang mengingatkan, dan sebagainya

• Cemas terus-menerus, sulit tidur, sulit konsentrasi, dan sebagainya

• Menjauhi kehidupan sosial atau tempat-tempat atau situasi yang dapat menghubungkannya dengan peristiwa perkosaan itu.

Kondisi-kondisi tersebut di atas sesuai dengan kriteria diagnosis PTSD (posttraumatic stress disorder).
Secara umum, perkosaan & kekerasan seksual merupakan hal yang paling banyak sebagai penyebab PTSD pada perempuan.

PTSD akibat perkosaan & kekerasan seksual tidak hanya dialami korban dalam hitungan bulan, namun dapat terjadi hampir di sepanjang sisa hidupnya.
Lalu, bagaimana peran therapist dan para ahli terhadap kasus-kasus seperti ini yang kerap terjadi dan menimpa banyak perempuan di dunia?

Sudah pasti sesuai dengan keahlian yang dimiliki, therapist berperan memulihkan kondisi psikis korban, dengan melakukan treatment terhadap PTSD yang dialaminya. Hanya saja, seberapa mendalam therapist mampu berempati terhadap luka yang terprogram pada microchip di bawah sadar korban, tergantung dari kesediaan dan kemampuan therapist melakukannya. Hal ini tak lepas juga dari pengalaman hidup therapist itu sendiri, serta tingginya jam terbang dalam melakukan intervensi terhadap korban-korban perkosaan beserta simptom-simptom yang mereka alami.

Sesungguhnya, yang paling mampu memahami luka korban perkosaan secara mendalam serta penuh pengertian adalah korban sendiri dan sesama korban. Oleh sebab itu betapa baik dan pentingnya apabila korban perkosaan bersedia menjadi therapist bagi korban-korban lain.

Dapat dibayangkan, situasi terapi kelompok yang dipandu oleh therapist yang pernah menjadi korban, merupakan suasana yang menjanjikan bagi para korban untuk sungguh-sungguh merasa dipahami orang lain. Semangat menggiatkan kehidupan mentalnya dengan mengkreasi program microchip baru demi pemulihan yang kian progresif, pasti lebih mampu tercipta dalam kelompok tersebut.

Sayangnya, sebagian besar perempuan korban perkosaan dan kekerasan seksual memilih menutup rapat kisah "tak terampuninya" tersebut dari publik. Kenapa? Karena bahkan lingkungan keluarga pun, sebagai orang-orang terdekatnya, tak mampu memahami aroma perasaan terdalam yang disebarkan luka jiwa di alam bawah sadar korban.

Hanya ada satu cara bagi keluarga dan orang-orang terdekat korban untuk memberikan bantuan maksimal terhadap yang dikasihinya. Yakni:
"dengarkanlah... pahamilah..."
Jangan pernah menyalahkan sikap & perilakunya yang didorong oleh kecemasan & ketakutan berlebihan yang datang tiba-tiba... Percayalah, ia ingin mengendalikan dirinya, namun ia butuh bantuan berupa kesediaan memahami tanpa syarat...

"Ungkapan EMPATI,
untuk orang-orang terkasih,
untuk semua perempuan korban perkosaan & kekerasan seksual,
untuk teman-teman para ahli & therapist..."

by Rinny for her own-blog: http://perempuan-berbisik.blogspot.com/

No comments:

Posts Archive


PEREMPUAN = SRIKANDI ?

Kenapa PEREMPUAN PEJUANG sering disebut SRIKANDI.
APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?
Kutelusuri WIKIPEDIA, kutemukan entri SRIKANDI ini

Srikandi (Sanskerta: Śikhaṇḍī) atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata vrsi India.
Arti nama
Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".
Srikandi dalam Mahabharata
Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.
Perang di Kurukshetra
Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
Srikandi dalam Pewayangan Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Bisma.
Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

JADI, APAKAH PEREMPUAN ADALAH SRIKANDI?

*********

PEREMPUAN DAN PENDIDIKAN
Rinny Soegiyoharto (catatan tak selesai pada april 2006)

Ragam aktivitas ke-Kartini-an sebagai simbol emansipasi kaum perempuan seperti sebuah rutinitas lebih bergaung pada bulan April mendekati hari keduapuluhsatu. Ditandai aneka lomba dan berbagai atribut keperempuanan yang adakalanya malah tampak sekadar wujud lahiriah dan kasat mata. Sebut saja lomba berkebaya, lomba masak, lomba pasang dasi, lomba merias wajah, dan sebagainya.

*** *** *** *** ***

-DRAFT--Wanita. Meski berpadan dengan perempuan, namun kata dasar “empu” pada perempuan terasa lebih nyaman dan membanggakan, oleh sebab itu saya suka menggunakan kata “perempuan”, termasuk dalam menamai blog saya.-
Perempuan, sadar soal pentingnya pendidikan terhadap anak-anak, karena di "dalam" perempuan terdapat beban psikologis memperjuangkan dirinya sendiri, terus-menerus. Utamanya dalam hal pendidikan (sudah diterobos Kartini). Guru TK-SD bahkan SMP kebanyakan perempuan. Bapak-bapak lebih banyak muncul dan berperan pada tingkat pendidikan lanjutan atas (SMA), dimana pendidikan dasar telah ditanamkan lebih dahulu oleh ibu-ibu guru. Mengapa? Sekali lagi karena perempuan secara lahiriah dan kodrati justru memikul tanggung jawab pendidikan itu sendiri yang dimulai pada dirinya sendiri. Maka, bapak-bapak guru lebih kepada transfer of knowledge, ketimbang hal-hal mendasar yang lebih berhubungan dengan pembangunan karakter, penanaman proses belajar dan pengertian-pengertian dasar untuk dan selama manusia menempuh proses pendidikan.- Pendidikan: mencakup attitude/sikap, yakni kognitif, afektif dan perilaku. Pengembangan kepribadian, pembiasaan good character, kesadaran dan tanggung jawab akan masa depan pribadi/diri sendiri yang mempengaruhi masa depan keluarga dan kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara, dll.- Bukan diskriminasi yang mengarah pada gerakan feminisme.- Perbedaan sesuatu yang dirayakan bersama sebagai unsur2 yg saling bersinergi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan bersama: orangtua, pendidik, bangsa dan negara.- Berkaitan erat dengan UU Anti-KDRT. Jika perempuan terus ditindas, bahkan di dalam rumah tangganya sendiri, bagaimana mungkin perempuan dapat bertugas/ berkiprah/ bertindak optimal untuk mendidik anak-anak, baik anak sendiri maupun anak-anak didik apabila ia seorang guru? Kendati lagi, waktu terus merambah, persaingan global semakin cepat dan menantang, anak tidak berhenti tumbuh dan berkembang, suatu waktu akan tiba ketika anak mulai lebih banyak mencurahkan porsi proses pendidikannya pada pemenuhan kognitif, belajar ilmu2 tinggi, yg bisa jadi sebagian besar diberikan oleh laki-laki, bapak2 yg menitikberatkan pada perkembangan kognitif.- Perempuan & laki2 lebih kepada pembagian peran, baik dalam pendidikan di dalam rumah tangga, maupun pendidikan secara luas, formal & informal. Karena baik dari segi struktur fisiologis dan psikologis serta kultural dan sejarah di dalam masyarakat kita, telah membentuk sebuah perbedaan laki2 dan perempuan, yang harus kita rayakan bersama-sama membentuk manusia-manusia berkualitas dlm diri anak2 kita sebagai proses pendidikan menuju masa depan cerah mengikuti kecerahan janji bangsa ini. Amin.-

Pendidikan dimulai dari rumah. Peran ibu sebagai objek kelekatan anak yang pertama terhadap proses pendidikan anak tentulah tidak kecil. Sebagai perempuan, tentunya ibu harus tidak hanya memberikan pelajaran, namun pendidikan kasih sayang, penanaman afeksi, unsur penting bagi rasa nyaman dan aman bagi anak, karena merasa dicintai. Bagaimana mungkin ibu dapat menanam benih cinta pada anak apabila dia sendiri mengalami kekerasan dalam rumah tangga.***